SOKRATES
Sokrates lahir di Athena tahun 470 S.M.
dan meninggal tahun 399 S.M. Masa hidupnya hampir sejalan dengan perkembangan
sofisme di Athena. Pada hari tuanya Sokrates melihat kota tumpah darahnya mulai mundur, setelah
mencapai puncak kebesaran yang gilang-
gemilang. Sokrates bergaul dengan semua
orang, tua dan muda, kaya dan miskin. Ia seorang filsuf dengan keunikannya
sendiri. Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya
dengan perbuatan, dengan cara hidup. Menurut teman-temannya: Sokrates demikian
adilnya, sehingga ia tak pernah berlaku zalim. Ia begitu pandai menguasai
dirinya, sehingga ia tak pernah memuaskan hawa nafsu dengan merugikan
kepentingan umum. Ia demikian cerdiknya, sehingga ia tak pernah khilaf dalam
menimbang baik dan buruk.
Sokrates mempunyai tujuan, mengajar orang
mencari kebenaran. Sikapnya itu adalah suatu reaksi terhadap ajaran sofisme
yang merajalela waktu itu. Guru-guru sofis mengajarkan bahwa "kebenaran
yang sebenar-benarnya tidak tercapai." Sebab itu tiap-tiap pendirian dapat
"dibenarkan" dengan jalan retorika. Dengan daya kata dicoba
memperoleh persetujuan orang banyak. Apabila orang banyak sudah setuju, itu
dianggap sudah benar. Dengan cara demikian, pengetahuan menjadi dangkal.
Terhadap aliran yang mendangkalkan
pengetahuan dan melemahkan rasa tanggungjawab itulah, Sokrates memberontak.
Dengan filosofinya yang diamalkan dengan cara hidupnya, ia mencoba memperbaiki
masyarakat yang rusak. Orang diajak memperhitungkan tanggung jawabnya. Ia
selalu berkata, yang ia ketahui cuma satu, yaitu bahwa ia tak tahu. Karena itu
ia bertanya. Tanya jawab adalah jalan baginya untuk memperoleh pengetahuan.
Sesungguhnya inilah permulaan dialektik. Dialektik asal katanya dialog, artinya
bersoal jawab antara dua orang.
Guru-guru sofis yang mengobral
"ilmu" di tengah-tengah pasar ditantangnya dengan cara ia berguru. Ia
sebagai yang tidak tahu itu lalu ingin tahu dan bertanya. Tiap jawaban atas
pertanyaannya disusul dengan pertanyaan baru. Demikianlah seterusnya. Pertanyaan
itu makin lanjut makin mendesak. Akhirnya guru sofis tidak sanggup lagi
menjawab dan mengaku tidak tahu. Lalu Sokrates mengunci tanya-jawab tadi dengan
berkata: "Demikianlah adanya, kita kedua-duanya sama-sama tidak
tahu."
Dengan caranya yang berani dan jujur itu
Sokrates banyak memperoleh kawan. Pemuda Athena sangat cinta kepadanya. Tetapi
sebaliknya, lawannya juga banyak, terutama guru-guru sofis serta
pengikut-pengikutnya yang berpolitik, yang memperoleh kemenangan dengan jalan
retorika. Akhirnya Sokrates diajukan ke muka pengadilan rakyat dengan dua macam
tuduhan. Pertama, bahwa ia meniadakan dewa-dewa yang diakui oleh negara, dan
mengemukakan dewa-dewa baru. Kedua, bahwa ia menyesatkan dan merusak fiil
(tingkah laku, perangai) pemuda.
Namun, pun dalam pembelaannya Sokrates
tetap tegas. Melihat susunan mahkamah rakyat itu, sudah terang ia akan
disalahkan dan dihukum. Tetapi pantang baginya akan menjilat, beriba-iba
mengambil hati para hakim supaya hukumannya diperingan. Dengan tangkas ia
mengatakan, bahwa ia tidak bersalah melainkan berjasa pada pemuda dan
masyarakat Athena. Bukan hukuman, melainkan upah yang harus diterimanya.
Alangkah terkejutnya kawan-kawannya
mendengarkan ucapannya itu. Para hakim
tercengang, perasaan mereka tersinggung. Dengan suara terbanyak ia dihukum mati
dengan meminum racun. Sokrates sedikitpun tidak gentar. Ia berkata dengan suara
tenang, bahwa ia siap dan bersedia menjalani hukumannya.
Berikutnya...
Dengan hati yang tetap pula ia menolak
semua bujukan kawan-kawannya untuk lari dari penjara dan menyingkir ke kota lain. Sokrates, yang
selalu patuh kepada undang-undang, tidak mau durhaka pada saat ia akan
meninggal. Cara matinya juga memberikan contoh, betapa seorang filsuf setia
kepada ajarannya.
Sokrates, seperti tersebut di atas, tidak
pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malah tidak
mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Filosofinya mencari
kebenaran. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir.
Karena Sokrates tidak menuliskan
filosofinya, maka sulit sekali mengetahui ajaran otentiknya. Ajarannya itu
hanya dikenal dari catatan murid-muridnya, terutama Xenephon dan Plato. Catatan
Xenephon kurang bisa diyakini, karena ia sendiri bukan filsuf. Untuk mengetahui
ajaran Sokrates, orang banyak bersandar kepada Plato. Tetapi kesukarannya ialah
bahwa Plato dalam tulisannya banyak menuangkan pendapatnya sendiri ke dalam
mulut Sokrates. Dalam uraian-uraiannya, yang kebanyakan berbentuk dialog,
hampir selalu Sokrates yang dikemukakannya. Ia memikir, tetapi keluar
seolah-olah Sokrates yang berkata.
