WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Perempuan
Sejarah
menginformasikan bahwa sebelum turunnya Al-Quran terdapat
sekian banyak
peradaban besar, seperti Yunani, Romawi. India, dan Cina.
Dunia juga
mengenal agama-agama seperti Yahudi, Nasrani, Buddha,
Zoroaster,
dan sebagainya.
Masyarakat
Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran
filsafatnya,
tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di
kalangan
elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istanaistana.
Dan di
kalangan bawah, nasib wanita sangat menyedihkan.
Mereka
diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya
berada di
bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak
sipil, bahkan
hak waris pun tidak ada. Pada puncak peradaban Yunani,
wanita diberi
kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan
dan selera
lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap
melanggar
kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat
kegiatan
politik dan sastra/seni Patung-patung telanjang yang
terlihat di
negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu.
Dalam
pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap
dengan rakyat
bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah "Dewi Cinta"
yang terkenal
dalam peradaban Yunani.
Dalam
peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan
ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan
sang suami.
Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir,
menganiaya,
dan membunuh Keadaan tersebut berlangsung terus sampai
abad ke-6
Masehi. Segala hasil usaha wanita, menjadi hak milik
keluarganya
yang laki-laki.
Pada zaman
Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan yaitu dengan
diundangkannya
hak pemilikan terbatas bagi wanita, dengan catatan
bahwa setiap
transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah).
Peradaban
Hindu dan Cina tidak lebih baik dari
peradabanperadaban
Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang wanita
yang bersuami
harus berakhir pada saat kematian suaminya; istri
harus dibakar
hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Ini baru
berakhir pada
abad ke-17 Masehi.
Wanita pada
masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan sesajen bagi
apa yang
mereka namakan dewa-dewa. Petuah sejarah kuno mereka me
ngatakan
bahwa "Racun, ular dan api tidak lebih jahat daripada wanita."
Sementara itu
dalam petuah Cina kuno diajarkan "Anda boleh mendengar
pembicaraan
wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai
kebenarannya."
Dalam ajaran
Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu.
Ayah berhak
menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara
laki-laki.
Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat
karena dialah
yang menyebabkan Adam terusir dari surga.
Dalam
pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani
ditemukan
bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia.
Pada abad
ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang
memperbincangkan
apakah wanita mempunyai ruh atalu tidak, Akhirnya
terdapat
kesimpulan bahwa wanita tidak mempunyai ruh yang suci.
Bahkan pada
abad ke-6 Masehi disselenggarakan suatu pertemuan untuk
membahas
apakah wanita manusia atau bukan manusia. Dari
pembahasan
itu disimpulkan bahwa wanita adalah manusia yang
diciptakan
semata-mata untuk melayani laki-laki. Sepanjang abad
pertengahan,
nasib wanita tetap sangat memprihatinkan, bahkan
sampai tahun
1805 perundang-undangan Inggris mengakui hak suami
untuk menjual
istrinya, dan sampai tahun 1882 wanita Inggris belum lagi
memiliki hak
pemilikan harta benda secara penuh, dan hak menuntut ke
pengadilan.
Ketika
Elizabeth Blackwill - yang merupakan dokter wanita
pertama di
dunia - menyelesaikan studinya di Geneve University pada
tahun 1849,
teman-temannya yang bertempat tinggal dengannya
memboikotnya
dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh
pelajaran,
Bahkan ketika sementara dokter bermaksud mendirikan
Institut
Kedokteran untuk wanita di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan
Dokter
setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang
bersedia
mengajar di sana.
Demikian
selayang pandang kedudukan wanita sebelum,
menjelang,
dan sesudah kehadiran Al-Quran. Nah, situasi dan pandangan
yang demikian
tentunya tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Al-
Quran. Disisi
lain, sedikit atau banyak pandangan demikian mempengaruhi
pemahaman sementara
pakar terhadap redaksi petunjuk-petunjuk Al-
Quran
sebagaimana akan disinggung berikut ini.
ASAL KEJADIAN
PEREMPUAN
Berbicara
mengenai kedudukan wanita, mengantarkan kita agar
terlebih
dahulu mendudukkan pandangan Al-Quran tentang asal kejadian
perempuan.
Dalam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat adalah
firman Allah
dalam surat Al-Hujurat ayat 13,
"Wahai
seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan
kamu
(terdiri) dan lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling
bertakwa."
Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia - dan
seorang
lelaki dan perempuan - sekaligus berbicara tentang kemuliaan
manusia -
baik lelaki maupun perempuan - yang dasar kemuliaannya
bukan
keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada
Allah Swt.
Memang, secara tegas dapat dikatakan bahwa perempuan
dalam
pandangan Al-Quran mempunyai kedudukan terhormat.
Dalam hal ini
Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis dalam
bukunya Min
Tawjihat Al-Islam bahwa,
"Tabiat
kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat
(dikatakan)
sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuansebagaimana
menganugerahkan
kepada lelaki - potensi dan kemampuan
yang cukup
untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua
jenis kelamin
ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat
umum maupun
khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun
meletakkan
keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan
membeli,
mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut
dan
menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat
menjual dan
membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum,
serta
menuntut dan menyaksikan."
Ayat Al-Quran
yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan
tentang asal
kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-
Nisa, ayat 1:
"Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan
kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah
menciptakan
pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan
lelaki dan
perempuan yang banyak."
Banyak sekali
pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan
Adam, seperti
misalnya Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi,
Al-Biqa'i,
Abu As-Su'ud, dan lain-lain. Bahkan At-Tabarsi, salah seorang
ulama tafsir
bermazhab Syi'ah (abad ke-6 H) mengemukakan dalam
tafsirnya
bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut
dengan Adam.
Beberapa
pakar tafsir seperti Muhammad 'Abduh, dalam tafsir Al-Manar,
tidak
berpendapat demikian; begitu juga rekannya Al-Qasimi, Mereka
memahami arti
nafs dalam arti "jenis." Namun demikian, paling tidak
pendapat yang
dikemukakan pertama itu, seperti yang ditulis Tim
Penerjemah
Al-Quran yang diterbitkan oleh Departemen Agama. adalah
pendapat
mayoritas ulama.
Dari
pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam,
dipahami pula
bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya adalah
"pasangannya,"
mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa.
Agaknya
karena ayat diatas menerangkan bahwa pasangan
tersebut
diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para penafsir
terdahulu
memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari
Adam sendiri.
Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif
terhadap
perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah
bagian dari
lelaki. Tanpa lelaki, perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi,
misalnya,
menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk
Adam sebelah
kiri yang bengkok, dan karena itu "wanita bersifat 'auja'
(bengkok atau
tidak lurus)."
Kitab-kitab
tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya demikian-
Pandangan ini
agaknya bersumber dari sebuah hadis yang menyatakan:
"Saling
pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan,
karena mereka
diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok... (HR At-
Tirmidzi dari
Abu Hurairah).
Hadis diatas
dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara
harfiah.
Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara
metafora,
bahkan ada yang menolak kesahihan (kebenaran) hadis
tersebut.
Yang memahami
secara metafora berpendapat bahwa hadis diatas
memperingatkan
para lelaki agar menghadapi perempuan dengan
bijaksana,
karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang
tidak sama
dengan lelaki - hal mana bila tidak disadari akan dapat
mengantarkan
kaum lelaki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan
mampu
mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun
mereka
berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya
meluruskan
tulang rusuk yang bengkok.
Ath-Thabathaba'i
dalam tafsirnya menulis, bahwa ayat diatas
menegaskan
bahwa "perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang
sama dengan
Adam, dan ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung
paham
sementara mufasir yang beranggapan bahwa perempuan
diciptakan
dari tulung rusuk Adam. Kita dapat berkata, bahwa tidak ada
satu petunjuk
yang pasti dari ayat Al-Quran yang dapat mengantarkan kita
untuk
menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau
bahwa
unsur
penciptaannya berbeda dengan lelaki. Ide ini, seperti ditulis Rasyid
Ridha dalam
Tafsir Al-Manar-nya, timbul dan ide yang termaktub dalam
Perjanjian
Lama (Kejadian II: 21-22) yang menyatakan bahwa ketika
Adam tidur
lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya,
lalu
ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang
yang telah
dikeluarkan dan Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan.
"Seandainya
tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa
dalam Kitab
Perjanjian Lama seperti redaksi diatas, niscaya pendapat yang
menyatakan
bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah
akan
terlintas dalam benak seorang Muslim," demikian Rasyid Ridha-
(Tafsir
Al-Manar IV: 330)
Bahkan kita
dapat berkata bahwa sekian banyak teks keagamaan
mendukung
pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam
dan Hawa, dan
persamaan kedudukannya, antara lain surat Al-Isra' ayat
70,
"Sesungguhnya
Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka
di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka
mencari
kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan
Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempuma atas kebanyakan
makhluk-makhluk
yang Kami ciptakan."
Tentu,
kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan,
Demikian pula
penghorrnatan Tuhan yang diberikan-Nya itu mencakup
anak-anak
Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki.
Pemahaman ini
dipertegas oleh surat Ali-Imran ayat 195 yang
menyatakan,
"Sebagian
kamu adalah bagian dari sebagian yang lain ..."
Ini dalam
arti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang
berjenis
lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma
lelaki dan
sebagian yang lain (hai umat manusia yang berjenis
perempuan)
demikian juga halnya. Kedua jenis kelamin ini sama-sama
manusia, dan
tidak ada perbedaan diantara mereka dari segi asal
kejadian
serta
kemanusiaannya.
Dengan
konsiderans ini, Tuhan menegaskan bahwa:
Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal,
baik lelaki
maupun perempuan (QS Ali 'Imran [3]:195)
Ayat ini dan
semacamnya adalah usaha Al-Quran untuk mengikis
habis segala
pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan,
khususnya
dalam bidang kemanusiaan.
Dalam konteks
pembicaraan tentang asal kejadian ini,
sementara
ulama menyinggung bahwa seandainya bukan karena Hawa,
niscaya kita
tetap akan berada di surga. Disini sekali lagi ditemukan
semacam upaya
mempersalahkan perempuan.
