SKISME DALAM ISLAM
Tinjauan Singkat Secara Kritis-Historis Proses Dini
Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam
oleh Nurcholish Madjid
Pembicaraan tentang Agama Islam kecuali jika dibatasi hanya kepada hal-hal yang sama sekali normatif belaka dengan tingkat idealisasi sejarah Islam yang tinggi pasti melibatkan pembicaraan tentang berbagai skisme atau perpecahan dalam agama itu. Kesadaran akan adanya skisme itu akhir-akhir ini, sebagaimana telah sering dibicarakan, muncul dengan kuat di kalangan kaum muslimin Indonesia khususnya dan dunia umumnya
karena adanya Revolusi Iran pada 1979. Dengan mengesampingkan beberapa perorangan atau kelompok yang agaknya mengalami kesulitan besar untuk "mengakomodasi" kenyataan baru berupa peranan amat mengesankan dari kaum Syi'ah dalam percaturan
keislaman internasional sekarang ini, Revolusi Iran bagi sebagian orang-orang muslim menawarkan semacam "hikmah terselubung" (blessing in disguise) berupa cakrawala pandangan keagamaan (Islam) yang lebih meluas. Karena itu jika harus disebutkan kegunaan utama pembahasan kita sekarang ini, maka kegunaan itu ialah sebagai bagian dari usaha bersama untuk mendorong lebih jauh kecenderungan positif tersebut. Dengan begitu diharap bahwa secara berangsur kita dapat mewujudkan dalam kenyataan berbagai angan-angan mengenai umat atau masyarakat Islam yang mendekati gambaran dalam Kitab suci sebagai "ruhama baynahum" (saling cinta kasih antara sesamanya). Tetapi berbagai pengalaman menunjukkan bahwa keadaan itu tidak akan tercipta jika kita tidak memiliki cukup kedewasann dalam sikap keberagamaan kita, dan dalam memandang
keberagamaan "orang lain" (dalam pengertian yang seluas-luasnya). Termasuk ke dalam makna kedewasaan itu, kiranya, ialah kesediaan dan kemampuan untuk melihat berbagai kenyataan sejarah secara proporsional, dengan mengakui dan memasukkannya ke dalam hitungan berbagai faktor sejarah sebagai ikut menentukan apa yang telah terjadi, dan apa yang sedang dan bakal terjadi.
Berdasarkan itu semua, maka pembahasan kita dalam makalah ini insya Allah akan kita lakukan dalam semangat tinjauan kritis berdasarkan pandangan yang memperhitungkan berbagai faktor sejarah.
UMAT YANG TUNGGAL
Kenyataan historis pertama tentang agama Islam ialah bahwa umatnya telah terpecah dan bahkan saling menumpahkan darah sejak masa-masa amat dini perjalanan sejarahnya. Seorang muslim yang serius dan prihatin tentu merasakan adanya semacam anomali dalam kenyataan sejarah itu. Apalagi al-Qur'an sendiri sejak dari semula menyatakan dan memperingatkan, tidak saja kepada kaum muslim tetapi juga kepada para penganut agama para Nabi dan Rasul Allah keseluruhannya, agar waspada terhadap bahaya perpecahan dan pertentangan. Salah satu firman suci dalam al-Qur'an yang relevan dengan masalah ini terbaca:
Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik-baik, dan berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya Kami (Tuhan) maha mengetahui akan segala sesuatu yang kamu kerjakan. Dan ini adalah umatmu semua, umat yang tunggal, sedangkan Aku adalah Pelindungmu semua, maka bertaqwalah kamu sekalian kepada-Ku. [1] Tafsir atas firman itu tidak bisa lain daripada penegasan bahwa semua Nabi dan Utusan Tuhan itu membentuk persaudaraan umat yang tunggal, sebab Pesan Suci mereka pun tunggal, yaitu mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mencintai dan melindungi mereka. Ini menjadi dasar pandangan tentang
Kesatuan Kenabian (Wahdat al-Nubuwwah) dan Kesatuan Risalah atau pesan suci (Wahdat al-Risalah), yaitu pesan suci keprasahan yang tulus kepada kehendak Ilahi (al-islam dalam makna generiknya). Dan inilah pula dasar pandangan tentang Kesatuan Kemanusiaan (al-Wahdat al-Insaniyyah).
Namun justru secara historis masalah kesatuan itulah di antara hal-hal yang amat sulit dicapai oleh manusia. Lebih menarik lagi sebagai bahan kajian bahwa manusia cenderung berpecah-belah justru setelah mereka menerima ajaran Tuhan yang dibawa oleh para Utusan-Nya. Keadaan yang menyimpang dari seharusnya ini tidak saja karena berbagai usaha mereka memahami ajaran Tuhan dan menerapkannya dalam kehidupan nyata
(jadi tentunya tumbuh dari niat yang baik dan ketulusan hati), tapi juga karena variasi cara pendekatan kepada ajaran itu membuahkan variasi dalam interpretasi. Maka dalam gabungannya dengan naf:su benar sendiri dan sektarianisme yang jelas selalu mengancam setiap orang atau golongan tanpa kecuali variasi pendekatan dan interpretasi itu, meskipun disertai dengan penuh niat baik dan tulus, acapkali malah menjuruskan orang banyak kepada perpecahan dan pertentangan. Perpecahan dan pertentangan itu semakin destruktif sifatnya karena pembawaannya yang sering bergaya absolutistik dan tak kenal
kompromi akibat watak dasar suatu keyakinan keagamaan. Keadaan menyedihkan ini pun secara ringkas digambarkan dalam Kitab Suci: Pada mulanya manusia adalah umat yang tunggal. Kemudian Allah mengutus para Nabi untuk membawa berita gembira dan
peringatan, dan Dia menurunkan bersama para Nabi itu Kitab Suci dengan sebenarnya untuk memutuskan perkara antara umat manusia berkenaan dengan masalah yang mereka perselisihkan. Dan mereka yang menerima Kitab Suci itu tidaklah berselisih mcngenai sesuatu (masalah Kebenaran) kecuali setelah datang berbagai penjelasan, karena rasa permusuhan antara sesama mereka. Maka Allah pun, dengan izin-Nya, memberi petunjuk
tentang kebenaran yang mereka perselisihkan itu kepada mereka yang beriman. Allah memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus kepada siapa yang menghendakinya (atau, yang dikehendaki-Nya). [2] Jika harus menyebutkan bukti kebenaran firman itu, maka
barangkali kita hanya harus menyebutkan kenyataan tentang semua agama, yang jelas tanpa kecuali terbagi-bagi dan terpecah-pecah menjadi berbagai golongan dan sekte. Lebih dari itu, kerapkali persengketaan di antara sesama mereka, termasuk yang ada dalam satu agama pun, diselesaikan dengan pertumpahan darah dan penindasan. Barangkali, dari perspektif pesan suci semula agama bersangkutan sendiri, tidak ada yang lebih absurd
daripada penyelesaian perselisihan faham keagamaan melalui penindasan dan penumpahan darah. Namun inilah yang sebenarnya terjadi dalam pengalaman hidup umat manusia.
Tapi mungkin kita harus mencoba mencari keterangan lain untuk membuat semuanya itu "make sense." Mungkin keterangan itu dapat diperoleh dari beberapa firman Ilahi juga, yang melengkapi firman-firman terkutip di atas sehingga menjadi pandangan dan pengertian yang bulat. Firman itu ialah, misalnya: Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, maka tentunya Dia jadikan manusia umat yang tunggal. Tetapi mereka itu akan tetap selalu berselisih, kecuali mereka yang mendapatkan rahmat dari Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka. [3] Juga firman Allah: Manusia itu tidak lain kecuali umat yang tunggal, kemudian mereka berselisih. Jika seandainya tidak karena adanya "Sabda" (Kalimah) yang telah lewat dari Tuhanmu, maka tentulah diputuskan (sekarang juga) antara mereka berkenaan dengan perkara yang mereka perselisihkan itu. [4] Firman-firman itu membuka kemungkinan berbagai interpretasi tentang apa yang ada dalam ajaran Kitab Suci mengenai hakikat manusia sebagai makhluk sejarah berkenaan dengan perkara persatuan dan perpecahan. Mengenai "Sabda" (Kalimah) dalam firman yang dikutip terakhir itu, misalnya, ditafsirkan sebagai berarti "Keputusan" Tuhan, yang merupakan ekspresi Iradat dan Hikmat-Nya yang universal dalam peristiwa tertentu.
Here we have again the mystic doctrine of "the Word."..."Word" is the Decree of God, the expression of His Universal Will or Wisdom in a particular case. When men began to deverge from one another..., God made their very differences subserve the higher ends by increasing emulation in virtue and piety, and thus pointing back to the ultimate Unity and Reality. [5] Di sini (dalam ayat ini) kita mendapatkan lagi doktrin kesufian tentang "Sabda." "Sabda" adalah Keputusan Tuhan, pernyataan Iradat atau Hikmat-Nya yang universal dalam suatu masalah tertentu. Ketika manusia telah bersimpangan jalan satu dari yang lain, Tuhan membuat justru berbagai perbedaan mereka itu membantu mengarahkan manusia kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih tinggi dengan meningkatnya perlombaan dalam kebaikan den kesalahan, dan dengan mengarah kembali kepada Kesatuan den Wujud yang mutlak
Ayat suci dan tafsirnya itu mengingatkan kita kepada sebuah hadits yang sering dikutip orang bahwa perselisihan di antaraorang yang beriman adalah suatu rahmat. [6] Dan ayat suci itubersesuaian dengan ayat suci yang lain, yang menyebutkan adanya Kehendak Ilahi tentang perbedaan antara sesama manusia, dan adanya Kehendak agar dengan perbedaan itu manusia berlomba-lomba ke arah berbagai kebaikan (istibaq al-khayrat, emulation in virtue and piety). Ayat suci itu ialah
firman-Nya:
Jika seandainya Allah menghendaki, maka pastilah Dia menjadikan kamu sekalian umat yang tunggal. Tetapi (Dia tidak menghendakinya) karena Dia hendak menguji kamu semua berkenaan dengan sesuatu (kelebihan, yaitu faktor terpenting yang membuat manusia berbeda-beda -NM) yang diberikan-Nya kepadamu. Karena itu berlomba-lombalah kamu semua (dengan menggunakan kelebihan itu) untuk berbagai kebaikan. Kepada Allah-lah
tempat kembalimu semua, kemudian Dia akan menerangkan kepada kamu tentang segala sesuatu yang pernah kamu perselisihkan. [7] Dari perspektif inilah kita akan memasuki bidang yang sebenarnya dari pembahasan makalah ini, yaitu tinjauan ulang secara kritis-historis terhadap perpecahan sosial keagamaan yang terjadi dalam Islam dalam perjalanan perkembangannya yang amat dini.
TENTANG "AL-FITNAT AL-KUBRA"
Mungkin bagi banyak orang cukup membosankan, namun pembicaraan tentang pembunuhan khalifah ketiga, Utsman ibn Affan, sebagai fitnah besar yang mengawali skisme dalam Islam tidak mungkin dihindarkan. Maka dengan sedikit melawan semacam "konsensus" di kalangan kaum Sunni untuk menghindari pembicaraan tentang tingkah laku historis para Sahabat yang kurang mencocoki beberapa ketentuan normatif, [8] kita akan melakukan tahap
pembahasan ini dengan pembicaraan singkat tentang peristiwa menyedihkan yang kemudian dikenal sebagai al-fitnat al-kubra ("ujian besar") itu. Pembunuhan terhadap khalifah ketiga terjadi duapuluh empat tahun setelah wafat Nabi. Sekelompok tentara (Arab Islam) dari Mesir datang Ke Madinah untuk mengajukan klaim kepada Khalifah tentang apa yang menjadi hak mereka. Tapi mereka segera kembali pulang ke Mesir, karena telah diberi tahu (secara palsu) bahwa persoalan mereka telah diselesaikan dengan baik oleh Khalifah melalui perundingan dengan ketua utusan mereka. Namun setelah mereka mendapat berita yang benar bahwa ketua utusan mereka itu malah telah dibunuh, mereka kembali ke
Madinah untuk mengajukan tuntutan. Setelah beberapa saat perundingan dan musyawarah, yang di situ kaum bukan-Umawi di Madinah menunjukkan sikap netral, delegasi tentera itu menyerbu Utsman di rumahnya, dan membunuhnya. (Seperti halnya
dengan Umar sebelumnya, juga Ali sesudahnya, Utsman memerintah hanya dengan mengandalkan reputasi dan nama baik pribadi, tanpa pengawal, sebagaimana layaknya adat kebiasaan para sesepuh (al-syaykh) suku-suku Arab menjalankan kepemimpinan
mereka. Kebiasaan itu membantu memudahkan usaha membunuhnya, sebagaimana telah terjadi pada Umar sebelumnya dan kelak terjadi pula pada Ali). [9] Tentang mengapa delegasi tentara itu tidak puas terhadap Utsman dalam menjalankan tugas kekhalifahannya, tersedia tidak hanya satu keterangan, melainkan banyak dan cukup kompleks. Pertama ialah, bahwa meskipun Utsman termasuk perintis pertama orang-orang Arab Makkah masuk Islam, namun dia adalah seorang anggota klan Umayyah yang berkuasa di kota itu, yang klan itu menjadi musuh utama Nabi, bahkan sikap permusuhan mereka itu
berlangsung terus sampai boleh dikata detik-detik terakhir sebelum Nabi wafat. Abu Sufyan, misalnya, adalah seorang penguasa Makkah yang mengorganisasi dan memobilisasi orang-orang Quraisy melawan Nabi di Mekkah, sampai dengan saat Nabi menaklukkan Makkah. Meskipun akhirnya Abu Sufyan masuk Islam, juga anaknya Mu'awiyah yang sedikit terlebih dahulu berbuat serupa, namun hal itu terjadi lebih banyak hanya
berkat kebijaksanaan diplomatik Nabi yang memberi dan mengakui hak istimewa dan kehormatan mereka.
