Phylosopi
Dimitri Mahayana
Dalam kerangka befikir fiqhiy, ada suatu istilah yang amat penting; fardhu.
Fardhu adalah kewajiban yang harus dilakukan. Fardhu ‘ain artinya
kewajiban bagi tiap individu. Fardhu kifayah artinya kewajiban bagi
setiap kelompok orang (masyarakat). Setiap Muslim harus
melakukan sesuatu yang
di-fardhu-kan oleh Islam, walaupun dalam kasus fardhu kifayah,
kewajiban ini gugur pada saat ada Muslim lain yang telah menunaikannya.
Berfikir dengan kerangka fiqh, membuat seorang berfikir fardhu-haram-makruh-sunnah-mubah.
Jika fardhu dan sunnah memperoleh pahala. Jika haram memperoleh
dosa. Jika mubah tidak memperoleh apa-apa. Berfikir seperti seorang pedagang.
Barang dagangannya "amal" . Labanya "pahala" =
"surga". Ruginya "dosa" = "neraka". Dari sudut
pandang ini, mungkin ada orang yang bertanya ; menggunakan logika dalam Islam
ini hukumnya apa apakah fardhu atau lainnya? Atau lebih gamblang lagi
apakah seorang Muslim harus menggunakan logikanya untuk mencapai Tauhid atau
tidak?Untuk menjawab pertanyaan ini , mungkin perlu kita tinjau terlebih dahulu
dua istilah dalam logika matemaatika, necessary & sufficient condition.
Syarat perlu (atau syarat mesti), dan syarat cukup. Apa yang dimaksud dengan
syarat mesti? B disebut syarat mesti dari A jika keberadaan (kebenaran) A
memestikan/mem-pasti-kan keberadaan (kebenaran) B.
Contohnya; B : x adalah bilangan nyata
positif. A : x adalah bilangan nyata yang lebih dari 3. Maka B adalah syarat
mesti dari A. Apa artinya? Jika A benar (yaitu x adalah suatu bilangan nyata
yang lebih dari 3), pasti B benar (yaitu pasti x adalah suatu bilangan nyata
yang positif. Di sisi laim apa yang dimaksud dengan syarat cukup? B disebut
syarat cukup dari A jika keberadaan (kebenaran) B men-cukup-kan atau
mem-pasti-kan atau men-implikasi-kan keberadaan (kebenaran) A. Contohnya B :
ada dua benda bermuatan listrik berada pada jarak tertentu, A : kedua benda
tersebut akan saling tarik menarik atau tolak menolak. B mem-pastikan A,
sebaliknya A tidak mempastikan B.
Dalam filsafat, manusia didefenisikan sebagai hewan yang berfikir. Jadi
jika X manusia pasti X berfikir. Berfikir adalah syarat mesti bagi
ke-manusiaan. Jadi jika X tidak berfikir pasti X bukan manusia. Selanjutnya
jika X berfikir maka X pasti menggunakan logika/kaidah berfkir. Jadi
menggunakan logika merupakan syarat mesti bagi bagi berfikir. Jadi jika X tidak
menggunakan logika pasti X tidak berfikir , dan karena itu pasti X bukan
manusia. Jadi apakah berfikir dan menggunakan logika itu keharusan? Tidak. Ia
bukan keharusan. Tapi suatu kemestian. Suatu keniscayaan. Thou’an au karhan.
Sebagai suatu contoh lain yang sederhana, prinsip logika identitas (qanun
dzatiyah), bahwa sesuatu itu sama dengan dirinya sendiri tidak mungkin kita
tinggalkan dalam setiap aktifitas. Pada saat melihat bebek, kita yakin bahwa
bebek adal bebek. Pada saat mendengar suara gitar, kita yakin bahwa tiap nada
dan suara memiliki identitasnya sendiri-sendiri. Pada saat merasa panas , kita
yakin bahwa panas tersebut memiliki suatu identitas sendiri. Di mana kita bisa
mengharuskan logika, sedangkan ia ada "sebelum" kita "ada"
dan ia selalu menyertai kemanapun kedipan mata memandang?
NON
KONTRADIKSI VERSUS DIALEKTIKA
Rumah tua itu kosong. Namun ketika dilewati, terdengar rintihan. Kami
pun berlari terbirit-birit."Pasti ada hantu di dalamnya." Demikian hadir-nya
dan demikian penting prinsip non-kontradiksi ini, sehingga tidak ada satu saat
pun yang lolos dari kehadiran dan keniscayaannya. Seperti ungkapan penyimpulan
yang dikutip di atas. Kalau di susun lagi urutan penyimpulannya adalah sebagai
berikut. Jika ada suara dari sebuah rumah, pasti ada yang
mengeluarkan suara tersebut dalam rumah itu. Walaupun terdapat fakta bahwa di
rumah tua itu tidak ada orang, tapi karena ada rintihan dari
suara itu, kita tetap yakin ada yang mengeluarkan suara rintihan
tersebut. Ada berkontradiksi dengan tidak ada, dan karena
kontradiksi tidak mungkin, tidak mungkin tidak ada yang mengeluarkan
suara rintihan tersebut. Karena itu kita tetap yakin ada yang
mengeluarkan suara, yaitu (mungkin) hantu.
