Penulis: Agus Muhammad *
Detikcom - Serangan Amerika Serikat ke Afganistan
seolah menjadi momentum bagi kebangkitan kembali Islam radikal. Beberapa tahun
terakhir ini, terutama sejak Orde Baru tumbang, gerakan Islam radikal memang
sudah menunjukkan tanda-tanda kebangkitannya sebagaimana terlihat dalam
berbagai aksi massa yang mereka lakukan dengan Front Pembela Islam (FPI)
sebagai motornya.
Namun baru pada momentum serangan
Amerika ke Afganistan mereka betul-betul mengerahkan massa besar-besaran dalam
aksi menentang Amerika lengkap dengan simbol-simbol Islam, termasuk mencuatnya
kembali wacana jihad yang memang menjadi trade mark mereka.
Kemunculan kembali kelompok Islam
radikal ini menarik, karena kekuatan mereka sebagai kelompok penekan (presure
groups) kian hari kian menguat dengan pengaruh yang juga semakin signifikan
dalam kehidupan politik, khususnya setelah Orde Baru tumbang. Padahal, ketika
Orde Baru berkuasa, mereka termasuk kelompok yang berusaha ditumpas habis
termasuk juga dengan mencap mereka sebagai "ekstrem kanan" yang harus
senantiasa diwaspadai. Namun ternyata mereka masih tetap eksis meski Orde Baru
telah menekan mereka habis-habisan.
Sebagaimana diketahui sikap Orde
Baru sejak awal mengikuti pola kebijakan yang diterapkan Belanda: penguasa
memperlihatkan sikap yang toleran dan bersahabat terhadap islam sebagai
kelompok sosial dan keagamaan. Tapi sikap ini segera berubah menjadi bengis
ketika Islam mulai memperlihatkan tanda-tanda sebagai kekuatan politik yang
menentang kehendak penguasa. Itulah sebabnya Orde Baru dengan cerdik
mengantisipasinya melalui tiga hal.
Pertama,
menumpas habis segala bentuk kelompok Islam sebagai kekuatan politik yang
menentang penguasa, baik dengan cara represif (diciduk, diadili, dipenjarakan)
maupun dengan cara hegemoni melalui stigmatisasi ekstrim kanan yang dianggap
akan menggantikan Pancasila dengan ideologi lain (baca: Islam).
Kedua,
membersihkan institusi politik partai dari unsur-unsur agama. Maka munculah
kebijakan asas tunggal pada awal tahun 80-an sebagai bagian dari upaya
mengebiri partai Islam dari basis konstituennya.
Ketiga,
merangkul kelompok-kelompok Islam mederat yang dapat memberikan dukungan terhadap
kekuasaan serta tidak membahayakan struktur kekuasaan rezim Orde Baru yang
mulai dilakukan pada awal dekade 90-an sebagaimana terlihat dari sikap penguasa
Orde Baru terhadap ICMI. Mereka ini bahkan juga diberi akses kekuasaan yang
lebih besar dari sebelumnya.
Dengan tiga cara itulah Orde Baru
berhasil "menjinakkan" umat Islam. Dan, bagi umat Islam sendiri,
sikap Orde Baru yang demikian akomodatif terhadap Islam membuat mereka
kehilangan alasan untuk melakukan perlawanan terhadap rezim yang sebelumnya
menindas mereka. Apalagi, dalam perkembangnya, Orde Baru memperluas
jangkauannya dengan merangkul kelompok Islam garis keras. Kelompok inilah yang
oleh Robert W. Hefner diistilahkan sebagai "Islam Rezimis".
Namun, di mata Hefner, dengan
kebijakan merangkul Islam melalui ICMI, Soeharto sesungguhnya tidak sedang
membuka partisipasi umat Islam dalam politik elite. Tapi justru memainkan kartu
Islam untuk menghadapi kalangan militer dan gerakan prodemokrasi yang mulai
menantang kekuasaannya. Ini terbukti dari sikap diskriminatif terhadap umat
Islam. Muslim yang dilihat terlalu kritis dan demokratis, dikecualikan dari
dukungan rezim. Alih-alih membangun Islam sipil, Soeharto berusaha menciptakan
apa yang disebut Hefner sebagai "Islam rezimis" yang tidak menjadi batu
sandungan bagi sikap otoriternya dan sekaligus bisa mendukung kekuasaannya.
