Bag 07
Bukti ketidakpastian
Ciri-ciri ‘pasti ada’
Ada beberapa ciri khas ‘entitas wajib’ li
zatih. Antara lain sebagai berikut:
1.
EkisistensiNya
tidak membutuhkan hubungan dengan selain diriNya. Seandainya keberadaanNya
berhubungan dengan selain diriNya, maka ia pasti lenyap saat hubungan tersebut
lenyap.
2.
Eksistensinya
sederhana. Seandainya tersusun, maka nisacaya ia bergantung pada
bagian-bagiannya dan berhubungan dengannya. Bagian-bagian –sebagai bagian-
bukanlah himpunannya –sebagai himpunan-. Seandainya bergantung pada selain
diriNya, maka ia adalah sesuatu yang mungkin, bukan wajib.
3.
Ia
bukanlah raga (jism), karena raga terdiri atas beberapa bagian,
sedangkan ketersusunan meniscayakan ketidakpastian, sebagaimana disebutkan
dalam ciri kedua diatas.
4.
Ia
bukanlah predikat yang melekat pada substansi, seperti warna dan bentuk, karena
predikat hanya ada apabila ada substansi yang menyandangnya.
5.
Ia tidak
berubah, sebab perubahan hanya akan terjadi dengan pengurangan atau penambahan
baik dalam substansi maupun dalam sifat-sifatnya.
6.
Ia tidak
berbilang, karena keterbilangan meniscayakan ketersusunan.(Muhadharat,
228-229).
Ciri-ciri “Yang Tidak Pasti”
- Berposisi netral antara ada dan tiada. Ia tidak akan mengada atau
meniada tanpa sebab. Seandainya sesuatu yang mungkin mengada secara
objektif tanpa sebab, maka ia wajib, bukan mungkin. Seandainya ia meniada
secara objektif tanpa sebab, maka berarti ia mustahil (pasti tiada).
- Kelanggengan wujud sesuatu yang mungkin bergantung pada kelanggengan
wujud sesuatu yang menjadi sebabnya. Dan kelanggengan ketiadaan sesuatu
yang mungkin bergantung pada kelanggengan ketiadaan sebabnya. Seandainya
tidak memerlukan dan tidak bergantung pada kelanggengan sebabnya, maka
berarti ia dapat mengada tanpa bergantung pada sebab, padahal ia bukanlah
wajib dan bukan pula mustahil. (Muhadharat, 224-225).
Ciri-ciri “Yang Pasti Tiada”
‘Sesuatu yang pasti tiada’ adalah yang tidak
menyandang ciri-ciri sesuatu yang wajib dan ciri-ciri sesuatu yang mungkin,
seperti ia tidak memerlukan sebab bagi ketiadaannya.
Secara etimologis, possibilitas (Al-imkan, ketidakpastian) adalah sifat
sesuatu yang, menurut hukum akal sehat, berada pada posisi netral antara ada
dan tiada. Lawan dari ketidakpastian atau kemungkinan adalah “kepastian ada”
(Al-wujub) dan “kepastian tiada”(Al-imtina’).
Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya, ‘Pasti ada’ adalah entitas
yang ada dengan sendirinya. Para teolog
dan filsuf ontologi menyebutnya ‘wajib’.
‘Pasti tiada’, sebagaima juga telah kita ketahui, adalah ‘sesuatu’ yang
tiada dengan sendirinya, yang lazim disebut al-mumtani’ atau al-mustahil.
Sedangkan ‘tidak pasti’ adalah ‘sesuatu’ yang bisa ada dan bisa tiada akibat
dari sesuatu selain dirinya, yang lazim disebut al-mumkin.
Masing-masing memiliki ciri khas yang tidak akan pernah bisa disilangkan
atau campurkan. Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya, ‘yang tidak pasti’ (al-mumkin)
netral antara ada dan tiada, bergantung pada eksistensi dan kelanjutan
eksistensi sebab pengada atau peniadanya. Bila ia condong ke sisi keberadaan,
maka berarti sesuatu yang wajib (pasti ada). Bila ia condong ke sisi ketiadaan,
maka berarti ia sesuatu yang pasti tiada (pasti tiada).
