Bag 01
Banyak kalangan, terutama para tokoh yang diresmikan sebagai intelektual di perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat, memandang Hawzah Ilmiyeh Qom dengan sebelah mata. Hal itu, boleh jadi, karena mereka tidak mampu menangkap dinamika intelektual yang terus berlangsung disana, atau karena mereka tidak menyelami ruhnya.
Qom adalah sebuah kota yang tak pernah mati, tapi bukan karena
lampu-lampu kota dan mobil. Qom bagai benua lain atau planet lain, dengan pola
kehidupan sosial yang unik, bahkan terkesan stagnan, bagi orang luar. Sebagian
besar pedang kaki lima yang menggelar dagangan di trotoar di sana tidak menjual
vcd bajakan atau makanan, tapi buku dan alat-alat tulis. Jumlah penerbit dan
toko buku atau persewaan kaset dan cd pelajaran mirip dengan wartel atau tempat
persewaan vcd di kota-kota di Indonesia. Sekolah dan pusat-pusat kajian serta
perpustakaan di kota itu tak ubahnya mal-mal di Jakarta dan Surabaya. Jalan-jalan kota itu ramai dan padat oleh
pejalan kaki yang sebagian bersorban bukan karena menghindari perkelahian antar
pelajar atau atau kerusushan, tapi saling mengejar waktu kuliah-kuliah yang
diisi oleh guru besar-guru besar dalam bidang filsafat, teologi, teosofi,
hermenetika agama, ushul fiqh dan sebagainya. Transaksi dan interaksi sosial di
sana hanya bersifat intelektual dan spiritual. ‘Qom is Planet of The Wisdom’.
Di situlah Filsafat Mazhab Qom berdiri megah dan mewah.
Filsafat Mazhab Qom atau filsasat Al-Hikmah Al-Muta’aliyah adalah
sebuah sistem pemikiran falsafi yang dibangun oleh Shadruddin Asy-syirazi, dilanjutkan oleh Sabzawari, Mirdamad dan
disempurnakan oleh Muhammad Husein Thabathabai.
‘Kebijaksanaan yang
melambung’ atau Al-hikmah Al-muta’aliyah bukanlah akumulasi dari
pendapat-pendapat dan filsafat-filsafat kuno. Ia adalah sebuah sistem pemikiran
filsafat yang berdiri di atas konsepsi Islam Syiah yang paling rapi
(radu=komplit). Mulla Shadra dengan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah telah melakukan
sebuah revolusi pemikiran filsafat yang hingga kini masih terasa gaungnya. Ia
telah mengakhiri masa kejayaan filsafat Al-Falsafah Al-Masysya’iyah yang
merupakan adaptasi dari neo-Platonisme Yunani. Mulla Sahdra telah
mempersembahkan sebuah konsep filsafat yang diambil dari sumber-sumber orisinil
Islam, terutama Islam Syiah.
Teosofi trasendental telah menyingkap sejumlah realitas yang
selama ini masih misterius dan kabur. Ia telah mengganti sejumlah konsep
filsafat yang sebelumnya dianggap baku dan tak bisa dibantah. Ia mendobrak
dunia filsafat metafisika dengan konsep orisinalitas wujud (Ashalatul-Wujud)
dan menggugurkan klaim orisinialitas esensi (Ashalatul-mahiyyah)-nya
Shuhrawardi dan para pendukung Iluminasi. Ia juga mengganti klaim pluraitas
wujud-nya Ibnu Sina dan para pendukung Filsafat Paripatetik dengan gagasan
tentang unitas wujud yang gradual (Al-wahdah fi ain Al-katsrah) dan
gagasan tentang ‘wujud mandiri’ (Al-wujud Al-mustaqil) dan ‘Wujud
bergantung” (Al-wujud Ar-rabith). Shadrul-Muta’allihin (Penghulu
para teis) ini juga melahirkan konsep baru tentang ‘gerak substansial’ (Al-harakah
Al-jawhariyah) dan memberikan penafsiran baru tentang kesatuan subjek akal
dan objek akal (Ittihad Aqil wa Ma’qul). Mullla Shadra juga memberikan
kritik-kritik tajam atas para teolog, tak terkecuali para teolog Syiah, seperti
Khajeh Nasruddin Ath-Thusi, Al-Fadhil Miqdad, dan lainnya. (Ma Ba’da Ar-rusydiyah, 61)
Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah dikembangkan oleh Mulla Hadi Sabzawari.