Meskipun murid-murid Sokrates memberi isi
sendiri-sendiri kepada ajaran gurunya, ada satu hal yang mereka sepakat, yaitu
tentang metode Sokrates. Tujuan filosofi Sokrates adalah mencari kebenaran yang
berlaku untuk selama-lamanya. Di sinilah letak perbedaannya dengan guru-guru
sofis, yang mengajarkan bahwa semuanya relatif dan subjektif dan harus dihadapi
dengan pendirian yang skeptis. Seokrates berpendapat, bahwa kebenaran itu tetap
adanya dan harus dicari.
Dalam mencari kebenaran itu ia tidak
memikirkan dirinya sendiri, melainkan setiap kali ia berdua dengan orang lain,
dengan tanya-jawab. Orang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawan, melainkan
sebagai kawan yang diajak bersama mencari kebenaran. Ia tidak mengajarkan,
melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang.
Sokrates mencari pengertian, yaitu bentuk
yang tetap dari segala sesuatu. Karena itu ia selalu bertanya: Apa itu? Apa
yang dikatakan berani, apa yang disebut indah, apa yang bernama adil?
Pertanyaan tentang "apa itu" harus lebih dahulu daripada "apa
sebab". Ini biasa bagi manusia dalam hidup sehari-hari. Anak kecil pun
mulai bertanya dengan "apa itu". Oleh karena jawab tentang "apa
itu", dicarilah dengan tanya-jawab yang makin meningkat dan mendalam, maka
Sokrates diakui pula - sejak keterangan Arsitoteles - sebagai pembangun
dialektik pengetahuan. Tanya-jawab, yang dilakukan secara meningkat dan
mendalam, melahirkan pikiran yang kritis.
Oleh karena Sokrates mencari kebenaran
yang tetap dengan tanya-jawab sana
dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang
ditempuhnya adalah metode induksi dan definsi. Induksi menjadi dasar definisi.
Induksi di sini berlainan artinya dengan
induksi sekarang. Menurut induksi paham sekarang, penyelidikan dimulai dengan
memperhatikan yang spesifik dan dari sana
- dengan mengumpulkan - dibentuk pengertian yang berlaku umum. Induksi yang
menjadi metode Sokrates adalah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak
berusaha mencapai yang umum dari yang spesifik. Ia mencoba mencapai definisi
dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi.
Seperti disebut di atas, dari kawan bersoal-jawabnya, yang masing-masing
terkenal sebagai ahli dalam vak-nya sendiri-sendiri, dikehendakinya definisi
tentang "berani", "indah", dan sebagainya. Pengertian yang
diperoleh itu diujikan kepada beberapa keadaan atau kejadian yang nyata.
Apabila dalam pasangan itu pengertian itu tidak mencukupi, maka dari ujian itu
dicari perbaikan definisi. Definisi yang tercapai dengan cara itu diuji kembali
untuk mencapai perbaikan yang lebih sempurna. Demikian seterusnya.
... Contoh Sokrates bekerja ini dapat
diketahui dari dialog-dialog Plato yang mula-mula, di mana caranya berfilosofi
masih dekat sekali dengan Sokrates.
Dengan jalan itu, induksi kepada definisi,
hasil yang dicapai tidak lagi takluk kepada paham subjektif seperti yang
diajarkan kaum sofis, melainkan umum sifatnya dan berlaku untuk selama-lamanya.
Induksi dan definisi menuju pengetahuan yang berdasarkan pengertian.
Dengan caranya itu, Sokrates membangun
dalam jiwa orang bahwa kebenaran tidak diperoleh begitu saja, melainkan dicari
dengan perjuangan seperti memperoleh barang yang tertinggi nilainya. Dengan
cara mencari kebenaran seperti itu terlaksana pula tujuan yang lain, yaitu
membentuk karakter. Sebab itu, kata Sokrates, budi ialah tahu. Manusia yang
dirusak oleh ajaran sofisme mau dibentuknya kembali.
Budi ialah tahu. Inilah intisari dari
etika Sokrates. Maksudnya, budi baik timbul dengan pengetahuan. Orang yang
berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Maka, siapa yang mengetahui
hukum tentulah bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu. Tak mungkin ada
pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena budi berdasar atas
pengetahuan, maka budi itu dapat dipelajari. Nyatalah bahwa etika Sokrates
intelektual sifatnya, disamping juga rasional. Apabila budi ialah tahu, maka
tak ada orang yang sengaja, atas kemauannya sendiri, bebuat jahat. Apabila budi
adalah tahu, berdasarkan pertimbangan yang benar, maka "jahat" hanya
datang dari orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak memiliki pertimbangan
atau penglihatan yang benar. Orang yang tersesat adalah korban dari
kekhilafannya sendiri. Tersesat bukanlah perbuatan yang disengaja. Tidak ada
orang yang khilaf atas kemauannya sendiri.
Oleh karena budi ialah tahu, maka siapa
yang tahu akan kebaikan dengan sendirinya terpaksa berbuat baik. Untuk itu
orang pandai perlu menguasai diri dalam segala keadaan. Dalam suka mupun duka.