Ketidak-mungkinan terjadinya kontradiksi logis dalam realitas ini
disebut dengan prinsip non-kontradiksi. Prinsip ini menjadi dasar sekaligus
hakikat logika klasik (the very nature of classical logics). Jika
diringkas secara simbolis adalah sebagai berikut, A tidak sama dengan (bukan A)
dan A sama dengan A sendiri. Tidak ada satu kebenaran apapun yang bisa ditahkik
tanpa menggunakan prinsip ini sebelumnya. Meyakini kebenaran prinsip
non-kontradiksi merupakan syarat mesti (necessary condition) bagi
meyakini seluruh kebenaran lain. Dan keyakinan kebenaran prinsip ini ternyata
hadir dalam kesadaran setiap insan.
Orang yang meyakini prinsip non-kontradiksi percaya bahwa jika suatu
proposisi tertentu benar, tidak mungkin pada saat yang sama ia salah. Dan kalau
proposisi tertentu benar, maka proposisi lain yang berkontradiksi dengan
proposisi itu pasti salah. Sebaliknya jika suatu proposisi tertentu salah,
tidak mungkin pada saat yang sama ia benar. Contohnya; jika kita meyakini
proposisi bahwa " Tuhan (Allah) itu Satu." benar, maka proposisi
bahwa "Tuhan (Allah) itu dua" atau "Tuhan (Allah) itu tiga"
pasti salah. Kenapa ? Karena pernyataan bahwa sesuatu itu satu jelas
berkontradiksi dengan sesuatu itu bukan satu (yaitu dalam hal ini dua atau tiga).
Selanjutnya karena jelas bahwa proposisi "Tuhan(Allah) itu
dua" atau "Tuhan(Allah) itu tiga" salah, tidak mungkin mereka
benar.
Para materialis, atau lebih akurat lagi Marxis, tidak percaya pada
kesahihan prinsip non-kontradiksi. Bahkan lebih jauh, mereka percaya bahwa
justru kontradiksi-lah hal yang paling hakiki yang ada merupakan detak jantung
seluruh gerak alam ini. Strukturnya: jika ada tesa maka ada anti-tesa yang
kontradiktif terhadap tesa. Setelah itu dua halyang berkontradiksi itu
tersintesakan dalam suatu kesatuan. Kesatuan ini lalu menjadi tesa baru,
menjadi suatu titik tolak baru. Demikianlah, tiga hal ini,
tesa-antitesa-sintesa, berulang-ulang terus tanpa berhenti dan tanpa batas. Ia
bergerak bersama eksistensi dan merentang sejauh rentangan keberadaan.
Contoh logika dialektis ini adalah sebagai berikut.
Tesa = Eksistensi itu ada. Anti-Tesa = Eksistensi bukanlah sesuatu,
karena ia adalah segala sesuatu, sehingga karena itu eksistensi tidak maujud
(tidak ada). Karena itu terjadi sintesa, yaitu sesuatu yang ada tapi
tidak sepenuhnya ada yang tidak lain adalah gerak. Kesimpulannya? Eksistensi
nyata itu menjadi.
Tesa = Sesuatu itu hidup. Anti-Tesa = Sesuatu yang hidup selalu
berubah dan berkembang. Jika A berubah menjadi A’ maka A sebenarnya telah mati
dan kematian A merupakan syarat bagi kehidupan A’. Sintesa = setiap
maujud hidup membawa kematiannya sendiri setiap saat untuk memperoleh
kehidupannya.
Bukan menjadi tujuan makalah ini untuk mengkritik logika dialektis
sebagai logika dialektis, walaupun itu sebenarnya bukan hal yang sulit. Yang
menjadi concern dalam makalah ini adalah pertanyaan berikut;
"Apakah benar klaim kaum materialis (Marxis) bahwa logika dialektis
seperti ini menggugurkan prinsi non-kontradiksi? " Jawabannya jelas,
salah. Argumennya adalah sebagai berikut.
Pertama, jika prinsip non-kontradiksi gugur, maka suatu proposisi bisa
sekaligus benar dan salah, sehingga tidak perlu kita yakini (bahkan tidak perlu
kita bicarakan) apakah pernyataan (proposisi) kaum materialis ini benar atau
pun salah.
Kedua, pengertian kontradiksi yang dimaksud oleh mereka (kaum
materialis) bukan kontradiksi dalam logika klasik. Contohnya dalam contoh
kedua. Kehidupan A’ dan kematian A diartikan sebagai suatu kontradiksi.