Meski tidak memberikan gagasan-gagasan baru, ia dinilai berhasil memberikan
penjelasan, komentar bahkan kritik tentang gagasan-gagasan baru Mulla Shadra
dengan karyanya yang sangat monumental Syarhul-Mandhumah. Ia adalah
filsuf yang mengalami masa transisi intelektual besar-besaran dari trend
filsafat Ibnu Sina ke trend filsafat Mulla Shadra.
Filsafat mazhab Qom mencapai kesempurnaannya di tangan Allamah M.
Husein Thabathabai. Ulama ini rela mengorbankan karier fiqh sehingga tidak
menjadi marja’ atau menyandang gelar Ayatullah Al-uzhma
sebagaimana rekan-rekan semasanya, demi menekuni bidang filsafat yang pada
mulanya kurang populer dan terkesan ‘aneh’ di kalangan hawzah Najaf dan
Qom. Ia berhasil mendirikan sebuah akademi tradisional yang mengajarkan
filsafat Al-Hikmah Al-Muta’aliyah di saat akademi tradisional (Al-Bahts
Al-Kharij) lainnya mengajarkan teknik-teknik penyimpulan hukum (Ijtihad).
Thabathabai mencetak puluhan filsuf muslim muda yang kelak mewarnai dinamika
intelektual Hawzah Qom bahkan menjadi pionir-pionir Revolusi Islam Iran,
seperti Muthahhari, Behesyti, Javadi Amuli, Hasan Zadeh Amuli, M. T. Mishbah
Yazdi, Mehdi Heri Yazdi, M. Taqi Ja’fari, Syed, Hossein Nasr dan sebagainya.
Berkat kegigihan dan ketulusannya, filsafat
di Hawzah Qom dan Iran kini telah menyetarai fiqh dan Ushulul-Fiqh, sebagai
mata pelajaran untuk pelajar pemula (Muqaddimat), untuk pelajar menengah
(Suthuh), dan untuk pelajar lanjutan atas (Bahtsul-Kharij).
Bukunya Bidayatul-Hikmah dan Nihayatul-Hikmah kini dijadikan
sebagai buku pelajaran resmi Hawzah dalam filsafat sebelum Syarhul-mandhumah
karya Mulla Sabzawari dan Al-asfar Al-arba’ah-nya Mulla Shadra.
Filasat Mazhab Qom tidak bisa disamakan
dengan filsafat lainnya, apalagi filsafat Barat. Filsafat Mazhab Qom hanya
membahas wujud sebagai wujud. Ia adalah filsafat yang utuh dan sederhana. Ia
tidak dapat dipilah-pilah menjadi beberapa penggalan tema. Kalaupun dibagi,
misalnya Filsafat dalam arti umum (wujud) dan Filsafat dalam arti khusus
(Tuhan), maka pembagian ini semata-mata demi mempermudah pencari kebijakan dan kebenaran,
bukan karena objek pembahasannya berlainan. Filsafat Mazhab Qom tidak terdiri
atas epistemologi, ontologi, kosmologi dan sebagainya. Ia sejak semula membahas
wujud serta membagi menjadi dua; Al-wujud Az-zihni (eksistensi subjek,
mental-memorial) dan Al-wujud Al-khariji (eksistensi real,
objektif), lalu membagi wujud objektif
menjadi dua; Al-wujud Al-haqiqi (eksistensi faktual) dan Al-wujud
Al-I’tibari (eksistensi artifisial), hingga akhirnya membagi eksistensi
objektif real menjadi dua; terinderakan, yaitu benda, dan tak
terinderakan, yaitu non materi.
Tiga akademi filsafat Mazhab Qom
Thabathabai telah mempelopori semaraknya
diskusi dan perbincangan filsafat di Hawazah Qom, yang sebelumnya hanya
didominasi oleh para ulma tekstualis dari berbagai disiplin ilmu tradisional,
seperti ushul-ul fiqh dan fiqh. Ia telah ‘menternakkan’ puluhan bahkan ratusan
ulama dalam filsafat. Kini Hawzah Qom diramaikan oleh, paling tidak, enam akademi atau corak pemikiran khas, produk
Thabathabai, yang masing-masing memiliki pengaruh dan domainnya.