Pandangan
semacam itu jelas sekali keliru, bukan saja karena sejak
semula Allah
telah menyampaikan rencana-Nya untuk menugaskan
manusia
sebagai khalifah di bumi (QS 2: 30), tetapi juga karena dari
ayat-ayat
Al-Quran ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis itu tidak
hanya tertuju
kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayatayat
yang
membicarakan godaan, rayuan setan, serta ketergelinciran
Adam dan Hawa
diungkapkan dalam bentuk kata yang menunjukkan
kesamaan
keduanya tanpa perbedaan, seperti,
Maka setan
membisikkan pikiran jahat kepada keduanya...
(QS, Al-A'raf
[7]: 20). Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dan surga
itu, dan
keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati)
sebelumnya...
(QS Al-Baqarah [2]: 36).
Kalaupun ada
ayat yang membicarakan godaan atau rayuan setan
berbentuk
tunggal, maka ayat itu justru menunjuk kepada kaum lelaki
(Adam), yang
bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti
dalam firman
Allah,
Kemudian
setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam), dan
berkata,
"Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan
kerajaan yang
tidak akan punah?" (QS Thaha [20]:120).
Demikian
terlihat Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang
sewajarnya,
serta meluruskan segala pandangan salah dan keliru yang
berkaitan
dengan kedudukan dan asal kejadian kaum perempuan.
HAK-HAK
PEREMPUAN
Al-Quran
berbicara tentang perempuan dalam berbagai surat, dan
pembicaraan
tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang
berbicara
tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan
keistimewaan
tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama dan
kemanusiaan.
Secara umum
surat An-Nisa' ayat 32 menunjukkan hak-hak
perempuan:
"(Karena)
bagi lelaki dianugerahkan hak (bagian) dan apa yang
diusahakannya,
dan bagi perempuan dianugerahkan hak (bagian) dan
apa yang
diusahakannya."
Berikut ini
akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum
perempuan
menurut pandangan ajaran Islam.
Hak-hak
perempuan di luar rumah
Pembahasan
menyangkut keberadaan perempuan di dalam atau di luar
rumah dapat
bermula dari surat Al-Ahzab ayat 33, yang antara lain
berbunyi,
"Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias
dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah terdahulu."
Ayat ini
seringkali dijadikan dasar untuk menghalangi wanita ke luar
rumah.
Al-Qurthubi (w 671 H) - yang dikenal sebagai salah seorang pakar
tafsir
khususnya dalam bidang hukum - menulis antara lain: "Makna ayat
di atas
adalah perintah untuk menetap di rumah, Walaupun redaksi ayat
ini ditujukan
kepada istri-istri Nabi Muhammad Saw., tetapi selain dari
mereka juga
tercakup dalam perintah tersebut." Selanjutnya mufasir
tersebut
menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntunan agar
Wanita-wanita
tinggal di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali karena
keadaan
darurat.
Pendapat yang
sama dikemukakan juga oleh Ibnu Al-'Arabi
(1076 - 1148
M) dalam tafsir Ayat-ayat Al-Ahkam-nya. Sementara itu,
penafsiran
Ibnu Katsir lebih moderat. Menurutnya ayat tersebut
merupakan
larangan bagi wanita untuk keluar rumah, jika tidak ada
kebutuhan
yang dibenarkan agama, seperti shalat, misalnya.
Al-Maududi,
pemikir Muslim Pakistan kontemporer menganut
paham yang
mirip dengan pendapat di atas. Dalam bukunya Al-Hijab,
ulama ini
antara lain menulis bahwa para ahli qiraat dari Madinah dan
sebagian
ulama Kufah membaca ayat tersebut dengan waqarna; dan bila
dibaca
demikian, berarti, "tinggallah di rumah kalian dan tetaplah berada
di
sana." Sementara itu, ulama-ulama Bashrah dan Kufah membacanya
waqimah dalam
arti, "tinggallah di rumah kalian dengan tenang dan
hormat."
Sedangkan tabarruj yang dilarang oleh ayat ini adalah
"menampakkan
perhiasan dan keindahan atau keangkuhan dan
kegenitan
berjalan."
Selanjutnya
Al-Maududi menjelaskan bahwa:
Tempat wanita
adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari
pekerjaan
luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah
dengan tenang
dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan
kewajiban
rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk
keluar, maka
boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat
memperhatikan
segi kesucian diri dan memelihara rasa malu.
Terbaca bahwa
Al-Maududi tidak menggunakan kata "darurat"
tetapi
"kebutuhan atau keperluan." Hal serupa dikemukakan oleh Tim
yang menyusun
tafsir yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI. Ini
berarti bahwa
ada peluang bagi wanita untuk keluar rumah.
Persoalannya
adalah dalam batas-batas apa saja izin tersebut?
Misalnya,
"Bolehkah mereka bekerja?"
Muhammad Quthb,
salah seorang pemikir Ikhwan Al-Muslimun
menulis,
dalam bukunya Ma'rakat At-Taqalid, bahwa "ayat itu bukan
berarti bahwa
wanita tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang
wanita
bekerja. Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut, Islam
membenarkan
mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya
sebagai
dasar."
Dalam bukunya
Syubuhat Haula Al-Islam, Muhammad Quthb lebih jauh
menjelaskan:
Perempuan
pada awal zaman Islam pun bekerja, ketika kondisi menuntut
mereka untuk
bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau
tidaknya hak
mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa Islam tidak
cenderung
mendorong wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaanpekerjaan
yang sangat
perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas
dasar
kebutuhan wanita tertentu. Misalnya kebutuhan untuk bekerja
karena tidak
ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang
menanggung
hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.
Sayyid Quthb,
dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Quran menulis bahwa
arti waqarna
dalam firman Allah, Waqarna fi buyutikunna, berarti,
"Berat,
mantap, dan menetap." Tetapi, tulisnya lebih jauh, ,'Ini bukan
berarti bahwa
mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Ini
mengisyaratkan
bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan
selain itu
adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya."
Sa'id Hawa
salah seorang ulama Mesir kontemporer -
memberikan
contoh tentang apa yang dimaksud dengan kebutuhan,
seperti
mengunjungi orang tua dan belajar yang sifatnya fardhu 'ain atau
kifayah, dan
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak
ada orang
yang dapat menanggungnya.
Isa Abduh,
seorang ulama-ekonom Muslim Mesir, menekankan
bahwa surat
Thaha ayat 117 memberikan isyarat bahwa Al-Quran
meletakkan
kewajiban mencari nafkah di atas pundak lelaki dan bukan
perempuan.
Ayat yang dimaksud adalah:
"Maka
Kami berfirman, "Wahai Adam, sesunggahnya ini (Iblis)
adalah musuh
bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah
sampai ia
mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akan
menyebabkan
engkau (dalam bentuk tunggal untuk pria) bersusah
payah."
Yakni
bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan sandang, papan
dan pangan,
sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat
tersebut.
Menurut Isa
Abduh, penggunaan bentuk tunggal pada redaksi
engkau
bersusah-payah memberikan isyarat bahwa kewajiban bekerja
untuk
memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak terletak di atas pundak
suami atau
ayah.
Pendapat para
pemikir Islam kontemporer di atas, masih
dikembangkan
lagi oleh sekian banyak pemikir Muslim, dengan menelaah
keterlibatan
perempuan dalam pekerjaan pada masa Nabi Saw., sahabatsahabat
beliau, dan
para tabiiin. Dalam hal ini, ditemukan sekian banyak
jenis dan
ragam pekerjaan yang dilakukan oleh kaum wanita.
Nama-nama
seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-
Ghaffariyah,
Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai
tokoh-tokoh
yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis Imam Bukhari,
membukukan
bab-bab dalam kitab Shahih-nya tentang kegiatan kaum
wanita,
seperti: "Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad," "Bab
Peperangan
Perempuan di Lautan," "Bab Keterlibatan Perempuan
Merawat
Korban," dan lain-lain .
Disamping
itu, para perempuan pada masa Nabi Saw. aktif pula
dalam
berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias
pengantin
seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain
Shafiyah
binti Huyay, istri Nabi Muhammad Saw., serta ada juga yang
menjadi
perawat, bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang
perdagangan, nama istri Nabi yang pertama,
Khadijah
binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang sangat
sukses.
Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai
seorang
perempuan yang pernah datang kepada Nabi meminta petunjukpetunjuk
jual-beli.
Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit
binatang, dan
hasil usahanya itu beliau sedekahkan.
Raithah,
istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah
IbnuMas'ud,
sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu
tidak mampu
mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Sementara itu,
Al-Syifa',
seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh
Khalifah Umar
r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian
sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa
Rasulullah
Saw., dan sahabat beliau, menyangkut keikutsertaan
perempuan
dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
Tentu saja
tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang
terdapat pada
masa kini telah ada pada masa Nabi Saw. Namun,
betapapun,
sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam
membenarkan
kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja
dalam
berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara
mandiri,
bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun
swasta,
selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat,
sopan, serta
mereka dapat memelihara agamanya, dan dapat pula
menghindarkan
dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri
dan
lingkungannya.
Secara
singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut
pekerjaan
perempuan, yaitu perempuan mempunyai hak untuk bekerja,
selama ia
membutuhkannya, atau pekerjaan itu membutuhkannya dan
selama
norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
HAK DAN
KEWAJIBAN BELAJAR
Amat banyak
ayat Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara
tentang
kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki
maupun
perempuan, di antaranya,
"Menuntut
ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah)"
(HR
Al-Thabarani melalui Ibnu Mas'ud)
Para
perempuan di zaman Nabi Saw. menyadari benar kewajiban
ini, sehingga
mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia
menyisihkan
waktu tertentu dan khusus untuk mereka agar dapat
menuntut ilmu
pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh
Nabi Muhammad
Saw.
Al-Quran
memberikan pujian kepada ulul albab, yang berzikir dan
memikirkan
kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut
hal tersebut
mengantarkan manusia mengetahui rahasia-rahasia alam
raya. Mereka
yang dinamai ulul albab tidak terbatas pada kaum lelaki
saja,
melainkan juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari lanjutan ayat
di atas, yang
menguraikan tentang sifat-sifat ulul albab, Al-Quran
menegaskan
bahwa:
"Maka
Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan
berfirman,
"Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orangorang
yang beramal
di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan." (QS
Ali 'Imran
[3]: 195) .