Padahal menurut logika klasik, ini tidak memenuhi syarat kesamaan subyek (A’
berbeda dengan A). Sehingga ini sebenarnya bukan merupakan kontradiksi dalam
logika klasik.
Selayaknya kita lebih berhati-hati dalam mengkritik sesuatu, apakah
sesuatu yang kita kritik itu berdasar lingua-franca ( language-frame) yang
benar atau sebenarnya kita hanyalah mengkritik suatu pendapat menurut imajinasi
atau language-frame yang kita buat sendiri. Adalah satu kenyataan bahwa
Hegel, lepas dari kenyataan bahwa dia adalah filsuf besar, telah mengkritik sesuatu
yang tidak atau belum ia pahami dengan baik, yaitu prinsip non-kontradiksi.
Walhasil, alih-alih kritiknya sahih, malah ia telah mengkritik prinsip
non-kontradiksi menurut penafsiran dan pemahamannya sendiri. Ada sebuah
cerita lucu, ketika seorang suami Sunda bertanya kepada istrinya (orang Jawa)
yang sedang di WC; "Atos? Atos?" Istrinya pun berpikir, jorok bener
suaminya ini ? Atos menurut bahasa Sunda artinya sudah. Sedang menurut bahasa
Jawa artinya, keras. Jadi apa yang akan terjadi si istri langsung mendamprat
suaminya?
wallohu a’lam
Absolutisme versus Relativisme
Jika seekor kucing benar-benar berada di rumah, dan kita yakin bahwa
"kucing ada di rumah", dan kita katakan bahwa "kucing ada di
rumah", maka jelas keyakinan kita maupun proposisi yang kita nyatakan
bernilai benar secara mutlak. Inilah yang saya maksudkan dengan absolutisme.
Setiap peyakin kebenaran, mesti seorang absolutis. Dapatkah pernyataan
ini kita buktikan secara lebih jelas?
Mari kita mulai dulu dengan menyusun beberapa struktur lingua-franca
untuk pembahasan kita saat ini. Apa yang dimaksudkan dengan alam dalam
pembahasan kita dalam suatu himpunan. Dalam makalh ini akan ada tiga alam; alam
mental, tidak lain adalah himpunan obyek dalam fikiran manusia; alam eksternal,
tidak lain adalah himpunan obeyek di luar fikiran manusia; dan alam bahasa,
tidak lain himpunan bahasa yang digunakan manusia. Dalam contoh di paragraf
sebelumnya, keberadaan kucing di rumah merujuk pada suatu obyek dalam alam
eksternal. Sedang keyakinan akan keberadaan kucing di fikiran merujuk pada alam
mental. Dan pernyatan "Kucing ada di rumah" merujuk pada alam bahasa.
Seseorang disebut absolutis, jika dan hanya jika, ia yakin
ketiga alam tersebut, -mental, eksternal dan bahasa-, dalam kondisi tertentu, mungkin
selaras. Artinya setiap hal yang ada di alam eksternal yang difikirkan oleh
manusia mungkin ekivalen dengan fikiran manusia tentang hal itu. Lebih
lanjut setiap hal dalam fikiran manusia yang dinyatakan dalam bahasa mungkin
pula ekivalen dengan pernyataanya di alam bahasa.
Dengan bahasa yang lebih mudah, absolutis yakin bahwa mental
manusia mungkin mencapai kebenaran mutlak tentang suatu obyek nyata,
dalam arti, sesuaatu "fikiran" atau "keyakinan" dalam alam
mental disebut benar jika ia mencerminkan keadaan obyektif sebenarnya di alam
eksternal. Lebih jauh, absolutis, yakin bahwa bahasa mungkin
digunakan untuk menyatakan kebenaran tersebut.
Sebaliknya seorang disebut relativis, jika dan hanya jika, ia
bukan absolutis. Artinya, seorang disebut relativis jika salh satu aatau
kedua kriteria di bawah ini terpenuhi;
Ia yakin bahwa tidak mungkin apa yang ada di alam eksternal ini
ekivalen dengan apa yang ada di alam mental.
Ia yakin bahwa tidak mungkin menyatakan apa yang aada di alam mental
dengan suatu bahasa yang akurat.
Poin pertama menghancurkan hubungan antara alam mental manusia dengan
alam eksternal. Artinya seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan manusia
runtuh, karena semua pengetahuan dan keyakinan manusia tidak ekivalen dengan
apa pun dalam realitas sebenarnya. Poin kedua menghancurkan kemungkinan untuk
mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan manusia apa pun.
Relativisme sejati dalam defenisi seperti di atas tidak
mempunyai signifikansi sedikitpun untuk di bahas, karena jelas semua
proposisinya pun hancur. Kenapa? Karena seluruh bangunan pengetahuan dan
keyakinan sendiri pun termasuk proposisi-nya (poin pertama dan poin kedua)
tersebut tidak mewakili kenyataan apa pun (berdasar poin pertama), atu jika
tidak, seluruh pengetahuan dan keyakinannya sendiri termasuk proposisi-nya
(poin pertama dan kedua) tidak mungkin dikomunikasikan sama sekali (berdasar
pon kedua).