Akademi pertama adalah Rasionalisme, yang
hanya mengandalkan akal deduktif dalam telaah-telaahnya. Tokoh aliran ini
adalah Ayatullah Muammad Taqi Misbah Yazdi. Ia adalah salah satu murid
Thabathabai yang sangat produktif dan menguasai wacana-wwacana kontemporer.
Banyak kalangan yang menganganggapnya sebagai “Muthahhari part 2”. Karya-karya
dalam bidang filsafat banyak berisikan pandangan-pandangan kritikal atas
gurunya Thabathabai. Filsuf yang kurang mendukung pendekatan teosofik ini
sering dianggap sebagai ideolog Republik Islam saat ini. Ia mendirikan sebuah
lembaga studi keislaman yang cukup besar yang menjadi ladang pembiakan
sarjana-sarjana ulama intelektual dengan spesialisasi yang mempuni, seperti
Gholam Reza fayyazi, A. Khosro Panah, Ahmad Vaezi, Muhsen Gharavian dan
lainnya.
Akademi kedua, adalah
Tekstualisme-Rasionalisme. Aliran ini menjadikan teks-teks agama sebagai
postulat dan menjadikan rasio sebagai alat pembenarannya. Syeikh Mufid, Sayyid
Murtazha Alamul-huda, Khajeh Nasiruddin Thusi dan Allamah Hilli adalah
tokoh-tokoh yang menjadi tonggak-tonggak teologi atau tekstualisme rasionalisme
Islam Syiah. (Falsafeh, 40). Tokohnya yang paling menonjol sekarang
adalah ayatullah Nasher Makarem Syirazi dan Ayatullah Ja’far Subhani.
Akademi ketiga adalah
Tekstualisme-Rasionalisme-Teosofisme (Al-mazhab Al-Isyraqi), yang
menggabungkan rasio, teks agama dan irfan. Ayatullah Javadi Amuli adalah
pemukanya saat ini.
Akademi keempat adalah Teosofisme (Al-mazhab
al-irfani). Aliran ini cenderung mengutamakan irfan atau emosi dalam
memahami realitas. Banyak ulama yang bisa dimasukkan dalam akademi ini, namun
yang paling mengemuka saat ini adalah Ayatullah Hasan Zadeh Amuli.
Akademi kelima adalah
rasionalisme-tektualisme (al-mazhab al-Kalami). Yaitu aliran yang
menjadikan rasio sebagai landasan lalu mengkaitkannya dengan teks-teks agama
sebagai pembenarnya, bukan sebaliknya. Ayatullah Muthahhari dan Ayatullah
Muhammad Taqi Ja’fari mungkin tokoh yang bisa dimasukkan ke dalamnya.
Akademi keenam adalah
Teosofisme-transendal (Al-hikmah Al-Muta’aliyah, Mazhab Qom, Ash-shdra’iyah),
yang didirikan oleh Mulla Shadra dan dianut oleh hampir seluruh filsuf di kota
suci Qom dewasa ini. Aliran ini menggunakan rasio, emosi (dengan penyucian
jiwa), ilmuniasi, dan rasio.
Sebenarnya kata ‘Al-hikmah
Al-muta’aliyah’ telah digunakan oleh sejumlah filsuf sebelum Mulla Shadra,
seperti Ibnu Sina dalam Al-Isyarat-nya.
(falsafeh, M. Ali Gerami, 42-43).
Akademi keenam Rasionalisme-modernisme.
Aliran ini diisi oleh sejumlah filsuf Islam modern yang pernah menjadi murid
Thabathbai, seperti sayyid Husen Nasr dan Ayatullah Haeri Yazdi.
Mazhab Qom dan Sasaran Filsafat
Mulla Shadra membagi filsafat Al-hikmah
Al-muta’aliyahnya dalam empat rute perjalanan atau ngembaraan (Al-asfar
Al-arba’ah). Yaitu sebagai berikut:
- Perjalanan
dari Al-khal dari Al-khalq (makhluk) ke Al-Haq (Tuhan
atau Kebenaran). Dalam tahap ini pelaku perjalanan mempelajari hukum-hukum
dalam filsafat (metafisika). Ia juga disebut dengan perjalanan dalam
natur.