Dan apa yang pada hakikatnya baik, adalah juga baik bagi diri kita sendiri.
Jadi, menuju kebaikan adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk mencapai
kebahagiaan hidup.
Apa itu "kebahagiaan hidup",
tidak pernah dipersoalkan oleh Sokrates, sehingga murid-muridnya memberi
pendapat mereka sendiri-sendiri yang bertentangan.
Menurut Sokrates, manusia itu pada
dasarnya baik. Seperti dengan segala sesuatu yang ada itu ada tujuannya, begitu
juga hidup manusia. Apa misalnya tujuan meja? Kekuatannya, kebaikannya. Begitu
juga dengan manusia. Keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan
kebaikan budinya.
Dari pandangan etika yang rasional itu,
Sokrates sampai kepada sikap hidup yang penuh dengan rasa keagaamaan. Menurut
keyakinannya, menderita kezaliman lebih baik daripada berbuat zalim. Sikap itu
diperlihatkannya, dengan kata dan perbuatan, dalam pembelaannya di muka hakim.
Sokrates adalah orang yang percaya kepada Tuhan. Alam ini teratur susunannya
menurut ujud yang tertentu. Itu, katanya, adalah tanda perbuatan Tuhan. Kepada
Tuhan dipercayakannya segala-galanya yang tak terduga oleh otak manusia. Jiwa
manusia itu dipandangnya sebagai bagian dari Tuhan yang menyusun alam. Sering
pula dikemukakannya, bahwa Tuhan itu dirasakannya sebagai suara dari dalam,
yang menjadi bimbingan baginya dalam segala perbuatannya. Itulah yang
disebutnya "daimonion". Bukan ia saja yang dapat demikian, katanya.
Semua orang dapat mendengarkan suara daimonion (suara batin) itu dari dalam
jiwanya, apabila ia mau.
Juga dalam segi pandangan Sokrates yang
berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semua itu menunjukkan
kebulatan, keutuhan, konsistensi ajarannya, yang menjadikan ia seorang filsuf
yang terutama seluruh masa.
P L A T O
filsafatkita.f2g.net
Plato dilahirkan di Athena, di tengah
kekacauan perang Peloponesos tahun 427 S.M., dan meninggal di sana tahun 347
S.M. Ia berasal dari keluarga aristokrat yang turun-temurun memegang peranan
penting dalam politik Athena. Ia pun bercita-cita sejak mudanya untuk menjadi
orang negara. Tetapi perkembangan politik di masanya tidak memberi kesempatan
kepadanya untuk mengikuti jalan hidup yang diinginkannya itu. Sejak berumur 20
tahun Plato mengikuti pelajaran Sokrates. Pelajaran itu yang memberi kepuasan
baginya. Pengaruh Sokrates semakin lama semakin mendalam padanya. Ia menjadi
murid Sokrates yang setia. Sampai akhir hayatnya, Sokrates tetap menjadi
pujaannya. Sokrates bagi Plato adalah seorang yang sejujur-jujurnya dan
seadil-adilnya, orang yang tak pernah berbuat salah. Hukuman yang ditimpakan
kepada Sokrates dipandangnya suatu perbuatan zalim semata-mata. Ia sangat sedih
dan menamakan dirinya sebagai seorang anak yang kehilangan bapak. Ia sedih,
tetapi terpaku karena pendirian Sokrates yang menolak kesempatan untuk melarikan
diri dari penjara, dengan memperingatkan ajarannya, "Lebih baik menderita
kezaliman daripada berbuat zalim."
Plato mempunyai kedudukan istimewa sebagai
seorang filsuf. Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu, seni dan filosofi.
Pandangan yang dalam dan abstrak sekalipun dapat dilukiskannya dengan gaya bahasa yang indah.
Tidak ada seorang filsuf sebelumnya yang dapat dibandingkan dengannya dalam hal
ini. Juga sesudahnya tak ada.
Sesudah Sokrates dihukum mati, Plato
bersama teman-teman yang sealiran pindah ke Megara untuk meneruskan cita-cita guru
mereka. Pada umur 40 tahun Plato pindah ke istana Dionysios I di kota Sirakus, Sisilia.
Melalui raja itu ia ingin merealisasikan cita-citanya tentang penguasa yang
adil. Namun, ia gagal total dan hampir saja dijual sebagai budak di pasar kota Aegina andaikata
tidak kebetulan dilihat dan ditebus oleh seorang temannya. Plato akhirnya
kembali ke Athena. Waktu temannya itu menolak untuk menerima kembali uang
tebusan, Plato memakai uang itu untuk mendirikan Akademia, sekolah tersohor
tempat ia mengajar. Karena itu, dapat dikatakan bahwa universitas Eropa pertama
didirikan dengan uang harga penjualan seorang filsuf. Plato kembali ke Sisilia
dua kali dan mencoba untuk mempengaruhi para penguasa di sana , tetapi selalu gagal. Tahun-tahun
terakhir hidupnya dipergunakannya untuk mengajar di Akademia.
Selama kehidupan yang cukup ramai itu,
Plato rajin menulis. Hampir semua tulisan Plato berupa dialog; dalam dialog itu
pada umumnya Plato memakai Sokrates untuk mengemukakan pandangan-pandangannya.
