Menutup Abad Gelap
Oleh: Herry Dim
Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu. Sebagian
menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu. Masyarakat pun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.
(Agus R. Sarjono, Sajak Palsu,
1998)
Sajak di atas, sungguh sebuah sajak yang mencerminkan
realitas kita kemarin dan sisanya masih terasa hari ini. Sebuah sajak yang
memperlihatkan kejujuran penyairnya dalam memotret dan mengungkapkan realitas
kita saat ini, di sini, di sebuah negeri yang bernama Indonesia; sekaligus
sajak itu berbayang sensibilitas sastrawai serta kecerdasan penyairnya. Sebuah
sajak yang lahir dan menjadi saksi zaman. Sejajar dengan ini patut pula bagi
siapapun warga negeri ini untuk menyingkap sajak "Malu Aku Jadi Orang
Indonesia" karya Taufiq Ismail atau "Kesaksian Akhir Abad" karya
Rendra.
Itulah kenyataan kita kemarin di masa kekuasaan Orde Baru
dan sisanya masih berakar kuat hingga saat ini. Sekarang akar-akar
"keji" yang merusak segala sendi kemanusiaan itu sedang kita bongkar,
dengan harapan bisa tumbuh benih-benih baru yang betul-betul berpihak kepada
kebenaran, keadilan, menghormati wacana azasi kemanusiaan.
Kehidupan kemarin yang masih berbayang, itu bisa kita
sebut sebagai kehidupan maya, kehidupan yang seolah-olah, kehidupan yang penuh
kepalsuan, dan bahkan penuh tipu-muslihat. Bisa kita lihat, misalnya,
seolah-olah perekonomian kita ini pernah mengalami pertumbuhan sebesar 7% per
tahun, mengalami swa-sembada beras, bahkan suatu saat pernah memberikan bantuan
pangan bagi warga masyarakat Ethiopia. Atau dalam bentuknya yang lebih
kasat-mata, bisa kita lihat begitu luar biasanya gedung-gedung menjulang di
Jakarta, mobil-mobil mewah dan kemewahan lainnya berkelebatan di hadapan kita.
Tapi apakah benar semua itu bisa di-klaim sebagai
"kita" yang artinya di belakang kata "kita" itu adalah
200.000.000 manusia? Maka keseolah-olahan itu pun segera tampak jelas. Segala
kemewahan dan "pertumbuhan yang konon" itu hanyalah dikuasai oleh
segelintir orang saja. Sama sekali jauh dari "kita" yang berjumlah
tak kurang dari 200.000.000 orang.
Bahkan, lebih jauh lagi, jika benda-benda itu dikumpulkan seluruhnya lantas diuangkan, maka semuanya tak akan cukup pula untuk membayar seluruh utang atas nama negara yang bernama Republik Indonesia ini. Semakin jelas pula bahwa benda-benda gemerlap itu, sesungguhnya tak pernah dan bukanlah milik kita. Semua hanyalah benda-benda maya yang seolah-olah ada di tengah kehidupan kita.
Bahkan, lebih jauh lagi, jika benda-benda itu dikumpulkan seluruhnya lantas diuangkan, maka semuanya tak akan cukup pula untuk membayar seluruh utang atas nama negara yang bernama Republik Indonesia ini. Semakin jelas pula bahwa benda-benda gemerlap itu, sesungguhnya tak pernah dan bukanlah milik kita. Semua hanyalah benda-benda maya yang seolah-olah ada di tengah kehidupan kita.
Wajarlah kalau kemudian Papua minta pisah, karena yang
ada di sana adalah hal-hal yang sebaliknya yaitu berupa kemiskinan dan
keterbelakangan, demikian halnya saudara-saudara kita di Aceh yang relatif tak
mengenyam pertumbuhan itu kecuali pemerasan bahkan berbagai penindasan.
Dan sesungguhnya pula, perlilaku masa kekuasaan Orba itu
sifatnya merata diderita oleh mayoritas yang berada di dalam kata
"kita." Kemiskinan yang terjadi di Papua, tak jauh bedanya dengan
saudara-saudara kita yang nyelip-nyelip di lobang-lobang tikus pinggir
gedung menjulang di Jakarta dan kota-kota lainnya, tak beda dengan
saudara-saudara kita yang hidup di pedesaan dikelilingi pesawahan subur tapi
tiba-tiba kesulitan mendapatkan beras karena sawah-sawah itu ternyata milik
segelintir orang tadi.
Pun pembantaian yang terjadi di Aceh pada dasarnya
mendapatkan analoginya dalam bentuk pembantaian "akal pikiran" dan
dimensi kecerdasan manusia. Dalam konteks melihat dunia yang seolah-olah ini,
tentu dengan tetap menyatakan bahwa pembantaian nyawa manusia itu adalah
kekejian yang biadab; tapi mari kita baca pula bahwa pembantaian "akal
pikiran" dan dimensi kecerdasan manusia itu pun adalah sama kejinya. Moral
dan kepercayaan diri sebuah generasi, misalnya, bisa hancur lebur dan tumbuh
menjadi drakula-drakula atau zombie-zombie yang sangat mengerikan.