Sebagai klan dengan tradisi kekuasaan yang mapan, kaum Umawi segera melihat pada kekhalifahan Utsman suatu kesempatan untuk mengembalikan kedudukan mereka yang baru saja hilang. Mereka mengelilingi Utsman dengan penasehat-penasehat dan tenaga-tenaga ahli, seperti seorang "aktivis" Umawi, Marwan ibn al-Hakam. Sebagian dari hadirnya para penasehat dan tenaga ahli Umawi itu sebenarnya merupakan lanjutan kebijaksanaan
Umar sebelumnya, karena Umar melihat pada kaum Umawi itu kecakapan pemerintahan yang bisa dimanfaatkan. Tetapi tanpa keteguhan kepribadian Umar, Utsman menjadi tidak banyak berdaya menghadapi klannya sendiri, dan ia pun terjerumus kedalam praktek-praktek nepotistik yang mengundang berbagai reaksi keras banyak kalangan.
Sebenarnya Utsman melanjutkan kebijakan Umar, tapi tanpa mempunyai wibawa hebat seorang Umar. Para tentera suku Arab (al-muqatilah) yang oleh Umar ditempatkan di berbagai kota garnizun di daerah-daerah taklukan dipertahankan oleh Utsman seperti keadaan mereka semasa Umar, sementara perang sendiri, yang menjadi alasan penempatan itu, telah menjadi peristiwa sesekali saja. Para tentera ini hidup menetap di tempat-tempat
tersebut, seperti Kufah, dalam suasana terpisah dari penduduk bukan-Arab sekelilingnya. Bertindak sebagai penguasa pada kota-kota perbatasan itu ialah para gubernur (bekas) pedagang kaya yang cakap memerintah dari keluarga-keluarga Quraisy dan sekutu mereka dari Taif (klan Tsaqif), yang kebanyakan mereka itu terdiri dari kaum Umawi. Mereka memegang pemerintahan menghadapi kecenderungan kesukuan dan semangat kedaerahan
orang-orang Arab, dan kekuasaan mereka itu diawasi oleh semangat ajaran umum Islam yang saat itu Islam telah menjadi ciri utama sifat ke-Arab-an mereka.
Sudah sejak masa Umar banyak orang Arab Quraisy yang kaya, yakni para pedagang Mekkah, yang pergi ke daerah-daerah taklukan, terutama Mesopotamia di Irak, dan meneruskan usaha perdagangan mereka di sana. Ini acapkali menimbulkan rasa keberatan dari pihak orang-orang Arab yang kurang mampu, khususnya orang-orang Arab setempat. Utsman pun tidak bisa mengatasi situasi warisan pendahulunya itu, meskipun kebenarnya ia berhasil sedikit mengubah keadaan dengan mengarahkan sebagian investasi dari Lembah Mesopotamia ke Hijaz, berbentuk proyek-proyek irigasi di berbagai oase. Kebijaksanaan Utsman itu membantu mengurangi kecenderungan emigrasi ke luar Hijaz dan memperkuat kekuasaan pusat di Madinah secara fisik (sumber daya manusia). Kebijaksanaan itu juga mengurangi ancaman bahwa budaya Arab akan terserap ke dalam budaya daerah-daerah Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent, daerah subur yang membentuk konfigurasi bulan sabit dari pantai timur Laut Tengah naik ke utara, ke daerah pegunungan Anatolia sebelah selatan membentang ke timur dan kembali ke selatan, ke Lembah Mesopotamia).
Tetapi kebijaksanaan Utsman yang yang menghambat emigrasi dari Hijaz itu membuatnya tidak populer di kalangan orang-orang Makkah. Ini tumbuh menjadi faktor penunjang bagi protes-protes yang mulai dilancarkan para tentara. (Harus diingat bahwa pada saat itu semua orang muslim adalah warga negara dan sekaligus tentara). Apalagi setelah ekspedisi menaklukkan Iran telah rampung dan tuntas, ketidakpuasan di kalangan tentara terhadap
kebijakan Utsman semakin keras dinyatakan orang, karena tidak lagi bisa dialih-arahkan kepada kegiatan-kegiatan ekspedisi militer. Suatu kerusuhan muncul di Kufah, sebuah kota garnizun yang didirikan Umar dan kerusuhan itu harus ditindas dengan penumpahan darah. Para gubernur yang melanjutkan tugas mereka semenjak diangkat oleh Umar banyak yang cakap dan sebagian dari mereka diterima baik oleh penduduk setempat. Maka penduduk Syria puas dengan Mu'awiyah, Basrah dengan Ibn Amir (yang di waktu damai giat berdagang untuk mengumpulkan kekayaan tapi bertindak cukup adil karena ia menganjurkan orang lain agar berbuat serupa pula). Tetapi gubernur yang ditempatkan di Mesir (di kota Fusthath, Kairo lama), tidak pernah memuaskan orang-orang setempat, karena dipandang kurang menunjukkan ukuran moral yang tinggi (konon suka minuman keras
dan mabuk). Demikian pula Kufah, tidak ada kebijakannya yang dapat diterima di sana, bahkan gubernurnya pun ditolak orang.
Utsman dikenal sebagai amat berjasa menyatukan ejaan penulisan al-Qur'an dengan memerintahkan untuk membakar semua versi ejaan yang lain (sehingga sampai sekarang ejaan standar Kitab Suci agama Islam itu disebut ejaan atau "rasm Utsmani").
Penyatuan ejaan al-Qur'an itu amat prinsipiil sebagai dasar penyatuan orang-orang Arab Muslim khususnya dan semua orang Muslim umumnya. Namun, sesungguhnya, usaha Utsman itu tidak berjalan tanpa tantangan. Ibn Mas'ud, salah seorang ahli membaca al-Qur'an yang amat terkenal dan disegani, berkedudukan di Kufah, sempat menunjukkan perasaan tidak sukanya kepada kebijakan Utsman. Menurut para ahli akhirnya ia patuh juga kepada keputusan Khalifah. Tetapi kejadian itu tetap meninggalkan bekas, sekalipun akhirnya dapat dinetralisasikan melalui usaha akomodasi berbagai versi bacaan Kitab Suci dalam bentuk pengakuan keabsahan "bacaan tujuh" Al-qira'at al-sab'ah.
Kebijaksanaan Utsman berkenaan dengan Kitab Suci itu sungguh patut dipuji. Dan jika ummat Islam sesudah itu menikmati kesatuan penulisan dan pembukuan Kitab Suci-nya yang tidak ada bandingnya dalam sistim kepercayaan atau faham lainnya mana pun juga, maka sebagian besar keberuntungan itu adalah berkat jasa Utsman ibn Affan yang bergelar Jami' al-Qur'an. (Pengumpul al al-Qur'an). (Bahkan kaum Syi'ah yang dikenal sangat anti Utsman itupun akhirnya juga mengakui jasa khalifah ketiga ini, dengan menyesuaikan dan mengikuti cara penulisan Kitab Suci menurut ejaan Utsman, sekalipun mereka agaknya juga
mempunyai jalur penuturan dari Ali ibn Abi Thalib, handalan utama mereka dalam masalah periwayatan). [10] Dan seperti hampir semua kebijaksanaan Utsman yang lain,
tindakannya untuk menyatukan sistem penulisan al-Qur'an itu pun dapat dikatakan sebagai kelanjutan kebijakan Umar sebelumnya.
Salah satu kebijakan lagi dari Umar yang dilanjutkan atau diwarisi oleh Utsman ialah yang berkenaan dengan sistem keuangan negara. Umar disebut sebagai "yang pertama menciptakan lembaga-lembaga" (Arab: awwal man dawwana al-dawawin), khususnya lembaga atau sistem penggajian tentera dengan besar dan kecilnya gaji (sesungguhnya lebih tepat disebut lumpsum) itu menurut tingkat kepeloporan seseorang dan
jasanya dalam agama Islam. Maka untuk menunjang sistemnya inilah antara lain Umar tidak mengizinkan tentera memiliki tanah-tanah produktif (pertanian) di daerah-daerah yang telah mereka bebaskan, khususnya di kawasan Bulan Sabit Subur. Kebijakan Umar di bidang ini dan di bidang finansial pada umumnya sangat dihargai oleh para ahli sejarah Islam (khususnya, tentu saja, kalangan Sunni) dan diakui oleh para ahli bukan-Muslim sebagai suatu tindakan seorang genius dan bijak. (Juga Umarlah yang memprakarsai pendirian lembaga keuangan yang dikenal dengan bayt al-mal --harfiah berarti "rumah harta"). Tapi ketika Utsman mewarisinya, ternyata sedikit demi sedikit sistem Umar itu mulai menunjukkan segi-segi kelemahannya. Ditambah lagi, seperti telah disinggung, Utsman tidak memiliki wibawa dan kecakapan seperti pendahulunya itu. Tentera di berbagai kota garnizun mulai merasakan tidak adilnya penghasilan daerah mereka dikontrol dan dibawa ke Madinah sebagai fay' (milik negara). Mereka
menginginkan untuk secara langsung mengontrol dan menguasai penghasilan daerahnya masing-masing itu. Ketidakpuasan ini masih harus ditambah, sebagaimana telah dikemukakan, dengan gejala-gejala nepotisme Umawi yang semakin terasa pada masa
Utsman, khususnya dalam bidang-bidang keuangan ini. Maka, mengulangi perdebatan di masa Umar sekitar masalah tanah-tanah pertanian daerah taklukan itu, [11] para tentera menghendaki agar tanah-tanah produktif itu langsung dibagikan kepada tentera penakluk bersangkutan, dan dilepaskan dari pengawasan Madinah, sama dengan harta rampasan perang mana pun juga. Jadi berbeda dengan pandangan Umar yang tidak melihatnya demikian.
Akumulasi dari semua ketidakpuasan terhadap Utsman itu yang jelas sebagian bukan karena kesalahan Utsman sendiri berakhir dengan pembunuhan Khalifah. Dan dengan begitu dimulailah perang saudara selama lima tahun, hanya selang sekitar seperempat abad sejak wafat Nabi.
GOLONGAN-GOLONGAN KHAWARIJ, SYI'AH DAN SUNNAH
Kejadian pembunuhan Utsman hanyalah permulaan, dan hanyalah salah satu, dari deretan fitnah yang amat besar pengaruhnya kepada terjadinya skisme dalam Islam. Segera setelah Utsman terbunuh, maka, menurut sementara ahli sejarah Islam, para bekas pembunuh itu atau simpatisan mereka mensponsori pengangkatan Ali (ibn Abi Thalib) sebagai khalifah, menggantikan Utsman. Kebetulan Ali yang adalah kemenakan dan menantu Nabi, serta pelopor mula pertama dalam Islam, telah tumbuh sejak zaman Nabi sendiri sebagai seorang pahlawan, ahli perang (warrior) yang tangkas, dengan sikap hidup yang penuh
kesalihan dan hikmah (wisdom) yang luas dan mendalam.
Bagi banyak pihak di Madinah, meskipun tidak disepakati oleh semua orang, ketokohan Ali membuatnya paling tepat sebagai pengganti (khalifah) Nabi, tidak hanya sekarang sesudah Utsman, tapi sejak wafat Nabi sendiri. Tentang mengapa yang terjadi ialah pengangkatan Abu Bakr, seorang Sahabat Nabi yang amat dekat dan senior, serta mertua beliau (ayahanda A'isyah, salah seorang isteri beliau yang amat dicintainya) sebagai imam (imam, artinya orang yang berdiri di depan, yakni, memimpin, khususnya dalam shalat berjama'ah) ummat Islam di Madinah itu, adalah bahan kontroversi yang serius, yang sampai sekarang masih menjadi bahan pembicaraan. Tetapi agaknya penunjukan Abu Bakr, dengan pensponsoran kuat dari Umar, lebih mirip tindakan darurat (emergency), tercermin dari penggunaan istilah Khalifah (pengganti) olehnya untuk tugasnya itu. Baru di masa Umar sifat kedaruratan itu mulai hilang, dan tumbuh kesadaran padanya akan sifat kepermanenan jabatan pemimpin ummat Islam. Maka Umar, untuk sebutan resmi jabatannya itu, memilih nama atau gelar Amir al-Mu'minin, yakni, Komandan Orang-orang Beriman, karena memang program utama masyarakat Islam waktu itu ialah melancarkan ekspedisi-ekspedisi militer ke luar Jazirah Arabia. Program itu sendiri konon sebagai kelanjutan rintisan dan pelaksanaan pesan Nabi menjelang wafat.
Perkembangan pranata politik Islam pada saat pengangkatan Ali ialah bahwa sistem kekhalifahan telah berjalan dan tumbuh selama hampir seperempat abad, lengkap dengan berbagai pelembagaannya yang sebagian besar sebagaimana telah disinggung, diletakkan oleh Umar. Maka kekhalifahan sebagai saat itu telah menjadi terlalu amat penting untuk dilewatkan begitu saja, dan di hadapan berbagai kritis yang mulai mengancam ummat Islam lembaga itu menjadi rebutan dalam tema-tema "to be or not to be." Telah disebutkan bahwa Ali sebenarnya adalah tokoh yang amat tepat menghadapi situasi kritis itu. Tetapi ketokohannya itu menjadi problem karena kenyataan bahwa sejak semula ia, dibawa oleh sikapnya yang salih dan populis, menunjukkan simpati kepada para pemrotes kebijaksanaan Utsman, meskipun jelas mustahil mendukung membunuhannya. Maka suasana curiga kepada Ali dari banyak pihak menjadi tak terhindarkan. Kecurigaan itu mewujudkan diri dalam reaksi-reaksi tidak setuju kepada pengangkatan Ali sebagai khalifah, tidak saja dari kalangan yang secara langsung mempunyai hubungan darah dengan Utsman, Khalifah terbunuh, yaitu kalangan kaum Umawi (Umawi, anak cucu Umayyah ibn 'Abd Syams, ayah dari pada kakek Mu'awiyah) tetapi juga dari tokoh-tokoh seperti A'isyah, puteri Abu Bakr dan isteri Nabi yang sangat dicintainya, juga al-Zubayr ibn al-Awwam, seorang anggota keluarga Abu Bakr. Sedangkan dari kalangan kaum Umawi, seperti dapat diduga, tuntutan untuk pengusutan
pembunuhan Utsman sangat keras, dipelopori oleh politikus dan gubernur yang cakap, Mu'awiyah (anak abu Sufyan, musuh utama Nabi sampai penaklukan Mekkah), dan dibantu oleh 'Amr ibn al-'Ash, gubernur dan komandan militer yang menaklukkan Mesir.