Ciri-ciri khas “yang pasti ada” juga telah kita ketahui sebelumnya,
antara lain ialah bahwa keberadaannya tidak memerlukan hubungan apapun dengan
selain dirinya. Jika keberadaannya bergantung pada selain dirinya, maka niscaya
musnah bila hubungan ketergantungannya terputus, dan seketika ia menjadi “tidak
pasti”. Sesuatu yang ‘pasti ada’ tidak akan butuh kepada sesuatu untuk memastikan
keberadaan dirinya.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya juga, ‘pasti tiada’ tidak butuh
kepada sesuatu selain dirinya untuk memastikan ketiadaan dirinya. Dan yang
ketiga, tidak pasti, artinya dia butuh kepada sesuatu selain dirinya untuk
memastikan keberadaan, dan dia butuh sesuatu selain dirinya untuk memastikan
ketiadaan dirinya, jelasnya untuk ada dan tiada, dia butuh kapada sesuatu yang
diluar dirinya, selain dari dirinya.
Alam sebagai ‘tidak pasti’
Lalu, apakah alam ini pasti ada dengan sendirinya,
ataukah pasti tiada dengan sendirinya, ataukah tidak past? Jika alam pasti
tiada dengan sendirinya, maka tidak perlu kita bahas. Untuk apa menghabiskan
waktu dalam membahas sesuatu yang pasti tiada! Jika alam pasti ada dengan
sendirinya, berarti alam ini menciptakan dirinya sendiri. Jika alam menciptakan
dirinya sendiri, berarti sebelumnya dia tidak ada baru dia menciptakan dirinya,
dia memastikan dirinya. Jika alam ini ada dengan sendirinya berarti dia harus
menyandang sifat-sifat yang dimiliki oleh setiap Wajib, yaitu tak bermula dan
tak berakhir, tidak mengalami perubahan, tak tersusun, dan semua sifat-sifat
yang menentang kebermulaan, keberakhiran, perubahan, serta ketidakpastian.
Setelah kita ketahui bahwa ternyata alam ini
tersusun, berarti dia bergantung kepada susunan-susunannya, jika dia bergantung
kepada susunan-susunannya, berarti keberadaan dirinya dipastikan oleh sesuatu
selain dirinya. Artinya, dia pasti ada itu karena adanya susunan-susunan itu,
dan yang pasti susunan-susunan itu bukan dari dirinya. Berarti alam ini bukan
wajib. Jika ia tidak pasti ada dan tidak pasti tiada, maka alam ini tidak
pasti. Artinya, untuk menjadi ada, dia butuh kepada selain alam, dan untuk
tiada dia juga butuh kepada selain alam. Kesimpulannya, ada sesuatu yang yang
pasti ada dengan sendirinya.
Seandainya yang menciptakan alam yang tidak pasti
ini – sesuatu yang tidak pasti, maka sama hukumnya dengan alam, bahwa ia
membutuhkan selain dirinya yang menciptakan. Seandainya yang menciptakannya
juga tidak wajib, meka niscaya ia bergantung kepada sesuatu yang sebelumnya.
Begitulah seterusnya sampai kita, mau atau tidak, harus berhenti pada suatu
kesimpulan, bahwa ada satu titik akhir yang menciptakan alam, sebuah sebab yang
tidak bergantung kepada sesuatu diluar dirinya, atau sebelum dirinya.
(Al-Ilahiyat, hal. 33-37, Muhadharat, hal. 224-232, dll.)
Sifat-sifat Tuhan
Karena Tuhan adalah wujud yang sempurna dalam
segalanya, maka Ia tentu menyandang semua sifat kesempurnaan, seperti
pengetahuan (Al-ilm) dan kekuasaan
(Al-qudrah). Ketika dikatakan bahwa Tuhan menyandang sifat ‘kuasa’, maka
yang dimaksud ialah bahwa Ia kesempurnaan itu sendiri. Jadi, menurut para
filsuf ontologi, penyandangan (Al-ittishaf) tidak berarti ada sebuah
subjek sebagai entitas dengan eksistensi tersendiri dan ada sebuah predikat
sebagai sebuah entitas dengan eksistensi tersendiri yang terangkai dalam
substansi tuhan, namun ia berarti bahwa Tuhan Allah SWT tidak mungkin kosong
dari kesempurnaan apapun.