Semua karya Plato, lebih dari 25 jumlahnya, masih ada. Yang paling terkenal
adalah 10 buku (atau bab) Politeia ("Negara"), yang memuat ajaran
Plato yang termasyur tentang negara. Tulisan-tulisan itu amat berpengaruh
terhadap pemikiran Eropa selanjutnya. Pernyataan Alfred N. Whitehead bahwa
seluruh filsafat pasca-Plato hanyalah sekadar catatan kaki terhadap karya Plato
tidak jauh dari kebenaran.
Filsafat Plato yang sampai kepada kita
melalui karyanya itu bertitik pangkal pada adanya pertentangan antara Ada dan Menjadi, antara
Satu dan Banyak, antara Tetap dan Berubah-ubah. Manakah dari kedua alternatif
tersebut dapat dipilih sebagai titik pangkal filsafat yang memang sedang
mencari satu asas utama? Manakah dari kedua alternatif itu dapat dianggap
sebagai kenyataan (dan pengetahuan) yang sejati (Yunani: "ontos on",
"benar-benar ada"), manakah yang semu (Yunani: "doza",
"perkiraan" atau "maya")? Dalam dialog-dialognya, Plato
menampilkan Sokrates beserta cara kerjanya supaya mereka yang menjadi kawan
dialognya menemukan dalam diri mereka suatu kepastian pengetahuan. Pengetahuan
itu berasal dari dalam jati dirinya yang bersifat bawaan (Inggris: Innate)
sejak lahir. Pengetahuan itu mengalahkan segala keragu-raguan yang muncul
berdasarkan segala penampilan dan pengalaman jasmani atau inderawi yang
bermacam-macam (berganti-ganti, berubah-ubah). Oleh karena itu, terdapatlah
pertentangan antara jati diri dengan penampilan yang dialami setiap manusia.
Berikutnya...
Pemecahan atau pencairan pertentangan itu
dirumuskan Plato lebih lanjut dengan memakai suatu istilah yang seakan-akan
berasal dari dunia pengetahuan dalam arti amat luas. Istilah itu adalah idea.
Kata Yunani itu mempunyai akar "Wid" dengan arti "melihat"
dengan mata kepala (Latin: "Videra", Inggris: "Vision")
maupun menatap dengan mata batin sampai "mengetahui" (Jerman:
"Wissen"; Inggris: "Wisdom"). Menurut Plato, pada awalnya,
jati diri atau jiwa manusia hidup di "dunia idea-idea" atau surga,
dan dunia itu jauh dari dunia fana ini. Sejak awal jiwa berada di dunia fana -
maka secara bawaan - ia menatap dengan batinnya idea-idea sempurna dan abadi;
umpamanya idea tentang kebaikan, kebenaran, keindahan, keadilan, tetapi juga
idea manusia atau kuda. Entahlah karena peristiwa apa, jiwa manusia itu "jatuh"
dari dunia idea-idea itu ke dalam dunia ini sampai ke dalam "penjara"
yaitu tubuh manusia. Melalui indera tubuhnya (terutama mata) ia melihat dan
menatap dunia fana yang terdiri atas bayang-bayang atau "bayangan"
dari idea-idea yang "semula" pernah ditatapnya secara murni. Lalu
manusia ingat akan idea-idea murni itu yang "dahulu kala" ditatapnya
dan yang secara bawaan memang menemaninya secara terselubung.
Untuk lebih memahami pikiran Plato tentang
idea, kita dapat memakai perumpamaan yang terdapat di buku ketujuh Politeia,
yaitu "perumpamaan tentang gua". Bayangkan sebuah gua; di dalamnya
ada sekelompok tahanan yang tidak dapat memutarkan badan, duduk, menghadap
tembok belakang gua. Di belakang para tahanan itu, di antara mereka dan pintu
masuk, ada api besar. Di antara api dan para tahanan (yang membelakangi mereka)
ada budak-budak yang membawa berbagai benda, patung, dan lainnya. Yang dapat
dilihat oleh para tahanan hanyalah bayang-bayang dari benda-benda itu. Karena
itu, mereka berpendapat bahwa bayang-bayang itulah seluruh realitas. Namun, ada
satu dari para tahanan dapat lepas. Ia berpaling dan melihat benda-benda yang
dibawa para budak dan api itu. Sesudah ia susah payah keluar dari gua dan
matanya membiasakan diri pada cahaya, ia melihat pohon, rumah, dan dunia nyata
di luar gua. Paling akhir ia memandang ke atas dan melihat matahari yang
menyinari semuanya. Akhirnya ia mengerti, bahwa apa yang dulunya dianggap
realitas bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanya bayang-bayang dari
benda-benda yang hanya tiruan dari realitas yang sebenarnya di luar gua.