Ini berarti
bahwa kaum perempuan dapat berpikir,
mempelajari,
dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati setelah
berzikir
kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini.
Pengetahuan
tentang alam raya tentunya berkaitan dengan
berbagai
disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa
perempuan
bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan
dan
kecenderungan masing-masing. Sejarah membuktikan bahwa banyak
wanita yang
sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang
ilmu
pengetahuan, sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki.
Istri Nabi,
Aisyah r.a., adalah salah seorang yang mempunyai
pengetahuan
sangat dalam serta termasyhur pula sebagai seorang
kritikus,
sampai-sampai ada ungkapan terkenal yang dinisbahkan oleh
sementara
ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad Saw.:
Ambillah
setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira, (yakni
Aisyah).
Demikian juga As-Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin
Ali bin Abi
Thalib. Kemudian, Al-Syaikhah Syuhrah yang bergelar "Fakhr
Al-Nisa',
(Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam
Syafi'i,
tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan
banyak umat
Islam di seluruh dunia. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Beberapa
wanita lain mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat
terhormat,
misalnya Al-Khansa' dan Rabi'ah Al-Adawiyah. Rasulullah Saw.
tidak membatasi
kewajiban belajar hanya kepada perempuan-perempuan
merdeka (yang
memiliki status sosial tinggi), tetapi juga para budak
belian dan
mereka yang bersatus sosial rendah. Karena itu sejarah
mencatat
sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian kemudian
mencapai
tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Al-Muqari
dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana dikutip
oleh Dr.
Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf,
seorang pakar
bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang
perempuan
liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya
memiliki
kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam
bidang puisi,
sampai ia dikenal dengan nama Al-'Arudhiyat karena
keahliannya
dalam bidang ini.
Harus diakui
hahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam
belum
sebanyak dan seluas sekarang ini. Namun Islam tidak
membedakan
satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga
seandainya
mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kini,
tidak
mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu
yang
berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini
Syaikh Muhammad Abduh menulis:
Kalaulah
kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum
akidah
kelihatannya amat terbatas, sesungguhnya kewajiban mereka
untuk
mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tcelgga,
pendidikan
anak, dan sebagainya, merupakan persoalan-persoalan
duniawi (dan
yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, dan
kondisi) jauh
lebih banyak daripada soal-soal akidah atau keagamaan.
Demikianlah
sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan
dalam bidang
pendidikan. Kalau demikian halnya, mengapa timbul
pandangan
yang membatasi wanita untuk belajar? Sekali lagi, salah satu
penyebabnya
adalah ayat waqarna fibuyutikunna yang dikemukakan di
atas.
PERANAN ISTRI
DALAM RUMAH TANGGA
Berbicara
mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu qawammuna 'alan nisa'
biasanya
dijadikan sebagai salah satu rujukan, karena ayat tersebut
berbicara
tentang pembagian kerja antara suami-istri. Memahami pesan
ayat ini,
mengundang kita untuk menggarisbawahi terlebih dahulu dua
butir prinsip
yang melandasi hak dan kewajiban suami-istri:
1. Terdapat
perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya pada bentuk
fisik mereka,
tetapi juga dalam bidang psikis. Bahkan menurut Dr. Alexis
Carrel salah
seorang dokter yang pernah meraih dua kali hadiah Nobel -
perbedaan
tersebut berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masingmasing
kelamin.
Pembagian
harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama terhadap
kedua jenis
manusia itu didasarkan oleh perbedaan-perbedaan itu.
2. Pola
pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah
satu pihak
bebas dan tuntutan – minimal dari segi moral - untuk
membantu
pasangannya.
Dalam surat
Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan, "Bagi lelaki (suami)
terhadap
mereka (wanita/istri) satu derajat (lebih tinggi)."
Derajat lebih
tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas
dijelaskan
oleh surat An-Nisa' ayat 34, yang menyatakan bahwa "lelaki
(suami)
adalah pemimpin terhadap perempuan (istri)."
Kepemimpinan
untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak,
lebih-lebih
bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama, serta
merasa
memiliki pasangan dan keluarga, Persoalan yang dihadapi
suami-istri,
muncul dari sikap jiwa manusia yang tercermin dari
keceriaan
atau cemberutnya wajah. Sehingga persesuaian dan
perselisihan
dapat muncul seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan
dimana pun.
Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin
yang melebihi
kebutuhan suatu perusahaan yang sekadar bergelut dengan
angka, dan
bukannya dengan perasaaan serta diikat oleh perjanjian yang
bisa
diselesaikan melalui pengadilan.
Hak
kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip dari ayat di
atas,
dibebankan kepada suami. Pembebanan itu disebabkan oleh dua
hal, yaitu:
a. Adanva
sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat
menunjang
suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan
dengan istri.
b. Adanya
kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota
keluarganya.
Ibnu Hazm -
seorang ahli hukum Islam - berpendapat bahwa
wanita pada
dasarnya tidak berkewajiban melayani suami dalam hal
menyediakan
makanan, menjahit, dan sebagainya. Justru sang suamilah
yang
berkewajiban menyiapkan pakaian jadi, dan makanan yang siap
dimakan untuk
istri dan anak-anaknya. Walaupun diakui dalam kenyataan
terdapat
istri-istri yang memiliki kemampuan berpikir dan materi
melebihi
kemampuan suami, tetapi semua itu merupakan kasus yang
tidak dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat
umum
Sekali lagi
perlu digarisbawahi bahwa pembagian kerja ini tidak
membebaskan
masing-masing pasangan - paling tidak dari segi kewajiban
moral - untuk
membantu pasangannya dalam hal yang berkaitan dengan
kewajiban
masing-masing. Dalam hal ini Abu Tsaur, seorang pakar
hukum Islam,
berpendapat bahwa seorang istri hendaknya membantu
suaminya
dalam segala hal. Salah satu alasan yang dikemukakannya
adalah bahwa
Asma, putri Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya
ia dibantu
oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga
membantu
suaminya antara lain dalam memelihara kuda suaminya,
menyabit
rumput, menanam benih di kebun, dan sebagainya.
Tentu saja di
balik kewajiban suami tersebut, suami juga
mempunyai
hak-hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. Suami wajib
ditaati
selama tidak bertentangan dengan ajaran agama dan hak pribadi
sang istri.
Sedemikian penting kewajiban ini, sampai-sampai Rasulullah
Saw.
bersabda, "Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud
kepada
seseorang, niscaya akan kuperintahkan para istri untuk sujud
kepada
suaminya." Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa
sunnah tanpa
seizin suaminya. Hal ini disebabkan karena seorang
suami
mempunyai hak untuk memenuhi naluri seksualnya.
Dapat
ditambahkan bahwa Rasulullah Saw. menegaskan bahwa
seorang istri
memimpin rumah tangga dan bertanggung Jawab atas
keuangan
suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat dalam tugastugas
yang harus
dipenuhi, serta peran yang diembannya saat
memelihara
rumah tangga, baik dari segi kebersihan, keserasian tata
ruang,
pengaturan menu makanan, maupun pada keseimbangan
anggaran.
Bahkan pun istri ikut bertanggung jawab - bersama suami -
untuk
menciptakan ketenangan bagi seluruh anggota keluarga, misalnya,
untuk tidak
menerima tamu pria atau wanita yang tidak disenangi oleh
sang suami.
Pada tugas-tugas rumah tangga inilah Rasulullah Saw.
membenarkan
seorang istri melayani bersama suaminya tamu pria yang
mengunjungi
rumahnya.
Pada konteks
inilah perintah Al-Quran harus dipahami agar para istri
berada di
rumah.
Firman Allah
waqarna fi buyutikunna (Dan tetaplah tinggal
berdiam di
rumah kalian) dalam surat Al-Ahzab ayat 33, menurut
kalimatnya
ditujukan untuk istri-istri Nabi kendati dapat dipahami
sebagai acuan
kepada semua wanita. Namun tidak berarti bahwa wanita
harus
terus-menerus berada di rumah dan tidak diperkenalkan
keluar,
melainkan mengisyaratkan bahwa tugas pokok yang harus
diemban oleh
seorang istri adalah memelihara rumah tangganya.
Kesimpulannya,
peranan seorang istri sebagai ibu rumah
tangga adalah
untuk menjadikan rumah itu sebagai sakan, yakni
"tempat
yang menenangkan dan menenteramkan seluruh anggotanya."
Dan dalam
konteks inilah Rasulullah Saw. menggarisbawahi sifat-sifat
seorang istri
yang baik yakni yang menyenangkan suami bila ia
dipandang,
menaati suami bila ia diperintah, dan ia memelihara diri,
harta, dan
anak-anaknya, bila suami jauh darinya.
Sebagai ibu,
seorang istri adalah pendidik pertama dan utama bagi
anak-anaknya,
khususnya pada masa-masa balita. Memang, keibuan
adalah rasa
yang dimiliki oleh setiap wanita, karenanya wanita selalu
mendambakan
seorang anak untuk menyalurkan rasa keibuan tersebut.
Mengabaikan
potensi ini, berarti mengabaikan jati diri wanita. Pakarpakar
ilmu jiwa
menekankan bahwa anak pada periode pertama
kelahirannya
sangat membutuhkan kehadiran ibu-bapaknya. Anak yang
merasa
kehilangan perhatian (misalnya dengan kelahiran adiknya) atau
rnerasa
diperlakukan tidak wajar, dengan dalih apa pun, dapat mengalami
ketimpangan
kepribadian.
Rasulullah
Saw. pernah menegur seorang ibu yang merenggut
anaknya
secara kasar dari pangkuan Rasulullah, karena sang anak pipis,
sehingga
membasahi pakaian Rasul. Rasulullah bersabda,
"Jangan
engkau menghentikan pipisnya. (Pakaian) ini dapat
dibersihkan
dengan air tetapi apakah yang dapat menghilangkan
kekeruhan
dalam jiwa anak ini (akibat perlakuan kasar itu)?
Para ilmuwan
juga berpendapat bahwa, sebagian besar kompleks
kejiwaan yang
dialami oleh orang dewasa adalah akibat dampak negatif
dari
perlakuan yang dialaminya waktu kecil.
