A. Latar Belakang
Masalah
Suatu fenomena
yang cukup menarik di Indonesia sejak tahun 1990 adalah banyaknya orang
memperbincangkan wacana globalisasi. Wacana globalisasi, di dalam perkembangannya
lebih dimaknai dalam konteks globalisasi ekonomi, yaitu tersebarnya dominasi
ekonomi
pasar bebas hampir di seluruh dunia. Hal itu dapat terjadi mengingat
konstelasi ekonomi-politik dunia menampilkan kapitalisme sebagai kekuatan
utama. Sebagai kekuatan tanpa tanding, kapitalisme bukan semata-mata kekuatan
ekonomi, kapitalisme sekaligus merupakan kekuatan budaya, yang mampu
merekonstruksi pola sosial budaya masyarakat dunia. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pemaknaan globalisasi pun menjadi luas dan majemuk. Globalisasi ekonomi
secara tidak langsung mengacu kepada keseluruhan proses inkorporasi manusia
menjadi suatu tatanan masyarakat global (Yaya Abdul Aziz, 1998 ; xv ).
Globalisasi
sebagai gerakan budaya telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan
totalitas, kesatuan nilai dan kepercayaan. Budaya global ditandai oleh
integrasi budaya lokal kedalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan
luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang
berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan
ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan
telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan
praktek kehidupan yang beragam (Friedman,1994 ; 12).
Cara orang
mempraktekkan agama juga berbeda-beda, bukan hanya karena agama mengalami
proses kontekstualisasi, sehingga agama melekat (embedded) di
dalam masyarakat,
tetapi juga karena budaya yang mengkontekstualisasikan agama itu merupakan
budaya global, dengan tata nilai yang berbeda. Iklim yang kondusif bagi
perbedaan-perbedaan cara hidup tersebut telah melahirkan proses individualisasi
yang meluas, yang menjauhkan manusia dari konteks generalnya.
Kecenderungan ini
dapat dilihat pada apa yang dikatakan para ahli sebagai 'privatisasi agama' (Beyer, 1991 ; 373), yang
menunjukkan proses individualisasi dalam penghayatan dan praktek keagamaan.
Kecenderungan privatisasi agama tersebut merupakan tegangan serius terhadap
kedudukan agama sebagai institusi religius. Konstruksi budaya global yang erat
dengan ekspansi kepentingan kapitalisme secara bersamaan telah mengaburkan
institusi
religius.
Institusi
religius sebagai suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas
pola-pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat
individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum untuk mencapai kebutuhan
dasar yang berkenaan dengan dunia supra-empiris (Hendropuspito, 1990 ; 114),
terancam semata-mata menjadi pelengkap identitas individu. Karena yang menjadi
acuan bukan lagi kedudukan agama sebagai
sistem nilai yang memberikan basis pengetahuan dalam proses evaluasi dan
praktek kehidupan seseorang, melainkan kedudukan agama sebagai
faktor penentu
dalam pembentukan identitas diri yang juga sekaligus merupakan alat dalam
menegaskan pluralitas penganutnya. Dengan demikian, privatisasi agama ini tidak
hanya menegaskan pergeseran masyarakat secara meluas, tetapi juga akan
mempengaruhi proses reorganisasi sosial budaya.
Tulisan ini
bermaksud melihat lebih jauh kecenderungan privatisasi agama yang terjadi dalam
masyarakat dan konteks sosio-kulturalnya. Kekuatan pasar sebagai salah satu
pendorong berlangsungnya globalisasi budaya merupakan identitas yang melekat
pada masyarakat. Oleh karena itu kecenderungan privatisasi agama diteliti
secara reflektif pada masyarakat yang hidup dalam budaya dan etos kerja
kapitalistik. Permasalahan utama yang dapat dirumuskan adalah bagaimana
privatisasi agama tersebut dapat terjadi ?
Beberapa poin
pembuka seperti pemaknaan sosiologis tentang agama dan kedudukannya dalam globalisasi budaya, kapitalisme dan pengaruh modernisme merupakan
unsur pokok yang harus diteliti dalam rangka memperoleh analisa komprehensif
mengenai kecenderungan privatisasi agama tersebut.
