Oleh
Dr. Dimitri Mahayana
sepiala saja , penuh dan berbuih, kan kuteguk dengan
mulut berguman
dunia-dunia berputar-putar, kerna kepala berputar-putar,
maka tangan lurus bak kitiran
setegukan saja, kusedikit merintih, tuak hati memerah bergelegakan
leher-leher bermerahan, pipi-pipi pun panas , maka
langkah terhoyong-hoyong kiri dan
kanan
lupakan diri adalah membenamkan diri ke dalam jilatan api
Cinta sepenuhnya
tangan dan kaki menjadi abu, pula tulang-tulang dan
segenap badan, juga jiwa dan ingatannya
lenyapkan diri adalah dengan meneguk Spiritus Cinta dan
terhuyung jatuh bakarlah usus sepenuhnya
maka saat hati terbakar, memutih menjadi abu, tumbuh
sekuntum mawar Cinta yang wanginya lebihi setaman, kelopaknya adalah
Allah-Allah-Allah
di negri ketiadaan, tiada awan melainkan Cadar Nya
di negri ketiadaan, tiada sungai melainkan SegarNya
di negri ketiadaan, tiada laut melainkan IlmuNya
di negri ketiadaan, tiada Jiwa melainkan JiwaNya
di kota ketiadaan, tiada bangunan melainkan ArsyiNya
di kota ketiadaan, tiada sekolah melainkan FirmanNya
di kota ketiadaan, tiada seni melainkan CintaNya
di kota ketiadaan, tiada merah melainkan GincuNya
di rumah ketiadaan, tiada atap melainkan AmpunanNya
di rumah ketiadaan, tiada piala melainkan AnggurNya
di rumah ketiadaan, tiada lilin melainkan ApiNya
di rumah ketiadaan, tiada suara gitar melainkan Desah
KesendirianNya
di kamar ketiadaan, tiada kasur-ranjang tapi kefaqiran
tak pula selimut tapi kedinginan
di kamar ketiadaan, tiada sejadah apapun tapi jiwa gemetaran
tak pula gadis cantik molek rupawan
di noktah ketiadaan, Aku-lah Kebenaran
di noktah ketiadaan, Aku-lah Gusti Pangeran
di noktah ketiadaan, Bercerlangan Zat Tuhan
di noktah ketiadaan, Gemilangan Wangi Zat Tuhan
Hud-hud berkelana melayang, mencari Ruh Yang Turun pada
Malam Suci Seribu Bulan. Ia bergumam, mustinya adalah Malam Suci-Nya dan titik,
kerna Ia lebih dari Seribu Bulan. Tapi Ia bergumam pula, tapi lebih baik Malam
Suci Seribu Bulan karena Ia Yang Sejati Tak Terbatas Tak Terperikan Dalam Kesendirian
Dalam Keagungan Dalam Kesilauan Dalam Ketidaktahuan Dalam Lautan Keberadaan,
tanpa terbatas, bahkan oleh Diri-Nya Sendiri.
Puja dan puji pun digumankan Hanya Pada Sang Maha Asmara,
mawar-mawar yang selalu merekah di hati-hati yang patah, yang durinya bila
terkena teramat pedih menggores bak suara rebab. Atau seperti suara seruling
Majnun di malam hari yang senyap, di padang belantara yang luas, di musim
dingin yang mencekam, yang berintihan bertangisan berjeritan Layla, Layla,
Laylaaa.. Atau seperti wadag Rumi yang mengelilingi Jiwa dan Irama Sang Maha
Cinta dari Tabriz, Syamsyuddin Sang Pecinta, berputar-putar seperti gasing
berkeliling kepala pun pusing jantung dan hatipun seolah berhenti berdetak,
tarbus melayang-layang tinggi , Duhai Syamsyuddin Sang Maha Asmara.
Sungguh yang tiada memahami Asmara bukanlah bagian dari
kami, kata seorang darwisy. Sungguh yang tiada memahami geletar Asmara bukanlah
bagian dari mukmin, kata seorang saleh. Sungguh yang tiada memahami senar dan
grip-grip Asmara bukanlah bagian dari muhsin, kata seoran faqir. Tapi Hud-Hud
katakan padaku, perkara yang benar adalah siapa dan apa yang tak senantiasa
menggeletar terhempaskan Gelombang Samudera Asmara bukanlah bagian dari alam
maujud. Alias ketiadaan mutlak.
Crengg….., senar gitar Espanola menyentuh lembut
lembar-lembar Asma Waduudu dari goresan janji Alastu yang dulu kupatrikan
didepan Kekasih. Getarannya lembut seperti alis lentik yang melindungi kelopak
lembut dan mata-mata besar berkejap nan tatapannya teramat dalam. Alastu
menghunjam lembut di rerelungan terdalam hati, geloranya sejuk bak sumber mata
air cemerlang gemilang. Dimulai dengan penolakan akan segala dan penegasan akan
Aku yang satu, Alastu menyumberi rasa-rasa lembut, takut dan harapan Cinta
Ilahiyyah. Piala Alastu,- yang berisikan Anggur-Anggur Berusia Tujuh Abad- ,
memabokkan jasad maupun batin maupun batin dari batin dan Batin dari Segala
Batin sehingga sang penenggaknya akan menjadi Pemabuk Sejati. Yang lupa akan
dirinya sendiri seluruhnya. Yang lupa akan segala-galanya seluruhnya. Ia
menjadi sempit sekali dihimpit oleh al-qoobidhu sehingga menjadi bak titik
ketiadaan, tapi pada saat yang sama ia menjadi luas melayang terbang ke
milyunan alam manifestasi-Nya diluaskan oleh al-baasithu. Sebuah titik noktah
tak bervolume tak berwaktu tak ber-ruang tak terperi adalah titik -tu, dan
sungguh bentuk lampau dalam -tu mungkin adalah penunjukkan akan kekekalannya.
Al-waduudu mengarungi alam keberadaan dengan membawakan
Anggur-Anggur Tujuh Abad dan menuangkannya di kedai-kedai tuak dalam piala
Alastu. Bergelimpangan para hamba pecinta mencicipi setegukannya, apa - lagi
sepiala penuh. Ohhh, serasa bumi menjadi langit dan langit menjadi bumi dan
serasa alam material mengkerut lenyap tak lebih dari setitik saja, atau lebih kecil
dari itu, atau tak terfikirkan lagi, atau memang ia hanyalah bayangan
keberadaan dalam ketiadaan. Setiap manifestasi al-waduudu terpaksa
membatasi yang lain, Rambut-Nya membagi alam-alam menjadi tak hingga, Pipi-Nya
membuat alam-alam mengkristal karena rindu pada-Nya, Senyum-Nya membuat kiamat
alam-alam kerna teramat rindu pada-Nya, apa lagi elusan-Nya?
Teruntuk Ma-Cin di ufuk kecerahan,
0 komentar:
Posting Komentar