Berbagai reaksi kurang menguntungkan terhadap 'Ali itu tidak saja membuat situasi masyarakat Islam yang masih muda dilanda suasana tak menentu dan sedikit chaotik. Reaksi-reaksi itu segera menyeret masyarakat Islam ke dalam kancah peperangan
sesama mereka, dengan korban jiwa yang tidak sedikit. 'Ali yang seorang ahli perang (warrior) yang cakap dan berani agaknya dengan mudah mengalahkan A'isyah dan al-Zubayr di pertempuran dekat Basrah yang kemudian dikenal sebagai "Peristiwa Onta" (karena A'isyah memimpin pasukan dengan menunggang onta, dan onta itu terbunuh dalam pertempuran). Tetapi peristiwa itu sendiri menimbulkan luka sosial-keagamaan
pada ummat Islam yang sampai sekarang belum seluruhnya tersembuhkan.
Yang lebih parah, dengan akibat yang amat jauh dalam bidang sosial-keagamaan, ialah permusuhan antara Ali dan Mu'awiyah. Juga disebabkan oleh kecakapan militernya, Ali agaknya akan akhirnya memenangkan pertempurannya melawan Mu'awiyah. Tetapi mungkin sebagai gabungan antara kesalihan yang lebih mementingkan perdamaian dan sikap meremehkan kepintaran, jika tidak bisa disebut kelicikan, diplomatik Mu'awiyah dan para
pendukungnya, Ali secara iktikad baik dan "polos" menerima usul arbitrasi di Shiffin. Akibatnya ialah bahwa ia justru kehilangan dukungan dari para sponsornya yang gigih dan militan, yang sejak semula menginginkan penyelesaian militer terhadap Mu'awiyah. Mereka ini kemudian membentuk kelompok ketiga, dan menamakan diri mereka kaum al-Syurat, yakni, "orang-orang yang menjual diri (kepada Allah)," dengan secara total menyerahkan dan mengorbankan diri untuk agama yang benar. (Sebutan ini merujuk kepada firman Allah, "Dan di antara manusia ada yang 'menjual' dirinya demi memperoleh
ridla Allah. Dan Allah itu Maha Penyantun kepada para hamba-Nya." [12]
Maka sebutan al-Syurat itu sekaligus memberi gambaran tentang hakikat dan sifat gerakan mereka, yaitu gerakan dengan semangat sendirinya mereka berkembang menjadi kelompok dengan tingkat ekstremisme yang amat tinggi, yang kemudian secara tak terhindarkan membawa mereka kepada situasi mudah sekali terpecah-belah dan saling bermusuhan, untuk akhirnya melenyapkan diri mereka sendiri. Egalitarianisme radikal
kelompok ini membawa mereka kepada konsep-konsep sosialpolitik yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita Islam seperti diletakkan oleh Nabi dan merupakan kelanjutan cita-cita universal dalam tradisi bangsa-bangsa Irano-Semitik sejak ratusan tahun, dan yang dengan kuat sekali mewarnai pandangan-pandangan hidup di daerah Bulan Sabit Subur. Tetapi karena dibawakan dengan militansi yang hampir tak terkendalikan, maka konsep-konsep itu yang antara lain melahirkan doktrin hijrah, yaitu semua orang harus menyingkir dari tatanan mapan dan bergabung dengan mereka demi iman yang
benar telah menjerumuskan masyarakat Islam kepada suasana "semua lawan semua," tanpa ada pihak yang benar-benar diuntungkan. Korban yang paling tragis dari ekstremisme mereka ialah Ali sendiri, seorang tokoh yang pernah mereka unggulkan
dengan penuh antusiasme, namun akhirnya mereka habisi dalam suatu pembunuhan politik.
Karena kegiatan mereka yang selalu merongrong tatanan mapan, mereka kemudian lebih dikenal sebagai kaum Khawarij (pemberontak). (Mereka juga dinamakan kaum al-Haruriyyun, nisbat kepada oase al-Harura dekat Kufah, tempat mereka berpangkalan). Seperti telah dikatakan tadi, mereka ini kemudian mengalami penghancuran diri sendiri (self annihilation) justru karena watak mereka yang sangat akstrem. Akibatnya ialah bahwa mereka hampir-hampir praktis tidak tertahan untuk menyaksikan zaman modern sekarang ini.
Tetapi sebenarnya hanya secara fisik mereka boleh dikata terhapus dari sejarah. Sedangkan secara doktrinal, justru banyak sekali faham-faham keagamaan yang kini berkembang dan mapan di kalangan kaum Muslimin dapat ditelusuri kembali sebagai asal dari problematika kaum Khawarij. Bahkan ada tanda-tanda bahwa problematika kaum Khawarij itu, sebagaimana dahulu muncul dalam sistem kalam kaum Mu'tazilah, kini
menunjukkan daya tarik dan vitalitasnya di kalangan sebagian kaum Muslim "liberal" (dalam arti lebih banyak menunjukkan sikap kritis dan mungkin ingin lepas dari kukungan tatanan
mapan sosial-keagamaan yang ada).
Perkembangan lebih lanjut masyarakat Islam setelah terbunuhuya Ali oleh kaum Khawarij ialah pengakuan dan dukungan hampir universal masyarakat kepada kekuasaan Mu'awiyah di Damaskus, sekurang-kurangnya secara de facto. Terutama pada tahun 41 Hijri, ummat Islam di bawah Mu'awiyah dapat dikatakan kembali kepada keutuhannya yang semula, dan orang dengan penuh harapan menyebut tahun itu sebagai "Tahun Persatuan" (AmalJama'ah).
[13]
Dengan modal persatuan itu Mu'awiyah dapat melanjutkan
program-program ekspansi militer dan politik yang sempat
tertunda beberapa lama oleh adanya fitnah. (Mu'awiyah ternyata
menunjukkan kecakapan memerintah yang mengesankan, sehingga
para ahli sejarah ada yang mengatakan sebagai Khalifah Islam
yang kedua terbesar, yakni, sesudah Umar ibn al-Khaththab.
Bahkan cukup menarik bahwa ibn Taymiyyah, dalam polemiknya
dengan kaum Syi'ah, masih sempat menunjuk kepada kenyataan
bahwa sementara Ali mendapat dukungan bagi kekhalifahannya
hanya dari sebagian umat Islam, Mu'awiyah mendapat dukungan
yang boleh dikata universal. Ini, dalam pandangan Ibn
Taymiyyah, menunjukkan segi tertentu kelebihan Mu'awiyah atas
Ali, meskipun ia tetap secara keseluruhan mengunggulkan Ali
atas lawannya itu). [14]
Tetapi setelah Mu'awiyah meninggal, keadaan kembali kepada
kekacauannya yang semula. Dengan maksud untuk tidak mengambil
risiko yang dapat mengganggu "keseimbangan rawan" (delicate
balance) susunan masyarakat Islam yang ada dan yang diperoleh
dengan banyak pengorbanan itu, sudah sejak semula dalam
kekhalifahannya Mu'awiyah meminta agar masyarakat menyetujui
untuk mengangkat Yazid, anak sendiri, sebagai penggantinya.
Sebagian besar masyarakat Islam menyetujui ide itu, dan Yazid
pun dinyatakan sebagai Khalifah. Tetapi kekhalifahan Yazid
yang memang tidak banyak memenuhi gambaran ideal seorang
penguasa Muslim itu segera mengundang munculnya kembali
pertentangan-pertentangan laten.
Tantangan terhadap Yazid mula-mula datang dari para pendukung
Ali yang memang nampak selalu siap menggunakan setiap
kesempatan. (Sesungguhnya mereka berharap, sepeninggal Ali,
agar Hasan, anaknya, mempertahankan klaim kekhalifahan,
menghadapi Mu'awiyah di Damaskus. Tetapi Hasan mengecewakan
mereka dengan sikapnya yang lebih senang turun dari klaim itu
dan hidup hampir menyendiri secara damai di Madinah. Maka
harapan para pendukung Ali kini ditujukan kepada Husayn,
saudara Hasan, yang mereka undang untuk memberontak di Kufah,
Irak. Tetapi, sebelum tentera Syria datang menyerbu, banyak
kalangan penduduk Kufah sendiri yang menarik dukungannya
kepada Husayn, setelah berhasil dibujuk oleh gubernur Syria.
Husayn dengan kekuatan tenteranya yang kecil menolak untuk
menyerah, dan mereka ini terkucilkan di padang pasir Karbala,
dekat Kufah. Tentera Yazid menghancurkan mereka, dan Husayn,
putera Ali dan Fathimah, cucu Nabi, terbunuh secara amat kejam
dan tragis.
Terbunuhnya Husayn, seperti terbunuhnya Utsman sebelumnya,
merupakan peristiwa terpenting dalam fitnah kedua, yang
mempunyai dampak amat luas dan mendalam pada sistem
sosial-keagamaan Islam sampai sekarang. Adalah sejak peristiwa
Karabala itu para pendukung setia Ali dan keturunannya dikenal
dengan sebutan kaum Syi'ah (yang sebetulnya lengkapnya ialah
syi'ah Ali. "Partai Ali"). Dengan menggunakan sentimen umum
terhadap kematian tragis Husayn, kaum Syi'ah perlahan-lahan
mengkonsolidasikan diri dan mengembangkan pandangan-pandangan
sosial-politik keagamaan yang kelak menjadi dasar sistem
doktrinal Syi'isme.
Tetapi Yazid tidak hanya menghadapi tantangan dari kaum
Syi'ah. Di Makkah bangkit Abdullah ibn al-Zubayr (ibn
al-Awwam) yang ayahnya dahulu pernah menentang Ali bersama
A'isyah dan kalah kini bangkit menentang Yazid dengan cukup
efektif. Yazid tidak bisa mengatasinya, dan setelah penguasa
Damaskus ini meninggal sesudah menjabat sebagai khalifah
selama sekitar tiga tahun saja, Abdullah oleh sebagian besar
umat diakui sebagai khalifah yang sah, dengan Makkah sebagai
ibukota.
Tetapi Abdullah tidak menikmati kekuasaan yang mantap. Di luar
kota Makkah sendiri, meliputi sebagian besar pedalaman Jazirah
Arabia, khususnya di daerah pedesaan atau badawah, kekuasaan
berada di tangan kaum Khawarij yang seperti selama ini
melancarkan perang "hit and run" terhadap Abdullah ibn
al-Zubayr.
Sebenarnya kaum Khawarij ini hampir berhasil menghidupkan
beberapa nilai yang diajarkan oleh Nabi, khususnya faham
persamaan umat manusia. Egalitarianisme mereka telah membuat
mereka termasuk yang pertama dalam sejarah Islam yang tidak
membeda bedakan antara Muslim Arab dan Muslim bukan-Arab. Dan
politik mereka yang menerapkan prinsip nonintervensi terhadap
kelompok-kelompok bukan-Muslim, dengan membiarkan mereka dalam
otonomi penuh mengurus kepentingan mereka sendiri, telah
membuat kaum Khawarij cukup favorable di mata kaum non-muslim.
Tetapi kaum Khawarij gagal memperoleh dukungan dari kalangan
Muslim yang lebih terorganisir di kota-kota. Kebiasaan mereka
untuk melakukan gerilya dalam kelompok-kelompok penyerang yang
disusun seperti sistem kabilah sebelum Islam (masa Jahiliyah)
telah mengundang antipati orang-orang kota. Ini membuat
kekuasaan kaum Khawarij, meskipun selama fitnah kedua ini
menguasai teritorial yang paling luas, tidak pernah efektif.
Apalagi, setelah secaara singkat menjadi pendukung Abdullah
ibn al-Zubayr pada saat permulaan penampilan khalifah Makkah
itu, kaum Khawarij terpecah menjadi dua, yang berbasiskan
Iran, yang dikenal sehagai kaum Azariqah, menganggap siapa
saja yang tidak bergabung dengan mereka sebagai murtad, dengan
akibat hukum bunuh yang mereka laksanakan secara konsekuen.
Mereka ini akhirnya dikalahkan oleh tentara Ibn al-Zubayr yang
berpangkalan di Basrah, Irak.
Selain menghadapi kaum Khawarij, Ibn al-Zubayr masih harus
menyelesaikan masalah Syi'ah. Setelah mengalami kekalahan yang
tragis oleh Yazid di padang Karbala, kaum Syi'ah sekali lagi
mencoba memobilisasi diri dan menemukan figur sentral mereka
pada putera Ali yang lain, yaitu Ibn al-Hanafiyyah.
Pemberontakan kaum Syi'ah ini dipimpin oleh Mukhtar ibn Abi
Ubayd. Kaum Syi'ah, sama halnya dengan kaum Khawarij, juga
ingin menegakkan prinsip persamaan manusia, namun dengan
cara-cara yang lebih moderat. Mereka dengan tegas mengambil
sikap yang menyamakan status antara orang-orang Muslim
bukan-Arab dengan Muslim Arab. Tetapi egalitarianisme mereka
ini justru membuat marah orang-orang Muslim Arab Kufah, yang
kemudian berpaling melawan mereka. Tantangan orang Kufah ini
mempermudah pemberontakan kaum Syi'ah untuk dipatahkan oleh
Ibn al-Zubayr dengan menggunakan kekuatan tentara dari Basrah
yang saat itu telah bebas dari tugas menghadapi kaum Khawarij.
Keberhasilan Ibn al-Zubayr mematahkan kaum Khawarij dan Syi'ah
tidak berarti bahwa mereka benar-benar bebas dari oposisi.
Kaum Khawarij dan Syi'ah itu tetap merupakan ancaman yang
laten. Sementara itu, di utara, di Syria, kekuatan-kekuatan
oposisi kelanjutan kaum Umawi berhasil mengkonsolidasi diri.
Kaum Umawi yang berkoalisi dengan kaum Banu Kalb (sandaran
utama kekuatan Arab Syria bagi kaum Umawi sejak masa
Mu'awiyah) mengangkat Marwan ibn al-Hakam, sepupu Mu'awiyah,
sebagai Khalifah. (Adalah Marwan ini yang dahulu bertindak
sebagai penasehat utama Khalifah Utsman ibn Affan dan didakwa
sebagai dalang pembunuhan pemimpin delegasi Mesir yang datang
ke Madinah untuk mengadukan perkara mereka, dan yang kemudian
membangkitkan amarah mereka dengan akibat pembunuhan
khalifah). Dengan cepat kekuatan kaum Umawi di Syria sebagai
salah satu kontestan untuk kekhalifahan tumbuh dan berkembang,
sehingga Mesir pun tidak lama jatuh ke tangan Marwan dan
anaknya, Abd al-Malik. Setelah menyusul Irak, Irak juga jatuh
ke tangan kaum Umawi, yang berarti hilangnya basis dukungan
bagi Ibn al-Zubayr di Mekkah. Kota-kota garnizun di bawah
kepemimpinan kaum Umawi yang tegar kini lebih efektif dalam
melawan gerilya kaum Khawarij dari pedalaman dibanding keadaan
mereka dibawah kepemimpinan Ibn al-Zubayr yang lunak. Hingga
akhirnya kaum Umawi berhasil merebut Makkah sendiri (Ka'bah
sempat hancur dan harus dibangun kembali karena pertempuran
memperebutkan kota suci itu), dan di situ Khalifah Abdullah
ibn al-Zubayr (ibn al-Awwam) terbunuh.