B. Modernisme dan
Cara Pandang Terhadap Agama
Perkembangan
masyarakat modern merupakan revolusi kebudayaan terbesar dalam sejarah
peradaban manusia. Modernisasi adalah pemacu prestasi manusia dalam memahami
dunianya secara rasional setelah kebekuan pemikiran abad
Pertengahan. Momentum sejarah peradaban modern tersebut adalah renaisans
(renaissance). Renaisans adalah suatu
gerakan yang membawa semangat kelahiran kembali diri manusia dari belenggu
dogma agama abad Pertengahan. Meskipun belum dapat ditentukan kurun waktu
permulaan peradaban modern, akan tetapi gerakan humanisme Italia pada abad
ke-14 dapat dijadikan sebagai awal gerakan modernisasi (Harun Hadiwijono, 1993
: 11). Humanisme Italia tersebut merupakan gerakan pembaharuan di bidang
kerohanian, kemasyarakatan, dan kegerejaan yang bertujuan untuk menyempurnakan
pandangan hidup Kristiani. Gerakan
pembaharuan tersebut, menurut Harun Hadiwijono dilaksanakan dengan
menghubungkan hikmah klasik dengan wahyu. Hikmah klasik dijadikan sebagai
penuntun untuk meningkatkan perkembangan yang harmonis dari sifat-sifat dan
kecakapan-kecakapan alamiah manusia (1993 : 11). Namun dalam perkembangan
selanjutnya humanisme berkembang bukan lagi sebagai gerakan pembaharuan untuk
kesempurnaan iman Kristiani, melainkan telah mengarah pada aspek-aspek yang
profan dalam hidup manusia. Manusia tidak lagi terpaku pada wahyu dan dunia
akhirat, tetapi lebih menerima hidup dalam batas-batas dunia sebagaimana
adanya.
Di dalam
Renaisans manusia mulai memperhatikan segala hal yang konkrit berupa alam
semesta, manusia, masyarakat dan sejarah. Manusia mulai berusaha memahami dunia
dan dirinya sendiri serta hidup dan kehidupannya. Hal tersebut merupakan
permulaan pengukuhan relasi subjek (rasio), wacana dan dunia. Relasi tersebut
kemudian berkembang subur dalam peradaban modern.
Proses
modernisasi telah menguatkan subjektifitas individu atas alam semesta, tradisi
dan agama. Manusia dalam
subjektifitasnya, dengan kesadarannya dan dalam keunikannya, menurut Franz
Magnis telah menjadi titik acuan pengertian terhadap realitas (1992 : 60).
Manusia memandang alam, sesama manusia, dan Tuhan mengacu pada dirinya sendiri.
Supremasi keyakinan teologis telah melebur dalam relasi-relasi kehidupan.
Kekuasaan Tuhan atas alam semesta telah diambil oleh subjektifitas manusia
sebagai penakluk alam semesta. Manusia menjadi lebih bebas dalam merealisasikan
kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain diluar dirinya sendiri. Manusia
berkembang sebagai makhluk pekerja (homo faber) yang bebas untuk menata
kehidupannya di dunia.
Dalam konteks
keyakinan teologis, menguatnya subjektifitas manusia modern menunjukkan
dimulainya kebebasan individu dalam menolak kepercayaan yang tidak sesuai
dengan suara hatinya. Gereja sebagai pemegang otoritas agama tidak lagi
dipahami sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
Tafsiran arti kitab suci bukan lagi hak para pemimpin gereja, melainkan
setiap orang berhak membaca dan merenungkan kitab suci sendiri (Franz Magnis, 1992 : 63).
Kebebasan manusia
atas kekuasaan yang datang dari luar dirinya menandai mulainya zaman
"Pencerahan" (Aufklrung). Zaman Pencerahan adalah zaman akal.
Sebagaimana dijelaskan Immanuel Kant, zaman Pencerahan adalah zaman manusia
keluar dari keadaan tidak akil balik yang disebabkan karena manusia tidak
memanfaatkan akal budinya (Harun Hadiwijono, 1993 : 47). Pada zaman ini
kesadaran manusia untuk melepaskan diri dari ikatan mitos tentang rahasia dunia
semakin kuat.
Pencerahan adalah
sebuah periode dalam sejarah yang membentuk ajaran hidup, motto serta
aturan-aturannya sendiri. Pencerahan meruapakan sebuah periode yang mampu
menggambarkan apa yang harus dilakukan dalam hubungannya dengan sejarah umum
pemikiran dan kekiniannya, serta bentuk-bentuk pengetahuan, kebodohan dan ilusi
yang memungkiknkan manusia untuk sanggup menyadari kondisi historis yang
dihidupinya (Foucault, 1988 : 89).