- Perjalanan
dengan Alh-haq dalam Al-haq. Dalam tahap ini pelaku
perjalanan membahas tema-tema Tauhid dan sifat-sifat Al-haq. Ia
juga disebut dengan perjalanan dalam kesempurnaan Al-haq.
- Perjalanan dari Al-haq menuju Al-khalq dengan
Al-haq. Dalam tahap ini, pelaku perjalanan membahas
perbuatan-perbuatan Tuhan. Ia juga disebut dengan ‘Penampakan ilahi
(Tuhan) dalam segala sesuatu yang dipandangnya.
- Perjalanan dalam Al-khalq dengan Al-haq. Dalam
tahap pelaku perjalanan membahas jiwa dan Hari kebangkitan. (Falsafeh,
44-45).
Sasaran filsafat, menurut Mazhab Qom,
hanyalah wujud karena ia merupakan realitas yang ada pada segala sesuatu.
Sedangkan sasaran pengetahuan atau ilmu adalah mahiyyah, merupakan ciri
pembeda antar segala sesuatu. Karena itulah filsafat bersifat sederhana dan
unik. Kata Ibnu Sina, “filsafat adalah pengetahuan yang paling utama tentang
objek yang paling mulia.” (Al-mu’jam Al-falsafi, juz 2, hal. 160-164, Syarhul-Musthalahat
Al-falsafiyah, hal. 270-271, Al-falsafah Al-ulya, 32).
Definisi dan Macam-macam Fislafat
Filsafat telah didefinisikan sebagai
‘pengetahuan tentang realitas segala sesuatu’.
Namun definisi ini masih
diperdebatkan hingga kini. Filsafat, menurut Mazhab Qom, tidak terbagi. Ia
adalah sebuah fenomena rasional intelektual tunggal yang mengantarkan pada
realitas universal, yang merupakan titik temu setiap realitas. Karena itulah,
teologi Islam dan teologi Kristen tidak dapat dianggap sebagai bagian dari
filsafat, karena ia didasarkan pada teks-teks keagamaan yang telah dibakukan.
Teologi atau ilmul-kalam hanyalah sebuah ilmu yang disusun untuk
merasionalisasi dan menjustifikasi keyakinan-keyakinan yang dipostulatkan,
yaitu agama tertentu.
WUJUD
Ke-ada-an adalah
sesuatu yang pertama kali diketahui oleh setiap manusia, secara sadar atau
tidak. Bila kita tidak memahami ada secara benar, maka kita akan kesulitan
memahami segala sesuatu dan fenomena apapun di dunia. Jika kita telusuri
realitas atau hakikat setiap fenomena dan peristiwa, maka kita harus lebih dulu
mengenali landasan ke-ada-annya. Jika seseorang ingin menjadi meyakini atau
menolak keberadaan Tuhan, maka ia harus lebih dulu memahami ada dan tiada.
Seserang tidak bisa menjadi beragama, bila belum memahami ada dan tiada. Karena
itulah, kita perlu mempelajarinya, meski sulit dan mungkin tema-temanya
terkesan agak membosankan.
Kita sering
mencampura-dukkan ‘tidak ada’ dengan ‘tidak tampak’. Kita juga seing
menaganggap ‘pindah tempat’ sebagai ‘hilang’ atau lenyap. Sebagian besar
manusia membatasi ‘keberadaan’ pada benda. Hal itu karena kita belum memahami
apa itu ada dan tiada. Karenanya, marilah kita menjelajahi “peta keberadaan”
(ke-ada-an), yang disebut “ontologi”
dalam filsafat.
Ketiadaan atau
kenir-ada-an
Ketiadaan
adalah ketidak-sesuatan. Ia adalah kekosongan semata. Ia tidak mempunyai
realitas.(Nihayatul-Hikmah, 28, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 1, hal.