Kini kekhalifahan sepenuhnya pindah ke tangan anak Marwan, Abd
al-Malik (692-705), yang oleh Hodgson disebut sebagai khalifah
Islam terbesar ketiga setelah Umar dan Mu'awiyah. Segi
kebenaran Abd al-Malik ialah bahwa ia berhasil mengakhiri
fitnah (kedua), dengan melakukan berbagai akomodasi. Dengan
tegas Abd al-Malik mendasarkan sistemnya di atas konsep
kekuatan (force). Maka negara menjadi negara kekuasan (macht
staat), dan faham keagamaan diperhitungkan hanya setelah jelas
siapa yang unggul melalui kekuatan itu. Juga penggantian
kekhalifahan dengan tegas didasarkan kepada pewarisan, dalam
bentuk suksesi melalui penunjukan oleh khalifah yang
terdahulu.
Kebesaran Abd al-Malik ibn Marwan yang lain terletak dalam
kegairahannya untuk menegaskan supremasi Islam terhadap yang
lain. Di sisi lain tindakannya bisa disebut sebagai sejenis
nasionalisme Arab. Tetapi ketika Abd al-Malik mengganti mata
uang logam Yunani yang bergambar kepala raja mereka dengan
mata uang logam khas Arab dan Islam dengan simbol kalimah
syahadat, maka efeknya ialah penegasan kedaulatan Islam.
Berbeda dengan pandangan keagamaan kaum Khawarij dan Syi'ah
pandangan keagamaan kaum Umawi memang sangat berat berwarna
ke-Arab-an. Bagi mereka Islam adalah lambang Arabisme yang
dipersatukan, dan berfungsi terutama sebagai kode etik dan
ajaran disiplin bagi kekuatan elite penakluk dan penguasa.
Berdasarkan pandangannya itu Abd al-Malik melihat pentingnya
usaha lebih lanjut mempersatukan orang-orang Arab di bawah
bendera Islam melawan kecenderungan kesukuan yang sampai saat
itu masih menunjukkan potensi latennya. Solidaritas Arab
berdasarkan Islam melawan kecenderungan kesukuan lama
(Jahiliyah) ini kemudian menjadi dasar ide tentang Jama'ah,
suatu konsep atau idiologi yang meletakkan nilai-nilai
persatuan dan kesatuan di atas semangat kesukuan dan bahkan di
atas faham-faham keagamaan faksional.
Sebagai dukungan asasi bagi konsep Jama'ah-Nya itu, dengan
dibantu oleh keahlian dan kesarjanaan al-Hajjaj ibn Yusuf,
bekas guru madrasah di Thaif, pada kalangan Banu Tsaqif (yang
sebelumnya telah membantu menaklukkan Mekkah, membunuh Ibn
al-Zubayr, dan menghancurkan Ka'bah serta membangunnya
kembali), Abd al-Malik meneruskan usaha mempersatukan ummat
Islam berkenaan dengan Kitab Suci mereka, dengan memperbaiki
cara penulisannya dan memastikan harakat bacaannya melalui
penambahan beberapa diakritik dan vokalisasi (harakat). [15]
Dampak amat penting tindakan ini ialah penyatuan yang lebih
meyakinkan seluruh kekuatan Islam (dan Arab), yang menjadi
dasar kebesaran kekuasaan Umawi (lebih tepat, Marwani,
sebagaimana sebutan pilihan sementara ahli sejarah Islam).
Melalui kebijaksanaan Abd al-Malik ibn Marwan ini maka
al-Qur'an mempunyai fungsi lain, yaitu sebagai lambang
persatuan dan kesatuan (Jama'ah) yang tak tergugat. Kemudian
dorongan untuk memahami lebih baik dan melaksanakan ajarannya
secara lebih tepat tumbuh dengan pesat di kalangan umum.
Maka dalam usaha memahami lebih baik Kitab Suci itu dan
melaksanakannya dalam kehidupan nyata, kaum Muslimin, terlebih
lagi para penguasa Umawi, semakin banyak merasakan perlunya
bahan rujukan dari kebiasaan mapan (sunnah) masa lalu Islam,
yang sebenarnya belum lama berselang itu. Nampaknya masa lalu
Islam itu yang paling otoritatif, sudah tentu, ialah masa Nabi
sendiri. Tetapi, sepanjang mengenai pelaksanaan pemerintahan
sehari-hari, masa Umar ibn al-Khathab nampak paling banyak
dijadikan rujukan. Maka kaum Umawi di Damaskus itu, dalam
masalah pemerintahan menurut pengertian seluas-luasnya, jika
pemerintahan itu harus dijalankan dengan norma-norma
keislaman, banyak melanjutkan rintisan dan percontohan Umar
ibn al-Khathab, dengan berbagai modifikasi dan penyesuaian.
Karena itu ketika para qadli sebagai pemegang semacam
kekuasaan yudikatif di daerah-daerah (Abd al-Malik adalah
orang pertama melembagakan jabatan qadli itu), banyak
referensi dilakukan kepada preseden yang ada dalam sejarah
Islam. Maka dengan begitu secara berangsur tumbuhlah
yurisprudensi Islam, yang kelak melahirkan disiplin terpisah
dalam ilmu-ilmu keagamaan Islam, yaitu ilmu fiqh. [16]
Keperluan kepada bahan rujukan dari masa lalu (preseden) untuk
menetapkan hukum lambat-laun tumbuh manjadi kesadaran tentang
otoritas tradisi (sunnah) yang sah (valid). Maka perhatian
kepada cerita, anekdot, dan penuturan tentang para tokoh masa
lalu itu, khususnya tentang Nabi sendiri dan para Sahabat,
tapi juga tentang tokoh-tokoh generasi ketiga umat Islam,
menjadi semakin besar. Ini semua kelak disistematisasi dan
dikritik, untuk selanjutnya dikodifikasi, oleh para sarjana
hadits seperti al-Bukhari, Muslim, dll.
Para ahli mengatakan bahwa gerakan perorangan untuk mencatat
hadits telah terjadi sejak masa sangat awal sejarah Islam,
rupanya malah sejak masa nabi sendiri. Tapi sejarah mencatat
bahwa dorongan paling kuat ke arah sana itu dimulai oleh
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (ibn Marwan) yang dikenal
sebagai Umar II (memerintah 717-720) karena mengingatkan orang
kepada Khalifah Umar ibn al-Khaththab.
Umar II sebenarnya hanya melanjutkan kecenderungan yang sudah
ada pada kaum Marwani atau Umawi, khususnya sejak kekhalifahan
Abd al-Malik ibn Marwan. Dorongan yang amat kuat untuk
menyudahi berbagai fitnah yang telah meninggalkan kesan-kesan
penuh trauma itu telah mengharuskan kaum Marwani atau Umawi
untuk menunjukkan sikap-sikap yang lebih akomodatif dan
kompromistis. Dalam rangka ini, tindakan terpenting ialah
mengakui Ali sebagai khalifah yang sah, pada urutan keempat
(artinya, Utsman, anggota-anggota klan mereka, tetap lebih
unggul daripada Ali, namun Ali lebih unggul daripada
Mu'awiyah, juga anggota klan mereka tapi menjadi musuh Ali).
Dengan begitu kaum Marwani atau Umawi meletakkan landasan
dialog intern Islam yang meliputi semua, yang di situ setiap
kelompok memperoleh kehormatannya, sedikit atau pun banyak.
Tradisi ini berkembang dan tumbuh kuat, dan menjadi dasar
faham yang kini merupakan anutan terbesar kaum Muslim di
dunia, yaitu faham yang menggabungkan antara ideologi Jama'ah
(persatuan dan kesatuan) dan ideologi Sunnah (faham yang
memandang otoritas masa lalu dan tradisi yang sah sebagai
bahan rujukan), maka disebut Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah,
biasa disingkat dengan Ahl al-Sunnah, lebih singkat lagi,
golongan Sunni.
PENUTUP
Dikarenakan terbatasaya ruang dan sifat pembahasan, yang dapat
dikemukakan di atas hanyalah masalah-masalah mendasar tentang
faham-faham pecahan dini Islam, yaitu Khawarij, Syi'ah dan
Sunnah. Masing-masing pecahan itu sesungguhnya pecah lagi ke
dalam berbagai kelompok, kemudian dibarengi atau disusul oleh
munculnya berbagai pecahan yang lain lagi.
Uraian di atas, meskipun jauh dari sempurna dan lengkap,
diharap dapat memberi gambaran (dan kesadaran) betapa
relatifnya pangkal skisme dalam Islam (karena berakar dalam
pertikaian sosial-politik yang sama sekali tidak mungkin lepas
dari konteks ruang dan waktu dalam pengertian yang
seluas-luasnya). Maka dengan jelas dapat dilihat betapa
absurd-nya memutlakkan kebenaran suatu aliran paham dalam
agama (Islam). Juga bisa dilihat, betapa problematisnya
kekhalifahan dan kedudukan seorang khalifah, lebih-lebih lagi
jika kita perhitungkan pandangan semua kelompok mengenai
masalah kekhalifahan itu. (Patut diperhatikan, betapa kaum
Syi'ah cenderung hanya mengakui Ali, kaum Khawarij hanya Abu
Bakr dan Umar, kaum Umawi lama hanya Abu Bakr, Umar, Utsman,
plus Mu'awiyah, kaum Marwani atau Umawi, sama dengan golongan
Sunni, mengakui semuanya namun dengan mengunggulkan Utsman
atas Ali dan Ali atas Mu'awiyah. Dan setiap kelompok itu,
dengan sendirinya, mempunyai sistem dan teori pembenaran bagi
pandangan masing-masing, tidak jarang dinyatakan dalam
gaya-gaya absolutistik dan "pasti benar").
Maka kesimpulannya, mungkin yang diperlukan sekarang ialah
mengembangkan dasar fikiran nonsektarianisme, dan melihat
sektarianisme sebagai jenis kemusyrikan, sesuai dengan
peringatan, "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik,
yaitu mereka yang memecah belah agama mereka kemudian menjadi
bersekte-sekte, setiap golongan membanggakan apa yang ada pada
mereka" (yakni, antara lain, mengaku benar sendiri). [17]
Sebenarnya semangat non-sektarianisme inilah salah satu
pandangan dasar Islam yang dibawa Nabi, karena mengambil
pelajaran dari pengalaman agama-agama sebelumnya, sebagai
tercermin dalam peringatan yang lain, "Sesungguhnya mereka
yang memecah belah agama mereka kemudian menjadi
bersekte-sekte, engkau (Muhammad) tidak sedikit pun termasuk
mereka." [18] Semangat non-sektarianis itulah salah satu makna
yang dimaksud bahwa agama Tawhid Nabi Ibrahim adalah hanif,
yakni, sebagai jawab kecenderungan alami manusia untuk memihak
yang baik dan benar: "Maka ikutilah olehmu semua agama
Ibrahim, secara hanif." [19] Agaknya kita semua ditantang
untuk memerangi sektarianisme yang kini masih menggejala.
CATATAN
1. QS. al-Mu'minun/23:51-52.
2. QS. al-Baqarah/2:213.
3. QS. Hud/11:118-119.
4. QS. Yunus/10:19..tb5.tb5
5. A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation and Commentary
(Jeddah: Dar al Qibla, 1403 H), h. 488, catatan 1407.
6. Sabda Nabi yang terbaca, Ikhtilaf ummati rahmah (Perbedaan
pendapat ummatku adalah rahmat). Cukup ironis bahwa justru
hadits ini pun diperselisihkan, baik dari kesahihan sanadnya
maupun dari segi lafalnya yang lebih persis. Lafal lain
terbaca, misalnya, Ikhtilaf al-a'immah rahmah li al-ummah
(Perbedaan pendapat para imam adalah rahmat untuk ummat). Tapi
betapa pun diperselisihkan hadits itu nampaknya banyak
dipercayai para ahli. Rasyid Ridla, misalnya, memberi
pengantar dengan semangat hadits itu untuk penerbitan risalah
Ibn Taymiyyah, Khilaf al-Ummah fi al-Ibadat wa Madzhab Ahl
al-Sunnah wa al-Jama'ah (Perselisihan umat dalam ibadat dan
Madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah), (Cairo: Mathba'at
al-Manar, 1326 H.).
7. QS. al-Ma'idah 5:51.
8. Mungkin bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penghindaran
dari kenyataan pahit dalam sejarah Islam, salah satu unsur
dalam faham Sunni ialah semacam konsensus untuk tidak
membicarakan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang menyangkut
peperangan dan perebutan posisi politik yang terjadi antara
para Sahabat Nabi sekitar seperempat abad sesudah wafat
beliau. Terdapat pandangan bahwa kalangan "awam" sebaiknya
tidak membicarakan hal itu. (Lihat, misalnya, H. Muhammad
Shalih ibn Umar Samarani, Tarjamah Sabil al-Abid ala Jawharat
al-Tauhid [tanpa data penerbitan], hh.241-242).
9. Banyak bahan rujuknya dari literatur klasik untuk
pembahasan sekitar perkembangan dini sejarah Islam yang
menyangkut fitnah besar ini. Salah satunya ialah Tarikh
at-Thabari yang terkenal, yang meskipun ditulis di bawah
bayangan kuat idiologi Sunni namun sampai batas yang cukup
jauh tidak kehilangan sifat ilmiahnya. Tapi uraian berikut
hanyak dibuat dengan bersandar kepada kepada Marshall G.S.
Hodgson, The Venture of Islam, tiga jilid (Chicago, The
University of Chicago Press, 1974), jil. 1, passim.