Filsafat barat modern menyandarkan dirinya dalam berbagai relativisme
parsial yang akan diuraikan di bawah ini.
Rene Descartes, yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat Modern,
mengatakan dalam "Le Discours de la Methode" :
"Berhubung indra ada kalanya menipu kita, saya berniat menganggap
bahwa apa yang biasa ditampilkan oleh indra kita itu sebenarnya tidak ada. Di
samping itu, mengingat bahwa ada orang-orang yang keliru ketika menalar masalah
geometri yang paling sederhana, sampai-sampai melakukan paralogi, serta
mengingat pila bahwa saya sendiri pun mungkin keliru seperti yang lain, maka
saya buang semua penalaran yang sebelumnya pernah saya buat sebagai pembuktian.
Dan terakhir karena beranggapan bahwa sekua fikiran yang muncul pada waktu kita
sadar dapat juga datang ketika sedang tidur tanpa ada yang benar satu pun. Saya
memutuskan untuk berpendapat bahwa segala pendapat yang pernah terlintas dalam
angan-angan tidal lebih benar daripada ilusi-ilusi dalam mimpi saya. Namun
segera sesudahnya saya menyadari bahwa sementara saya berfikir bahwa semuanya
tidak benar, saya sebagai yang memikirkanya haruslah merupakan sesuatu. Saya
perhatikan bahwa kebenaran ini : Saya berfikir, jadi saya ada (Cogito ergo sum)
begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptis yang paling
berlebihan-pun tidak mampu menggoyahkannya."
Pertama, Descartes meyakini ketidak-absahan indera karena indera mungkin salah.
Kedua, Descartes meyakini ketidak-absahan penalaran kerana penalaran mungkin
salah.
Ketiga, Descartes meyakini ketidak-absahan pemikiran karena fikiran tidak
mampu membadakan yang khayal (atau mimpi) dan yang nyata.
Jelas argumentasi Descartes ini salah. Kenapa?
Pertama, karena argumentasi ini menghancurkan dirinya
sendiri. Dengan tiga proposisi berturut-turut ini, jelas
Hubungan antara alam eksternal dan alam fikiran manusia terputus total.
Segala jenis penalaran apa [un nafi
Segala jenis pemikiranapa pun tidak absah,
Sehingga jika benar seseorang meyakini ketiga proposisi ini, tidak
mungkin ia mempunyai pengetahuan ataupun keyakinan apa pun.
Kedua, dalam tiap proposisi dalam argumentasi tersebut terdapat kesalahan
pengambilan kesimpulan karena terlalu menggeneralisasi. Contohnya adalah
proposisi pertama, karena indera mungkin salah, maka kita mesti meyakini bahwa
indera mungkin salah, tidak bisa digeneralisasikan menjadi bahwa indera selalu
salah sehingga ia tidak mingkin pula ia benar. Demikian pula terjadi pada
proposisi kedua dan ketiga.
Saya yakin Descartes sendiri tidak meyakini ketiga proposisi tersebut
dalam artian yang hakiki. Contoh yang jelas adalah ketika Descartes menyatakan Cogito
ergo sum (Aku berfikir, maka aku ada). Sebenarnya saat ini, Descaartes
telah menggunakan metode penalaran silogisme Aristoteles;
Premis minor : Sesuatu yang berfikir pasti ada.
Premis minor : Aku befikir.
Konklusi : Aku ada.
Ini dapa dilihat langsung dalam pernyataan Descartes dalam dua paragraf
berikutnya "La discours de la methode";
"Saya perhatikan bahwa dalam dalil "saya berfikir, jadi saya
ada" tak ada suatu pun yang menjamin kebenarannya selain bahwa saya
melihat dengan sangat jelas bahwa untuk berfikir saya harus ada."
Analisa historis mungkin menjelaskan kenyataan bahwa mungkin bagi kita
untuk memahami "kesalahan logika" Descartes sebagai upaya
untuk melawan sketisisme yang merajalela saat itu.
Lain lagi dengan Emmanuel Kant, yang membatasi alam eksternal di mana
hukum logika berlaku. Menurut Kant; ilmu matematis memiliki kebenaran absolut,
ilmu pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi memiliki kebenaran
relatif, dan subyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia
sama sekali. Pernyataan Kant ini mempunyai dua kemungkinan.
Pertama, pernyataan bahwa suyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai
oleh akal manusia dalam arti harfiah. Tapi, bagaimana mungkin kita bisa menilai
pernyataan Kant ini salah atau benar, sedang pernyataan itu sendiri menyangkut
hal yang meta-fisis sehingga hal ini tak mungkin dicapai oleh akal kita sama
sekali?