340-341). Karenanya, ia tidak berbeda, karena yang berbeda dengan ketiadaan
bukanlah ketiadaan. Ia juga tidak dapat dikabarkan, karena yang bisa dikabarkan
hanyalah yang ada. (Nihayatul-Hikmah, 28, Al-Asfar Al-arba’ah,
348, Syarh Al-Mandhumah, 47).
Kendati
demikian para filsuf membagi ketiadaan menjadi dua;
- Ketiadaan sejati, yaitu ketiadaan yang
mutlak.
- Ketiadaan relatif, yaitu ketiadaan yang
dikaitkan dengan sisi-sisi tertentu seperti ketiadaan azali (eternal) dan
ketiadaan temporal (aksidental) dengan relasi batas, demikian juga
ketiadaan potensial dan ketiadaan aktual dan sebagainya. (Nihayatul-Hikmah,
28, Al-Mabahits Al-Masyriqiyah,
1, 100, Ara’ Ahlil-Madinah Al-Fadhilah, 11, Al-Mausu’ah
Al-Falsafaiyah, 204-205, Ilahiyat Asy-Syifa’ 125, Rasa’il
Ikhwanush-Shafa, 3, 385, Tafsir ma Ba’da Ath-Thabi’ah, 1311,
Kamus Filsafat, 1106).
Selanjutnya
istilah “ketiadaan” yang akan dibagi dalam beberapa versi pembagian di bawah
adalah identik dengan ketiadaan relatif, karena ketiadaan mutlak tidak bisa
dikabarkan apalagi dibagi.
Dua macam ketiadaan relatif
Ketiadaan
relatif terbagi dua;
1.
Ketiadaan pasti (Al-Adam Al-Azali). Yaitu ketidak-ada-an dengan relasi
ketiadaan sebab dan kepastian. Secara
simbolik ia disebut dengan “kemustahilan” (Al-imtina’, Al-istihalah,
impossibilitas).
2.
Ketiadaan
tidak pasti (Al-Adam Al-Imkani).
Yaitu ketiadaan dengan relasi keberadaan sebab dan ketidakpastian. Ia secara
simbolik disebut dengan “kemungkinan” (Al-imkan, possibilitas, probabiltas).
Sifat-sifat ketiadaan dan ‘tiada’
Sebagian flksuf Mazhab
Qom tidak memasukkan ‘ketiadan’ dan ‘tiada’ dalam pembahasan filsafat, karena,
menurut mereka, tema pembahasan filsafat adalah ke-ada-an dan ‘ada’. Namun
sebagian lain masih membahasnya karena dianggap sebagai pasangan ‘ke-ada-an’
dan ‘ada.
Berikut ini ciri-ciri
dan sifat ‘tiada’:
- Sebuah ‘tiada’ tidak berbeda dengan ‘tiada’
lainnya. Jika kita katakan, Plato tidak ada, maka berarti sama dengan
ucapan kita “Samsul tidak ada”.
- Sebuah ‘tiada’ tidak memberikan dan tidak
mendapatkan pengaruh objektif. Dengan kata lain, ‘tiada’ tidak mengalami
aksi dan reaksi.
- ‘Tiada’ tidak dapat diulangi, karena
pengulangan hanya akan bisa dilakukan terhadap sesuatu yang ada.(Elm e
Kulli, 95-98).
Wujud atau Ke-ada-an
Ke-adaan atau eksistensi (Al-Wujud), meski tidak
bisa didefinisikan secara tepat, telah didefinisikan dengan bermacam cara.
Ke-ada-an mungkin bisa didefinisikan secara sederhana sebagai “adanya sesuatu”.
Pengeritan
“wujud” sangatlah gamblang (ekstemporal) sehingga tidak bisa diperantarai
dengan penjelasan apapun, baik dengan forma maupun dengan terma, sebagaimana
lazimnya dalam setiap pendefinisian. “Sesuatu yang ada sebagai sesuatu yang ada
adalah sesuatu yang ada” atau “ia adalah sesuatu yang dapat dikabarkan.” (Bidayatul-Hikmah,
10, Al-falsafah Al-Ulya, 78,).