Oleh karena
itu, dalam rumah tangga dibutuhkan seorang
penanggung
jawab utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak,
khususnya
saat usia dini (balita). Disini pula agama menoleh kepada ibu,
yang memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki sang ayah, bahkan tidak
dimiliki oleh
wanita-wanita selain ibu kandung seorang anak.
HAK-HAK DALAM
BIDANG POLITIK
Apakah wanita
memiliki hak-hak dalam bidang politik?
Paling tidak
ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan
keterlibatan
mereka.
1. Ayat
Ar-rijal qawwamuna 'alan-nisa' (Lelaki adalah pemimpin bagi
kaum wanita)
(QS An-Nisa, [4]: 34)
2. Hadis yang
menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas dibandingkan
dengan akal
lelaki; keberagamaannya pun demikian.
3. Hadis yang
mengatakan: Lan yaflaha qaum wallauw amrahum imra'at
(Tidak akan
berbahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada
perempuan).
Ayat dan
hadis-hadis di atas menurut mereka mengisyaratkan
bahwa
kepemimpinan hanya untuk kaum lelaki, dan menegaskan bahwa
wanita harus
mengakui kepemimpinan lelaki. Al-Qurthubi dalam tafsirnya
menulis
tentang makna ayat di atas:
Para lelaki
(suami) didahulukan (diberi hak kepemimpinan, karena lelaki
berkewajiban
memberikan nafkah kepada wanita dan membela mereka,
juga (karena)
hanya lelaki yang menjadi penguasa, hakim, dan juga ikut
bertempur. Sedangkan
semua itu tidak terdapat pada wanita.
Selanjutnya
penafsir ini, menegaskan bahwa:
Ayat ini
menunjukkan bahwa lelaki berkewajiban mengatur dan mendidik
wanita, serta
menugaskannya berada di rumah dan melarangnya keluar.
Wanita
berkewajiban menaati dan melaksanakan perintahnya selama itu
bukan
perintah maksiat.
Pendapat ini
diikuti oleh banyak mufasir lainnya. Namun, sekian
banyak
mufasir dan pemikir kontemporer melihat bahwa ayat di atas tidak
harus
dipahami demikian, apalagi ayat tersebut berbicara dalam konteks
kehidupan
berumah tangga.
Seperti
dikemukakan sebelumnya, kata ar-rijal dalam ayat arrijalu
qawwamuna
'alan nisa', bukan berarti lelaki secara umum, tetapi
adalah
"suami" karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan
pada lanjutan
ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan
sebagian
harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud
dengan kata
"lelaki" adalah kaum pria secara umum, tentu
konsideransnya
tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara
jelas berbicara
tentang para istri dan kehidupan rumah tangga. Ayat ini
secara khusus
akan dibahas lebih jauh ketika menyajikan peranan,
hak, dan
kewajiban perempuan dalam rumah tangga Islam.
Adapun
mengenai hadis, "tidak beruntung satu kaum yang
menyerahkan
urusan mereka kepada perempuan," perlu
digarisbawahi
bahwa hadis ini tidak bersifat umum. Ini terbukti dan
redaksi hadis
tersebut secara utuh, seperti diriwayatkan Bukhari, Ahmad,
An-Nasa'i dan
At-Tirmidzi, melalui Abu Bakrah.
Ketika
Rasulullah Saw. mengetahui bahwa masyarakat Persia
mengangkat
putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda,
"Tidak
akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada
perempuan." (Diriwayatkan oleh Bukhari, An-Nasa'i, dan Ahmad
melalui Abu
Bakrah).
Jadi sekali
lagi hadis tersebut di atas ditujukan kepada
masyarakat
Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan
dalam semua
urusan.
Kita dapat berkesimpulan
bahwa, tidak ditemukan satu
ketentuan
agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan
perempuan
dalam bidang politik, atau ketentuarl agama yang membatasi
bidang
tersebut hanya untuk kaum lelaki. Di sisi lain, cukup banyak ayat
dan hadis
yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan
adanya
hak-hak tersebut.
Salah satu
ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir Islam
berkaitan
dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah surat At-Taubah
ayat 71:
"Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka adalah
awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk
mengerjakan
yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan
zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan
diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa
lagi
Mahabijaksana."
Secara umum
ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang
kewajiban
melakukan kerja sama antara lelaki dan perempuan untuk
berbagai
bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat "menyuruh
mengerjakan
yang makruf dan mencegah yang munkar."
Pengertian
kata awliya' mencakup kerja sama, bantuan, dan
penguasaan;
sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase
"menyuruh
mengerjakan yang makruf" mencakup segala segi kebaikan
dan perbaikan
kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau kritik
kepada
penguasa, sehingga setiap lelaki dan perempuan Muslim
hendaknya
mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing
mampu melihat
dan memberi saran atau nasihat untuk berbagai bidang
kehidupan.
Menurut
sementara pemikir, sabda Nabi Saw. yang berbunyi,
"Barangsiapa
yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum
Muslim, maka
ia tidak termasuk golongan mereka."
Hadis ini
mencakup kepentingan atau urusan kaum Muslim yang
dapat
menyempit ataupun meluas sesuai dengan latar belakang dan
tingkat
pendidikan seseorang, termasuk bidang politik.
Di sisi lain,
Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan
perempuan)
agar bermusyawarah, melalui "pujian Tuhan kepada mereka
yang selalu
melakukannya."
"Urusan
mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah “(QS Al-Syura
[42]: 38).
Ayat ini
dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan
adanya hak
berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.
Syura
(musyawarah) menurut Al-Quran hendaknya merupakan
salah satu
prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama,
termasuk
kehidupan politik. Ini dalam arti bahwa setiap warga negara
dalam hidup
bermasyarakat dituntut untuk senantiasa mengadakan
musyawarah.
Sejarah Islam juga menunjukkan betapa kaum perempuan
tanpa kecuali
terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan. Al-Quran
menguraikan
permintaan para perempuan di zaman Nabi Saw. untuk
melakukan
bai'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana
disebutkan
dalam surat Al-Mumtahanah ayat 12.
Sementara
pakar agama Islam menjadikan bai'at para perempuan
sebagai bukti
kebebasan untuk rnenentukan pandangan berkaitan
dengan
kehidupan serta hak untuk mempunyai pilihan yang berbeda
dengan
pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan
terkadang
berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.
Kenyataan
sejarah menunjukkan sekian banyak wanita yang
terlibat pada
persoalan politik praktis, Ummu Hani, misalnya dibenarkan
sikapnya oleh
Nabi Muhammad Saw. ketika memberi jaminan keamanan
kepada
sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah
satu aspek
bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad Saw. sendiri,
yakni Aisyah
r.a. , memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi
Thalib yang
ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Dan isu terbesar
dalam
peperangan tersebut adalah suksesi setelah terhunuhnya Khalifah
ketiga
'Utsman r.a. Peperangan ini dikenal dalam sejarah Islam dengan
nama Perang
Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian
banyak
sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu,
menunjukkan
bahwa beliau bersama para pengikutnya membolehkan
keterlibatan
perempuan dalam bidang politik praktis sekalipun.
Dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh
setiap orang,
termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk
bekerja dan
menduduki jabatan-jabatan tertinggi, kendati ada jabatan
yang oleh
sebagian ulama dianggap tidak boleh diduduki oleh kaum
wanita, yaitu
jabatan kepala negara (Al-Imamah Al-Uzhma) dan hakim,
namun
perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi
pendukungan
larangan tersebut, khususnya persoalan kedudukan
perempuan
sebagai hakim,
Dalam
beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni,
ditegaskan
bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan
sesuatu, maka
sesuatu itu dapat diwakilkan kepada orang lain, atau
menerima
perwakilan dari orang lain.
Atas dasar
kaidah di atas, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud
berpendapat
bahwa berdasarkan kitab fiqih - bukan hanya sekadar
pertimbangan
perkembangan masyarakat - kita dapat menyatakan
Click to buy NOW!
PDF-XChange
www.docu-track.com
Click to buy NOW!
PDF-XChange
www.docu-track.com
bahwa
perempuan dapat bertindak sebagai pembela maupun penuntut
dalam
berbagai bidang.
Tentu masih
banyak lagi yang dapat dikemukakan mengenai
hak-hak
perempuan untuk berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir
yang dapat
ditarik adalah bahwa mereka adalah Syaqaiq Ar-Rijal (saudara
sekandung
kaum lelaki), sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir
dapat
dikatakan sama. Kalaupun ada perbedaan hanyalah akibat fungsi
dan tugas
utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis
kelamin,
sehingga perbedaan yang ada tidaklah mengakibatkan yang satu
merasa
memiliki kelebihan daripada yang lain:
"Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada
sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi
lelaki ada
bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan
juga ada
bagian dari yang mereka usahakan, dan bermohonlah kepada
Allah
sebagian dari karunia-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala
sesuatu." (QS An-Nisa, [4]: 32)
***
Di atas telah
dikemukakan berbagai penafsiran yang sedikit banyak
berbeda satu
dengan lainnya. Hemat penulis, perbedaan pendapat tersebut
muncul karena
perbedaan kondisi sosial, adat istiadat, serta
kecenderungan
masing-masing, yang kemudian mempengaruhi cara
pandang dan
kesimpulan mereka menyangkut ayat-ayat Al-Quran dan
hadis-hadis
Nabi Saw.
Tidak
mustahil, jika para pakar terdahulu hidup bersama putra-putri
abad kedua
puluh, dan mengalami apa yang kita alami, serta mengetahui
perkembangan
masyarakat dan iptek, mereka pun akan memahami ayatayat
Al-Quran
sebagaimana pemahaman generasi masa kini. Sebaliknya,
seandainya
kita berada di kurun waktu saat mereka hidup, tidak mustahil
kita
berpendapat seperti mereka. Ini berarti bahwa seluruh pendapat
yang dikemukakan,
baik dari para pendahulu maupun pakar yang akan
datang,
semuanya bermuara kepada teks-tekskeagamaan. []
WAWASAN
AL-QURAN
Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M.
Quraish Shihab, M.A.