Plato memakai perumpamaan itu dalam rangka
usahanya untuk menerangkan apa yang terjadi pada saat manusia mengenal atau
mengetahui sesuatu. Sesuatu yang bukan lagi realitas inderawi, yang hanya
cerminan realitas yang sebenarnya dalam medium materi (patung-patung yang
meniru apa yang nyata-nyata ada). Melainkan sesuatu realitas yang sebenarnya,
yang bersifat rohani. Pengetahuan sebagai hasil mengingat (anamnesis) akan
suatu lapisan kesadaran bawaan dalam jati diri manusia itu, dicirikan oleh
filsuf-filsuf modern sebagai pengetahuan berdasarkan intuisi. Melalui kesan dan
pengamatan intuitif, manusia merasa bahwa ia sudah tahu, tanpa merasa perlu
melakukan suatu pengamatan, penelitian atau penalaran lebih lanjut. Dan apabila
seorang manusia sudah lebih dalam terlatih dalam hal intuisi, ia akan sanggup
menatap dan seakan-akan memiliki sejumlah idea, "melihat matahari",
misalkan tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, tetapi juga tentang pemerintahan,
negara, pendidikan, sampai idea-idea itu tampil di hadapannya secara
berjenjang-jenjang atau hierarkis, yaitu: jenjang kebenaran, jenjang
nilai-nilai, dan lain-lain. Berdasarkan nilai tertinggi kebenaran hingga nilai
terendah maka dapat "ditarik" suatu kesimpulan deduktif, seperti yang
terdapat dalam matematika. Manurut Plato, matematika adalah bentuk pengetahuan
yang paling sempurna. Tak seorangpun ia ijinkan masuk ke dalam Akademia-nya
kalau belum terlatih dalam matematika, terlatih dalam hal "menurunkan"
kebenaran dan nilai partikular dari kebenaran dan nilai yang lebih umum.
Filsafat manusia Plato bersifat dualistis.
Jiwa itu paling utama, "dipenjarakan" dalam tubuh. Uraian-uraian
Plato harus dimengerti sebagai usaha berbentuk sastra untuk mengungkapkan suatu
intuisi tentang hakikat manusia. Tetapi juga dalam usaha-usaha lainnya Plato
tidak seluruhnya luput dari dualisme, umpamanya dalam perumpamaan tentang
penunggang kuda dan kudanya, atau tentang manusia bersayap yang kehilangan
sayap-sayapnya. Jasa Plato terletak dalam upayanya menyatupadukan
pertentangan-pertentangan para filsuf pra-Sokrates. Namun ia belum selesai
menyajikan suatu gambaran tentang pengetahuan manusia dan tentang manusia itu
sendiri sebagai suatu gejala yang tunggal dan esa. Berikutnya...
Etika Plato, yang didasarkan pada etika
Sokrates, amat menekankan unsur pengetahuan. Bila orang sudah cukup tahu, pasti
ia akan hidup menurut pengetahuannya itu. Oleh karena itu, dalam rangka
dialog-dialognya Sokrates seringkali cukup bagus menyadarkan orang akan adanya
suara batin. Pendapat Plato seterusnya tentang etika bersendi pada ajarannya
tentang idea. Tanda dunia idea adalah tidak berubah-ubah, pasti dan tetap dan
merupakan bentuk yang asal. Itulah yang membedakannya dari dunia yang nyata,
yang berubah senantiasa. Dalam perubahan itu dapat ditimbulkan bentuk-bentuk
tiruan dari bangunan yang asal, dari dunia idea. Sebab itu ada dua jalan yang
dapat ditempuh untuk melaksanakan dasar etika:
Pertama, melarikan diri dalam pikiran dari
dunia yang lahir dan hidup semata-mata dalam dunia idea. Kedua, mengusahakan
berlakunya idea itu dalam dunia yang lahir ini. Dengan perkataan lain:
melaksanakan "hadirnya" idea dalam dunia ini. Tindakan yang pertama
adalah ideal, yang kedua kelihatan lebih riil. Kedua jalan itu ditempuh oleh
Plato. Pada masa mudanya, seperti tersebut dalam bukunya Phaedros, Gorgias,
Thaetet dan Phaedon, ia melalui jalan pertama. Pelaksanaan etikanya didasarkan
pada memiliki idea sebesar-besarnya dengan menjauhi dunia yang nayata. Hidup
diatur sedemikian rupa, sehingga timbul cinta dan rindu kepada idea.
Plato mungkin merasakan kemudian, bahwa
ideal itu sukar dilaksanakan. Dalam bagian kedua hidupnya ia berpaling ke jalan
yang kedua. Sungguhpun bangunan-bangunan tiruan dari idea jauh lebih sempurna,
sikap hidup diatur sedemikian rupa, supaya dunia yang lahir "ikut
serta" pada idea. Cara itu dibentangkan di dalam bukunya Republik, dengan
menciptakan suatu negara ideal.
Filsafat Negara Plato menjadi amat
terkenal. Pemikirannya tentang filsafat negara malah menjadi acuan atau
motivasi untuk mengembangkan epistemologi, filsafat manusia maupun etikanya
lebih lanjut. Dapat digambarkan sebagai berikut:
SUSUNAN
MANUSIA KEUTAMAAN-
KEUTAMAAN SUSUNAN
NEGARA
akal budi
kehendak yang kuat
tubuh
kebijaksanaan
keberanian
keadilan
keugaharian para pemimpin
para prajurit
para hakim
petani dan tukang
Seperti halnya akal budi dan pengetahuan
manusia adalah sumber hikmat dan kebijaksanaan yang menentukan segala keutamaan
etis yang hendak dikembangkan, demikianlah para filsuf hendaknya dijadikan
pemimpin negara dengan para prajurit, dan, pada tahap yang lebih rendah, para
petani dan tukang di bawah mereka. Dan sama seperti keseimbangan, antara segala
keutamaan diatur keadilan, demikianlah para hakim menjamin kekuatan dan
kemakmuran negara di bawah pimpinan para filsuf.
Tentang filsafat ketuhanan, Plato tidak
mempunyai kedudukan yang jelas. Meskipun Plato seringkali membicarakan atau
menyinggung Yang Ilahi (paling bagus dalam dialog yang berjudul Symposium), dan
meskipun ia jelas sekali tidak setuju dengan adanya para dewa dan dewi mitologi
Yunani yang disembah khalayak ramai, namun paham tentang Allah Pencipta dan
Yang Esa tidak ditemukan dalam karya Plato; ada "Demiurg" yang pandai
mengatur segala apa yang kita saksikan, tetapi bukan sebagai pencipta. Dunia
idea-idea tentu saja tempat di mana Yang Ilahi itu muncul dalam filsafat Plato,
maka manusia yang melalui filsafat berusaha mendekati idea-idea itu, mendekati
Yang Ilahi itu juga. Dari hal ini, filsafat ketuhanan Plato kemudian
berpengaruh menjadi penunjuk dan pintu menuju berbagai bentuk mistik dan
kebatinan.
ARISTOTELES
Aristoteles lahir tahun 384 S.M. di Stagyra di daerah Thrakia,
Yunani Utara. Delapan belas tahun kemudian ia masuk Akademia di Athena dan
sampai 347 S.M. menjadi murid Plato. Pada 342 S.M. ia diangkat menjadi pendidik
Iskandar Agung muda di kerajaan Raja Philippus dari Makedonia. Tahun 335 ia
kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang namanya Lykaion, nama salah satu
gelar dewa Apolo. Karena caranya mengajar dan caranya bertukar pikiran dengan
kelompok-kelompok kecil, berlangsung sambil berjalan-jalan, maka sekolahnya
dijuluki juga peripatetik, yang sebenarnya adalah pusat penelitian ilmiah.
Tahun 332, setelah kematian Iskandar Agung ,
ia harus melarikan diri dari
Athena karena ia, seperti Sokrates 80 tahun sebelumnya, dituduh menyebarkan
ateisme. Ia meninggal tahun 322 S.M.
Meskipun 20 tahun menjadi murid Plato, Aristoteles menolak ajaran
Plato tentang idea. Menurutnya, tidak ada idea-idea abadi. Apa yang dipahami
Plato sebagai idea sesungguhnya adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam
realitas inderawi sendiri. Dari realitas inderawi konkret, akal budi manusia
mengabstraksikan paham-paham abstrak yang bersifat umum. Begitu, misalnya, akal
budi mengabstraksikan paham "orang" atau "manusia" dari
orang-orang konkret-nyata yang kita lihat, yang masing-masing berbeda satu sama
lain. Akal budi mampu untuk melihat bahwa si Azis, si Tuti, Profesor
Aleksander, dan Ibu Meli sama-sama manusia, manusia dalam arti yang sepenuhnya,
sepenuhnya manusia. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang idea-idea
merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk
konsep-konsep universal tentang hal-hal yang empiris. Untuk menjelaskan
kemampuan itu tidak perlu menerima alam idea-idea abadi. Aristtoteles
menjelaskannya dengan kemampuan akal budi manusia untuk membuat abstraksi,
untuk mengangkat bentuk-bentuk universal dari realitas empiris individual.
Pendekatan Aristoteles adalah empiris. Ia bertolak dari realitas nyata
inderawi. Itulah sebabnya ia begitu mementingkan penelitian di alam dan
mendukung pengembangan ilmu-ilmu spesial.
Begitu pula, Aristoteles menolak paham Plato tentang idea Yang
Ilahi, dan bahwa hidup yang baik tercapai dengan kontemplasi atau penyatuan
dengan idea yang ilahi itu. Menurut Aristoteles, paham Yang Ilahi itu
sedikitpun tidak membantu seorang tukang untuk mengetahui bagaimana ia harus
bekerja dengan baik, atau seorang negarawan untuk mengetahui bagaimana ia harus
memimpin negaranya. Jadi, tidak ada gunanya. Apa yang membuat kehidupan menusia
menjadi bermutu harus dicari dengan bertolak dari realitas manusia sendiri,
harus mulai dengan suatu pengamatan.
Salah satu pengantar dan prasyarat filsafat pengetahuan yang
dihargai dan dikembangkan Aristoteles ialah logika. Logika dimengerti sebagai
kerangka atau peralatan teknis yang diperlukan menusia supaya penalarannya
berjalan dengan tepat. Dasar logika Aristoteles adalah uraian keputusan yang
kita temukan dalam bahasa "the analysis of the judgement as found and
expressed in human language". Uraian keputusan itu mencakup penegasan -
pemungkiran - universal - partikular dan beberapa pertanyaan berikut ini.
Bagaimana dan mengapa subjek dan predikat boleh atau tidak boleh, dan mengapa
demikian? Manakah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar serangkaian proposisi
secara sah dan tepat memungkinkan suatu kesimpulan baru ditarik? Seluruh logika
tradisional Aristoteles itu mempunyai keistimewaan ganda. Di satu pihak, berasal
dari pengamatan yang teliti tentang susunan bahasa (Yunani). Di lain pihak
sekaligus mengangkat unsur-unsur keniscayaan (necessity) dalam uraian bahasa
itu. Dalam bahasa modern dapat dikatakan bahwa dalam logikanya, Aristoteles
menggabungkan unsur empiris-induktif dan rasional-deduktif. Selain itu dalam
Topyka, karyanya dalam bidang logika, ia merintis penyelidikan tentang cara
kerja ilmu-ilmu empiris dalam mencari hukum-hukum universal berdasarkan
pengamatan.