“Wujud”
adalah pengertian yang memiliki arti sama dalam setiap proposisinya. Mulla
Shadra mengatakan bahwa fakta tentang adanya kesamaan arti antar berbagai macam
esensi (Al-mahiyah, keapaan) adalah sesuatu yang nyaris apriori prima,
sebagaimana dikutip Thabatabai. (Nihayatul-hikmah,13, Hikmatul-
Isyraq, 182, Al-asfar Al-arba’ah, juz 1, hal. 35). Hal ini didukung
oleh sejumlah filsuf. (Al-Mabahtis Al-masyriqiyah, juz 1, hal. 18-22, Syarhul-Maqashid,
juz 1, hal. 61-62, Syarhul-Mawaqif, hal 90-92, Qawa’idul-Maram,
39, Kasyful-Murad, 24).
Jadi,
adakalanya kata “wujud” digunakan hanya untuk menunjuk sebuah pengertian
tentang “wujud”. Ia diperlakukan sama dengan pengertian-pengertian lainnya,
yaitu sebagai sesuatu yang konstruktif, artifisial atau I’tibari.
Dua macam pengertian “Wujud”
“Wujud”
sebagai sebuah pengertian, bukan realitas, terbagi dua;
1.
“Wujud” sebagai pengertian
umum. Yaitu arti umum dan aprior
yang menjadi dasar perangkaian kata serta menjadi predikat yang dilekatkan pada
setiap quiditas atau esensi (mahiyyah), misalnya “manusia itu ada”,
“bulan itu ada”, “putih itu ada”.
2.
“Wujud” sebagai
pengertian khusus atau terikat. Yaitu
predikat yang dilekatkan atas sesuatu, misalnya “benda itu putih”, yang berarti
“benda yang ada itu berwarna putih”.
Jadi,
pengertian “wujud yang umum” itu merupakan wujud subjek dalam realitas,
sedangkan pengertian “wujud yang terikat” adalah wujud predikat dalam setiap
premis. (Al-falsafah Al-Ulya, 80).
Hakikat “Wujud”
Ada
kalanya kata “wujud” digunakan hanya untuk menunjuk kepada realitasnya, bukan
pengertiannya. Realitas wujud sangatlah misterius dan tidak dapat dikenali,
karena sejumlah alasan kuat, antara lain, seandainya realitas objektif “wujud”
dapat diketahui, maka berarti realitas segala sesuatu yang kita ketahui harus
hadir dalam diri atau jiwa kita secara real bukan konseptual, sehingga bila
kita mengetahui benda tertentu, mobil misalnya, maka benda yang beroda empat
itu harus hadir dalam bentuk mobil, bukan gambarannya, dalam diri setiap yang
mengetahuinya, sedangkan itu tidak mungkin terjadi, karena pengetahuan adalah
hadirnya konsep tentang sesuatu yang real dalam diri. (Al-Falsafah Al-Ulya, 78).
Istilah “hakikat”
wujud berarti wujud sebagai hakikat sebelum dibagi menjadi objektif (realitas)
dan subjektif (konsep, ide). “Hakikat wujud” mengacu pada arti awal tentang
keberadaan secara mutlak dan umum.
Kesamaan arti “Wujud”
“Wujud” ketika diberlakukan sebagai predikat atas
setiap subjek hanya mempunyai satu arti (homonim) (Al-Isytirak Al-Ma’nawi).
Alasan-alasannya sebagai berikut:
Wujud
dapat dibagi dalam beberapa versi pembagian, seperti pembagian wujud menjadi
wujud pasti (wujud al-wajib) dan wujud mungkin (wujud al-mumkin), dan
pembagian wujud mungkin kepada wujud substansi (wujud Al-jauhar) dan
wujud aksiden (wujud Al-aradh), dan begitulah seterusnya.
Jika
wujud tidak mempunyai kesamaan arti, namun hanya mempunyai kesamaan kata dengan
keragaman arti karena keragaman subjek-subjeknya, niscaya artinya berubah
karena perubahan subjek-subjeknya.
Lawan
kontradiktif al-wujud (keberadaan) adalah al-adam (ketiadaan). Ketiadaan
memliki satu arti (homonim). Seandainya wujud tidak homonim, niscaya keduanya
tidak kontradiktif. (Bidayatul-Hikmah, 11).
