Intelektual dari mazhab Islam liberal
dan postradisionalisme berdialog. Sebagian mereka menganggap Islam literal
sebagai ancaman.
Tema Islam liberal sedang mempesona
sebagian kaum muda. Tati Wardi, 24 tahun, misalnya. Mahasiswa Institut Agama
Islam Negeri Jakarta itu lahir dari keluarga dengan tradisi kultural Nahdlatul
Ulama dan Masyumi. Kini gadis berjilbab itu melahap buku-buku Islam liberal,
juga postradisionalisme Islam. Salah satu penyebab kecenderungan itu, dia tidak
menyukai Islam garis keras. "Mereka cenderung merasa benar sendiri,"
kata Tati.
Tati hanya satu dari banyak kalangan
muda yang tertarik pada paham Islam yang terbuka, pluralis, dan humanis. Dan
ketertarikan itu menemukan jawabannya pada Islam liberal yang belakangan
menjadi perhatian sebagian publik melalui penerbitan buku Wacana Islam
Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global karya sosiolog
Charles Kurzman, pembukaan kios internet Jaringan Islam Liberal
(www.Islamlib.com), dan bermacam diskusi.
Gairah itu tampak pula di seminar
"Mendialogkan Post-Tradisionalisme Islam dan Islam Liberal dalam Gairah
Baru Pemikiran Islam di Indonesia", yang diselenggarakan mahasiswa IAIN
Syarif Hidayatullah di Jakarta, Rabu pekan lalu. Sekitar 500 orang mengikuti
seminar yang menghadirkan intelektual muda Islam seperti Ulil Abshar Abdalla,
Saiful Mujani, Ahmad Sahal, Luthfi Assyaukani, Ahmad Baso, dan Rumadi itu.
Sebagian besar pembicara mencoba
menangkap sosok yang disebut Islam liberal. Maklum, kata sifat liberal
mengandung gradasi "keliberalan"-nya dan sejarah yang panjang.
Menurut Charles Kurzman, Islam liberal berakar pada Syah Waliyullah (1703-1762)
di India dan muncul di antara gerakan-gerakan pemurnian Islam ala Wahabi pada
abad ke-18.
Bersama dengan berkembangnya Islam
liberal, muncul tokoh-tokohnya pada tiap zaman. Jamaluddin Alafghani di
Afganistan, Sayyid Ahmad Khan di India, dan Muhammad Abduh di Mesir—ketiganya
hidup pada abad ke-19. Adapun pada abad 20 terdapat antara lain Abdullah Ahmed Naim,
Mohammad Arkoun, Fazlur Rahman, dan Fatima Mernissi. Nurcholish Madjid,
cendekiawan Indonesia yang mengibarkan teologi inklusif, juga disebut.
Istilah liberal, menurut Luthfi
Assyaukani, dosen Universitas Paramadina Mulya, antara lain bermakna pembebasan
dari cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan. Islam
liberal, menurut Luthfi, tidak bisa dipertentangkan dengan Islam model lama
semacam tradisionalis, revivalis, atau modernis, juga dengan model baru seperti
neomodernis dan posmodernis. Sebab, gagasan Islam liberal sesungguhnya
kombinasi unsur-unsur li-beral yang ada dalam kelompok-kelompok pemikiran
modern itu.
Perhatian Islam liberal adalah pada
hal-hal yang prinsip. "Islam liberal tak mengurusi jenggot atau pembagian
tempat duduk khusus bagi wanita di bus kota," kata Ahmad Sahal memberi
contoh. Adapun hal prinsip misalnya negara demokrasi, emansipasi wanita, dan
kebebasan berpikir. Islam liberal bisa menerima bentuk negara sekuler, yang
menurut Ulil Abshar Abdalla lebih unggul dari negara ala kaum fundamentalis.
"Sebab, negara sekuler bisa menampung energi kesalehan dan energi
kemaksiatan sekaligus," kata Ulil, yang disambut ledakan tawa peserta
diskusi.
Selain Islam liberal, sosok
postradisionalisme Islam yang diperkenalkan cendekiawan Maroko, Muhammad Abed
Al Jabir, juga diteropong. Karya Al Jabir dikumpulkan dan diterjemahkan Ahmad
Baso, intelektual NU, dalam buku Post-tradisionalisme Islam. Kata
pembicara seminar Rumadi, seperti Islam liberal, postradisionalisme bersemangat
mengusung pemikiran li-beral, mendobrak ortodoksi, membebaskan diri dari
keterkungkungan teks keagamaan, dan menerima sekularisasi. Bedanya,
postradisionalisme menimba kearifan itu dari proses kritis (dekonstruksi)
terhadap tradisi (turats) Islam zaman Nabi Muhammad hingga dinasti
Andalusia.
Wacana postradisionalisme lebih banyak
dipromosikan orang-orang NU. Kemunculannya di Indonesia, menurut Rumadi,
seiring dengan ngetren-nya wacana Islam liberal. Terkesan kemunculan
postradisionalisme adalah unjuk identitas bagi sebagian orang NU. Kesan itu
juga muncul dalam seminar ketika sebagian pembicara menjadi pembela kubu
masing-masing. Namun, jarak itu melebur setelah Ahmad Sahal dan Saiful Mujani
menyatakan bahwa secara substansi antara Islam liberal dan postradisionalisme
sama. Misalnya, menyangkut ide tentang negara demokrasi.
Yang berseberangan sebetulnya Islam
literal, kata Ahmad Sahal. Islam literal adalah sebutan lain untuk kaum
fundamentalis atau kalangan Islam garis keras. Kalangan yang menurut Abdul
Mun'im D.Z., pembicara dari LP3ES, memperjuangkan penerapan hukum Islam yang
ketat dan menuntut penciptaan masyarakat muslim yang eksklusif. Berbeda dengan
agenda Islam liberal, yang ingin menciptakan masyarakat multikultur.
"Gagasan Islam liberal dan postradisionalisme secara nyata akan berhadapan
dengan gerakan Islam garis keras," kata Mun'im.
Kelik M. Nugroho
0 komentar:
Posting Komentar