Esensi Pencerahan
adalah 'energi hidup' (lan vitale) yang berusaha menghargai keutamaan akal budi
sebagai penuntun kehidupan manusia dalam sejarah yang dijalankannya (Hikmat
Budiman, 1997 : 23). Akal budi Pencerahan kemudian membentuk disensus terhadap
sistem pemikiran yang telah mapan dalam institusi-institusi kerohanian dan
kerajaan abad Pertengahan. Para pemikir Pencerahan berkeyakinan bahwa kebenaran
ada di kepala (akal) setiap orang. Oleh karena itu manusia harus berpartisipasi
untuk menyempurnakan diri secara personal. Dengan demikian semangat Pencerahan
telah membentuk suatu keyakinan bahwa apa yang sebelumnya dianggap universal
dan mutlak sudah saatnya diragukan.
Menurut Hikmat
Budiman, inti masalah yang dihasilkan dari pemikiran Pencerahan adalah
pemisahan keutuhan antara dimensi-dimensi subjek dan objek pengalaman umat
manusia. Pemisahan tersebut kemudian termanifestasikan dalam sejumlah dikotomi
berupa teoritis-praktis, pikiran-badan, ilmiah-moral, fakta-nilai,
publik-privat, alam-budaya dan sebagainya. Manusia Pencerahan adalah mereka
yang telah menjalani denaturalisasi dan
desosialisasi alam secara bersama-sama. Identitas manusia modern adalah budaya
(culture), karena kebudayaan dengan sendirinya merupakan jalan bagi pemerdekaan manusia dari relasi-relasi
yang penuh dengan mitos tradisonal. Manusia Pencerahan adalah sosok personal
yang sempurna melalui pembudayaan dengan pedoman akal budi (1997 : 29).
Zaman Pencerahan
telah menempatkan arti penting rasio sebagai sesuatu yang mampu mengatasi
kekuatan metafisis dan transendental. Rasio dijadikan sebagai kunci kebenaran
pengetahuan dan kebudayaan modern. Melalui dialektika pemikiran para pemikir
Pencerahan, kebudayaan modern berkembang dalam sejarah peradaban dunia.
Immanuel Kant yang memunculkan konsep "kritisisme" telah membentuk
prinsip-prinsip kehidupan yang berlandaskan pada batas-batas kemampuan dan
syarat kemungkinan rasio. Menurut Ahmad Sahal, kritisisme Kant tersebut selalu
dipahami sebagai sebuah solusi dan prinsip universal (Ahmad Sahal, 1994 : 13).
Keunggulan rasio dianggap mampu mengatasi semua pengalaman yang bersifat
partikular dan khusus, sehingga dapat menghasilkan kebenaran-kebenaran mutlak
yang universal.
Keunggulan rasio
yang mampu menghasilkan kebenaran mutlak tersebut semakin jelas dalam pemikiran
Hegel. Dalam pandangan Hegel, sejarah adalah gerak rasionalitas yang menaik
secara dialektis untuk
mencapai totalitas (Ahmad Sahal,
1994 : 13). Semua unsur yang berbeda dan terpisah, dalam konsep Hegel dipandang
sebagai kriteria yang harus disatukan dalam totalitas. Tidak ada satu kriteria
pun yang dapat terpisah dari dialektika rasio dalam rangka mencapai totalitas
absolut. Oleh karena itu modernitas tidak hanya dipandang sebagai proyek kekinian,
melainkan meliputi kondisi historis yang melatarbelakanginya. Dialektika adalah
konsep waktu yang bergerak terarah, dan didalamnya manusia mengalami waktu
sebagai sumber yang langka untuk memecahkan masalah. Dengan kelangkaan itu
manusia memandang masa kini sebagai suatu peralihan ke masa depan yang
diharapkan lebih baik dari sebelumnya (Budi Hardiman, 1993 : 185). Rancangan
masa depan yang lebih baik tersebut dijadikan landasan bagi kebudayaan modern.
Ilmu pengetahuan, mo
Oleh Fahrizal A. Halim
0 komentar:
Posting Komentar