Kritik
atas teori ‘Kesamaan arti’ dalam wujud
Abul-Hasan
Al-Asy’ari menganggap pengertian “wujud” memiliki kesamaan kata (Al-isytirak
al-lafdhi), bukan kesamaan arti. Jadi, menurut mereka, ‘ada’ dalam premis
‘Tuhan ada’ dan ‘Yusuf ada’, mislanya, tidaklah sama. (Syarhul-Mawaqif,
92, Nihayatul-Hikmah 13, Syarhul-Mandhumah, 16, Syarhul-Maqashid,
juz 1, hal. 61, Irsyad Ath-thalibin, 20). Sedangkan para filsuf Islam,
terutama para filsuf Mazhab Qom menganggap ‘wujud’ memberikan konotasi arti
yang sama.
Mazhab
Qom menolak pendapat ini karena alasan-alasan sebagai berikut;
1.
Kata “apakah” dalam
premis eksistensial homogen (Al-hilliyah Al-basithahi), seperti “apakah Budi
ada ataukah tidak?” , “apakah sungai ada ataukah tidak”, “apakah ibu ada
ataukah tidak” tidaklah berguna.
2.
Seandainya “wujud”
mempunyai kesamaan kata, bukan arti, maka kata “ada” tidak akan menunjukkan
arti tentang “ke-ada-an” sesuatu, namun ia akan mempunyai satu arti yang sama
dengan esensi segala sesuatu. Akibatnya, kita tidak akan mendapatkan jawaban
berbunyi “ada” dari premis eksistensil homogen tersebut di atas, karena jawaban
tersebut “ada” tidak harmonis dengan pertanyaannya. Karenanya, premis
eksistensial yang sederhana (al-hilliyah al-basithah atau premis yang diandaikan sebagai jawaban
atas ‘apakah’) ini menjadi tak berguna.
3.
Kadang kala kita
meyakini ke-ada-an (eksistensi, keberadaan, maujudiyat) sesuatu maujud
(entitas, maujud), namun kadang kala kita ragu tentang esensi (ke-apa-an)nya,
seperti ketika kita yakin tentang adanya sebuah bayangan, namun kita tidak tahu
secara pasti apakah itu; manusia ataukah binatang, dan kadang kala kita tahu
secara pasti esensi (ke-apa-an) sesuatu, seperti ketika kita mengerti tentang “kebetulan’
dan “nasib” yang berarti sesuatu, namun kita tidak tahu secara pasti apakah
kedua hal itu ada ataukah tidak. Eksistensi dan esensi tidak sama dan satu,
namun keduanya mempunyai hukum yang berbeda.
Kontroversi seputar orisinalitas wujud dan esensi
Manakah yang
lebih dulu, eksistensi ataukah esensi? Kita selalu membedakan dua pengertian
yang benar tentang apa-apa yang kita bicarakan: ke-ada-an (keberadaan,
eksistensi, Wujud) yang ada pada sesuatu dan ke-apa-an (esensi, Mahiyyah) yang
ada pada sesuatu. Misalnya, kita mengetahui bahwa manusia ada, pohon ada, dan
bilangan itu ada, namun masih-masing, meski sama-sama ada, mempunyai pengertian
yang berlainan.
Eksistensi (Al-Wujud, being) dalam metafisika
adalah ungkapan jawaban atas pertanyaan “siapa itu”. Ringkasnya, keberadaan
atau wujud adalah lawan dari ketiadaan (Al-Adam). Esensi (ke-apa-an, quaditas,
Al-Mahiyyah) adalah ungkapan jawaban atas pertanyaan “apa itu” yang ada dalam
substansi dan aksiden.
Hingga kini polemik tentang “esensikah yang lebih
dulu ataukah eksistensi” masih terus bergulir di kalangan para filsuf
metafisika. Ada beberapa aliran besar dalam ontologi yang berbeda pendapat
tentang orisinalitas eksistensi atau esensi.
Eksistensialisme
Yang kita maksud dengan eksistensialisme disini,
adalah eksistensialisme dalam ontologi bahkan ontologi Islam, Eksistensialisme
modern, yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi, dan
bahwa eksistensi mendahului esensi, yang berasal dari para filsuf Yunani dan
berkembang di Eropa pada abad pertengahan melalui Soren Kierkegaard dan
Friedrich Nietzsche. (Kamus Filsafat, 185), juga bukan Eksistensialisme
ateistik, yang dipelopori oleh Jean
Paul Sartre yang menjadi cikal bakal Humanisme, (Kamus Teori, 63, Matafisika
124), karena buku ini hanya akan menyoroti filsafat Mazhab Qom.