10. Bukan saja samasekali tidak ada perbedaan antara al-Qur'an
pada kaum Sunni dan al-Qur'an pada kaum Syi'i. Bahkan
al-Qur'an kaum Syi'i pun ditulis dengan mengikuti ejaan atau
rasm Utsmani, baik yang diterbitkan pada masa pemerintahan
Syah Reza Pahlewi maupun yang diterbitkan pada masa
pemerintahan Islam revolusioner (Khumaini). Yang pertama
diwakili oleh mushaf terbitan Mu'assasat Intisyarat Amir
Kabir, Teheran, 1343 H./1965 M. (Meskipun tidak disebutkan
dalam pengantar atau lainnya bahwa mushaf itu ditulis dengan
ejaan Utsmani, namun kenyataannya ia persis sama dengan mushaf
ejaan Utsmani). Yang kedua diwakili oleh mushaf terbitan
Mu'assasat Intisyarat Shabirin, Teheran, 1405 Hijri qamari
(lunar) atau 1363 Hijri Syamsi (solar). Dalam kata penutup
terbitan mushaf ini (h. 983) ditegaskan oleh penerbit bahwa
mushaf itu menggunakan ejaan yang paling asli dan paling
aktual, yang dikenal dcngall "rasm al-mushaf" atau "rasm
Utsmani." Bahkan qira'at atau bacaannya disebutkan, seperti
pada mushaf- mushaf Sunni, sebagai berasal dari riwayat Hafsh
dari Ashim, "yang dari jalur lain dari Imam Ali ibn Abi
Thalib."
11. Perdebatan itu terekam dalam karya seorang murid Imam Abu
Hanifah, Abu Ya'quh Yusuf, Kitab al-Kharaj.
12. QS. al-Baqarah 2:207.
13. Karena hampir semua kelompok Islam mengakui kekuasaan de
facto Mu'awiyah, maka tahun 41 Hijri disebut "Tahun Persatuan"
('Am al Jama'ah). (Lihat, al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek,
Tarikh al-Tasri al-Islami, [Beirut, Dar al-Fikr, 1387 H/1967],
h. 110, juga h. 87). Dan kemudian konsep Jama'ah itu
dikembangkan sebagai idiologi.
14. Sangat menarik sebagai bahan studi lebih mendalam
mempelajari berbagai polemik sekitar Ali dan Mu'awiyah ini.
Misalnya, Ibn Taymiyyah, salah seorang pemikir Sunni mazhab
Hanbali yang sangat polemis terhadap golongan Syi'ah,
mengatakan, "Perilaku Mu'awiyah terhadap rakyatnya adalah
termasuk sebaik-baik perilaku para penguasa, dan rakyatnya
mencintainya. Padahal telah mantap dalam al-Shahihayn
(Bukhari-Muslim) dari Nabi s.a.w. bahwa beliau bersabda,
'Sebaik-baik para pemimpinmu ialah yang kamu cinta kepada
mereka dan mereka cinta kepada kamu dan berdo'a untuk
kebaikanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu ialah yang kamu
benci kepada mereka dan mereka benci kepadamu, serta kamu
mengutuk mereka dan mereka mengutuk kamu." (Minhaj al-Sunnah,
jil. 3, h. 189). Sebaliknya tentang Ali, Ibn Taymiyyah masih
sempat mencatat demikian, "... Dan tatkala dia (Ali) melamar
anak perempuan Abu Jahl, beliau (Nabi) bersabda, Bani
al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan anak
perempuan mereka kepada Ali. Dan sungguh aku tidak akan
mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sekali lagi
tidak akan mengizinkan! Kecuali jika anak Abu Thalib itu
menceraikan anak perempuanku (Fathimah) dan kemudian kawin
dengan anak perempuan mereka. Demi Allah, tidak akan berkumpul
menjadi satu anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan
musuh Allah pada satu orang lelaki.'" (ibid., h. 194). Jadi
dalam kutipan pertama Ibn Taymiyyah ingin mengesankan bahwa
Mu'awiyah bertingkah laku sesuai dengan Sunnah, dan dalam
kutipan kedua ia mau memperlihatkan betapa Ali pernah membuat
hal yang menyakiti hati Nabi.
15. Perlu diingat bahwa meskipun al-Qur'an telah dipersatukan
kodifikasinya oleh Utsman namun orang masih mengalami
kesulitan untuk memastikan pembacaannya, kecuali mereka yang
benar-benar mengenal bahasa Arab karena dibesarkan sebagai
orang Arab. Sedangkan mereka yang tidak demikian keadaannya
akan terbentur kepada sistem huruf Arab, sama dengan
huruf-hurut Semitik yang lain, yang hanya mengenal konsonan,
tanpa huruf hidup. Sebagai contoh tulisan Arab tingkat awal
itu berikut ini adalah (foto) kopi surat Rasulullah kepada
al-Mundzir ibn Sawi, yang diturun oleh Dr. Muhammad Hamidullah
dengan izin majalah orientalisme Jerman, Zeltschrift der
Deutschen Morgenlandischen dalam Majmu'at al-Watsa'iq
al-Siyasiyyah li al-Ahd al-Nabawi wa Khilaafat al-Rasyidah
(Beirut: Dar al-Irsyad. 1389 H/1969), dokumen No. 57 (antara
hh. 114 dan 115):
Tulisan seperti di masa Rasulullah itulah yang juga digunakan
untuk kodifikasi al-Qur'an oleh Utsman dan menghasilkan mushaf
rasmUtsmani. Perhatikan bahwa untuk perkembangan tulisan Arab
saat itu, kesulitan masih harus ditambah dengan tidak adanya
perbedaan simbol untuk cukup banyak bunyi, seperti untuk
bunyi-bunyi ba', ta', tsa nun dan ya', dan antara bunyi-bunyi
jim, ha' dan kha', antara dal dan dzal, antara ra' dan za'
antara sin dan syin, antara shad dan dlal, antara tha' dan
dha', antara 'ayn dan ghayn, akhirnya, antara fa' dan qaf.
Maka penambahan beberapa diakritik, seperti satu, dua, tiga
titik, di bawah dan di atas oleh al-Hajjaj merupakan fase amat
penting dalam sejarah metode penulisan al-Qur'an.
16. Perkataan Arab "fiqh" sendiri berarti "faham" (dalam makna
"mengerti"). Penggunaan perkataan "fiqh" sebenarnya merujuk
kepada beberapa firman Allah, antara lain, "Kami (Tuhan) telah
merinci berbagai ayat untuk kaum yang mengerti" (ber-fiqh)
(QS. al-An'am 6:98), dan. "... Maka hendaklah dari setiap
golongan ada satu kelompok orang yang pergi (mencurahkan
perhatian) untuk memahami agama secara mendalam (ber-tafaqquh)
..." (QS. al-Tawbah/9:122. Jadi yang dimaksudkan dengan
perkataan fiqh dalam firman-firman itu pendalaman ajaran
keagamaan secara menyeluruh. Tapi karena dominasi dan
supremasi persoalan penataan kembali masyarakat saat-saat dini
sejarah Islam, khususnya pada masa dinasti Marwani itu (antara
lain karena urgensi mengatasi dan menyudahi fitnah yang
berkelarutan), maka segi hukum dari agama juga amat dominan
dan supreme, sehingga pengetahuan mengenai masalah-masalah
hukum pun dianggap fiqh par excellence. Keadaan serupa itu
bertahan hampir sepanjang sejarah Islam sesudah masa Marwani,
sampai sekarang. Ini tercermin dalam bagaimana sebagian besar
kaum Muslim mempersepsi agamanya sebagai terutama sistem
hukum.
17. QS. al-Rum/30:32.
18. QS. al-An'am/6:169.
19. QS. Ali 'Imran/3:95. Bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad
adalah juga agama Ibrahim ditegaskan dalam cukup banyak
ayat-ayat suci, antara lain, "Katakan Muhammad, 'Sesungguhnya
aku diberi petunjuk oleh Tuhanku ke arah jalan yang lurus,
yaitu agama yang teguh (konsisten), agama (Nabi) Ibrahim yang
hanif ." (QS. al-An'am/6:161).
VI.21. SEJARAH AWAL DAN PEMBAKUAN HUKUM ISLAM
oleh Nurcholish Madjid
Dalam bidang fiqh seperti juga dalam bidang-bidang yang
lain masa Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat
Nabi dan masa tampilnya imam-imam madzhab. Di satu pihak
masa itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat
Nabi, di lain pihak pada masa itu juga mulai disaksikan
munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara nisbi lebih
mandiri, dengan penampilan kesarjanaan di bidang keahlian
yang lebih mengarah pada spesialisasi.
Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum
Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim ditangan para
Sahabat Nabi). Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa
Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan
masa Tabi'in al-Tabi'in ("para pengikut dari para pengikut"
yakni, kaum Muslim generasi ketiga), dianggap sebagai
masa-masa paling otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga
masa itu sebagai kesatuan suasana yang disebut salaf
(Klasik).
Walaupun begitu tidaklah berarti masa generasi kedua ini
bebas dari persoalan dan kerumitan. Justru sifat
transisional masa ini ditandai berbagai gejala kekacauan
pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari sisa dan
kelanjutan berbagai konflik politik, terutama yang terjadi
sejak peristiwa pembunuhan 'Utsman, Khalifah III. Tumbuhnya
partisan-partisan politik yang berjuang keras memperoleh
pengakuan dan legitimasi bagi klaim-klaim mereka, seperti
Khawarij, Syi'ah, Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong
berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian itu antara lain
menjadi sebab bagi berkecamuknya praktek pemalsuan hadits
atau penuturan dan cerita tentang Nabi dan para sahabat.
Melukiskan keadaan yang ruwet itu Musthafa al-Siba'i
mengetengahkan keterangan di bawah ini.
Tahun empat puluh Hijriah adalah batas pemisah antara
kemurnian Sunnah dan kebebasannya dari kebohongan dan
pemalsuan di satu pihak, dan ditambah-tambahnya Sunnah itu
serta digunakannya sebagai alat melayani berbagai
kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya
setelah perselisihan antara 'Ali dan Mu'awiyah berubah
menjadi peperangan dan yang banyak menumpahkan darah dan
mengorbankan jiwa, serta setelah orang-orang Muslim
terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Sebagian besar
orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan
Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh dendam terhadap
'Ali dan Mu'awiyah sekaligus setelah mereka itu sendiri
sebelumnya merupakan pendukung 'Ali yang bersemangat.
Setelah 'Ali r.a. wafat dan Mu'awiyah habis masa
kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi (Ahl
al-Bayt) bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak
mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan taat
pada Dinasti Umayyah.
Begitulah, peristiwa-peristiwa politik menjadi sebab
terpecahnya kaum Muslim dalam berbagai golongan dan partai.
Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat
keagamaan, yang kelak mempunyai pengaruh yang lebih jauh
bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap
partai berusaha menguatkan posisinya dengan al-Qur'an dan
Sunnah, dan wajarlah bahwa al-Qur'an dan Sunnah itu untuk
setiap kelompok tidak selalu mendukung klaim-klaim mereka.
Maka sebagian golongan itu melakukan interpretasi al-Qur'an
tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash Sunnah pada
makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada
lisan Rasul hadits-hadits yang menguatkan klaim mereka,
setelah hal itu tidak mungkin mereka lakukan terhadap
al-Qur'an karena ia sangat terlindung (terpelihara) dan
banyaknya orang Muslim yang meriwayatkan dan membacanya.
Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang
sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama yang dituju para
pemalsu hadits itu ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka
mereka palsukanlah banyak hadits tentang kelebihan imam-imam
mereka dan para tokoh kelompok mereka. Ada yang mengatakan
bahwa yang pertama melakukan hal itu ialah kaum Syi'ah
-dengan perbedaan berbagai kelompok mereka- sebagaimana
dituturkan Ibn Abi al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa pangkal kebohongan dalam hadits-hadits
tentang keunggulan (tokoh-tokoh) muncul dari arah kaum
Syi'ah..." Tapi kemudian diimbangi orang-orang bodoh dari
kalangan Ahl al-Sunnah dengan perbuatan pemalsuan juga. [1]
Dihadapkan keruwetan itu, para Tabi'in -dengan dipimpin
tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan penampilan kesarjanaan-
mencoba melakukan sesuatu yang amat berat namun kemudian
membuahkan hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan
Hukum Islam melalui fiqh atau "proses pemahaman" yang
sistimatis.
WAWASAN HUKUM ZAMAN TABI'IN
Antara Islam sebagai agama dan Hukum terdapat kaitan
langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah
tinggal menetap di Madinah Nabi saw. melakukan kegiatan
legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman
telah ada sejak di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya
telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu.
Dasar-dasar itu memang tidak semuanya langsung bersifat
kehukuman atau legalistik, sebab selalu dikaitkan dengan
ajaran moral dan etika. Maka sejak di Makkah Nabi
mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara
lain mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan
yang haram (semua harta yang diperoleh melalui penindasan
adalah haram), keharusan menghormati hak milik sah orang
lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar,
perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya.
Itu semua tidak akan tidak melahirkan sistem hukum,
sekalipun keadaan di Makkah belum mengizinkan bagi Nabi
untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan
kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat
wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.
Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para
Tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil
digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium
Islam yang meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan
kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari
semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah
itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap
sebagai heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab:
al-Da'irat al-Ma'murah) telah mempunyai tradisi
sosial-politik yang sangat mapan dan tinggi, termasuk
tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan
warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya. Karena itu
mudah dipahami jika timbul semacam tuntutan intelektual
untuk berbagai segi kehidupan masyarakat yang harus dijawab
para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu.
Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu genre
kegiatan ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu
Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya
yang telah terjadi pada masa tabi'in itu ialah semacam
pendekatan ad hoc dan praktis-pragmatis terhadap
persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan
prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan dengan
melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta
masyarakat lingkungan mereka yang secara ideal terdekat,
khususnya masyarakat Madinah.