Kedua, jika artinya subyek-subyek metafisika tak mungkin dibahasakan
sama sekali oleh akal manusia. Dalam hal ini, karena proposisi hal ini pula
termasuk hal yang metafisis, proposisi ini pun tak mungkin dibahasakan sama
sekali. Jadi seharusnya biarkanlah proposisi ini melanglang buana dalam alam
mental kita tanpa pernah dinyatakan bahkan oleh Kant sendiri.
Relativisme parsial jenis lain mungkin seperti apa yang dinyatakan oleh
Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus -nya;
"Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara
jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan
saja."
Secara khusus, Wittgenstein menyebutkan tiga hal yang tidak dapat
diungkapkan secara jelas - yang disebutnya sebagai The Mystical-,
sehingga sebaiknya didiamkan saja, yaitu ;
"Subyek tidak termasuk dalam lingkup dunia, melainkan hanya
merupakan suatu batas dunia."
"Kematian bukanlah merupakan suatu peristiwa kehidupan, sebab
kematian itu bukan merupakan kehidupan yang dijalani."
"Allah tidak menyatakan diri-Nya dalam dunia."
Jadi, jika seseorang meyakini proposisi Wittgenstein tersebut, ia tidak
akan pernah mempermasalahkan adanya dirinya sendiri sebagai subyek, ada atau
tidaknya kematian bahkan ada atau tidaknya Tuhan.
Relativisme parsial ala Wittgenstein tidak mengakui adanya alam mental,
dan Wittgenstein langsung merelasikan alam kenyataan dengan alam bahasa. Lebih
lanjut, ia membatasi alam eksternal yang dapat dirlasikan secara ekivalen
dengan bahasa yang akurat, yaitu alam non-mistikal. Maka jika benar
Wittgenstein berpendapat seperti ini, jelas pendapatnya salah. Kenapa?
Karena argumentasinya menghancurkan dirinya sendiri.
Pada saat Wittgeinstein membahas ketiga hal yang termasuk ke dalam The
Mystcal, subyek, kematian, dan Allah, karena mereka semua tidak
termasuk dalam lingkup dunia, maka dari-mana ia memperoleh kesimpula itu? Kalau
dikatakan dari alam bahasa itu sendiri, bukankah menurutnya setiap proposisi
harus jelas? Dan bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah
menurutnya jelas adalah mewakili suatu keadaan faktual tertentu? Jadi secara
otomatis, karena Wittgenstein memperoleh kesimpulan tentang subyek,
kematian, dan Allah dari alam eksternalnya, ia musti memperolehnya dari alam
mentalnya. Jadi argumentasi Wittgenstein memestikan keberadaan alam mental,
minimal alam mentalnya sendiri.
Proposisi, "Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah
diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya
didiamkan saja," Ini sendri tidak jelas. Kenapa? Karena masih bisa
dipertanyakan lagi apa arti jelas dan arti "jelas" bagi setiap orang
relatif. Misalnya ; mungkin kata "gaya" jelas artinya bagi seorang
fisikawan, tapi tidak jelas artinya bagi fisikawan lain. Misalnya lagi dapatkan
Anda menjelaskan kepada sya kapan sebuah jambu yang dimakan seseorang masih
disebut jambu atau sudah menjadi bukan jambu? Jadi karena arti
"jelas" itu relatif, tentu ia tidak dijamin jelas artinya bagi setiap
orang. Arinya proposisi ini sendiri, didiamkan saja. Didiamkan seperti rumput
yang bergoyang.
Keadaan orang yang meyakini paham relativis ini mengingatkan saya pada "Shummum
bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun." (Mereka tuli, bisu dan buta,
maka tidaklah mereka akan kembali). Relativis seolah kehilangan seluruh
inderanya, karena mereka sendirilah yang menafikannya. Kemudian bagaimana
mereka bisa mengreksi kebenaran seluruh pengetahuan dan keyakinannya? Kembali
pada pembahasan semula, seorang yang meyakini pengetahuan ataupun keyakinan apapun
mesti adalah absolutis. Kenapa? Karena jika ia tidak absolutis
maka mustahil ia yakin apa pun yang ada dalam fikirannya mempuyai relasi dengan
suatu yang benar-benar ada di alam nyata atau mustahil ia yakin bahwa
ppernyataan keyakinan dalam alam bahasa sesuai dengan apa yang ada dalam
fikirannya sendiri. Sehingga, ia tidak akan meyakini apapun atau walaupun
meyakini terpaksa diam seribu bahasa akan keyakinannya tersebut. Sebagai
penutup, saya mengajak anda semua merenungi; wa qul jaa ‘al-haqqa wa zahaaqal-baathil,
innal baathila kaana zahuuqa. (Dan katakan, telah tiba kebenaran dan telah
lenyap kebatilan, dan sesungguhnya kebatilan itu benar-benar sirna). Yang benar
tetap benar, dan harus kita katakan benar. Yang salah tetap salah, dan mestilah
sirna.