Dua kelompok sifat Tuhan
Sifat dapat dibagi menjadi dua;
1.
Sifat
afirmatif (Ash-shifah Ast-stubutiyah), yaitu predikat yang mengandung
arti afirmastif seperti ‘berkuasa’ dan ‘berpengetahuan’.
2.
Sifat
negatif (Ash-shifah As-salbiyah), yaitu predikat yang mengandung arti
negatif, atau sifat yang menegasi negasi
kesempurnaan, yang bermuara pada arti kesempurnaan, seperti ‘tidak
lemah’.
Dua sifat afirmatif Tuhan
Sifat-sifat afirmatif dapat dibagi dua;
- Sifat-sifat afirmatif sejati (Ash-shifah Ast-tsubutiyah
Al-haqiqiyah), yaitu sifat yang tidak bergantung pada relasi antar
subjek dan selainnya, seperti ‘hidup’.
- Sifat-sifat afirmatif relatif (Ash-shifah Ats-tsubutiyah
Al-idhafiyah), yaitu sifat-sifat yang bergantung pada relasi, seperti
‘mengetahui’ dan ‘berkuasa’.
Dua sifat negatif Tuhan
Sifat-sifat afirmatif sejati dapat dibagi dua;
1.
Sifat-sifat
afirmatif sejati murni (Ash-sifah Ats-tsubutiyah Al-haqiqiyah Al-mahdhah),
yaitu sifat-sifat afirmatif sejati yang sama sekali tidak bertumpu pada relasi
baik dengan subjek maupun dengan lawan subjek, seperti sifat ‘hidup’.
2.
Sifat-sifat
afirmatif sejati yang tidak murni (Ash-shifah Ats-tsubutiyah Al-haqiqiyah
dzatu Idhafah), yaitu sifat-sifat afirmatif sejati yang dari sisi tertentu
berkaitan dengan selain subjek penyandang, seperti sifat ‘pencipta’ (yang
menciptakan).
Sifat subjektif dan sifat non subjektif Tuhan
Sifat-sifat juga dapat dibagi dua;
1.
Sifat-sifat
subjektif (Shifat Az-zat), yaitu sifat yang dapat disimpulkan dari
subjek semata, tanpa mengikutsertakan
sesuatu selain subjek penyandang. Ia disebut dengan ‘sifat-sifat zat Tuhan’.
2.
Sifat-sifat
non subjektif (Asifat Al-fi’l), yaitu sifat yang disimpulkan dari subjek
dan pasangannya. Namun, karena selain Tuhan tidak ada, maka relasi zat Tuhan
hanyalah perbuatannya. Oleh sebab itu, sifat-sifat macam kedua ini hanya bisa
disebut dengan ‘sifat-sifat perbuatan Tuhan’. (Al-asfar Al-arba’ah, juz
6, hal. 120-118, Syarhul-Mandhumah, 157, Nihayatul-Hikmah, 345).
