Merobek
hijab sufastaiyyah
Oleh Dr. Dimitri Mahayana
"Wa qul jaa`al-haqqa wazahaaqal-baathil,
innal-baathila kaana zahuuqa." Dalam pandangan saya, Islam jelas
menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam, yang benar pasti benar dan
tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tidak mungkin
benar.
Dalam dunia dikenali adanya golongan relativis kebenaran yang disebut sufastaiyyah.
Golongan relativis kebenaran ini merupakan pewaris mazhab pemikiran sophisme,
yang bermula pada abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui pemikiran Protagoras,
Hippias, Prodicus, Giorgias dan lain-lain. Beberapa pemikiran yang mendasari
gelombang filsafat pasca-modernis juga merupakan cerminan dari pandangan
golongan ini. Dalam majalah Ummat No.3/Thn. I/ 7 Agustus 1995, hal. 76, DR. Wan
Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas menentang keras sikap
golongan sufastaiyyah ini. Bagi golongan sufastaiyyah, benar itu bisa
salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan sophisme Yunani, semua
yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak memiliki keberadaan. Jadi ada dan tiada
sama saja. Bagi golongan positivis pasca- Renaisance, semua yang tidak
bisa diukur atau diindera tidak bisa ditentukan benar salahnya. Bagi pengikut
Marx dan Hegel, kontradiksi bukan saja mungkin terjadi, tapi menjadi arah
gerakan alam yang sering disebut sebagai dialektika Hegel. Bagi golongan relativis
pasca-modern, yang mendasarkan pemikirannya pada language games ala
Wittgenstein ataupun Russell setiap proposisi adalah bahasa, dan setiap bahasa nilai
kebenarannya relatif, karena itu setiap kebenaran itu relatif.
Apapun sufastaiyyah, misinya sama.
Menghancurkan kaidah dasar logika. Yaitu prinsip non-kontradiksi. Hanya Protagoras
meniadakannya dalam tingkatan ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis
meniadakannya pada tingkatan hal yang tidak bisa diindera, Marx dan Hegel
meniadakannya sebagai watak umum segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun
Russell menghilangkan otoritas fikiran untuk menerapkan kaidahnya kepada alam
di luar fikiran. Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan manusia.
Runtuhnya suatu bangunan keyakinan manusia. Bahkan keyakinan tentang adanya
dirinya sendiri ! Na’uudzubihi min dzaalik.
Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah
menghantarkan para filosof besar kepada keyakinan yang pasti akan keberadaan
Tuhan. Socrates dengan Kebaikan Tertinggi -nya. Plato dengan
archetype-nya. Aristoteles dengan Causa-Prima-nya. ‘Ibn-’Arabi
dengan al-jam’u bainal-’addaad (coincindentia in oppositorium) nya. Suhrawardi
dengan Nur-i-qahir nya. Mulla Shadra dan Mulla Hadi
Sabzavary dengan Al-Wujud Al-Muthlaq -nya. Mereka telah me-real-kan
agama sampai ke seluruh pori-pori ruhaninya yang mungkin dan telah merobek
secara sempurna seluruh hijab sufastaiyyah. Merobek seluruh keragu-raguannya
akan Wujud Mutlak sebagai realitas yang hakiki dari semua yang maujud.
Atau dengan kata lain, mencapai hakikat. Berbahagialah orang yang telah
berhasil merobek seluruh syak-wasangka -nya atas Kebenaran Mutlak, dan
telah berhasil menghilangkan was-was dalam hati yang tidak lain berakar
dari sufastaiyyah ini !
Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan
betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum
akhir hayatnya. Tentang Aristoteles, sebuah riwayat menyatakan bahwa ia
adalah seorang nabi yang didustakan ummatnya. Tentang ‘Ibn ‘Arabi, tidak
ada yang menyangsikannya sebagai salah seorang sufi terbesar sepanjang sejarah
dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang tertulis di kurang lebih 700
kitabnya. Sedang Mulla Shadra, tujuh kali haji ke Mekkah dengan berjalan
dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi panggilan Kekasih-Nya.
Orang - orang yang telah merobek seluruh hijab sufastaiyyah
mengarahkan wajahnya lurus-lurus pada Wajah - Nya , Wajah Wujud Mutlak.
Kemana pun mereka menghadapkan wajah, mereka yakin segala sesuatu diliputi
Kebenaran Mutlak (baca : Allah = Al-Haqq) , "Sesungguhnya Ia atas
segala sesuatu Maha Meliputi". Demikian kuatnya keyakinan mereka akan
kebenaran sehingga perubahan apa-pun dalam alam material ini tidak lagi
mempengaruhi iman mereka, sebagai mana yang dikatakan" walaupun gunung
- gunung bergeser dari tempatnya, iman mereka tidak akan bergeser
sedikitpun." Dan mereka tidak lagi ragu dan syak dalam lautan
informasi di dunia material yang simpang siur ini, karena "Allah-lah
yang menjadi pendengarannya, Allah - lah yang menjadi penglihatannya." Mereka
- lah hamba - hamba Allah yang ikhlas yang telah menyadari bahwa Kebenaran
Mutlak, bukan hanya harus diikuti, tapi lebih dekat daripada diri mereka
sendiri, "Dan Kami lebih dekat terhadapnya daripada urat lehernya"
. Ketaatan dan peribadatan yang sempurna kepada Allah.
Semoga kita menjadi salah satu dari mereka; Ilaahi,
hablii kamaalal inqithoo`i ilaika wa anir quluubii, bidhiyaa `I nazharihaa
ilaika, hattaa tahriqul abshooru quluubi hujuuban-nuur, fatashiila ila ma’dinil
‘azhiimati fatasiiru arwaahuna mu’allaqutan bi’izzi qudsika. Tuhanku,
karuniakanlah kemuliaan keterputusan kepada selain-Mu dan hanya kepada-Muaku
menatap dan cahayailah hatiku dengan cahaya pandangan kepada-Mu hingga
terobeklah hijab - hijab cahaya dari pandanganku, dan sampailah aku pada
Hadhirat Keagunga,-Mu, dan sampaikanlah ruh - ruh kami terpesona menatap
kemuliaan ke-Kudusan-Mu (Munajat Sya’baniyyah)..
0 komentar:
Posting Komentar