Wallohu a’lam
Mustahilnya Positivisme
Materialis meyakini ke-real-an materi, bahkan kekekalan materi, dan tak
percaya adanya hal - hal yang immaterial. Sebaliknya rasionalis, dengan
menerima prinsip-prinsip niscaya rasional seperti prinsip non-kontradiksi dan
kausalitas, percaya adanya hal - hal yang immaterial. Di antara kedua kutub ini
terdapat segolongan besar manusia yang selalu dalam keadaan ragu-ragu (syak)
dan tidak pernah bisa yakin. Jelas tidak mungkin untuk meyakini hal - hal
immaterial apa pun, apalagi Tuhan, jika seseorang masih terkadang
terombang-ambing oleh gelombang materialisme. Alladziina yu`minuuna
bil-ghoib .... Percaya kepada yang ghaib tidak mungkin didirikan jika jiwa
masih tergoyah oleh materialisme. Demikian materialisnya sebagian orang
sehingga walaupun jelas dalam Qur’an disebutkan Wa nahnu aqrobu ilaihi min hablil-wariidi
(Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya), mereka melakukan
maksiyat - maksiyat seolah Tuhan itu tak ada. Mendasarkan dirinya pada
epistemologi positivisme, sebagian besar materialis akan terjebak ke dalam
aksiologi pragmatisme dan praxisme ala Francis Bacon, yang menganggap tidak
perlunya mempelajari apa pun kecuali yang memberikan manfaat material langsung
pada kita. Dan sesuai dengan watak kegelapan materi, mereka akan terjebak pada
hedonisme yang musti berakhir dengan nihilisme. Apa itu nihilisme? Semuanya
nihil dan kosong. Setelah hidup, mati dan titik. Akhir semuanya adalah
kegelapan, ke-tidaktahu-an mutlak "Dari mana, untuk apa dan ke mana manusia
dalam kehidupannya", dan kengerian hidup yang tak berarti.
Akar materialisme modern dan post-modern adalah faham empirisme dan
positivisme. " Tidak ada pengetahuan atas sesuatu yang tidak bisa
diukur." Demikian ungkapan terkenal Lord Kelvin yang merupakan hakikat
empirisme. Anak empirisme, - yang jauh lebih ekstrim lagi-, adalah positivisme
logik. Belajar di lingkungan Wina (Der Weiner Kreis) dari Moritz Schilck
dan Rudolf Carnapp, Alfred Jules Ayer, - tokoh positivisme logik yang mengakui
bahwa gagasan dalam bukunya merupakan jabaran dari ajaran Bertrand Russel dan
Ludwig Wittgenstein-, mengatakan, "Suatu cara yang sederhana untuk
merumuskan hal itu adalah dengan mengatakan bahwa suatu kalimat mengandung
makna, jika dan hanya jika proposisi yang diungkapkan itu dapat dianalisa atau
dapat ditasdik secara empirik". Berlindung di balik keberhasilan sains
modern pasca-Renaisance-yang berpuncak pada karya Newton "Principia",
John Locke, George Berkeley maupun David Hume telah meletakkan dasar-dasar bagi
empirisme maupun positivisme, yang kemudian mempengaruhi Ayer, Russel,
Wittgenstein dan banyak filosof modern maupun pasca-modern.
Doktrin empirisme dan positivisme bersandar pada beberapa proposisi
dasar berikut ini.
Pengalaman inderawi adalah sumber pertama pengetahuan manusia, dan
tidak ada pengetahuan rasional apa pun yang mendahului pengalaman.
Pengalaman inderawi adalah asas satu-satunya untuk menegaskan (men-tashdiq,
to assent) kebenaran suatu proposisi. (Dalam bentuk ekstrimnya, suatu
proposisi dianggap mempunyai makna jika ia dapat ditasdik secara empirik)
Suatu proposisi, jika mungkin mencapai pengalaman inderawi yang
memberi petunjuk tentangnya, meskipun kita tidak memiliki pengalaman seperti
itu, mempunyai arti dan perlu dibahas.
Jelas proposisi-proposisi ini mustahil Buktinya? Terlalu banyak. Tapi
di sini akan diberikan beberapa bukti yang cukup simpel.
Pertama, karena dalam pengamatan pengalaman apa pun, mau tidak mau kita
mesti menerima prinsip non-kontradiksi terlebih dahulu, sehingga kita bisa mengidentifikasi
bahwa A=A, dan A bukanlah bukan A. Tanpa menerima prinsip ini terlebih dahulu,
- yang jelas merupakan prinsip niscaya rasional tak terindera-, tidak mungkin
mengidentifikasi semua pengalaman indera, sehingga semua pengalaman indera
kehilangan maknanya.