Sifat-sifat subjektif Tuhan
Para filsuf berselisih pendapat tentang
sifat-sifat subjektif (Ash-shifat Az-zatiyah). Sebagian besar filsuf
muslim, seperti Zabrawari dan Mullah Shadra,
beranggapan bahwa sifat-sifat subjektif itu adalah inti zat Tuhan, dan
bahwa masing-masing merupakan inti atau zat bagi lainnya.. Para teolog Asya’riyah,
seperti At-Taftazani, Asy-Syahristani dan Al-Iji, beranggapan bahwa sifat-sifat subjektif itu
adalah arti-arti dari luar zatNya yang melekat dan bersifat qadim (tak
bermula) karena zat yang dilekatinya qadim. Para teolog Mu’tazilah
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan penyandangan zat Tuhan atasz sifat,
mengetahui, misalnya, ialah bahwa zat Tuhan berpengetahuan, dan bahwa yang
dimaksud dengan Tuhan bersifat ‘kuasa’ ialah bahwa zatNya berkuasa. (Syarhul-Mawaqif,
479, Syarhul-Maqashid, juz 2, hal. 72, Al-Asfar Al-arba’ah, juz
6, hal. 133, juz 6, 145, Syarhul-Manzhumah, hal 157-159, (Syarhul-Maqshid,
juz 2, hal. 72, Syarhul-Mawaqif, 479-480, Al-milal wa An-nihal, juz
2, hal. 95. Al-milal wa An-nihal, juz 1, hal. 109-110, Al-farq
bainal-Firaq, 78, Nihayatul-Hikmah, 346-349, Al-falsafah Al-ulya, 322-325).
Thabathabai dan para filsuf Mazhab Qom mendukung
pendapat pertama, karena alasan-alasan sebagai berikut:
- Seandainya sifat adalah sesuatu yang melekat kemudian pada zat
penyandang, maka berarti penyandang adalah sebuah entitas tersendiri dan
sifat adalah sebuah entitas tersendiri. Seandainya sifat-sifat Tuhan
adalah suatu imbuhan pada zatNya, maka berarti ia membutuhkan sebuah zat
sendiri untuk menjadi ada, karena sifat yang berupa imbuhan pada zat
membutuhkan sebab untuk menjadi ada dan ia mustahil menjadi ada dengan
sendirinya, padahal tiada sebab bagi sifat tersebut selain zat itu sendiri, karena jika
sifat itu membutuhkan sebab selain zat Tuhan, maka hal meniscayakan negasi
terhadap wujub (kepastian), karena ‘yang pasti ada’ adalah sesuatu
yang tidak membutuhkan lainnya. Maka seandainya zat adalah sebab bagi
sifat, maka berarti zat telah memilikinya lebih dahulu, sehingga tidak
perlu melekat kemudian padaNya.
- Seandainya zat ‘yang pasti ada’ tidak memiliki sejak semula
klesempurnaan (yang merupakan esensi dari sifat-sifat tersebut), maka
berarti zat ‘yang pasti ada’ (Tuhan) tidaklah memilikinya, padahal Ia
adalah zat yang sempurna.
- Seandainya sifat tersebut melekat kemudian pada zat, maka sifat itu
berupa esensi atau eksistensi. Padahal ia bukanlah esensi (mahiyyah)
karena esensi adalah sesuatu ‘yang tidak pasti’ (mumkin) ,
sedangkan sifat-sifat pada sesuatu ‘yang pasti ada’ mestilah bersifat
‘pasti ada’ pula, dan telah dibuktikan bahwa sesuatu yang pasti ada secara
substansial (Al-wajib bil-zati) adalah sesuatu yang pasti ada dari
segala aspek (wajib min jami’ al-jihat). Karena ia bukanlah esensi
(mahiyyah), maka ia pasti berupa eksistensi semata (wujud mahdh),
karena eksistensi semata adalah inti zat ‘yang pasti ada’, dan keduanya
(eksistensi murni dan zat sesuatu ‘yang pasti ada’) tidak berbeda.
- Seandainya sifat-sifat tersebut berupa imbuhan (za’idahi) pada
zat, maka berarti zat ‘yang pasti ada’ itu pada mulanya tidaklah sempurna.
Akibatnya, zat ‘yang pasti ada’ adalah gabungan dari ‘ke-ada-an’ (Al-wujud)
dan ketiadaan (Al-adami), sedangkan itu adalah konsekuensi yang
mustahil, karena meniscayakan pertemuan dua hal yang kontradiktif (ijtima’
an-naqidhaini). Kekosongan dari sifat kesempurnaan (ash-sifah
Al-kamaliyah) adalah ketiadaan itu sendiri. Lagi pula, telah terbukti
bahwa zat ‘yang pasti ada’ adalah sesuatu yang sederhana (basithi) atau
tidak tersusun, sedangkan ketersusunan zat dari ke-ada-an dan ketiadaan
adalah sesuatu yang mustahil.