Mari kita bermain logika yang amat sangat sederhana,
sambil diingat pula bahwa yang berikut ini adalah satu contoh saja dan terdapat
sederet panjang contoh lainnya bila dikehendaki.
Begini: Suatu ketika karena anak presiden, maka mereka
dengan "sim salabim" bisa menjadi pengusaha yang luar biasa besar,
memimpin berbagai organisasi penting, bahkan menjadi menteri. Kualifikasi
kecerdasan apa yang saat itu diberlakukan?
Segera kita tahu dan bahkan saat itu pun telah tersadari
bahwa satu-satunya logika yang dipakai adalah "kekuasaan."
Apa akibatnya dalam konteks logika sederhana tadi?
Maka tak kurang dari dua generasi runtuh kepercayaannya
kepada dunia ilmu dan pendidikan. "Ngapain sekolah susah-susah, tokh, yang
dapet dia-dia juga," itu pernah menjadi wacana awam. Di balik itu, virus
"maling" dan merebut kekuasaan dengan sendirinya menyelusup ke benak
orang per orang. "Di negeri ini yang penting bukan menjadi orang pandai,
tapi harus pinter-pinter ngatur strategi agar sampai di suatu pucuk kekuasaan,
setelah sampai di sana maka apapun bisa diatur," itu wacana umum lainnya
yang menyimpan kata "strategi" itu sebagai akal-akalan, muslihat,
persekongkolan membangun kekuatan untuk kekuasaan; dan ujung-ujungnya meski tak
berbentuk langsung pembunuhan tapi pada dasarnya membunuh harkat kemanusiaan,
akal sehat, kecerdasan, fasistis, menindas yang lain yang lebih lemah, serta
sudah pasti: serakah!.
Loyalitasnya yang tumbuh dalam dimensi
"kekuasaan" seperti itu, maka bukan kepada kemanusiaan tapi loyalitas
kepada sekongkolnya. Itu bahkan tercermin sekarang pada euforia
pembuatan partai dan kelanjutan tindak-tanduknya, misalnya, orientasinya tidak
kepada rakyat dan kemanusiaannya secara menyeluruh, melainkan perjuangan untuk
massa partainya, bahkan hanya untuk pribadi-pribadinya saja dengan memanfaatkan
massa partainya.
Kata apa lagi yang paling tepat untuk itu selain kata
kanibalistik. Dan kita tahu, kanibalistik itu adalah perilaku manusia yang
purba dan sepurbawi-purbawinya. Itulah dunia kita kemarin dan saat ini.
Maka kemerdekaan yang selalu diperingati setiap 17
Agustus itu pun sesungguhnya merupakan kemerdekaan yang seolah-olah. Berbagai
hal membuktikan bahwa banyak perilaku penjajahan yang dilakukan oleh kita
sendiri terhadap kita sendiri. Feodalisme tak juga hengkang melainkan bergeser
ke gaya berjas dan berdasi, titel kesarjanaan, raihan kekayaan, dan tentu saja
pangkat ketentaraan, ketenaran. Di sini pula peradaban kepura-puraan dan
hipokrit dimulai dan tumbuh begitu subur.
Oh, tak hanya ethnic cleansing yang terjadi, tapi di dini di sebuah negeri bernama Indonesia sudah sampai pada batas human being cleansing; pembantaian kemanusiaan. Tak ada lagi kemanusiaan. Itu menjadi pemandangan umum di sebuah negeri yang dulu disebut bangsa ramah-tamah itu.
Oh, tak hanya ethnic cleansing yang terjadi, tapi di dini di sebuah negeri bernama Indonesia sudah sampai pada batas human being cleansing; pembantaian kemanusiaan. Tak ada lagi kemanusiaan. Itu menjadi pemandangan umum di sebuah negeri yang dulu disebut bangsa ramah-tamah itu.
Saudara-saudara sekemanusiaan, segeralah kita sadari
bahwa kemarin kira berada di dalam sebuah abad yang begitu gelap. Sebuah abad
ketika kita begitu sulit melihat kebenaran sebagai benar dan kesalahan sebagai
salah.
Abad baru, abad 21, kini telah tiba. Mari kita niatkan
untuk menutup abad kemarin, abad gelap, dengan niat yang menyeluruh: yaitu
memuliakan kembali harkat kemanusiaan.
Tanpa itu, perpindahan abad hanya akan menjadi
perpindahan waktu yang tak memiliki arti apa-apa. Selamat datang manusia baru,
selamat datang abad baru.***
Cibolerang, 7 November 2000
0 komentar:
Posting Komentar