Penerbit
Mizan
Jln. Yodkali
No.16, Bandung 40124
Telp. (022)
700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
Perempuan
Sejarah
menginformasikan bahwa sebelum turunnya Al-Quran terdapat
sekian banyak
peradaban besar, seperti Yunani, Romawi. India, dan Cina.
Dunia juga
mengenal agama-agama seperti Yahudi, Nasrani, Buddha,
Zoroaster,
dan sebagainya.
Masyarakat
Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran
filsafatnya,
tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di
kalangan
elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istanaistana.
Dan di
kalangan bawah, nasib wanita sangat menyedihkan.
Mereka
diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya
berada di
bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak
sipil, bahkan
hak waris pun tidak ada. Pada puncak peradaban Yunani,
wanita diberi
kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan
dan selera
lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap
melanggar
kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat
kegiatan
politik dan sastra/seni Patung-patung telanjang yang
terlihat di
negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu.
Dalam
pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap
dengan rakyat
bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah "Dewi Cinta"
yang terkenal
dalam peradaban Yunani.
Dalam
peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan
ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan
sang suami.
Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir,
menganiaya,
dan membunuh Keadaan tersebut berlangsung terus sampai
abad ke-6
Masehi. Segala hasil usaha wanita, menjadi hak milik
keluarganya
yang laki-laki.
Pada zaman
Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan yaitu dengan
diundangkannya
hak pemilikan terbatas bagi wanita, dengan catatan
bahwa setiap
transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah).
Peradaban
Hindu dan Cina tidak lebih baik dari
peradabanperadaban
Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang wanita
yang bersuami
harus berakhir pada saat kematian suaminya; istri
harus dibakar
hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Ini baru
berakhir pada
abad ke-17 Masehi.
Wanita pada
masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan sesajen bagi
apa yang
mereka namakan dewa-dewa. Petuah sejarah kuno mereka me
ngatakan
bahwa "Racun, ular dan api tidak lebih jahat daripada wanita."
Sementara itu
dalam petuah Cina kuno diajarkan "Anda boleh mendengar
pembicaraan
wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai
kebenarannya."
Dalam ajaran
Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu.
Ayah berhak
menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara
laki-laki.
Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat
karena dialah
yang menyebabkan Adam terusir dari surga.
Dalam
pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani
ditemukan
bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia.
Pada abad
ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang
memperbincangkan
apakah wanita mempunyai ruh atalu tidak, Akhirnya
terdapat
kesimpulan bahwa wanita tidak mempunyai ruh yang suci.
Bahkan pada
abad ke-6 Masehi disselenggarakan suatu pertemuan untuk
membahas
apakah wanita manusia atau bukan manusia. Dari
pembahasan
itu disimpulkan bahwa wanita adalah manusia yang
diciptakan
semata-mata untuk melayani laki-laki. Sepanjang abad
pertengahan,
nasib wanita tetap sangat memprihatinkan, bahkan
sampai tahun
1805 perundang-undangan Inggris mengakui hak suami
untuk menjual
istrinya, dan sampai tahun 1882 wanita Inggris belum lagi
memiliki hak
pemilikan harta benda secara penuh, dan hak menuntut ke
pengadilan.
Ketika
Elizabeth Blackwill - yang merupakan dokter wanita
pertama di
dunia - menyelesaikan studinya di Geneve University pada
tahun 1849,
teman-temannya yang bertempat tinggal dengannya
memboikotnya
dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh
pelajaran,
Bahkan ketika sementara dokter bermaksud mendirikan
Institut
Kedokteran untuk wanita di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan
Dokter
setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang
bersedia
mengajar di sana.
Demikian
selayang pandang kedudukan wanita sebelum,
menjelang,
dan sesudah kehadiran Al-Quran. Nah, situasi dan pandangan
yang demikian
tentunya tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Al-
Quran. Disisi
lain, sedikit atau banyak pandangan demikian mempengaruhi
pemahaman sementara
pakar terhadap redaksi petunjuk-petunjuk Al-
Quran
sebagaimana akan disinggung berikut ini.
ASAL KEJADIAN
PEREMPUAN
Berbicara
mengenai kedudukan wanita, mengantarkan kita agar
terlebih
dahulu mendudukkan pandangan Al-Quran tentang asal kejadian
perempuan.
Dalam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat adalah
firman Allah
dalam surat Al-Hujurat ayat 13,
"Wahai
seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan
kamu
(terdiri) dan lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling
bertakwa."
Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia - dan
seorang
lelaki dan perempuan - sekaligus berbicara tentang kemuliaan
manusia -
baik lelaki maupun perempuan - yang dasar kemuliaannya
bukan
keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada
Allah Swt.
Memang, secara tegas dapat dikatakan bahwa perempuan
dalam
pandangan Al-Quran mempunyai kedudukan terhormat.
Dalam hal ini
Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis dalam
bukunya Min
Tawjihat Al-Islam bahwa,
"Tabiat
kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat
(dikatakan)
sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuansebagaimana
menganugerahkan
kepada lelaki - potensi dan kemampuan
yang cukup
untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua
jenis kelamin
ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat
umum maupun
khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun
meletakkan
keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan
membeli,
mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut
dan
menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat
menjual dan
membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum,
serta
menuntut dan menyaksikan."
Ayat Al-Quran
yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan
tentang asal
kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-
Nisa, ayat 1:
"Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan
kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah
menciptakan
pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan
lelaki dan
perempuan yang banyak."
Banyak sekali
pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan
Adam, seperti
misalnya Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi,
Al-Biqa'i,
Abu As-Su'ud, dan lain-lain. Bahkan At-Tabarsi, salah seorang
ulama tafsir
bermazhab Syi'ah (abad ke-6 H) mengemukakan dalam
tafsirnya
bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut
dengan Adam.
Beberapa
pakar tafsir seperti Muhammad 'Abduh, dalam tafsir Al-Manar,
tidak
berpendapat demikian; begitu juga rekannya Al-Qasimi, Mereka
memahami arti
nafs dalam arti "jenis." Namun demikian, paling tidak
pendapat yang
dikemukakan pertama itu, seperti yang ditulis Tim
Penerjemah
Al-Quran yang diterbitkan oleh Departemen Agama. adalah
pendapat
mayoritas ulama.
Dari
pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam,
dipahami pula
bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya adalah
"pasangannya,"
mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa.
Agaknya
karena ayat diatas menerangkan bahwa pasangan
tersebut
diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para penafsir
terdahulu
memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari
Adam sendiri.
Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif
terhadap
perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah
bagian dari
lelaki. Tanpa lelaki, perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi,
misalnya,
menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk
Adam sebelah
kiri yang bengkok, dan karena itu "wanita bersifat 'auja'
(bengkok atau
tidak lurus)."
Kitab-kitab
tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya demikian-
Pandangan ini
agaknya bersumber dari sebuah hadis yang menyatakan:
"Saling
pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan,
karena mereka
diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok... (HR At-
Tirmidzi dari
Abu Hurairah).
Hadis diatas
dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara
harfiah.
Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara
metafora,
bahkan ada yang menolak kesahihan (kebenaran) hadis
tersebut.
Yang memahami
secara metafora berpendapat bahwa hadis diatas
memperingatkan
para lelaki agar menghadapi perempuan dengan
bijaksana,
karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang
tidak sama
dengan lelaki - hal mana bila tidak disadari akan dapat
mengantarkan
kaum lelaki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan
mampu
mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun
mereka
berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya
meluruskan
tulang rusuk yang bengkok.
Ath-Thabathaba'i
dalam tafsirnya menulis, bahwa ayat diatas
menegaskan
bahwa "perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang
sama dengan
Adam, dan ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung
paham
sementara mufasir yang beranggapan bahwa perempuan
diciptakan
dari tulung rusuk Adam. Kita dapat berkata, bahwa tidak ada
satu petunjuk
yang pasti dari ayat Al-Quran yang dapat mengantarkan kita
untuk
menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau
bahwa
unsur
penciptaannya berbeda dengan lelaki. Ide ini, seperti ditulis Rasyid
Ridha dalam
Tafsir Al-Manar-nya, timbul dan ide yang termaktub dalam
Perjanjian
Lama (Kejadian II: 21-22) yang menyatakan bahwa ketika
Adam tidur
lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya,
lalu
ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang
yang telah
dikeluarkan dan Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan.
"Seandainya
tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa
dalam Kitab
Perjanjian Lama seperti redaksi diatas, niscaya pendapat yang
menyatakan
bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah
akan
terlintas dalam benak seorang Muslim," demikian Rasyid Ridha-
(Tafsir
Al-Manar IV: 330)
Bahkan kita
dapat berkata bahwa sekian banyak teks keagamaan
mendukung
pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam
dan Hawa, dan
persamaan kedudukannya, antara lain surat Al-Isra' ayat
70,
"Sesungguhnya
Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka
di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka
mencari
kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan
Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempuma atas kebanyakan
makhluk-makhluk
yang Kami ciptakan."
Tentu,
kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan,
Demikian pula
penghorrnatan Tuhan yang diberikan-Nya itu mencakup
anak-anak
Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki.
Pemahaman ini
dipertegas oleh surat Ali-Imran ayat 195 yang
menyatakan,
"Sebagian
kamu adalah bagian dari sebagian yang lain ..."
Ini dalam
arti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang
berjenis
lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma
lelaki dan
sebagian yang lain (hai umat manusia yang berjenis
perempuan)
demikian juga halnya. Kedua jenis kelamin ini sama-sama
manusia, dan
tidak ada perbedaan diantara mereka dari segi asal
kejadian
serta
kemanusiaannya.
Dengan
konsiderans ini, Tuhan menegaskan bahwa:
Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal,
baik lelaki
maupun perempuan (QS Ali 'Imran [3]:195)
Ayat ini dan
semacamnya adalah usaha Al-Quran untuk mengikis
habis segala
pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan,
khususnya
dalam bidang kemanusiaan.
Dalam konteks
pembicaraan tentang asal kejadian ini,
sementara
ulama menyinggung bahwa seandainya bukan karena Hawa,
niscaya kita
tetap akan berada di surga. Disini sekali lagi ditemukan
semacam upaya
mempersalahkan perempuan.