Pendekatan ini dimungkinkan karena watak dasar Hukum Islam
yang lapang dan luwes, sehingga mampu menampung setiap
perkembangan yang terjadi. Berkenaan dengan hal ini
al-Sayyid Sabiq menjelaskan,
...Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut perkembangan
zaman dan tempat, seperti 'aqa'id dan 'ibadat, diberikan
secara sepenuhnya terperinci, dengan dijelaskan oleh
nash-nash yang bersangkutan; maka tidak seorang pun
dibenarkan menambah atau mengurangi. Tetapi yang berkembang
menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti berbagai
kepentingan kemasyarakatan (al-mashalih al-madaniyyah),
urusan politik dan peperangan, diberikan secara garis besar,
agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di semua zaman
dan agar dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulu
al-amr) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.[2]
Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar
bahwa letak kekuatan Islam ialah sifatnya yang akomodatif
terhadap setiap perkembangan zaman dan peralihan tempat
(shalih li kull zaman wa makan- sesuai untuk setiap zaman
dan tempat). Untuk mengerti masalah ini sangat menarik
mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq,
Penetapan Hukum (al-tasyri') Islam merupakan salah satu dari
berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci
Islam dan yang memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci
itu. Penetapan hukum keagamaan murni, seperti hukum-hukum
ibadat, tidak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada
Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah, atau dengan
suatu ijtihad yang disetujuinya. Dan tugas Rasul tidak
keluar dari lingkaran tugas menyampaikan (tabligh) dan
menjelaskan (tabyin). "Tidaklah ia (Nabi) berbicara atas
kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya." (QS. al-Najm/53:34).
Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi
bersifat kehakiman, politik dan perang, maka Rasul saw.
diperintahkan bermusyawarah mengenai itu semua. Dan Nabi
pernah mempunyai suatu pendapat, tapi ditinggalkannya dan
menerima pendapat para sahabat, sebagaimana terjadi pada
waktu perang Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra. pun selalu
meruduk kepada Nabi saw., guna menanyakan apa yang tidak
mereka ketahui, dan meminta tafsiran tentang makna-makna
berbagai nash yang tidak jelas bagi mereka. Mereka juga
mengemukakan kepada Nabi pemahaman mereka tentang nash-nash
itu, sehingga Nabi kadang-kadang membenarkan pemahaman
mereka itu, dan kadang-kadang beliau menerangkan letak
kesalahan dalam pendapat mereka itu.[3]
Sudah tentu keluasan dan fleksibilitas semangat umum Hukum
Islam itu dipertahankan, dan bertahan, melewati zaman Nabi
sendiri, kemudian zaman para Sahabat, dan diteruskan ke
zaman para Tabi'in. Tapi jika pada zaman Nabi tempat
rujukannya ialah Nabi sendiri, dengan otoritas yang diakui
semua. Pada zaman para sahabat Nabi itu diwarisi banyak
tokoh, yang kemudian bertindak sebagai tempat rujukan. Tapi
sejak pertikaian politik pada paroh kedua kekhalifahan
'Utsman, tanda-tanda menyebarnya, dan kemudian
berselisihnya, tempat rujukan itu sudah mulai nampak.
Seperti dilukiskan Siba'i yang telah dikutip di atas,
penyebaran dan perselisihan otoritas itu memuncak pada
sekitar sesudah 40 H. ketika banyak partisan mulai berusaha
keras memperebutkan legitimasi untuk klaim-klaim mereka. Ini
terjadi tanpa peduli dengan sambutan sebagian besar umat
Islam kepada tahun 41 Hijri sebagai "Tahun Persatuan" atau
"Tahun Solidaritas" ('Am al-Jama'ah), sebab "persatuan" dan
"solidaritas" itu agaknya hanya terbatas pada kenyataan
kembalinya kesatuan politik (formal) umat Islam di bawah
Khalifah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus.
DUA KUBU ORIENTASI FIQH: HIJAZ DAN IRAK
Di bawah pimpinan Khalifah Mu'awiyah (yang masa
kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permulaan masa
"kerajaan dengan rahmat" -al-mulk bi al-rahmah) kaum Muslim
dapat dikatakan kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar
dan 'Umar (zaman al-Syaykhani, "Dua Tokoh") yang amat
dirindukan orang banyak, termasuk para "aktivis militan"
yang membunuh 'Utsman (dan yang kemudian [ikut] mensponsori
pengangkatan 'Ali namun akhirnya berpisah dan menjadi
golongan Khawarij). Apa pun kualitas kekhalifahan Mu'awiyah
itu, namun dalam hal masalah penegakan hukum mereka tetap
sedapat mungkin berpegang dan meneruskan tradisi para
Khalifah di Madinah dahulu, khususnya tradisi 'Umar. Karena
itu ada semacam "koalisi" antara Damaskus dan Madinah (tapi
suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah
keabsahan kekuasaan Bani Umayyah itu). Tapi "koalisi" itu
mempunyai akibat cukup penting dalam bidang fiqh, yaitu
tumbuhnya orientasi kehukuman (Islam) kepada Hadits atau
Tradisi (dengan "T" besar) yang berpusat di Madinah dan
Makkah serta mendapat dukungan langsung atau tak langsung
dari rezim Damaskus.
Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan
keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan
Basrah adalah kawasan yang selalu potensial menentang
Damaskus secara efektif. Ini kemudian berdampak tumbuhnya
dua orientasi dengan perbedaan yang cukup penting: Hijaz
(Makkah-Madinah) dengan orientasi Haditsnya, dan Irak
(Kufah-Basrah) dengan orientasi penalaran pribadi
(ra'y)-nya. Penjelasan menarik tentang hal ini diberikan
oleh Syaykh 'Ali al-Khafif,
Pada zaman itu (zaman Tabi'in), dalam ifta' (pemberian
fatwa) ada dua aliran: aliran yang cenderung pada
kelonggaran dan bersandar atas penalaran, kias, penelitian
tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya, sebagai
dasar ijtihad. Tempatnya ialah Irak. Dan aliran yang
cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal tersebut, dan
hanya bersandar kepada bukti-bukti atsar (peninggalan atau
"petilasan," yakni, tradisi atau Sunnah) dan nash-nash.
Tempatnya ialah Hijaz. Adanya dua aliran itu merupakan
akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak.
Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap,
menyampaikan seruannya, kemudian para Sahabat beliau
menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau dan
menerapkannya. Dan (Hijaz) tetap menjadi tempat tinggal
banyak dari mereka (para Sahabat) yang datang kemudian
sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja
yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu
kaum Tabi'in yang bersemangat untuk tinggal di sana...
Sedangkan Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, sistem
pemerintahannya, kompleksitas kehidupannya, dan tidak
mendapatkan bagian dari Sunnah kecuali melalui para Sahabat
dan Tabi'in yang pindah kesana. Dan yang dibawa pindah oleh
mereka itu pun masih lebih sedikit daripada yang ada di
Hijaz. Padahal peristiwa-peristiwa (hukum) di Irak itu,
disebabkan masa lampaunya, adalah lebih banyak daripada yang
ada di Hijaz; begitu pula kebudayaan penduduknya dan
terlatihnya mereka itu kepada penalaran, adalah lebih luas
dan lebih banyak. Karena itulah keperluan mereka kepada
penalaran lebih kuat terasa, dan penggunaannya juga lebih
banyak. Penyandaran diri kepadanya juga lebih jelas nampak,
mengingat sedikitnya Sunnah pada mereka itu tidak memadai
untuk semua tuntutan mereka. Ini masih ditambah dengan
kecenderungan mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi dan
perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan,
penalaran mendalam dan pelaksanaan yang banyak.[4]
Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl al-Riwayah
("Kelompok Riwayat," karena mereka banyak berpegang kepada
penuturan masa lampau, seperti Hadits, sebagai pedoman) dan
orang-orang Irak adalah Ahl al-Ra'y ("Kelompok Penalaran",
dengan isyarat tidak banyak mementingkan "riwayat"),
sesungguhnya itu hanya karakteristik gaya intelektual
masing-masing daerah itu. Sedangkan pada peringkat individu,
cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak mengikuti
karakteristik umum itu. Maka di kalangan orang-orang Hijaz
terdapat seorang sarjana bernama Rabi'ah yang tergolong
"Kelompok Penalaran," dan di kalangan para sarjana Irak,
kelak, tampil seorang penganut dan pembela "Kelompok
Riwayat" yang sangat tegar, yaitu Ahmad ibn Hanbal.
Disamping itu, membuat generalisasi bahwa sesuatu kelompok
hanya melakukan satu metode penetapan hukum atau tasry',
apakah itu penalaran atau penuturan riwayat, adalah tidak
tepat. Terdapat persilangan antara keduanya, meskipun
masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari kedua
katagori tersebut. Ini semakin memperkaya pemikiran hukum
zaman Tabi'in.
IJTIHAD TABI'IN SEBAGAI PENDAHULU MADZHAB-MADZHAB
Menurut 'Ali al-Khafifi, seorang anggota Majma' al-Buhuts
al-Islamiyyah (Badan Riset Islam) Universitas al-Azhar,
Kairo, Ijtihad yang terjadi di zaman Tabi'in adalah ijtihad
mutlak. Yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan pendapat
seorang mujtahid yang terlebih dahulu, dan yang secara
langsung diarahkan membahas, meneliti dan memahami yang
benar. Ikatan hanya terjadi jika ditemukan sebuah pendapat
seorang Sahabat Nabi, yang diduga bersandar kepada Sunnah
yang karena beberapa sebab Sunnah itu tidak muncul
sebelumnya, kemudian pada zaman Tabi'in itu, lebih-lebih
zaman Tabi'in al-Tabi'in, suasana lebih mengizinkan untuk
muncul. Misalnya, perubahan situasi politik, dengan
perpindahan kekuasaan dari kaum Umawi ke kaum 'Abbasi, telah
membawa perubahan penting dalam sikap keagamaan. Meskipun
sesungguhnya kaum 'Abbasi akhirnya banyak meneruskan wawasan
hukum keagamaan kaum Umawi sebagai pendukung Ahl al-Sunnah
wa al-Jama'ah (yang sebagaimana telah disinggung, berkenaan
dengan hukum, banyak berorientasi kepada preseden-preseden
para khalifah Madinah, khususnya Umar), kaum 'Abbasi lebih
banyak dan lebih tulus perhatian mereka kepada
masalah-masalah keagamaan dari pada kaum Umawi. Sikap
berpegang kepada syari'ah ini bagi kaum 'Abbasi berarti
pengukuhan legitimasi politik dan kekuasaan mereka
(dibandingkan dengan kedudukan kaum Umawi, dan dihadapkan
kepada oposisi kaum Syi'ah dan Khawarij). Tapi disamping
itu, sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih mendukung
bagi perkembangan kajian agama, dan ini pada urutannya
memberi peluang lebih baik pada para sarjana untuk
menyatakan pendapatnya, termasuk menuturkan riwayat dan
Hadits. Usaha secara resmi pembakuan Sunnah (yang kemudian
menjadi sejajar dengan Hadits) telah mulai tumbuh sejak
jaman 'Umar ibn 'Abd-al'Aziz menjelang akhir kekuasaan
Umawi. Kini usaha ini memperoleh dorongan baru, dan
merangsang tumbuhnya berbagai aliran pemikiran keagamaan,
baik yang bersangkutan dengan bidang politik, teologi dan
hukum, maupun yang lain. [5]
Semua kegiatan itu juga terpengaruh kenyataan
sosial-politik, berupa semakin beragamnya latar belakang
etnis, kultural dan geografis anggota masyarakat Islam,
disebabkan banyaknya orang-orang bukan Arab (Syiria, Mesir,
Persi, dan sebagainya) yang masuk Islam. [6] Maka zaman itu
kita menyaksikan tampilnya tokoh-tokoh kesarjanaan dengan
bidang kajian ilmu yang lebih terspesialisasi, khususnya,
bidang kajian hukum Islam atau fiqh. Merekalah para
pendahulu imam-imam madzhab, bahkan guru-guru para calon
imam madzhab itu.
Suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah adanya kaitan
suatu aliran pikiran (yakni, madzhab, school of thought)
dengan tempat. Telah disebutkan adanya dua aliran pokok:
Irak dan Hijaz. Namun diantara keduanya, dan dalam diri
masing-masing aliran besar itu, terdapat nuansa yang cukup
berarti, dan cukup penting diperhatikan. Nuansa-nuansa itu
tercermin dalam ketokohan sarjana atau 'ulama' yang
mendominasi suasana intelektual suatu tempat, seperti
dituturkan al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg dalam kitabnya,
Tarikh al-Tasyri' al-Islami.
Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara lain:
1.Sa'id ibn al Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun
kekhalifahan 'Umar, dan sempat belajar dari para pembesar
Sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan Hadist yang bersambung
dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasi
dengannya. Wafat pada 94 H.
2.'Urwah ibn al-Zubayr ibn al-'Awwam. Lahir dimasa
kekhalifahan 'Utsman. Banyak belajar dari bibinya, Aisyah,
istri Nabi saw. wafat pada 94 H.
3.Abu Bakr ibn 'Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
al-Makhzumi. Lahir di masa kekhalifahan 'Umar. Terkenal
sangat saleh sehingga digelari "pendeta Quraysy" (rahib
Quraysy). Wafat pada 94 H.
4.'Ali ibn al-Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi.
Dia adalah imam keempat kaum Syi'ah Imamiyyah, dan dikenal
dengan Zayn al-'Abidin. Ia belajar dari ayahnya dan dari
pamannya, al-Hasan ibn 'Ali, 'Aisyah, ibn 'Abbas, dan
lain-lain. Ia terkenal sangat 'alim (terpelajar), tapi tidak
banyak meriwayatkan Hadits. Wafat pada 94 H.
5.'Ubayd-Allah ibn 'Abd-Allah ibn 'Utbah ibn Mas'ud.
Belajar dari 'Aisyah, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas, dan
lain-lain. Selain kepemimpinannya dalam fiqh dan Hadits, ia
juga terkenal sebagai penyair, dia adalah guru Khalifah
'Umar ibn 'Abd al-'Aziz. Wafat pada 98 H.
6.Salim ibn 'Abd-Allah ibn 'Umar. Belajar dari ayahnya
sendiri, juga dari A'isyah, Abd Hurayrah, Sa'id ibn
al-Musyyaib, dan lain-lain. Wafat pada 106 H.
7.Sulayman ibn Yasar, klien Maymunah (istri Nabi saw.)
Belajar dari patronnya sendiri, dan dari 'A'isyah, Abu
Hurayrah, Ibn Abbas, Zayd ibn Tsabit, dan sebagainya. Wafat
pada 107 H.
8.Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Mendapat pendidikan dari
'A'isyah (bibinya sendiri), Ibn Abbas, Ibn 'Umar, dan
sebagainya. Wafat pada 106 H.