- Seandainya sifat tersebut berupa imbuhan, maka berarti ia (sifat)
adalah sesuatu yang ‘tidak pasti ada’ (mumkin), karena telah
ditetapkan secara rasional bahwa sesuatu ‘yang pasti ada’ (Al-wajibi) tidaklah
berbilang (istihalah ta’addud al-wajib), maka berarti keberadaan
sifat-sifat yang ‘tidak pasti ada’ (mumkin) adalah mustahil menjadi
ada tanpa sebab, karena sebab bagi ke-ada-an entitas-entitas ‘yang tidak
pasti ada’ adalah zat ‘yang pasti ada’ tersebut. Padahal berdasarkan
asumsi awal, zat ‘yang pasti ada’ (Tuhan) semula tidak memilikinya. (Al-falsafah
Al-ulya, 323-325, Nihayatul-hikmah, 346-347).
Kritik atas Asy’ariyah
Asy’ariyah beranggapan bahwa sifat-sifat
subjektif, yang konon berjumlah 7, yaitu al-hayah (hidup), Al-ilm (mengetahui,
berpengetahuan), Al-qudrah (kuasa), As-sam’u, (mendengar), Al-bashar,
(melihat), al-iradah
(berkehendak), dan Al-kalam (berbicara), adalah entitas-entitas
yang melekat pada zat Tuhan. (Al-milal wa An-nihal, juz 1, hal. 95).
Seandainya sifat-sifat subjektif ini adalah
entitas-entitas wajib (yang tidak membutuhkan sebab pengada), maka berarti ada
8 entitas ‘yang pasti ada’ yang tidak diakibatkan oleh sebab apapun. Seadangkan
hal ini bertentangan dengan bukti-bukti keesaan ‘yang pasti ada’.
Seandainya sifat-sifat subjektif tersebut
membutuhkan sebab untuk menjadi ada, dan seandainya zat adalah sebabnya, maka
berarti zat tersebut lebih dahulu ada sebelum sifat-sifat tersebut, dan berarti
sifat-sifat itu semula kosong pada zat, serta berarti zat Tuhan kosong dari
kesempurnaan.
Seandainya sifat-sifat subjektif membutuhkan sebab
untuk menjadi ada, dan seandainya zat bukanlah sebabnya, maka berarti
sifat-sifat itu menjadi ‘pasti ada’ karena diadakan suatu sebab yang ‘tidak
pasti ada’, karena yang pasti ada hanyalah zat Tuhan. Itu berarti pula bahwa
Tuhan menjadi sempurna karena sesuatu selain zatNya.
Kritik atas Mu’tazilah
Mu’tazilah beranggapan bahwa zat hanyalah
mengganti peran sifat, sehingga tuhan tidak berkuasa atau menyandang sifat
‘kuasa’., dan bahwa zat Tuhan tidak memiliki sifat-sifat apapun.
Seandainya zat Tuhan kosong dari sifat-sifat,
sedangkan sifat-sifat itu adalah kesempurnaan, maka berarti zat Tuhan kosong
dari kesempurnaan, padahal wujudNya dalah sempurna. (Nihayatul-Hikmah, 348-349).
Sifat-sifat non subjektif Tuhan
Para filsuf Mazhab Qom berpendapat bahwa sifat-sifat yang disandangkan pada zat Tuhan
dengan mengikutkan relasi dengan selain zat, seperti ‘mencupta’ atau
‘kepenciptaan’ dalan lainnya yang terhimpun dalam sifat Al-qimumiyah,
memang berupa ‘imbuhan’ dari luar zatNya. Alasannya ialah bahwa menetapnya
sifat-sifat tersebut pada zat Tuhan dilihat sebagai perbuatan-perbuatan yang
memang muncul atau dilakukan setelah zat ada lebih dulu, karenanya sifat-sifat
tersebut muncul kemudian dan disimpulkan dari perbuatan-perbuatanNya.
