DALAM
masyarakat plural, seperti Indonesia, perbincangan mengenai relasi antara
agama, demokrasi, dan multikulturalisme merupakan tema yang selalu menarik dan
tak ada habis-habisnya untuk didiskusikan.
Cita-cita
mewujudkan demokrasi hampir selalu menyinggung agama dan keragaman budaya,
karena demokrasi tidak mungkin bisa diwujudkan tanpa menempatkan agama secara
benar dan memberikan apresiasi terhadap keragaman budaya.
Jika
tidak dikelola dengan baik, bukan mustahil persinggungan agama-agama akan
mendatangkan masalah bagi stabilitas demokrasi. Dalam beberapa tahun terakhir,
kita kerap dihadapkan pada kenyataan banyaknya konflik dan ketegangan yang
dipicu oleh sentimen keagamaan. Demikian juga keragaman kultural belum
sepenuhnya dirasakan manfaatnya. Alih-alih sebagai kekuatan pendorong dinamika
kehidupan berbangsa, keragaman kultural justru menambah panjang daftar
percekcokan di kalangan masyarakat akar rumput.
Dalam
teori sosial, penggunaan wacana multikulturalisme sebenarnya masih
membingungkan. Namun, dari wacana yang berkembang di Indonesia,
multikulturalisme rupanya hendak dijadikan paradigma baru dalam merajut kembali
hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh
konflikstual. Saat ini muncul kesadaran masif bahwa diperlukan kepekaan
terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama,
budaya, hingga orientasi politik.
Karena
itu, publikasi, film, televisi, dan berbagai media komunikasi lainnya
sepatutnya tidak mengekspos hal-hal yang bersifat anti, menghina atau
melecehkan budaya lain atau ajaran suatu agama. Sikap respek terhadap budaya
dan agama-agama harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai
jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta.
ADA
tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan
masyarakat yang terdiri dari agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda, yakni
pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural
(multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal
yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’.
Konsep
pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman
menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda,
heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Pada abad ke-20, kemajemukan menjadi
syarat demokrasi. Serba tunggal, misalnya, satu ideologi, satu partai politik,
satu calon pemimpin, dianggap sebagai bentuk pemaksaan dari negara.
Dibandingkan
dua konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Menurut Bhikhu
Parekh (Gurpreet Mahajan, Democracy, Difference and Justice, 1998), baru
sekitar 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan
Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Secara
konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan
multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok
lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik,
jender, bahasa, ataupun agama.
Apabila
pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu),
multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu
mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam
respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya
komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah
bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara.
Di
sinilah konsep multikulturalisme memberikan kontribusi nyata terhadap agenda
demokratisasi dan nondiskriminasi. Perhatian yang besar terhadap equalitas
(persamaan) dan nondiskriminasi kaum minoritas telah menghubungkan
multikulturalisme dengan demokrasi. Bukankah sisi terpenting dari nilai demokrasi
adalah keharusan memperlakukan berbagai kelompok atau individu yang berbeda
tanpa diskriminasi?
Kita
tahu, secara historis, demokratisasi terjadi melalui perjuangan berbagai unsur
masyarakat melawan sumber-sumber diskriminasi sosial. Manusia dilahirkan merdeka
dan memiliki hak-hak yang sama. Tidak ada diskriminasi yang didasarkan pada
kelas, jender, ras, atau minoritas agama dalam domain publik. Sebaliknya,
setiap individu harus diperlakukan sebagai warga dengan hak-hak dan kewenangan
yang sama.
Sebagai
alternatif atas penolakan terhadap diskriminasi, multikulturalisme memberikan
nilai positif terhadap keragaman kultural. Konsekuensi lebih lanjut adalah
kesediaan untuk memberikan apresiasi konstruktif terhadap segala bentuk tradisi
budaya, termasuk agama. Persoalannya, jika berbagai kultur yang beragam justru
memperkaya kehidupan sosial, apakah agama juga menganggap keragaman tradisi
kultural memperkaya pemahaman keagamaan?
Sampai
batas tertentu, respons agama terhadap kecenderungan multikulturalisme memang
masih ambigu. Hal itu disebabkan, agama kerap dipahami sebagai wilayah sakral,
metafisik, abadi, samawi, dan mutlak. Bahkan, pada saat agama terlibat dengan
urusan ’duniawi’ sekalipun, hal ini tetap demi penunaian kewajiban untuk
kepentingan ’samawi.’ Berbagai agama, tentu saja, berbeda-beda dalam perkara
cara dan berbagai aspek, namun agama-agama tersebut hampir seluruhnya memiliki
sifat-sifat demikian itu.