Pandangan
semacam itu jelas sekali keliru, bukan saja karena sejak
semula Allah
telah menyampaikan rencana-Nya untuk menugaskan
manusia
sebagai khalifah di bumi (QS 2: 30), tetapi juga karena dari
ayat-ayat
Al-Quran ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis itu tidak
hanya tertuju
kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayatayat
yang
membicarakan godaan, rayuan setan, serta ketergelinciran
Adam dan Hawa
diungkapkan dalam bentuk kata yang menunjukkan
kesamaan
keduanya tanpa perbedaan, seperti,
Maka setan
membisikkan pikiran jahat kepada keduanya...
(QS, Al-A'raf
[7]: 20). Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dan surga
itu, dan
keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati)
sebelumnya...
(QS Al-Baqarah [2]: 36).
Kalaupun ada
ayat yang membicarakan godaan atau rayuan setan
berbentuk
tunggal, maka ayat itu justru menunjuk kepada kaum lelaki
(Adam), yang
bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti
dalam firman
Allah,
Kemudian
setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam), dan
berkata,
"Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan
kerajaan yang
tidak akan punah?" (QS Thaha [20]:120).
Demikian
terlihat Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang
sewajarnya,
serta meluruskan segala pandangan salah dan keliru yang
berkaitan
dengan kedudukan dan asal kejadian kaum perempuan.
HAK-HAK
PEREMPUAN
Al-Quran
berbicara tentang perempuan dalam berbagai surat, dan
pembicaraan
tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang
berbicara
tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan
keistimewaan
tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama dan
kemanusiaan.
Secara umum
surat An-Nisa' ayat 32 menunjukkan hak-hak
perempuan:
"(Karena)
bagi lelaki dianugerahkan hak (bagian) dan apa yang
diusahakannya,
dan bagi perempuan dianugerahkan hak (bagian) dan
apa yang
diusahakannya."
Berikut ini
akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum
perempuan
menurut pandangan ajaran Islam.
Hak-hak
perempuan di luar rumah
Pembahasan
menyangkut keberadaan perempuan di dalam atau di luar
rumah dapat
bermula dari surat Al-Ahzab ayat 33, yang antara lain
berbunyi,
"Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias
dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah terdahulu."
Ayat ini
seringkali dijadikan dasar untuk menghalangi wanita ke luar
rumah.
Al-Qurthubi (w 671 H) - yang dikenal sebagai salah seorang pakar
tafsir
khususnya dalam bidang hukum - menulis antara lain: "Makna ayat
di atas
adalah perintah untuk menetap di rumah, Walaupun redaksi ayat
ini ditujukan
kepada istri-istri Nabi Muhammad Saw., tetapi selain dari
mereka juga
tercakup dalam perintah tersebut." Selanjutnya mufasir
tersebut
menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntunan agar
Wanita-wanita
tinggal di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali karena
keadaan
darurat.
Pendapat yang
sama dikemukakan juga oleh Ibnu Al-'Arabi
(1076 - 1148
M) dalam tafsir Ayat-ayat Al-Ahkam-nya. Sementara itu,
penafsiran
Ibnu Katsir lebih moderat. Menurutnya ayat tersebut
merupakan
larangan bagi wanita untuk keluar rumah, jika tidak ada
kebutuhan
yang dibenarkan agama, seperti shalat, misalnya.
Al-Maududi,
pemikir Muslim Pakistan kontemporer menganut
paham yang
mirip dengan pendapat di atas. Dalam bukunya Al-Hijab,
ulama ini
antara lain menulis bahwa para ahli qiraat dari Madinah dan
sebagian
ulama Kufah membaca ayat tersebut dengan waqarna; dan bila
dibaca
demikian, berarti, "tinggallah di rumah kalian dan tetaplah berada
di
sana." Sementara itu, ulama-ulama Bashrah dan Kufah membacanya
waqimah dalam
arti, "tinggallah di rumah kalian dengan tenang dan
hormat."
Sedangkan tabarruj yang dilarang oleh ayat ini adalah
"menampakkan
perhiasan dan keindahan atau keangkuhan dan
kegenitan
berjalan."
Selanjutnya
Al-Maududi menjelaskan bahwa:
Tempat wanita
adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari
pekerjaan
luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah
dengan tenang
dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan
kewajiban
rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk
keluar, maka
boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat
memperhatikan
segi kesucian diri dan memelihara rasa malu.
Terbaca bahwa
Al-Maududi tidak menggunakan kata "darurat"
tetapi
"kebutuhan atau keperluan." Hal serupa dikemukakan oleh Tim
yang menyusun
tafsir yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI. Ini
berarti bahwa
ada peluang bagi wanita untuk keluar rumah.
Persoalannya
adalah dalam batas-batas apa saja izin tersebut?
Misalnya,
"Bolehkah mereka bekerja?"
Muhammad Quthb,
salah seorang pemikir Ikhwan Al-Muslimun
menulis,
dalam bukunya Ma'rakat At-Taqalid, bahwa "ayat itu bukan
berarti bahwa
wanita tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang
wanita
bekerja. Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut, Islam
membenarkan
mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya
sebagai
dasar."
Dalam bukunya
Syubuhat Haula Al-Islam, Muhammad Quthb lebih jauh
menjelaskan:
Perempuan
pada awal zaman Islam pun bekerja, ketika kondisi menuntut
mereka untuk
bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau
tidaknya hak
mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa Islam tidak
cenderung
mendorong wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaanpekerjaan
yang sangat
perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas
dasar
kebutuhan wanita tertentu. Misalnya kebutuhan untuk bekerja
karena tidak
ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang
menanggung
hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.
Sayyid Quthb,
dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Quran menulis bahwa
arti waqarna
dalam firman Allah, Waqarna fi buyutikunna, berarti,
"Berat,
mantap, dan menetap." Tetapi, tulisnya lebih jauh, ,'Ini bukan
berarti bahwa
mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Ini
mengisyaratkan
bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan
selain itu
adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya."
Sa'id Hawa
salah seorang ulama Mesir kontemporer -
memberikan
contoh tentang apa yang dimaksud dengan kebutuhan,
seperti
mengunjungi orang tua dan belajar yang sifatnya fardhu 'ain atau
kifayah, dan
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak
ada orang
yang dapat menanggungnya.
Isa Abduh,
seorang ulama-ekonom Muslim Mesir, menekankan
bahwa surat
Thaha ayat 117 memberikan isyarat bahwa Al-Quran
meletakkan
kewajiban mencari nafkah di atas pundak lelaki dan bukan
perempuan.
Ayat yang dimaksud adalah:
"Maka
Kami berfirman, "Wahai Adam, sesunggahnya ini (Iblis)
adalah musuh
bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah
sampai ia
mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akan
menyebabkan
engkau (dalam bentuk tunggal untuk pria) bersusah
payah."
Yakni
bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan sandang, papan
dan pangan,
sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat
tersebut.
Menurut Isa
Abduh, penggunaan bentuk tunggal pada redaksi
engkau
bersusah-payah memberikan isyarat bahwa kewajiban bekerja
untuk
memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak terletak di atas pundak
suami atau
ayah.
Pendapat para
pemikir Islam kontemporer di atas, masih
dikembangkan
lagi oleh sekian banyak pemikir Muslim, dengan menelaah
keterlibatan
perempuan dalam pekerjaan pada masa Nabi Saw., sahabatsahabat
beliau, dan
para tabiiin. Dalam hal ini, ditemukan sekian banyak
jenis dan
ragam pekerjaan yang dilakukan oleh kaum wanita.
Nama-nama
seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-
Ghaffariyah,
Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai
tokoh-tokoh
yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis Imam Bukhari,
membukukan
bab-bab dalam kitab Shahih-nya tentang kegiatan kaum
wanita,
seperti: "Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad," "Bab
Peperangan
Perempuan di Lautan," "Bab Keterlibatan Perempuan
Merawat
Korban," dan lain-lain .
Disamping
itu, para perempuan pada masa Nabi Saw. aktif pula
dalam
berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias
pengantin
seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain
Shafiyah
binti Huyay, istri Nabi Muhammad Saw., serta ada juga yang
menjadi
perawat, bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang
perdagangan, nama istri Nabi yang pertama,
Khadijah
binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang sangat
sukses.
Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai
seorang
perempuan yang pernah datang kepada Nabi meminta petunjukpetunjuk
jual-beli.
Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit
binatang, dan
hasil usahanya itu beliau sedekahkan.
Raithah,
istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah
IbnuMas'ud,
sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu
tidak mampu
mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Sementara itu,
Al-Syifa',
seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh
Khalifah Umar
r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian
sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa
Rasulullah
Saw., dan sahabat beliau, menyangkut keikutsertaan
perempuan
dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
Tentu saja
tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang
terdapat pada
masa kini telah ada pada masa Nabi Saw. Namun,
betapapun,
sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam
membenarkan
kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja
dalam
berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara
mandiri,
bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun
swasta,
selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat,
sopan, serta
mereka dapat memelihara agamanya, dan dapat pula
menghindarkan
dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri
dan
lingkungannya.
Secara
singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut
pekerjaan
perempuan, yaitu perempuan mempunyai hak untuk bekerja,
selama ia
membutuhkannya, atau pekerjaan itu membutuhkannya dan
selama
norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
HAK DAN
KEWAJIBAN BELAJAR
Amat banyak
ayat Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara
tentang
kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki
maupun
perempuan, di antaranya,
"Menuntut
ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah)"
(HR
Al-Thabarani melalui Ibnu Mas'ud)
Para
perempuan di zaman Nabi Saw. menyadari benar kewajiban
ini, sehingga
mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia
menyisihkan
waktu tertentu dan khusus untuk mereka agar dapat
menuntut ilmu
pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh
Nabi Muhammad
Saw.
Al-Quran
memberikan pujian kepada ulul albab, yang berzikir dan
memikirkan
kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut
hal tersebut
mengantarkan manusia mengetahui rahasia-rahasia alam
raya. Mereka
yang dinamai ulul albab tidak terbatas pada kaum lelaki
saja,
melainkan juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari lanjutan ayat
di atas, yang
menguraikan tentang sifat-sifat ulul albab, Al-Quran
menegaskan
bahwa:
"Maka
Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan
berfirman,
"Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orangorang
yang beramal
di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan." (QS
Ali 'Imran
[3]: 195) .