Sifat-sifat non subjektif (Ash-shifat
Al-fi’liyah) ini ada pada zat Tuhan, namun tidak bisa dilihat dari sisi
kebermulaan dan dan ke-kemudian-annya, sehingga meniscayakan terjadinya
perubahan dalam zatNya, namun dari sisi bahwa setaip segala sesuatu yang
merupakan kesempurnaan pasti ada padaNya. (Al-falsafah Al-ulya, 324, Nihayatul-Hikmah,
350, 349, Syarhul-Mandhumah, 157-158, Hasti shenasi Islami,
240-242).
Sifat ‘Berpengetahuan’ Tuhan
Salah satu sifat-sifat subjektif atau sifat-sifat
kesempurnaan (Ash-shifat Al-kamaliyah) Tuhan adalah ‘mengetahui’. Tuhan
mengetahui zatNya dan mengetahui selain zatNya. Para filsuf mazhab Qom
berpendapat bahwa setiap entitas abstrak (al-mujarrad) mempunyai
pengetahuan (Al-ilm) dengan zatnya, dan bahwa pengetahuannya adalah
adalah inti zatnya sendiri. Karena
pengetahuan tidak lain hanyalah sebuah kehadiran ‘sesuatu’ dalam diri sesuatu lain, dan karena Tuhan adalah
entitas sederhana dan tunggal sejati, terbebas dari materi dan potensi, maka
zat Tuhan mengetahui zatNya sendiri dengan zatNya.
SelainNya, baik entitas abstrak maupun konkret,
adalah akibat-akibat yang bermuara pada zatnya yang tak berhingga baik dengan
perantara ataupun tidak, adalah maujud-maujud yang hanya memiliki wujud
bergantung (wujud rabith) yang bersemayam dalam diri pada tingkatan
paling rendah, dan diketahuiNya secara hudhuri.
‘Mengetahui
diriNya’
Tuhan memiliki pengetahuan hudhuri tentang zatnya
dengan zatNya sendiri. Alasan-alasannya sebagai berikut:
- Entitas yang ‘pasti ada’ (Al-wajib) adalah entitas yang
bersih dari potensi dan tidak tersusun. Karena pengetahuan tidak lain
adalah sebuah kehadiran sesuatu pada sesuatu, maka pengetahuan Tuhan
tentang zatNya adalah kehadiran zatNya pada zatNya sendiri. Jadi, Tuhan
mengetahui tentang zatNya dengan zatNya dalam zatNya. Seandainya sesuatu
‘yang pasti ada’ (Tuhan) tidak mengetahui zatNya, maka berarti ia tidak
sempurna, sedangkan itu adalah mustahil bagiNya.
- Seandainya sifat ‘mengetahui’ bukan bagian dari zat Tuhan, maka
berarti ia semula tidak mengetahui diriNya
‘Mengetahui selain diriNya’
Sesuatu ‘yang pasti ada’ mengetahui selain dirinya, yang merupakan akibat-akibat dari
wujudNya. Alasan-alasannya sebagai berikut:
1.
“Yang
pasti ada’ mengetahui zatNya, dan bahwa zatNya adalah sebab bagi wujud
selainNya, dan bahwa mengetahui sebab berarti mengetahui akibatnya dengan
tingkatan yang lebih utama, dan bahwa sebab adalah terma (batas) sempurna bagi
akibat, sedangkan akibat adalah batas tidak sempurna (kurang) bagi sebab.
Karenanya, ‘Yang pasti ada’ (Tuhan) mengetahui selainNya, karena Ia mengetahui
zatNya sendiri.
2.
Seandainya
“Yang pasti ada’ tidak mengetahui selain diriNya, maka berati ia tidak
sempurna.
3.