Dibatasi Soeharto
Dalam kenyataannya, Soeharto tidak
hanya membatasi uang gerak ICMI, melainkan juga membuat dongkol orang-orang
ICMI independen karena Soeharto mengalihkan patronasenya kepada kelompopk
muslim garis keras. Kelompok yang oleh Hefner disebut sebagai kelompok
ultrakonservatif ini ternyata cukup setia. Hingga detik-detik terakhir
kekuasaan Soeharto, mereka masih memberikan dukungan. Bahkan, ketika rezim
paling berkuasa selama 32 tahun itu tumbang 21 Mei 2001, kelompok itu juga
masih memperlihatkan kesetiaannya dengan mengalihkan dukungannya kepada Habibie
sebagai pengganti Soeharto.
Sampai di sini, momok ekstrim kanan
yang dulu begitu diwaspadai oleh Orde Baru seolah menjadi "macan
ompong". Ia bukan hanya dikebiri baik dengan cara represif maupun
hegemonik tetapi bahkan di kemudian hari dirangkul dan disikapi dengan mesra.
Maka istilah ekstrim kanan seolah-olah hilang dari kamus politik Indonesia.
Namum Orde Baru melupakan satu hal:
meski rezim ini telah berhasil "menjinakknan" umat Islam, termasuk
kelompok Islam garis keras, namun Islam radikal sebetulnya sudah mengalami
"metamorfose". Kelompok Islam radikal memang berhasil "ditumpas"
rezim Orde Baru pada tahun 80-an - mulai dari kasus Tanjungpriok, peledakan BCA
maupun peledakan Borobudur - dan kemudian dirangkul dengan mesra pada masa-masa
akhir kekuasaan Orde Baru. Namun dalam waktu yang hampir bersamaan generasi di
bawah mereka diam-diam membangun jaringan di kampus-kampus.
Maraknya kelompok-kelompok
pengajian kampus pada akhir tahun 80-an adalah contoh konkrit dari keberhasilan
kaum muda idealis ini dalam membangun jaringan yang solid ke berbagai daerah di
tanah air. Mereka adalah generasi baru Islam radikal yang kecewa terhadap
generasi di atasnya yang mereka anggap telah berkhianat karena berkoalisi
dengan rezim yang dulu menindas mereka. Mereka inilah yang bersama kelompok
Islam radikal lain dengan gigih memperjuangkan aspirasi Islam yang pada masa
pemerintahan Gus Dur dianggap terabaikan.
Karena itulah, kemunculan mereka
dalam aksi-aksi anti-Amerika dalam skala yang makin luas di beberapa daerah di
tanah air sebetulnya tidak terlalu mengherankan, karena sebelumnya mereka sudah
beberapa kali melakukan show of force yang dipelopori oleh FPI. Karena itu
pula, peristiwa serangan Amerika terhadap Afganistan sebetulnya hanyalah
momentum kecil bagi kebangkitan Islam radikal. Karena embrionya sudah ada jauh
sebelumnya.
Kebangkitan Islam radikal ini mau
tidak mau akan mempengaruhi konstelasi politik di tanah air.
Salah satu "kesalahan
kecil" Gus Dur - tapi menjadi faktor yang cukup besar terhadap kejatuhan
Gus Dur meski tidak secara langsung - adalah sikapnya yang kurang akomodatif
terhadap Islam. Dengan kebangkitan Islam radikal yang kian mencolok, mau tidak
mau pemerintahan Megawati harus belajar dari "kesalahan kecil" Gus
Dur jika tidak ingin mendapatkan batu sandungan di kemudian hari.
Munculnya kembali wacana Piagam
Jakarta tentu tidak bisa dibaca sebagai kebetulan. Bahkan itu bisa mengemuka di
sela Sidang Tahunan MPR tahun 2001 ini. Telah diketahui umum bahwa Islam
radikal adalah kelompok yang solid dengan jaringan yang cukup luas di tanah air
meski jumlahnya mungkin tidak lebih besar dari jamaah organisasi semacam NU dan
Muhammadiyah. Mau tidak mau aspirasi mereka tidak bisa diabaikan begitu saja.
Sayangnya masih banyak yang
memandang sebelah mata terhadap kekuatan Islam radikal dengan sikap apriori
yang kadang berlebihan. Sudah saatnya wacana pluralisme tidak hanya menjadi
slogan tapi harus tercermin dalam sikap keseharian kita. Karena itu, mungkin
ada baiknya aspirasi mereka didengar dengan cara membuka debat publik untuk
membuktikan gagasan siapa yang paling layak untuk "dijual" ke publik.
Ini sekaligus akan memberikan pendidikan politik yang sehat pada masyarakat
bahwa sebuah gagasan politik layak diterima atau ditolak bukan karena didukung
oleh kekuatan dan mobilisasi massa, tetapi lebih karena didukung oleh kekuatan
nalar dan argumentasi yang meyakinkan. @
* Peneliti pada Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat
(P3M), Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar