Satu Sisi Keagungan Isra`
Mi`raj
Oleh Dimitri
Mahayana
"Surga
dan kenikmatannya bagi orang yang bershalawat dan menyampaikan salam
kepada-nya(Muhammad)"
Saya
diminta untuk menyampaikan makalah tentang "Isra` Mi`raj menurut
tinjauan Sains dan Teknologi." Pertama kali saya mendengarnya, saya
tertawa geli sekaligus bersedih.
Tertawa geli, karena bagi saya judul tersebut
mirip dengan judul berikut ini "Persamaan Differensial dalam Sastra
Kontemporer", atau "Analisa Suksesi Politik Indonesia dengan
Menggunakan Hukum Newton", atau "Peranan Kesusastraan Jawa
dalam Metodologi Disain Pesawat Ulang-Alik" dan lain-lain. Sekaligus
saya pun bersedih membayangkan logic fallacies yang dialami oleh banyak
orang, dan mungkin terutama, - saya sendiri.
Isra`
Mi`raj dan Saintek (Saintek=Sains+Teknologi)
merupakan dua hal yang mempunyai hubungan mutually exclusive dalam
klasifikasi pengetahuan manusia. Isra` Mi`raj jelas merupakan satu
bahasan dalam metafisika, dan secara prinsipiil ruang
bahasan metafisika berbeda dengan ruang bahasan saintek. Saintek
membahas hukum-hukum alam material yang empiris, sains menjawab
pertanyaan what dan why dan teknologi menjawab pertanyaan for
what. Sedang metafisika membahas hukum-hukum umum alam,
terutama alam immaterial yang jelas non-empiris.
Mungkin
sebagian orang beranggapan, " Sulit bagi saya untuk memahami Isra`
Mi`raj di abad sains dan teknologi ini. Sains modern telah menemukan bahwa
kecepatan maksimum materi adalah kecepatan cahaya di ruang hampa (c = 300.000
km/dt). Seperti yang telah kita ketahui cahaya merambat memerlukan waktu 500
detik ( 8,333 menit) untuk menempuh jarak bumi-matahari, dan ia perlu merambat
selama 50.000 tahun hanya untuk melintasi radius galaksi Bima Sakti (The
Milky Way), padahal galaksi yang ada di alam ini yang terobservasi sampai
saat ini diperkirakan ada ratusan juta. Bagaimana mungkin, seseorang manusia
melintasi itu semua dalam waktu semalam?"
Sekiranya
tidak karena keterpaksaan yang sangat, nyaris-nyaris saya tidak ingin membahas
sama sekali "kesalahan dan kebodohan hakiki" yang terungkap dalam
argumen seperti ini. Argumen seperti ini benar-benar menunjukkan kesalahan
sistematik kronis suatu sistem berfikir yang masih bisa disebut sebagai
"otak". Yaa, untuk mengisi waktu seminar yang diberikan pada saya
ini, - karena memang saya tidak mempunyai ilmu agama yang memadai untuk
disampaikan-, marilah kita bahas beberapa kesalahan berfikir yang terdapat
dalam argumen tersebut.
Pertama,
di balik argumen tersebut terdapat suatu
anggapan bahwa Isra` Mi`raj adalah suatu perjalanan yang bersifat murni
material. Nabi dianggap berjalan dari satu titik ruang tertentu (Masjid
Al-’Aqsha) di alam ini kesatu titik ruang tertentu di balik ujung langit (Sidratul-Muntaha)
, dan menemui Tuhan di sana. Apakah mungkin bagi Tuhan terikat pada
"ke-dimana-an"? Padahal Ia-lah Yang Maha Mutlak. Tidak Terbatas.
Karena jika ada sesuatu yang membatasinya berarti ada sesuatu yang lebih kuasa
dari-Nya. Subhanallahi ‘amma yashifuun. Perhatikan ayat berikut ini;
" Wa idzaa sa`alaka ‘ibaadi ‘annii fa innii qariib"(QS Al-Baqarah
186). Allah Yang Maha Dekat terhadap Anda, terhadap saya, terhadap kita
semua. Dan tentu tidak mungkin menafsirkan ayat ini dengan mengartikan dekat
dalam pengertian "ke-dimana-an" material seperti di atas.
Kedua,
sekiranya sekali lagi sekiranya anggapan
di atas benar pun, apakah benar bahwa perjalanan ini tidak mungkin secara
logis? Mungkin perlu bagi kita untuk meninjau kembali berbagai jenis
kemungkinan.
Pertama,
adalah kemungkinan empiris, contohnya adalah naik gunung Himalaya mungkin
secara empiris.
Kedua,
adalah kemungkinan saintifik, contohnya adalah mungkin membuat kereta api yang
melayang di atas relnya dengan energi superkonduktor. Walaupun kereta ini belum
ada secara empiris namun secara saintifik ini mungkin. Kemungkinan saintifik
dan kemungkinan empiris ini relatif, berubah terhadap ruang dan waktu dan tidak
bisa dipegang sebagai satu kebenaran mutlak. Secara saintifik tidak mungkin
bagi seseorang masih hidup jika jantungnya telah tidak berdenyut selama seratus
hari, tapi kenyataannya secara empiris ada ahli-ahli yoga India yang mampu
melakukannya. Secara empiris tidak mungkin untuk bergerak dengan kecepatan 1000
kali kecepatan suara saat ini, padahal secara saintifik itu sangat mungkin
(1000 kali kecepatan suara = 0,001 kali kecepatan cahaya). Secara empiris, dulu
tidak mungkin orang bisa pergi ke bulan, sedang sekarang secara empiris hal itu
jelas-jelas mungkin. Secara saintifik, dulu tidak mungkin bagi seseorang untuk
memahami eksistensi gelombang elektromagnetik, tapi sejak Maxwell menemukannya
sekarang semua mahasiswa memahaminya. Bahkan secara empiris, kita telah
menikmati manfaatnya melewati TV, radio, dll.
Jenis
kemungkinan ketiga adalah, kemungkinan logis. Sesuatu disebut mungkin secara
logis, jika ia tidak melanggar prinsip non-kontradiksi. Apa contoh sesuatu yang
tidak mungkin secara logis? Misal; sesuatu ada sekaligus tidak ada di suatu
tempat dan waktu tertentu secara bersamaan. Apa contoh lain? Misal; adanya
lingkaran sempurna yang luasnya tidak berbanding lurus dengan kuadrat
jari-jari. Apa contoh lain yang mudah? Misal; membagi tiga keping uang
seratusan logam secara merata kepada dua orang tanpa perlu membagi/menukarkan
keping tersebut. Dan lain-lain. Kemungkinan logis ini tidak relatif, tapi
mutlak. Tidak tergantung ruang dan waktu. Tidak tergantung kasus apapun. Ia
berlaku universal. Kemungkinan logis inilah yang dapat dipakai sebagai satu
ukuran logis atau tidak logis nya sesuatu secara umum. Ditinjau
dari kemungkinan logis ini, misalnya, sekali lagi misalnya kita anggap asumsi
model perjalanan Isra` Mi`raj yang material itu pun kita terima, tidak ada
kontradiksi logis apapun di sana. Kejadian tersebut tidak melanggar prinsip
non-kontradiksi. Jadi ya, sahih. Atau mungkin-mungkin saja secara logis. Sedikit
lebih jauh lagi, apakah Anda mendengar suatu eksperimen akhir-akhir ini yang
telah membantah Teori Relativitas dengan ditemukannya partikel yang bergerak
lebih cepat dari cahaya? Mari kita tinggalkan kerangka empirisme dan saintifik
yang relatif dalam memahami hal-hal yang bersifat absolut. Kembali ke struktur
berfikir yang jernih. Dan logis.
Apa
satu hikmah Isra` Mi`raj bagi saya, seorang teknolog yang bodoh
ini? Minimal, saya menjadi menyadari pentingnya berfikir di luar kerangka
empirisme dan saintek yang amat relatif. Kemudian, saya menyadari kemungkinan
logis yang jauh lebih luas dan umum dari sekedar empirisme inderawiah dan
saintek materialis yang dangkal. Dan mungkin, saya akan menyadari makna
immaterialitas perjalanan Isra` Mi`raj Nabi Suci, jauh di atas
sekedar keajaiban-nya yang mengatasi alam materi ini. Saya teringat ada satu makhluk manusia yang
teramat mulia. Tubuh materialnya telah terspiritualisasi sempurna menjadi
Cahaya yang lebih terang dari seluruh Cahaya material maupun immaterial lain.
Seluruh wujud-nya mengalami perjalanan, atau mungkin saya lebih suka
menyebutnya sebagai transformasi atau dalam istilah filsafatnya gerakan
substansial (harakah al-jauhariyah), sehingga dikatakan ia mencapai
"jarak substansial" terdekat terhadap Hakikat Agung Zat Suci
Yang Maha Agung Maha Semarak di antara semua makhluk lain yang dicipta. Ia-lah
Muhammad, Kekasih-ku, Junjungan-ku, dalam seluruh hidup-ku dan mati-ku. Ia-lah
Muhammad, Kekasih Tuhan Seru Sekalian Alam. Sholallohu ‘alaihi wassalam.
Sekali lagi, itu hanyalah pemahaman saya pribadi yang amat bodoh ini.
wallahu
a’lam bish-showwab
0 komentar:
Posting Komentar