Karena
sakral dan mutlak, maka sulit bagi agama-agama tersebut untuk mentoleransi atau
hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap bersifat duniawi dan
relativistik. Oleh karena itu, persentuhan agama dan budaya lebih banyak
memunculkan persoalan daripada manfaat. Apalagi, misalnya dalam konteks Islam,
kemudian dikembangkan konsep bid’ah yang sama sekali tidak memberikan ruang
akomodasi bagi penyerapan budaya non-agama.
Dapatkah
Islam mengembangkan multikulturalisme, sementara pada saat yang sama kurang
mengembangkan apresiasi terhadap budaya, termasuk yang berperspektif lokal?
Rasanya sulit menjawabnya secara afirmatif, jika gagasan multikulturalisme itu
masih dianggap asing dalam mind-set Islam.
SEBENARNYA,
cita-cita agung multikulturalisme tidak bertentangan dengan agama; namun
demikian basis teoretisnya tetap problematik. Nilai-nilai multikulturalisme
dianggap ekstra-religius yang ditolak oleh para teolog Muslim, sehingga sulit
untuk mengeksplorasi tema tersebut. Memang belakangan telah muncul prakarsa
yang dilakukan sejumlah pemikir Arab, seperti Mohammed Abed al-Jabiri, Hassan
Hanafi, Nasr Hamid Abu-Zaid, dan lain-lain, untuk merekonsiliasi antara tradisi
dan agama. Namun, gagasan-gagasan mereka mendapat tanggapan keras dari
ulama-ulama konservatif.
Dalam
upaya membangun hubungan sinergi antara multikulturalisme dan agama, minimal
diperlukan dua hal. Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan
ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan
opresif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama
bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga
memandu di garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam
masyarakat-masyarakat beragama.
Kedua,
mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat beragama
memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan
peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur
Barat modern. Kita tak mungkin menghindar dari ide-ide dan teori-teori sekuler.
Itu berarti, menyentuh istilah-istilah dengan gagasan non-religius itu
merupakan tugas paling menantang yang dihadapi kaum Muslim pada zaman modern
ini.
Dr
Abdolkarim Soroush, intelektual Muslim asal Iran, menegaskan bahwa umat
beragama dihadapkan pada dua persoalan: local problems (problem-problem lokal)
dan universal problems (problem-problem universal) yakni problem kemanusiaan
secara keseluruhan. Menurut dia, saat ini, problem-problem seperti perdamaian,
hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, telah menjadi problem global, dan
harus diselesaikan pada level itu (Reason, Freedom & Democracy in Islam,
2000).
Hanya
dengan transformasi internal dan interaksi dengan gagasan-gagasan modern, agama
akan mampu melakukan reformulasi sintesis kreatif terhadap tuntutan
multikulturalisme yang telah menjadi semangat zaman.
Bukankah
agama mengalami ke-jumud-an saat berhenti belajar dan berdialog dengan
peradaban lain? Sekarang saatnya untuk merevitalisasi persenyawaan agama dengan
berbagai realitas yang mengitarinya.
Oleh Mun’im A Sirry (Peneliti Yayasan Paramadina, Jakarta)
Multikulturalisme adalah realita yang selalu ada dalam setiap elemen-elemen kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dalam berbagai aspek, baik itu agama, suku, keyakinan, dan cara berpikir. Sedangkan agama adalah sesuatu yang mutlak bagi penganutnya sehingga ditetapkan sebagai inti dari sistem-sistem nilai yang ada. Menurut saya agama bukanlah penghambat multikulturalisme sebab agama mengajarkan berbuat baik dan toleransi terhadap sesama manusia. Agama, demokrasi dan multikulturalisme bukan sebuah hal yang tidak dapat menyatu, jika kita tidak menganggap adanya perbedaan, tidak memandang ke arah yang dapat memunculkan berbagai macam konflik tentu segala sesuatunya dapat berjalan dengan lancar seiring dengan pemikiran kita bahwa "agama, ras, perbedaan" bukanlah suatu hal yang patut dipermasalahkan untuk mewujudkan masyarakat indonesia yang demokratis dalam masyarakat multikultral.
BalasHapus