Selain uraian mengenai teknik pengembangan pengetahuan dalam
logika, Aristoteles berjasa juga dalam usahanya untuk menggambarkan
tahapan-tahapan kemajuan pengetahuan manusia.
Berikutnya...
ARISTOTELES
Sokrates mulai dari pengetahuan inderawi yang selalu partikular.
Kemudian melalui abstraksi menuju pengetahuan akal budi yang bercirikan
universal. Dalam hal filsafat pengetahuan, Aristoteles merupakan kebalikan dari
filsafat pengetahuan Plato. Dasar filsafat pengetahuan Aristoteles bukanlah
intuisi melainkan abstraksi.
Titik pangkalnya filsafat manusia Aristoteles adalah manusia
sebagai subjek pengetahuan. Aristoteles menentang dualisme Plato tentang
manusia. Sebenarnya bukan hanya pandangan Plato mengenai manusia yang
ditentangnya, ia mengembangkan juga apa yang dinamakan "hylemorfisme".
Artinya, ia beranggapan bahwa apa saja yang kita jumpai di bumi kita ini secara
terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari
bentuk-bentuk ("morphe") yang sama. Umpamanya, pohon cemara, sapi,
manusia. Dengan demikian pertentangan-pertentangan "klasik" dari masa
pra-Sokrates dipecahkan Aristoteles dengan membedakan maupun menegaskan
kesatuan unsur materi dan bentuk dalam setiap makhluk (sekaligus
"materialized form" dan "formed matter"). Dengan demikian
ia berusaha menerangkan banyaknya individu yang berbeda-beda, dalam satu
"jenis" ("spesies"). "Bentuk"
("morphe", "form") dianggapnya sebagai yang memberi
"aktualitas" pada individu yang bersangkutan. Sedangkan
"materi" ("Hyle", "matter") seakan-akan
menyediakan "kemungkinan" (Yunani: "dynamis", Latin:
"potentia") untuk pengejawantahan bentuk dalam setiap individu dengan
cara yang berbeda-beda. Bentuk dalam hal makhluk hidup diberi nama
"jiwa" (Yunani: "psyche", Latin: "anima", yang
berlaku sama saja untuk tetumbuhan, hewan dan manusia. Hanya jiwa manusia yang
mempunyai kedudukan istimewa, karena manusia berkat jiwanya yang khas itu tidak
hanya sanggup "mengamati" dunia di sekitar secara inderawi, tetapi
sanggup juga "mengerti" dunia maupun dirinya. Di samping itu adalah
karena jiwa manusia dilengkapi "nous" (Latin: "ratio" atau
"intellectus") yang menerima, dan malahan mengucapkan
"logos" (sabda, pengertian) yang pada gilirannya menjelma dalam
sabda-sabda "jasmani" yang diberi nama bahasa.
"Nous" atau akal budi merupakan bagian paling mulia
dalam diri manusia. Tak mengherankan kalau sesuai dengan keyakinan itu,
unsur-unsur filsafat ketuhanan yang kita temukan dalam karya Arsitoteles,
bertitik pangkal pada uraian kemampuan akal budi itu. Namun, berbeda dari
kontemplasi terhadap idea-idea gaya
Plato, Aristoteles dalam hal ini juga mencari dasar uraiannya dalam pengamatan
inderawi di dunia yang berubah-ubah ini. Umpamanya pengamatan mengenai gejala
adanya gerak-gerak fisik saja. Secara spontan kita mencari penggeraknya, yang
pada giliranya tidak bebas dari gerak (dan perubahan) juga. Mungkin kita bisa
maju sampai sederetan besar gerak dan penggerak. Hampir-hampir tanpa ada
habisnya (deretan tak berhingga). Lambat laun muncullah keyakinan dalam diri
manusia pengamat bahwa deretan macam itu belum memuaskan keinginannya untuk
mengetahui dan terutama untuk mengerti. Sadarlah manusia bahwa ia "harus
berhenti" dalam penyelidikan terhadap mata rantai berikutnya dan
berikutnya lagi dan lagi. Ia merasa perlu memandang rantai, rangkaian atau
deretan itu sebagai deretan. Dari manakah adanya deretan yang tak berhingga
itu? Menurut Aristoteles, "nous" pada lapisan atau tahapnya yang
tertinggi memahami bahwa kemampuannya untuk menatap deretan itu sebagai
deretan, yang mengandung kemampuannya untuk menegaskan adanya "yang
menggerak tanpa digerakkan sendiri" ("motor immobilis").
Keyakinan itu dihasilkan "nous" bukan sebagai "nous
pathetikos" ("intellectus passivus" atau "possibilis")
yang terutama dipengaruhi oleh kesan-kesan inderawi, melainkan sebagai
"nous poietikos" ("intellectus agens") yang ikut menentukan
isi pemahamannya secara aktif, karena suatu "daya pencipta" yang
ternyatalah termuat di dalamnya. Jalan pikiran Aristoteles itu diterapkan
Thomas Aquinas dalam "panca marga"-nya ("quinque viae")
guna menyatakan adanya Tuhan berdasarkan pengalaman dan penalaran filosofis.
Cukup banyak uraian terdalam Aristoteles ditemukan dalam karyanya
yang diberi judul Metafisika. Asas-asas terdalam yang digarap filsafat mengenai
berbagai gejala, digarapnya dalam karya itu. Malahan judul (bukan dari
Aristoteles sendiri) dari buku itu - yang berarti "sesudah fisika" -
telah menjadi nama dari cabang filsafat yang sampai sekarang disebut
metafisika. Buku Fisika karya Aristoteles memuat cara pendekatannya pada
gejala-gejala alam guna dipelajari dari sudut filsafat. Berikutnya...