Ini berarti
bahwa kaum perempuan dapat berpikir,
mempelajari,
dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati setelah
berzikir
kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini.
Pengetahuan
tentang alam raya tentunya berkaitan dengan
berbagai
disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa
perempuan
bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan
dan
kecenderungan masing-masing. Sejarah membuktikan bahwa banyak
wanita yang
sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang
ilmu
pengetahuan, sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki.
Istri Nabi,
Aisyah r.a., adalah salah seorang yang mempunyai
pengetahuan
sangat dalam serta termasyhur pula sebagai seorang
kritikus,
sampai-sampai ada ungkapan terkenal yang dinisbahkan oleh
sementara
ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad Saw.:
Ambillah
setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira, (yakni
Aisyah).
Demikian juga As-Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin
Ali bin Abi
Thalib. Kemudian, Al-Syaikhah Syuhrah yang bergelar "Fakhr
Al-Nisa',
(Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam
Syafi'i,
tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan
banyak umat
Islam di seluruh dunia. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Beberapa
wanita lain mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat
terhormat,
misalnya Al-Khansa' dan Rabi'ah Al-Adawiyah. Rasulullah Saw.
tidak membatasi
kewajiban belajar hanya kepada perempuan-perempuan
merdeka (yang
memiliki status sosial tinggi), tetapi juga para budak
belian dan
mereka yang bersatus sosial rendah. Karena itu sejarah
mencatat
sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian kemudian
mencapai
tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Al-Muqari
dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana dikutip
oleh Dr.
Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf,
seorang pakar
bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang
perempuan
liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya
memiliki
kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam
bidang puisi,
sampai ia dikenal dengan nama Al-'Arudhiyat karena
keahliannya
dalam bidang ini.
Harus diakui
hahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam
belum
sebanyak dan seluas sekarang ini. Namun Islam tidak
membedakan
satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga
seandainya
mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kini,
tidak
mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu
yang
berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini
Syaikh Muhammad Abduh menulis:
Kalaulah
kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum
akidah
kelihatannya amat terbatas, sesungguhnya kewajiban mereka
untuk
mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tcelgga,
pendidikan
anak, dan sebagainya, merupakan persoalan-persoalan
duniawi (dan
yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, dan
kondisi) jauh
lebih banyak daripada soal-soal akidah atau keagamaan.
Demikianlah
sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan
dalam bidang
pendidikan. Kalau demikian halnya, mengapa timbul
pandangan
yang membatasi wanita untuk belajar? Sekali lagi, salah satu
penyebabnya
adalah ayat waqarna fibuyutikunna yang dikemukakan di
atas.
PERANAN ISTRI
DALAM RUMAH TANGGA
Berbicara
mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu qawammuna 'alan nisa'
biasanya
dijadikan sebagai salah satu rujukan, karena ayat tersebut
berbicara
tentang pembagian kerja antara suami-istri. Memahami pesan
ayat ini,
mengundang kita untuk menggarisbawahi terlebih dahulu dua
butir prinsip
yang melandasi hak dan kewajiban suami-istri:
1. Terdapat
perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya pada bentuk
fisik mereka,
tetapi juga dalam bidang psikis. Bahkan menurut Dr. Alexis
Carrel salah
seorang dokter yang pernah meraih dua kali hadiah Nobel -
perbedaan
tersebut berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masingmasing
kelamin.
Pembagian
harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama terhadap
kedua jenis
manusia itu didasarkan oleh perbedaan-perbedaan itu.
2. Pola
pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah
satu pihak
bebas dan tuntutan – minimal dari segi moral - untuk
membantu
pasangannya.
Dalam surat
Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan, "Bagi lelaki (suami)
terhadap
mereka (wanita/istri) satu derajat (lebih tinggi)."
Derajat lebih
tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas
dijelaskan
oleh surat An-Nisa' ayat 34, yang menyatakan bahwa "lelaki
(suami)
adalah pemimpin terhadap perempuan (istri)."
Kepemimpinan
untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak,
lebih-lebih
bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama, serta
merasa
memiliki pasangan dan keluarga, Persoalan yang dihadapi
suami-istri,
muncul dari sikap jiwa manusia yang tercermin dari
keceriaan
atau cemberutnya wajah. Sehingga persesuaian dan
perselisihan
dapat muncul seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan
dimana pun.
Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin
yang melebihi
kebutuhan suatu perusahaan yang sekadar bergelut dengan
angka, dan
bukannya dengan perasaaan serta diikat oleh perjanjian yang
bisa
diselesaikan melalui pengadilan.
Hak
kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip dari ayat di
atas,
dibebankan kepada suami. Pembebanan itu disebabkan oleh dua
hal, yaitu:
a. Adanva
sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat
menunjang
suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan
dengan istri.
b. Adanya
kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota
keluarganya.
Ibnu Hazm -
seorang ahli hukum Islam - berpendapat bahwa
wanita pada
dasarnya tidak berkewajiban melayani suami dalam hal
menyediakan
makanan, menjahit, dan sebagainya. Justru sang suamilah
yang
berkewajiban menyiapkan pakaian jadi, dan makanan yang siap
dimakan untuk
istri dan anak-anaknya. Walaupun diakui dalam kenyataan
terdapat
istri-istri yang memiliki kemampuan berpikir dan materi
melebihi
kemampuan suami, tetapi semua itu merupakan kasus yang
tidak dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat
umum
Sekali lagi
perlu digarisbawahi bahwa pembagian kerja ini tidak
membebaskan
masing-masing pasangan - paling tidak dari segi kewajiban
moral - untuk
membantu pasangannya dalam hal yang berkaitan dengan
kewajiban
masing-masing. Dalam hal ini Abu Tsaur, seorang pakar
hukum Islam,
berpendapat bahwa seorang istri hendaknya membantu
suaminya
dalam segala hal. Salah satu alasan yang dikemukakannya
adalah bahwa
Asma, putri Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya
ia dibantu
oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga
membantu
suaminya antara lain dalam memelihara kuda suaminya,
menyabit
rumput, menanam benih di kebun, dan sebagainya.
Tentu saja di
balik kewajiban suami tersebut, suami juga
mempunyai
hak-hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. Suami wajib
ditaati
selama tidak bertentangan dengan ajaran agama dan hak pribadi
sang istri.
Sedemikian penting kewajiban ini, sampai-sampai Rasulullah
Saw.
bersabda, "Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud
kepada
seseorang, niscaya akan kuperintahkan para istri untuk sujud
kepada
suaminya." Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa
sunnah tanpa
seizin suaminya. Hal ini disebabkan karena seorang
suami
mempunyai hak untuk memenuhi naluri seksualnya.
Dapat
ditambahkan bahwa Rasulullah Saw. menegaskan bahwa
seorang istri
memimpin rumah tangga dan bertanggung Jawab atas
keuangan
suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat dalam tugastugas
yang harus
dipenuhi, serta peran yang diembannya saat
memelihara
rumah tangga, baik dari segi kebersihan, keserasian tata
ruang,
pengaturan menu makanan, maupun pada keseimbangan
anggaran.
Bahkan pun istri ikut bertanggung jawab - bersama suami -
untuk
menciptakan ketenangan bagi seluruh anggota keluarga, misalnya,
untuk tidak
menerima tamu pria atau wanita yang tidak disenangi oleh
sang suami.
Pada tugas-tugas rumah tangga inilah Rasulullah Saw.
membenarkan
seorang istri melayani bersama suaminya tamu pria yang
mengunjungi
rumahnya.
Pada konteks
inilah perintah Al-Quran harus dipahami agar para istri
berada di
rumah.
Firman Allah
waqarna fi buyutikunna (Dan tetaplah tinggal
berdiam di
rumah kalian) dalam surat Al-Ahzab ayat 33, menurut
kalimatnya
ditujukan untuk istri-istri Nabi kendati dapat dipahami
sebagai acuan
kepada semua wanita. Namun tidak berarti bahwa wanita
harus
terus-menerus berada di rumah dan tidak diperkenalkan
keluar,
melainkan mengisyaratkan bahwa tugas pokok yang harus
diemban oleh
seorang istri adalah memelihara rumah tangganya.
Kesimpulannya,
peranan seorang istri sebagai ibu rumah
tangga adalah
untuk menjadikan rumah itu sebagai sakan, yakni
"tempat
yang menenangkan dan menenteramkan seluruh anggotanya."
Dan dalam
konteks inilah Rasulullah Saw. menggarisbawahi sifat-sifat
seorang istri
yang baik yakni yang menyenangkan suami bila ia
dipandang,
menaati suami bila ia diperintah, dan ia memelihara diri,
harta, dan
anak-anaknya, bila suami jauh darinya.
Sebagai ibu,
seorang istri adalah pendidik pertama dan utama bagi
anak-anaknya,
khususnya pada masa-masa balita. Memang, keibuan
adalah rasa
yang dimiliki oleh setiap wanita, karenanya wanita selalu
mendambakan
seorang anak untuk menyalurkan rasa keibuan tersebut.
Mengabaikan
potensi ini, berarti mengabaikan jati diri wanita. Pakarpakar
ilmu jiwa
menekankan bahwa anak pada periode pertama
kelahirannya
sangat membutuhkan kehadiran ibu-bapaknya. Anak yang
merasa
kehilangan perhatian (misalnya dengan kelahiran adiknya) atau
rnerasa
diperlakukan tidak wajar, dengan dalih apa pun, dapat mengalami
ketimpangan
kepribadian.
Rasulullah
Saw. pernah menegur seorang ibu yang merenggut
anaknya
secara kasar dari pangkuan Rasulullah, karena sang anak pipis,
sehingga
membasahi pakaian Rasul. Rasulullah bersabda,
"Jangan
engkau menghentikan pipisnya. (Pakaian) ini dapat
dibersihkan
dengan air tetapi apakah yang dapat menghilangkan
kekeruhan
dalam jiwa anak ini (akibat perlakuan kasar itu)?