9.Nafi', klien 'Abd-Allah ibn 'Umar. Belajar dari patronnya
sendiri, dan dari 'A'isyah, Abu Hurayrah, dan lainnya.
Diutus oleh 'Umar ibn 'Abd-al-Aziz ke Mesir, mengajar
Sunnah. Berasal dari Daylam (daerah Iran). Wafat pada 117 H.
10.Muhammad ibn Muslim, yang terkenal dengan Ibn Syihab
al-Zuhri. Lahir 50 H., dan belajar dari 'Abd-Allah ibn
'Umar, Annas ibn Malik, Sa'id ibn al-Musayyaib, dan
sebagainya. Mendapat perintah dari 'Umar ibn 'Abd-al-Aziz
untuk mencatat Sunnah penduduk Madinah sebagai rintisan
resmi pertama pembukuan Hadits.
11.Abu Ja'far ibn Muhammad ibn 'Ali ibn al-Husayn, yang
dikenal dengan sebutan al-Baqir. Dia adalah imam kelima kaum
Syi'ah. Belajar dari ayahandanya sendiri, juga dari Jabir
dan 'Abd-Allah Ibn 'Umar, dan sebagainya. Dikenal sebagai
"Kepala Bani Hasyim" di zamannya. Wafat pada 114 H.
Di Makkah beberapa sarjana terkenal juga tampil:
1.'Abd-Allah ibn, 'Abbas ibn 'Abd-Muthalib. Lahir dua tahun
sebelum Hijrah, dan pernah dibacakan do'a oleh Nabi agar
mempunyai pemahaman mendalam (tafaqquh) dalam agama. Beliau
diajar tentang ta'wil. Dianggap Bapak Ilmu tafsir al-Qur'an.
Belajar banyak dari 'Umar, 'Ali dan Ubay ibn Ka'b. Wafat di
Thaif pada 68 H.
2.Mujahid ibn Jabr, Klien Bani Makhzum. Belajar dari Sa'd,
'A'isyah, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas, dan lain-lain. Wafat
pada 103 H.
3.'Ikrimah, klien Ibn 'Abbas. Belajar dari Ibn 'Abbas,
'A'isyah, Abu Hurayrah, dll. Pernah menyatakan ia sependapat
dengan kaum Khawarij. Wafat pada 107 H.
4.'Atha ibn Rabbah. Belajar dari 'A'isyah, Abu Hurayrah, Ibn
'Abbas, dan sebagainya. Disebutkan berkulit hitam kelam,
yang fasih dan luas pengetahuan. Sangat banyak mendapat
pujian dari para 'ulama' yang lain, termasuk mereka yang
hidup sezaman. Wafat pada 114 H.
Dari kalangan warga Kufah yang tampil antara lain ialah:
1.'Alqamah ibn Qays al-Nakha'i. Lahir di masa Nabi masih
hidup, dan belajar dari 'Umar, 'Utsman, Ibn Mas'ud, 'Ali,
dan lainnya. Murid terkemuka Ibn Mas'ud. Wafat pada 62 H.
2.Masruq ibn al-Ajda' al-Hamdani. Belajar dari 'Umar, 'Ali,
Ibn Mas'ud, dan sebagainya. Wafat pada 63 H.
3.Al-Aswab ibn Yazid al-Nakha'i, dan
4.Ibrahim ibn Yazid al-Nakha'i. Keduanya bersaudara, dan
sama-sama tampil sebagai sarjana terkemuka. Kedua-duanya
wafat pada 95 H.
5.'Amir ibn Syarahil al-Sya'bi. Lahir 17 H. Sarjana Tabi'in
yang paling terkemuka. Guru utama Imam Abu Hanifah. Belajar
dari 'Ali, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas, 'A'isyah, Ibn 'Umar,
dan sebagainya. Cukup menarik bahwa al-Sya'bi tidak suka
kepada metode qiyas (analogi) yang menjadi ciri Ahl al-Ra'y
yang dikembangkan muridnya, Abu Hanifah.
Kemudian dari Basrah, tampil tokoh-tokoh, antara lain:
1.Anas ibn Malik al-Anshari. Seorang khadam, karena ia
Sahabat Nabi sejak Hijrah sampai wafat. Karena penampilannya
sebagai sarjana dan peranannya dalam mendidik para Tabi'in
maka ia termasukkan dalam daftar ini. Selain belajar dari
Nabi juga banyak belajar dari Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman,
Ubbay, dll. Wafat pada 90 H.
2.Abu al-'Aliyah Rafi' ibn Mahran al-Riyahi. Belajar dari
'Umar, Ibn Mas'ud, 'Ali dan 'A'isyah. Wafat pada 90 H.
3.Al-Hasan ibn Abi al-Hasan Yassar, klien Zayd ibn Tsabit.
Dibesarkan di Madinah dan menghafal al-Qur'an di zaman
'Utsman. Seorang pejuang yang terkenal berani, di samping
seorang sarjana terkemuka. Wafat pada 110 H.
4.Abu al-Syaitsa', Jabir ibn Zayd, kawan Ibn 'Abbas. Banyak
belajar dari kawannya sendiri itu. Wafat pada 93 H.
5.Muhammad ibn Sirin, klien Anas ibn Malik. Belajar dari
patronnya, kemudian dari Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas dan Ibn
'Umar. Wafat pada 110 H.
6.Qatadah ibn Da'aman al-Dusi. Selain ahli hukum Islam, ia
juga ahli bahasa, sejarah dan geneologi (al-nasab). Wafat
pada 118 H.
Dari daerah Syam (Syria) beberapa tokoh ahli hukum tampil,
seperti 'Abd-al-rahman ibn Gahnim al-Asy'ari, Abu Idris
al-Khulani, Qabishah ibn Dzu'ayb, Makhul ibn Abi Muslim,
Raja ibn Hayah al-Kindi, dan lain-lain. Namun yang paling
penting dari para sarjana Syam itu ialah Khalifah 'Umar ibn
'Abd-al-'Aziz, terkenal sebagai 'Umar II dan banyak
dipandang sebagai yang kelima dari al-Khulafa' al-Rasyidin,
Dialah yang mengukuhkan tarbi, (mengakui empat Khalifah
pertama: Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali) dan mensponsori
secara resmi (kenegaraan) usaha penulisan Sunnah atau
Hadits. Dia wafat pada 101 H.
Mesir saat itu belum menjadi tandingan tempat-tempat yang
tersebut di atas. Kota Kairo belum ada (baru didirikan oleh
Dinasti Fathimiyah kelak, bersama Masjid-Universitas
al-Azharnya), dan ibukota Mesir ialah Fusthath yang
perkembangannya tidak terlalu pesat seperti lain-lain.
Walaupun begitu telah tampil pula di kalangan Mesir beberapa
sarjana terkemuka, seperti 'Abd-Allah ibn al-'Ash (wafat
pada 65 H.), 'Abd-al-Khayr ibn 'Abd-allah al-Yazani (wafat
pada 90 H.), Yazid ibn Abi Habib yang disebut-sebut sebagai
pelopor ilmu pengetahuan di Mesir dan ahli masalah halal dan
haram (wafat pada 128 H.).
Di Jazirah Arabia sebelah selatan, yaitu Yaman, juga banyak
muncul sarjana-sarjana dengan pengaruh yang jauh keluar dari
batasan daerahnya sendiri. Mereka itu, antara lain, Thawus
ibn Kaysan al-Jundi (wafat pada 106 H.) yang belajar dari
Zayd ibn Tsabit, 'A'isyah, Abu Hurayrah, dan lainnya.
Kemudian Wahb ibn Munabbin al-Shan'ani, yang belajar dari
Ibn 'Umar, Ibn 'Abbas, Jabir, dan lainnya. Wafat pada 114 H.
Selanjutnya ialah Yahya ibn Abi Katsir yang menurut
sementara 'ulama' yang lain seperti Syu'bah dianggap lebih
ahli tentang Hadits daripada al-Zuhri tersebut. [7]
Para tokoh ahli hukum itu dan kegiatan ilmiah serta
pengajarannya telah mendorong tumbuhnya para spesialis hukum
angkatan berikutnya, seperti al-Awza'i, Sufyan al-Tsawri,
al-Layts ibn Sa'd, dan lainnya. Mereka ini, pada gilirannya,
telah melapangkan jalan bagi tampilnya para imam madzhab
yang sampai saat ini pengaruhnya masih amat kukuh seperti
Abu Hanifah, Malik, al-Syafi'i, dan Ahmad ibn Hanbal.
CATATAN
1.Musthafa al-Siba'i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri'
al-Islami (Kairo: al-Dar al-Qawmiyyah. 1949), hh. 7fe7).
2.Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al -Sunnah, (Kuwait: Dar al-Bayan
1968/1388), jil. I h. 13.
3.Ibid., h. 17.
4.Al-Syaykh 'Ali al-Khafifi, "Al-Ijtihad fi 'Ashr al-Tabi'in
wa Tabi'i 'l-Tabi'in," dalam Al-Ijtihad fi al-Syari'at
al-Islamiyyah. (Riyadl: Jami'at al-Imam Muhammad ibn Su'ud
al-lslamiyyah, 1404/1984), hh. 224-5.
5.Ibid., h. 223.
6.Ibid. h. 222.
7.Untuk keterangan lebih lengkap tentang tokoh-tokoh ini,
lihat al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg, Tarikh al-Tasyri'
al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1387/1968), h. 126-41.
IV.23. TRADISI SYARAH DAN HASYIYAH DALAM FIQH
DAN MASALAH STAGNASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (1/2)
oleh Nurcholish Madjid
Kita telah membicarakan garis perkembangan pemikiran sistem
hukum Islam --yang kemudian dikenal dengan (ilmu) fiqh-- sejak
dari pertumbuhannya di masa para Sahabat, kemudian para
Tabi'in dan pengikut mereka, dan akhirnya pertumbuhannya di
masa para imam madzhab. Sampai dengan masa itu, yang kita
saksikan dalam sejarah perkembangan fiqh ialah dinamika dan
kreativitas, yang senantiasa disertai dengan kegaduhan polemik
dan kontroversi, namun dalam suasana saling menghargai dan
tenggang rasa yang besar. Keadaan demikian itu dilukiskan K.H.
Muhammad Hasyim Asy'ari dari Tebuireng:
Telah diketahui bahwa sesungguhnya telah terjadi perbedaan
dalam furu' (makalah rincian) antara para Sahabat Rasulullah
saw (semoga Allah meridlai mereka semua), namun tidak seorang
pun dari mereka memusuhi yang lain, juga tidak seorang pun
dari mereka yang menyakiti yang lain, dan tidak saling
menisbatkan lainnya kepada kesalahan ataupun cacat. Demikian
pula telah terjadi perbedaan dalam furu' antara Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik (semoga Allah meridlai keduanya) dalam
banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar empatbelas ribu
dalam bab-bab ibadat dan mu'amalah, serta antara Imam
al-Syafi'i dan gurunya, Imam Malik, (semoga Allah meridlai
keduanya) dalam banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar
enam ribu, demikian pula antara Imam Ahmad ibn Hanbal dan
gurunya, Imam al-Syafi'i, dalam banyak masalah, namun tidak
seorang pun dari mereka yang menyakiti yang lain, tidak
seorang pun dari mereka mencerca yang lain, tidak seorang pun
dari mereka mendengki yang lain, dan tidak seorang pun dari
mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacat.
Sebaliknya mereka tetap saling mencintai, saling mendukung
sesama saudara mereka, dan masing-masing berdoa untuk segala
kebaikan mereka itu.[1]
K.H. Hasyim Asy'ari juga menyebut, terjadi banyak perbedaan
pendapat antara para tokoh intern madzhab sendiri pada
saat-saat permulaan perkembangannya, seperti antara Imam
al-Rafi'i dan Imam al-Nawawi, juga antara Imam Ahmad ibn Hajar
dan Imam al-Ramli dan para pengikut mereka, namun "tidak
seorang pun dari mereka memusuhi yang lain, tidak seorang pun
dari mereka menyakiti yang lain, dan tidak seorang pun dari
mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacat,
bahkan sebaliknya mereka selalu saling mencintai,
berpersaudaraan, dan saling menolong." [2]
Setelah masa-masa para imam madzhab lewat, yaitu mulai sekitar
abad keempat Hijri, maka yang terjadi ialah pertumbuhan dan
perkembangan madzhab itu sendiri. Jalan pikiran para imam itu
menjadi titik tolak, tapi kemudian dikembangkan begitu rupa
sehingga yang terwujud ialah sebuah aliran yang meluas dan
mendalam dan cukup pada dirinya sendiri (self-sufficient).
Maka dari titik tolak pemikiran Imam al-Syafi'i, misalnya,
tumbuh dan berkembang pemikiran yang lebih meluas dan
mendalam, yang serba berkecukupan. Karena itu yang ada
bukanlah pemikiran Imam al-Syafi'i itu an sich, melainkan
pemikiran yang meskipun tetap berwatak "kesyafi'ian" namun
dalam banyak hal Imam al-Syafi'i sendiri mungkin tidak lagi
tersangkut paut. Inilah yang dimaksudkan dengan istilah
"madzhab," yaitu suatu kesatuan pemikiran yang tumbuh dan
berkembang, bertitik tolak dari produk intelektual satu orang,
namun belum tentu orang tersebut sepenuhnya dapat dipandang
sebagai ikut bertanggungjawab. Penilaian ini lebih-lebih
beralasan, karena para tokoh pemikir yang menjadi pangkal
pengembangan madzhab tersebut semasa hidupnya sendiri sering
mengisyaratkan keengganan menjadi pusat pengikutan. Jadi
sesungguhnya seorang pemikir seperti al-Syafi'i menjadi imam
madzhab adalah secara post factum, yaitu setelah fakta
perkembangan pemikiran yang bertitik tolak dari dia itu,
menjadi kenyataan, setelah dia sendiri lama tiada.
Pertumbuhan madzhab itu dengan sendirinya terjadi melalui para
pengikut tokoh yang kelak disebut "imam madzhab" tersebut.
Mula-mula masih terdapat sisa-sisa kreativitas dan keberanian
intelektual yang menghasilkan karya-karya tersendiri dengan
tingkat orisinalitas yang memadai, seperti yang banyak
dilakukan oleh misalnya, al-Za'farani, al-Karabisi, al-Rabi',
al-Buwaythi, al-Muzni, dan lain-lain dari kalangan para
penganut madzhab Syafi'i. Demikian pula tokoh-tokoh dari
madzhab-madzhab yang lain.