... dipelajari dari sudut filsafat. Misalnya, mengenai gejala
perubahan di mana Aristoteles memakai lagi kedua istilah
"kemungkinan" (Yunani: "dynamis", Latin:
"potentia") dan aktualitas (Latin: "actus"), yang sudah
disinggung di atas ini, sehubungan dengan susunan individu sebagai anggota dari
suatu "jenis" atau "spesies". Maka dari itu, dalam wilayah
tinjauan terhadap pertentangan antara "tetap" (Parmenides) dan
"berubah-ubah" (Herakleitos), Arsitoteles berusaha mengatasi
masalahnya dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala itu. Baik di
dalam karya Parmenides maupun Herakleitos sama-sama termuat uraian termasyur
mengenai apa itu waktu. Kontinuitas maupun "keterpecahan" atau
"ketersebaran" yang menjadi ciri waktu dianalisis oleh Aristoteles.
Masih ada satu bidang lain dari filsafat Aristoteles yang amat
mempengaruhi filsafat seterusnya, yakni etika, dan sebagai lanjutannya filsafat
negara. Etika Aristoteles bertitik pangkal pada kenyataan bahwa manusia hendak
mengejar kebahagiaan ("eudaimonia"). Sarana-sarana dan upaya-upaya
yang dipilih manusia, dinilai berdasarkan tujuan tersebut. Kebahagiaan itu
menyangkut manusia jiwa-raga sebagai anggota masyarakat, karena manusia ialah
makhluk yang "hidup ber-polis" (polis: kota sebagai kesatuan negara pada masa Yunani
kuno, sudah lama sebelum Aristoteles). Manusia ialah "zoon
politikon". Ciri manusia sebagai makhluk hidup adalah hidup dalam polis,
maka Aristoteles sangat menekankan sosialitas manusia. Masyarakat dalam bentuk
negara itu dilihat Aristoteles sebagai suatu lembaga kodrati ("natural
institution"), yaitu bukan berdasarkan persetujuan
("convention") saja seperti diajar oleh para sofis dan skeptikus pada
masa itu. Dengan demikian semua warganegara wajib takluk pada negara, kepada
para pemimpin dan kepada undang-undang. Dalam filsafatnya, Aristoteles
mempunyai kecenderungan ke arah suatu totalitarisme negara. Negara itu di atas
keluarga dan negara pun menyelenggarakan pendidikan. Pemimpin negara dapat dibentuk
menurut beberapa pola berdasarkan pengamatan dan data-data yang diperoleh
Aristoteles, antara lain melalui para muridnya. Monarki ialah cara pemerintahan
di bawah satu ("monos") orang saja, yang dapat merosot menjadi
tirani. Aristokrasi merupakan cara pemerintahan di bawah sekelompok orang yang
dinilai sebaik yang terbaik ("aristoi"), dan dapat merosot menjadi
oligarki (dikuasai oleh "segerombolan" orang yang bersekongkol).
Demokrasi yang diberi juga nama "politeia" berada di bawah kuasa
rakyat ("demos"), yang dapat merosot menjadi anarki (tanpa
"arkhe" atau asas). Aristoteles tidak memilih salah satu dari ketiga
bentuk dasar itu. Ia juga tidak suka memakai perbandingan dengan susunan
manusia seperti Plato.
Meskipun tidak akan diuraikan panjang lebar, pengaruh filsafat
keindahan dan estetika Aristoteles perlu disinggung di sini. Anggapan
Aristoteles mengenai "katharsis" (pemurnian) yang terjadi dalam diri
para penonton drama, merupakan suatu tinjauan atas apa yang ternyata
berlangsung, lalu diusahakan agar diberi terang teoretis atas peristiwa yang
telah diamati itu.
Akhirnya, dalam segala cabang filsafat yang sudah secara singkat
kita tinjau, Aristoteles bertitik tolak pada apa yang diamati dalam hidup
manusia dan hidup masyarakat. Katakanlah dari perbuatan-perbuatan dan tingkah
laku mereka. Artinya dari "praxis" yang nyata, berdasarkan data-data
yang banyak itu, ia berusaha maju sampai pada suatu "theoria" yang
meliputi segala data pengamatan itu. Kemudian teori tersebut mudah-mudahan
dapat menyediakan suatu "terang teoretis" atas data-data itu
sedemikian rupa sehingga karena teori itu praksis tadi lebih masuk akal dan
malahan mungkin untuk seterusnya dapat direncanakan dengan lebih teratur dan
lebih sempurna. Demikianlah "perjalanan mondar-mandir" mengenai
logika Aristoteles. Berkat Aristoteles kedua kata Yunani, praksis atau praktek
dan teori telah menjadi milik ratusan bahasa di permukaan bumi. Dan, latar
belakang pikirannya pun meresap.
Akhirnya patut dicatat bahwa Aristoteles berbeda dari Plato. Ia menjadi
perintis pemeriksaan dalam ilmu-ilmu alam, termasuk ilmu hayat. Banyak hasil
penelitian dan pengamatannya tampak ditegaskan kembali oleh
pemeriksaan-pemeriksaan pada abad ke-20.
0 komentar:
Posting Komentar