Kedua, pengalaman inderawi kehilangan seluruh makna obyektifnya tanpa
menerima terlebih dahulu prinsip kausalitas. Apa yang diterima mata adalah image
/ bayangan, bukan benda yang dilihatnya sebagai dirinya sendiri. Prinsip
kausalitaslah yang memberikan suatu relasi antara image dengan benda
sebenarnya, bahwa image adalah suatu akibat yang disebabkan oleh benda
yang dilihat.` Tanpa menerima prinsip kausalitas, - yang jelas merupakan
prinsip niscaya rasional tak terindera-, seluruh penangkapan image indera
kita tidak memestikan apa pun tentang apa yang diindera !
Ketiga, bahkan pengalaman inderawi saja tidak mampu mentahkik
(membenarkan, menegaskan) adanya materi. Karena seperti yang dikatakan tadi,
tanpa prinsip kausalitas, hasil pengalaman indera tak lain hanya kesan-kesan
subyektif yang tidak menunjukkan adanya apa pun yang diindera.
Keempat, dan bagaimana mungkin pengalaman inderawi membuktikan
kesalahan inheren pada penginderaan dengan dirinya sendiri ? Apa beda oase fata
morgana dengan oase sejati bagi indera penglihatan kita? Bagaimana
mungkin sesuatu yang mungkin salah mem-benar-kan (men-tashdiq)
kebenaran dirinya sendiri?
Kelima, sehingga bagaimana mungkin semua eksperimen dilakukan? Jika
keberadaan materi saja tidak mampu ditahkik dan kesalahan inheren tak bisa
teratasi.
Keenam, dan bahkan bukankah semua proposisi yang dinyatakanp tersebut
tidak dapat diindera ? Sehingga jika mereka termasuk pengetahuan primer (sumber
pengetahuan), maka karena proposi pertama mempersyaratkan keter-indera-an
sumber-sumber pengetahuan, jelas menurut dirinya sendiri seluruh proposisi ini
bukan pengetahuan primer. Atau pun, jika mereka merupakan suatu pengetahuan
yang perlu di-tashdiq, proposisi kedua meniadakam kemungkinan untuk men-tashdiq
ketiga proposisi ini. Dan, mari kita persilahkan para positivis menjelaskan
kemungkinan membenarkan untuk melakukan suatu eksperimen untuk menguji
kebenaran ketiga proposisi ini berdasarkan proposisi ketiga?
Ada satu pertanyaan yang penting, mungkin. Kenapa mereka terjebak ke
dalam pemikiran se-naif itu? Suatu analisa historis pra-Renaisance membuat
saya, -yang bodoh dan hina ini-, memberanikan diri untuk membuat satu hipotesis
sederhana. Pemahaman dogmatis keagamaan Eropa pra-Renaissance yang menekan akal
manusia dan kemanusiaan membuat akal manusia mencari kemerdekaan dirinya pada
zaman Renaissance dengan semangat anti-agama, sebagaimana sebelumnya
"agama" telah menegaskan otoritasnya yang mutlak dan memojokkan
"akal". Dan ini adalah akar dari sekularisme ?
wallahu a’lam
Kausalitas dan Korespondensi
Rangka-nya rangka dari seluruh sains maupun ilmu pengetahuan.
Tidak lebih dan tidak kurang. Itulah prinsip kausalitas. Ketika Newton melihat
apel jatuh, konon, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan jatuhnya
apel. Ini-lah yang meniscayakan adanya gravitasi dalam fisika. Ketika Mendell
melihat keteraturan sifat - sifat hereditas, ia berfikir mestinya ada sesuatu
yang mewujudkan keteraturan sifat - sifat hereditas. Keyakinan ini menumbuhkan
teori genetika.
Prinsip kausalitas berbunyi , "Segala sesuatu membutuhkan sebab
untuk meng - ada, kecuali keberadaan itu sendiri." Sifat penting
kausalitas pertama adalah keselarasan; yaitu satu sebab yang sama akan
menghasilkan akibat yang sama. Selain itu adalah sifat kesemasaan sebab dan
akibat, serta sifat relasi eksistensial antara sebab dan akibat.
Prinsip kausalitas adalah hukum dasar alam. Karena tanpa menerima
prinsip kausalitas sebagai hukum dasar alam, yang merupakan salah satu dari the
very properties of being, tidak mungkin kita meniscayakan satu hukum apa pun
yang bersifat umum bagi alam. Dan dia bukanlah merupakan hasil
"korespondensi" atau "penghubung-hubungan" yang dilakukan
oleh rasio manusia berdasarkan pengalaman inderawinya, sebagai-mana yang
dikatakan oleh sebagian orang. Karena bahkan semua pengalaman inderawi
kehilangan maknanya, bahkan seluruh alam materi tidak bisa ditahkik
keberadaannya tanpa menerima prinsip kausalitas dulu sebelumnya.