Tetapi masa itu segera diikuti oleh masa dengan tingkat
kreativitas dan orisinalitas intelektual yang lebih rendah.
Inilah masa syarah (penjabaran) dan hasyiyah (penjabaran atas
syarah). Ciri umum masyarakat Muslim saat itu ialah suasana
traumatis terhadap perpecahan dan perselisihan, sehingga yang
muncul sebagai dambaan atau obsesi utama masyarakat, ialah
ketenangan dan ketenteraman. Agaknya dambaan mereka tercapai,
tapi dengan ongkos yang amat mahal, yaitu stagnasi atau
kemandekan. Sebab ketenangan dan ketenteraman itu mereka
"beli" dengan menutup dan mengekang kreativitas intelektual
dan penjelasan, atas nama doktrin taqlid dan tertutupnya
ijtihad. Ketidakberanian mengambil risiko salah dalam
penelitian dan penjelajahan itu kemudian dirasionalisasikan
dengan argumen: Apa yang telah dihasilkan para imam madzhab
dan pendukung-pendukung mereka itu seolah-olah sudah "final,"
dan apapun produk pemikiran mereka harus diterima sebagai
berlaku "sekali dan untuk selamanya". Ditambah lagi dengan
keadaan politik negeri-negeri Muslim yang telah mulai
kehilangan "elan vital"-nya antara lain karena banyaknya
serbuan-serbuan militer dari Asia Tengah seperti dari kalangan
bangsa-bangsa Turki dan Mongol, maka dambaan kepada ketenangan
dan ketenteraman menjadi semakin beralasan, yang kemudian
lambat laun berkembang menjadi semacam etos di kalangan kaum
Muslim di seluruh dunia. Karena orisinalitas pemikiran tidak
berkembang lagi, maka yang terjadi ialah pengulangan dan
penghafalan yang sudah ada. Dan karena pemikiran kritis juga
terkekang, maka tercipta suasana bagi tumbuhnya mitos-mitos.
Jadi tidak berlebihan jika masa itu sering ditunjuk sebagai
permulaan kemunduran peradaban Islam, yang kemudian kelak,
berakhir dengan kekalahan mereka oleh ummat-ummat lain,
khususnya bangsa-bangsa Eropa.
SYARAH DAN HASYIYAH
Mulai saat itulah kurang lebih muncul ide tentang keharusan
seorang Muslim memilih salah satu dari madzhab-madzhab yang
ada sebagai anutan. Logika keharusan ini ialah ide tentang
taqlid, yang taqlid itu, sebagaimana telah disinggung,
merupakan dinamik dambaan kepada ketenteraman. Dari beberapa
sudut pandang tertentu, seperti dari sudut keprihatinan karena
situasi politik yang tidak mantap, keharusan memilih suatu
madzhab seperti itu dapat dibenarkan. Begitu pula larangan
mencampuradukkan lebih dari satu madzhab, yang kemudian
dikenal sebagai talfiq, juga sangat dicela, karena dalam
praktek serupa itu mudah sekali masuk unsur oportunisme dalam
paham (seperti, misalnya, mengenai suatu hukum tertentu
seseorang cenderung mencari yang mudah dan ringan dari
berbagai madzhab, tanpa kesungguhan meneliti bagaimana pangkal
sebenarnya hukum itu).
Keharusan memilih salah satu madzhab sekaligus larangan
mencampur lebih dari satu madzhab --betapapun tulusnya hal itu
dilakukan-- secara tersirat mengandung doktrin bahwa suatu
pemikiran madzhab adalah suatu kesatuan organik yang tidak
boleh dipisah-pisah. Pemisahan itu akan menghasilkan
inkonsistensi, dan yang terakhir ini tentu berakibat kepada
masalah istiqamah atau keteguhan dan keikhlasan dalam
beragama. Tapi konsekuensi yang lebih jauh ialah --sebagaimana
telah disinggung tadi-- hilangnya kreativitas dan orisinalis
intelektual, dan bersamaan dengan itu hilang pula kemampuan
memberi responsi pada keadaan masyarakat nyata (historis) yang
senantiasa berkembang dan berubah.
Pada saat itulah sejauh mengenai kegiatan intelektual yang
muncul, ialah karya-karya syarah, yaitu karya tulis berupa
kitab yang mengelaborasi karya lain yang lebih orisinal, yang
dipandang sebagai matan (teks inti). Kegiatan pseudo-ilmiah
serupa ini paling banyak terjadi dalam pemikiran judisial,
tetapi sesungguhnya juga merambah ke berbagai cabang ilmu
keislaman yang lain, seperti, dan terutama, Ilmu Kalam.
Tapi syarah bukanlah akhir perjalanan tradisi pseudo-ilmiah
dalam masa kemandekan intelektual ini. Sebuah karya sparah
membuka peluang kepada bentuk elaborasi lebih lanjut, sehingga
merupakan "elaborasi atas elaborasi," yang biasanya disebut
hasyiyah.
Untuk memperoleh gambaran apa yang dinamakan syarah dan
hasyiyah itu, berikut ini adalah contoh kutipan dari matan
kitab Taqrib, yaitu sebuah kitab fiqh yang paling standar. di
pesantren-pesantren. Matan itu kemudian diberi syarah dalam
kitab Fat'h al-Qarib, juga sangat standar di
pesantren-pesantren, dan akhirnya diberi hasyiyah dalam kitab
al-Bajuri, sebuah kitab yang boleh dipandang cukup tinggi:
Matan: Air yang boleh untuk menyucikan ada tujuh air: air
langit, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air
salju, dan air embun. [3]
Syarah: (Air yang boleh) artinya sah (untuk menyucikan ada
tujuh: air langit) artinya yang terjun dari langit, yaitu
hujan (air laut) artinya yang asin (air sungai) artinya yang
tawar (air sumur, air sumber, air salju dan air embun) dan
tujuh air itu tercakup dalam ungkapan Anda "Apa yang turun
dari langit dan apa yang menyembul dari bumi dalam keadaan
bagaimanapun adalah termasuk pokok penciptann. [4]
Syarah ini kemudian diberi hasyiyah, yaitu penjabaran atau
elaborasi lebih lanjut. Berikut ini adalah contoh hasyiyah-nya
(tapi karena hasyiyah yang bersangkutan itu panjang sekali,
maka demi kepraktisan kita akan mengutip hasyiyah yang
menyangkut salah satu dari air yang tujuh itu, yaitu "air
sungai" saja):
Hasyiyah: (Perkataannya dan air sungai) rangkaian dalam
pengertian di, artinya air yang mengalir di sungai (nahr)
dengan fa'thah ha' dan matinya dan yang pertama lebih fasih
dan al di situ adalah untuk jenis, maka ia mencakup Nil dan
Furat dan sebagainya, dan asalnya dari surga sebagaimana hal
itu disebutkan dalam nas mengenainya sebab sesungguhnya
diturunkan dari surga Nil Mesir dan Sihun sungai India dan
Jihun sungai Balkh dan keduanya itu bukanlah Sihan dan Jiham
menurut yang unggul berlainan dengan orang yang menyangka
keduanya itu sinonim sebab Sihan adalah sungai Arnah dan Jihan
adalah sungai al-Mashishah dan Dajlah dan Furat adalah dua
sungai di Irak dari asal Sidrat al-Muntaha dan itulah makna
firman Dia Yang Maha Tinggi "Dan Kami turunkan dari langit air
dengan takaran tertentu" maka pada waktu keluarnya Ya'juj dan
Ma'juj sungai-sungai itu diangkat dan itulah makna firman Dia
Yang Maha Tinggi "Dan sesungguhnya Kami tentulah berkuasa
untuk menghilangkannya." [5]
Kutipan di atas itu sengaja dibuat dalam bentuk terjemahan
harfiah tanpa memberi tanda-tanda baca sesuai konteks, menurut
keadaan aslinya dalam kitab. Maksudnya ialah agar kita dapat
merasakan kesulitan yang dihadapi oleh mereka yang membaca
"kitab gundul," jika mereka tidak terlatih membaca dalam
konteks. Dan keadaan menurut aslinya itu dapat memberi
gambaran tentang ungkapan "ilmiah" masa kemunduran itu yang
tidak dapat disebut mengagumkan, jauh di bawah ukuran masa
kejayaan intelektual sebelumnya seperti diwakili karya-karya
Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Arabi, Ibn Taymiyyah, dan
sebagainya.
Bahkan dalam kutipan itu dapat dilihat munculnya beberapa
dongeng dan mitologi, yang dirangkaikan dengan paham
keagamaan, seperti bahwa sungai Nil berasal dari surga dan
sungai Dajlah (Tigris) dan Furat (Eufrat) di Irak berasal dari
Sidrat al-Muntaha! Juga ada mitos lain yang tercampur dengan
pandangan keagamaan tertentu seperti cerita tentang datangnya
Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Mogog) yang tersebut dalam Kitab
Suci al-Qur'an [6], yang pada saat itu akan diangkat
sungai-sungai Nil, Furat dan Dajlah itu ke langit sebagai
tafsir atas ayat suci al-Qur'an pula. [7]
KESIMPULAN
Semangat obskurantisme atau kemasabodohan intelektual akibat
berbagai faktor ekstern dalam proses-proses dan
struktur-struktur politik masa itu sedemikian mencekam,
sehingga mewarnai sikap intelektual sebagian besar kaum
Muslim. Dan dalam pandangan mereka, ilmu pengetahuan telah
"habis," dan yang tersisa ialah mencerna apa saja yang
diwariskan dari generasi sebelumnya. Stagnasi ini tidak
dirasakan oleh kaum Muslim, seolah-olah segala sesuatu terjadi
secara wajar saja, sampai akhirnya mereka terhentak dan kalah
oleh bangkitnya bangsa-bangsa yang selama ini mereka remehkan,
yaitu bangsa-bangsa Eropa Barat, atau lebih persisnya, Barat
Laut, bangsa-bangsa pelopor umat manusia masuk Zaman Modern.
Banyak ahli yang mengatakan, semua ini diawali karena umat
Islam terkena penyakit "puas diri", akibat dominasi mereka
atas kehidupan di muka bumi selama berabad-abad (dalam
perhitungan konservatif setidaknya selama delapan abad, yang
berarti empat kali lebih panjang daripada masa dominasi Eropa
Barat yang sudah berlangsung selama dua abad ini). Dan ketika
mereka dikejutkan oleh datangnya tentara Perancis ke Mesir di
bawah Napoleon yang dengan amat mudah mengalahkan mereka itu,
keadaan sudah sangat terlambat, sehingga dorongan ke arah
kebangkitan kembali yang muncul sejak itu sampai sekarang
belum mencapai tujuan yang dimaksud.
Tapi tentu saja umat Islam masih tetap mempunyai kesempatan
yang baik. Berbagai gejala masa-masa terakhir ini, yang
biasanya diletakkan dalam bracket "kebangkitan Islam", dapat
diacu sebagai petunjuk adanya masa depan yang baik, setidaknya
lebih baik daripada sekarang, apalagi daripada masa
obskurantisme tersebut di atas itu. Sebuah adagium mungkin
relevan dengan masalah ini yaitu yang berbunyi: "Tidak akan
menjadi baik umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah
membuat baiknya umat terdahulu." [8] Sementara banyak tafsiran
yang berbeda-beda tentang apa "yang membuat baik umat
terdabulu," namun dari pembacaan kepada sejarah peradaban
Islam, khususnya sejarah pemikirannya, jelas bahwa yang
membuat baik mereka generasi Islam klasik itu ialah apa yang
dalam ungkapan kontemporer dinamakan "Etos Ilmiah".
Berbeda dengan obskurantisme, etos ilmiah yang benar harus
memandang ilmu tidak mempunyai batas (limit), melainkan ilmu
hanya mempunyai perbatasan (frontier), yaitu ujung terakhir
perkembangan pemikiran ilmiah. Batas atau limit ilmu hanya ada
pada Allah, karena itu tak terjangkau. Tapi perbatasan atau
frontier ilmu hanyalah produk kemampuan manusia sendiri yang
tidak sempurna, karena itu harus selalu diusahakan untuk
ditembus dengan keberanian intelektual serta kreativitas dan
orisinalitasnya. [9] Semuanya itu memerlukan suasana yang
bersifat kondusif. Dan suasana itu tidak lain, seperti
dikemukakan KH. Hasyim Asy'ari di atas, ialah toleransi dan
saling menghargai dalam perbedaan.
CATATAN
1. Muhammad Hasyim Asy'ari, al-Tibyan fi al-Nahy 'an Muqata'at
al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya: Mathba'at
Nahdlat al-'Ulama, tt.). h. 11. (Risalah ini ditulis pada
1360 H atau 1941 M).
2. Ibid., h. 12.
3. Abu Syuja' Ahmad Ibn al-Husayn al-Ishfahani, al-Ghayah wa
al Taqrib, (Semarang: Pustaka al-'Alawiyyah, tt.), h. 2-3.
4. Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fat'h al-Qarib (Semarang:
Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h. 3.
5. Al-Syaykh Ibrahim al-Hajuri, Hasyiyat al-Hajuri (Semarang:
Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h. 27.
6. Lihat Q.s. al-Kahf/18:94 (dalam cerita tentang Dzu al
Qarnayan)
7. Lihat Q., s. al Mu'minun/23:18.
8. "La tashluhu hadzihi al-Umah illa bi ma shaluha bihi
awwaluha."
9. Seperti halnya dengan Zaman Modern, etos ilmiah Zaman
Klasik Islam memandang perbatasan ilmu harus selalu ditebus,
sementara dalam zaman obskurantisme, etos ilmiah yang ada
mengajarkan agar setiap bertemu dengan perbatasan hendaknya
kembali ke semula, dan ini menghasilkan praktek menghafal.
Batas atau limit ilmu hanya ada pada Allah swt, jadi tidak
mungkin dicapai manusia, apalagi ditembus. "Katakan, 'Kalau
seandainya seluruh lautan ini tinta untuk Kalimat Tuhanku,
maka lautan itu akan habis sebelum Kalimat Tuhanku habis,
meski kami datangkan tinta sebanyak itu pula." (Q., s. al
Kahf/18:109).
0 komentar:
Posting Komentar