Para ilmuwan
juga berpendapat bahwa, sebagian besar kompleks
kejiwaan yang
dialami oleh orang dewasa adalah akibat dampak negatif
dari
perlakuan yang dialaminya waktu kecil.
Oleh karena
itu, dalam rumah tangga dibutuhkan seorang
penanggung
jawab utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak,
khususnya
saat usia dini (balita). Disini pula agama menoleh kepada ibu,
yang memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki sang ayah, bahkan tidak
dimiliki oleh
wanita-wanita selain ibu kandung seorang anak.
HAK-HAK DALAM
BIDANG POLITIK
Apakah wanita
memiliki hak-hak dalam bidang politik?
Paling tidak
ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan
keterlibatan
mereka.
1. Ayat
Ar-rijal qawwamuna 'alan-nisa' (Lelaki adalah pemimpin bagi
kaum wanita)
(QS An-Nisa, [4]: 34)
2. Hadis yang
menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas dibandingkan
dengan akal
lelaki; keberagamaannya pun demikian.
3. Hadis yang
mengatakan: Lan yaflaha qaum wallauw amrahum imra'at
(Tidak akan
berbahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada
perempuan).
Ayat dan
hadis-hadis di atas menurut mereka mengisyaratkan
bahwa
kepemimpinan hanya untuk kaum lelaki, dan menegaskan bahwa
wanita harus
mengakui kepemimpinan lelaki. Al-Qurthubi dalam tafsirnya
menulis
tentang makna ayat di atas:
Para lelaki
(suami) didahulukan (diberi hak kepemimpinan, karena lelaki
berkewajiban
memberikan nafkah kepada wanita dan membela mereka,
juga (karena)
hanya lelaki yang menjadi penguasa, hakim, dan juga ikut
bertempur. Sedangkan
semua itu tidak terdapat pada wanita.
Selanjutnya
penafsir ini, menegaskan bahwa:
Ayat ini
menunjukkan bahwa lelaki berkewajiban mengatur dan mendidik
wanita, serta
menugaskannya berada di rumah dan melarangnya keluar.
Wanita
berkewajiban menaati dan melaksanakan perintahnya selama itu
bukan
perintah maksiat.
Pendapat ini
diikuti oleh banyak mufasir lainnya. Namun, sekian
banyak
mufasir dan pemikir kontemporer melihat bahwa ayat di atas tidak
harus
dipahami demikian, apalagi ayat tersebut berbicara dalam konteks
kehidupan
berumah tangga.
Seperti
dikemukakan sebelumnya, kata ar-rijal dalam ayat arrijalu
qawwamuna
'alan nisa', bukan berarti lelaki secara umum, tetapi
adalah
"suami" karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan
pada lanjutan
ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan
sebagian
harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud
dengan kata
"lelaki" adalah kaum pria secara umum, tentu
konsideransnya
tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara
jelas berbicara
tentang para istri dan kehidupan rumah tangga. Ayat ini
secara khusus
akan dibahas lebih jauh ketika menyajikan peranan,
hak, dan
kewajiban perempuan dalam rumah tangga Islam.
Adapun
mengenai hadis, "tidak beruntung satu kaum yang
menyerahkan
urusan mereka kepada perempuan," perlu
digarisbawahi
bahwa hadis ini tidak bersifat umum. Ini terbukti dan
redaksi hadis
tersebut secara utuh, seperti diriwayatkan Bukhari, Ahmad,
An-Nasa'i dan
At-Tirmidzi, melalui Abu Bakrah.
Ketika
Rasulullah Saw. mengetahui bahwa masyarakat Persia
mengangkat
putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda,
"Tidak
akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada
perempuan." (Diriwayatkan oleh Bukhari, An-Nasa'i, dan Ahmad
melalui Abu
Bakrah).
Jadi sekali
lagi hadis tersebut di atas ditujukan kepada
masyarakat
Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan
dalam semua
urusan.
Kita dapat berkesimpulan
bahwa, tidak ditemukan satu
ketentuan
agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan
perempuan
dalam bidang politik, atau ketentuarl agama yang membatasi
bidang
tersebut hanya untuk kaum lelaki. Di sisi lain, cukup banyak ayat
dan hadis
yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan
adanya
hak-hak tersebut.
Salah satu
ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir Islam
berkaitan
dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah surat At-Taubah
ayat 71:
"Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka adalah
awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk
mengerjakan
yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan
zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan
diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa
lagi
Mahabijaksana."
Secara umum
ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang
kewajiban
melakukan kerja sama antara lelaki dan perempuan untuk
berbagai
bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat "menyuruh
mengerjakan
yang makruf dan mencegah yang munkar."
Pengertian
kata awliya' mencakup kerja sama, bantuan, dan
penguasaan;
sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase
"menyuruh
mengerjakan yang makruf" mencakup segala segi kebaikan
dan perbaikan
kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau kritik
kepada
penguasa, sehingga setiap lelaki dan perempuan Muslim
hendaknya
mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing
mampu melihat
dan memberi saran atau nasihat untuk berbagai bidang
kehidupan.
Menurut
sementara pemikir, sabda Nabi Saw. yang berbunyi,
"Barangsiapa
yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum
Muslim, maka
ia tidak termasuk golongan mereka."
Hadis ini
mencakup kepentingan atau urusan kaum Muslim yang
dapat
menyempit ataupun meluas sesuai dengan latar belakang dan
tingkat
pendidikan seseorang, termasuk bidang politik.
Di sisi lain,
Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan
perempuan)
agar bermusyawarah, melalui "pujian Tuhan kepada mereka
yang selalu
melakukannya."
"Urusan
mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah “(QS Al-Syura
[42]: 38).
Ayat ini
dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan
adanya hak
berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.
Syura
(musyawarah) menurut Al-Quran hendaknya merupakan
salah satu
prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama,
termasuk
kehidupan politik. Ini dalam arti bahwa setiap warga negara
dalam hidup
bermasyarakat dituntut untuk senantiasa mengadakan
musyawarah.
Sejarah Islam juga menunjukkan betapa kaum perempuan
tanpa kecuali
terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan. Al-Quran
menguraikan
permintaan para perempuan di zaman Nabi Saw. untuk
melakukan
bai'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana
disebutkan
dalam surat Al-Mumtahanah ayat 12.
Sementara
pakar agama Islam menjadikan bai'at para perempuan
sebagai bukti
kebebasan untuk rnenentukan pandangan berkaitan
dengan
kehidupan serta hak untuk mempunyai pilihan yang berbeda
dengan
pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan
terkadang
berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.
Kenyataan
sejarah menunjukkan sekian banyak wanita yang
terlibat pada
persoalan politik praktis, Ummu Hani, misalnya dibenarkan
sikapnya oleh
Nabi Muhammad Saw. ketika memberi jaminan keamanan
kepada
sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah
satu aspek
bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad Saw. sendiri,
yakni Aisyah
r.a. , memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi
Thalib yang
ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Dan isu terbesar
dalam
peperangan tersebut adalah suksesi setelah terhunuhnya Khalifah
ketiga
'Utsman r.a. Peperangan ini dikenal dalam sejarah Islam dengan
nama Perang
Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian
banyak
sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu,
menunjukkan
bahwa beliau bersama para pengikutnya membolehkan
keterlibatan
perempuan dalam bidang politik praktis sekalipun.
Dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh
setiap orang,
termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk
bekerja dan
menduduki jabatan-jabatan tertinggi, kendati ada jabatan
yang oleh
sebagian ulama dianggap tidak boleh diduduki oleh kaum
wanita, yaitu
jabatan kepala negara (Al-Imamah Al-Uzhma) dan hakim,
namun
perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi
pendukungan
larangan tersebut, khususnya persoalan kedudukan
perempuan
sebagai hakim,
Dalam
beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni,
ditegaskan
bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan
sesuatu, maka
sesuatu itu dapat diwakilkan kepada orang lain, atau
menerima
perwakilan dari orang lain.
Atas dasar
kaidah di atas, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud
berpendapat
bahwa berdasarkan kitab fiqih - bukan hanya sekadar
pertimbangan
perkembangan masyarakat - kita dapat menyatakan
bahwa
perempuan dapat bertindak sebagai pembela maupun penuntut
dalam
berbagai bidang.
Tentu masih
banyak lagi yang dapat dikemukakan mengenai
hak-hak
perempuan untuk berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir
yang dapat
ditarik adalah bahwa mereka adalah Syaqaiq Ar-Rijal (saudara
sekandung
kaum lelaki), sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir
dapat
dikatakan sama. Kalaupun ada perbedaan hanyalah akibat fungsi
dan tugas
utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis
kelamin,
sehingga perbedaan yang ada tidaklah mengakibatkan yang satu
merasa
memiliki kelebihan daripada yang lain:
"Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada
sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi
lelaki ada
bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan
juga ada
bagian dari yang mereka usahakan, dan bermohonlah kepada
Allah
sebagian dari karunia-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala
sesuatu." (QS An-Nisa, [4]: 32)
***
Di atas telah
dikemukakan berbagai penafsiran yang sedikit banyak
berbeda satu
dengan lainnya. Hemat penulis, perbedaan pendapat tersebut
muncul karena
perbedaan kondisi sosial, adat istiadat, serta
kecenderungan
masing-masing, yang kemudian mempengaruhi cara
pandang dan
kesimpulan mereka menyangkut ayat-ayat Al-Quran dan
hadis-hadis
Nabi Saw.
Tidak
mustahil, jika para pakar terdahulu hidup bersama putra-putri
abad kedua
puluh, dan mengalami apa yang kita alami, serta mengetahui
perkembangan
masyarakat dan iptek, mereka pun akan memahami ayatayat
Al-Quran
sebagaimana pemahaman generasi masa kini. Sebaliknya,
seandainya
kita berada di kurun waktu saat mereka hidup, tidak mustahil
kita
berpendapat seperti mereka. Ini berarti bahwa seluruh pendapat
yang dikemukakan,
baik dari para pendahulu maupun pakar yang akan
datang,
semuanya bermuara kepada teks-tekskeagamaan. []
Jln. Yodkali
No.16, Bandung 40124
Telp. (022)
700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
0 komentar:
Posting Komentar