Pengetahuan
“Yang pasti ada’ tentang selain diriNya adalah sesuatu mungkin dengan arti yang
umum atau ‘tidak lah mustahil’, sebab seandainya pengetahuan tentang selainNya
mustahil, maka wujud selainNya adalah mustahil, demikian pula pengetahuan
tentangnya juga menjadi mustahil. Padahal sesuatu menjadi mustahil karena tidak
ada sebabnya. Karena tidak ada yang mustahil bagi ‘Yang pasti ada’ (Tuhan),
maka pengetahuan tentang selainNya ada pada zatNya. . (Al-falsafah Al-ulya, 328-329,
Nihayatul-Hikmah, 350-351).
Tema pengetahuan Tuhan ini sangat
luas dan ditanggapi secara berbeda oleh sejumlah aliran filsuf dan teolog.
Karenanya, ia tidak bisa diterangkan secara detail dalam buku pengantar ini. (Al-asfar
Al-arba’ah, juz 6, hal. 180-181, 228).
Peringkat-peringkat ‘ Mengetahui’
Para
filsuf Mazhab Qom, sejak Ibnu Sina kemudian Mulla shadra hingga Thabathaba, Al-inayah,
Al-qadha’ dan Al-qadar adalah sifat-sifat yang terhimpun dalam sifat
‘mengetahui’. (Al-ilm).
Al-Inayah
Ia
adalah sifat gambaran ilmu yang menjadi sebab bagi adanya objek pengetahuan (Al-ma’lum)
yang tidak lain adalah perbuatan (Al-fi’l). Menurut mereka, pengetahuan
rinci (Al-ilm At-tafshili) Tuhan akan segala sesuatu adalah inti zatNya,
yang merupakan sebab bagi ke-ada-an segala sesuatu tersebut dengan segala
kekhasannya. Jadi, Allah memiliki inayah akan ciptaan-ciptaanNya.
Al-qadha’
Ia
diartikan sebagai tindakan menciptakan relasi niscaya dan meniscayakan (nisbah
zharuriyah mujibah) antara subjek dan predikat (dalam sebuah premis),
seperti keputusan hakim “Saya putuskan bahwa harta (sengketa) itu milik Agus”,
misalnya. Setiap sesuatu bila tidak diniscayakan (dipastikan) maka tidak akan
ada. Setiap entitas mustahil menjadi ‘pasti ada’ karena diadakan oleh ‘yang
pasti ada dengan sendirinya’., dan rangkaian sebab akan kembali kepada sebab
yang pasti ada dengan sendirinya. Karena Ia adalah sebab pemasti ke-ada-an
setiap akibat.
Entitas-entitas ‘yang tidak pasti ada’ dengan sistem penataannya yang sangat
sempurna, dalam tingkatan wujud Tuhan, adalah perbuatanNya, sehingga setiap
perbuatan yang meniscayakan adalah qadha’ dan keputusanNya.
Dua
Macam Qadha’
Para filsuf mazhab Qom membagi qadha’ menjadi dua;
- Qadha’ yang merupakan sifat
subjektif (Qadha’ dzati) di luar subjek ‘pengetahu’ (Al-alim).
- Qadha’ yang merupakan sifat non
subjektif (Qadha’ fi’li) yang berada dalam diri subjek.
Al-Qadar
Ia adalah batas atau jumlah
atau yang ada pada sifat atau pengaruh-pengaruh sesuatu. Sedangkan At-taqdir
adalah penentuan konseptual yang berlaku atas sifat-sifat dan pengaruh
sesuatu yang disusul dengan perbuatan berdasarkan sebab-sebab dan sarana-sarana
yang tersedia, seperti penjahit yang menentukan (melakukan taqdir, pengukuran)
kain yang akan dijahitnya dalam ukuran baju kemudian ia melakukannya.
Secara singkat, Mazhab Qom menerangkan bahwa taqdir adalah
pengukuran ilmiah yang disusul dengan tindakan baik berkenaan dengan esensi
maupun zat, baik sifat-sifat maupun efek-efeknya. (Nihayatul-Hikmah, 358).
Sifat ‘Berkuasa’ Tuhan
Al-qudrah adalah sifat bagi sesuatu yang bertindak
bila menghendakinya, dan tidak bertindak bila tidak menghendakinya.
0 komentar:
Posting Komentar