Dan bagaimana mungkin sebagian orang tersebut menjelaskan adanya hal -
hal yang berkorespondesi secara berulang - ulang tapi tidak diyakini mempunyai
hubungan kausalitas. Misalnya sesudah malam datanglah siang dan sesudah siang
datanglah malam. Kenapa tidak ada seorangpun yang berfikir bahwa siang adalah
penyebab malam dan malam adalah penyebab siang? Maka, mestilah diterima ke -
obyektif - an prinsip kausalitas, dan meyakini bahwa prinsip ini bukanlah
prinsip psikologis saja. Sehingga dengan mata kausalitas mestilah diterima
adanya penyebab seluruh alam materi ini, yang pasti bukanlah alam materi itu
sendiri, atau sebagian darinya, karena materi bukanlah keberadaan sehingga
mesti selalu memerlukan sebab untuk mengada. Sungguh ini adalah merupakan bukti
yang terang tentang adanya alam immaterial, yang sebagian orang menyebutnya alam
spiritual atau alam intelligebles. Sebagaimana para fisikawan meyakini
eksistensi elektron? Atau lebih terang lagi?
wallahu a’lam bish-showwab
Kembali kepada Prima-Principia
Kemustahilan adanya kontradiksi dalam semua yang maujud. Ini adalah
hakikat inti prima-principia, yang disebut dengan prinsip non-kontradiksi (qanun
tanaqudh). Secara lebih terperinci prima - principia ini terdiri atas tiga
prinsip; identitas (qanun dzatiyyah), non-kontradiksi (qanun tanaqudh)
dan ketiadaan batas (qanun imtina`). Prinsip identitas artinya sesuatu
selalu identik dengan dirinya sendiri. Prinsip non-kontradiksi artinya sesuatu
pasti tidak sama dengan yang bukan dirinya sendiri. Prinsip ketiadaan batas
artinya sesuatu tidak mungkin sekaligus sesuatu dan bukan sesuatu tersebut pada
saat yang bersamaan.
Contohnya; Tuhan itu Ada. Dan Ada memiliki makna hanya karena menurut qanun
dzatiyyah Ada itu benar-benar Ada. Kemudian, menurut qanun tanaqudh, Ada
itu pasti tidak sama dengan tidak Ada. Dan lebih tegas lagi, menurut qanun
imtina` , Tuhan itu Ada dan mustahil tidak Ada.
Demikianlah, tidak ada satu kebenaran apa pun yang dapat di-tashdiq
tanpa mengakui prima - principia. Karena berarti benar bisa sekaligus salah,
dan sebaliknya. Dan bahkan tidak ada satu konsepsi apa pun, baik tunggal maupun
majemuk, yang dapat diterima tanpa sebelumnya mengakui prima - principia.
Karena segala sesuatu kehilangan identitasnya dan tak mungkin diberi identitas
tanpa menerima prinsip ini sebelumnya. Keberadaannya dalam akal manusia
niscaya, dan jelas bukan merupakan prinsip yang bisa diturunkan dari fakta
maupun prinsip lain. Karena justru prinsip ini-lah tempat semua bangunan
pengetahuan manusia bertumpu. Dan kebenarannya dalam alam obyektif tidak
mungkin dapat dibantah. Karena dengan menolak kebenarannya kita akan kehilangan
keseluruhan makna semua yang maujud. Dan penolakan kepadanya hanyalah karena
perbedaan istilah tentang kontradiksi. Sehingga secara hakiki tidak mengubah
kebenaran prinsip ini yang Mutlak. Sehingga benarlah jika dikatakan prinsip
dasar seluruh bangunan pengetahuan manusia adalah suatu ilmu hudhuriy.
Karena prima-principia yang merupakan kenyataan yang paling nyata dari yang
nyata ternyata telah hadir dalam akal manusia tanpa memerlukan suatu
usaha rasional apa pun.
Bahkan sebagian filsuf yakin bahwa pada hakikatnya semua ‘ilmu bersifat
hudhuriy. Karena bukankah semua ‘ilmu lain lahir dari, oleh dan untuk
prima - principia ini ? Dan bahkan, prinsip kesegalaan,- tidak lain adalah
prima - principia -, telah ada secara niscaya pada jiwa manusia, sehingga
terkadang manusia disebut sebagai mikro-kosmos. Walaupun secara material
manusia sebagian kecil dari alam materi, namun sebagai intellegebles,
manusia mengandung hakikat semua yang maujud. Sehingga tak salah jika dikatakan
bahwa, seluruh yang ada qua seluruh yang ada telah secara niscaya ada
dalam jiwa manusia, in potentia , dengan memahami bahwa belum tentu
teraktualisasi sempurna. Apakah itu yang dimaksudkan dengan Tuhan tak mungkin
ditampung apapun kecuali di qalbi mu`min? Dan semoga Ia menjernihkan al-‘aql
dari hawa nafsu sehingga jelas tampak semuapyang benar sebagaimana
adanya, kabulkan Yaa Allah tunjukilah hatiku yang sesat lagi gelap ini.
wallahu a’lam bish-showwab
0 komentar:
Posting Komentar