Eksistensialisme (Mazhab Ashalatul-Wujud)
Para filsuf paripatetik dan Mazhab Qom , seperti
Ibnu Sina, Mulla Shadra, Sabzawari dan Thabathaba’i menegaskan
“ashalatul-wujud” (keasalan wujud) dan ketidak-asalan esensi (al-mahiyyah).
Salah satu alasannya, ialah apabila wujud bukanlah asal, maka adakah yang
mengeluarkan esensi dari kenetralan, selain wujud. Mereka menegaskan bahwa yang
mempunyai realitas objektif (waqi’iyah kharijiyah) adalah esksistensi, sedangkan
esensi adalah sesuatu yang subjektif, konstruktif dan artifisial (I’tibari).
Kaum paripatetik, seperti Bamhanyar dan Mazhab
Qom, seperti Mulla Sahdra, memastikan bahwa penolakan terhadap orisinalitas
wujud meniscayakan sikap agnosistik. (at-tahshil, 286, Al-asfar
Al-arba’ah, juz 1, hal. 1, Nihayatul-Hikmah, 16, Ma Ba’da
Ar-rusydiyah, 149), sebagaimana akan kita ketahui nanti.
Esensialisme (Mazhab Ashalatul-Mahiyyah)
Esensialisme iluminatif. Yaitu aliran dalam
ontologi yang berpandangan bahwa esensi mendahului eksistensi, dan bahwa
sesuatu yang nyata adalah yang mempunyai hakikat atau esensi. Salah satu
alasannya, ialah apabila wujud adalah asal, maka wujud pasti ada dalam realitas
objektif, dan ia pasti mempunyai wujud, dan wujud wujudnya itu pasti mempunyai
wujud, dan begitulah seterusnya.
Suhruwardi dan para pengikut iluminasionisme
menganggap esensi atau quaditas sebagai sesuatu yang real, sedangkan eksistensi
sebagai sesuatu yang bersifat memorial (dzihni) dan konstruktif.
Mulla Shadra dan Mazhab Qom, termasuk
Thabathabai, telah meberikan
bantahan-bantahan jitu terhadap argumen-argumen kaum esensialis, sebagaimana
akan kita ketahui nanti. Nihayatul-Hikmah, 14-15). (Post Averoisme, 149,
Al-asfar Al-Arba’ah, juz, hal. 39-40),
Dualisme I (Mazhab Ashlatultul-wujud
wal-mahiyyah)
Yaitu aliran dalam ontologi yang konon menganggap
wujud dan esensi sebagai asal sekaligus. Para penganut dualisme juga tidak
berada dalam satu pandangan dan aliran.
Pendapat yang dikemukakan ‘secara malu-malu’ oleh
sejumlah guru besar filsafat di Hawzah Qom baru-baru ini cukup menggegerkan dan
mengundang kontroversi serta polemik dalam kuliah-kuliah dan jurnal-jurnal
filsafat di Iran.
Menurut mereka, seandainya wujud adalah
satu-satunya yang memiliki pengaruh-pengaruh eksternal dan objektif, padahal
wujud adalah realitas yang unik dan sederhana, maka apakah yang membedakan
antara ayam dan Agus, misalnya. Karena itulah, mereka mengakatan bahwa esensi
atau quiditas adalah pembeda antar entitas objektif. Itu berarti esensi, sebagaimana
eksistensi, memberikan pengaruh fundamental bagi realitas setiap entitas. (Syarhul-Mandhumah,
juz 2, hal. 171, Bidayatul-Hikmah, 13, Ushulul-Falsafah wal-Madzhab
Al-Waqi’i, jilid 3, Filsafat Islam, 58-59, Al-Asfar Al-arba’ah,
juz 1, hal. 39, Al-masya’ir, hal. 14, 37, Al-falsafah Al-Ulya,
80, dll).
Dualisme II (I’tibariyatul-wujud wal-mahiyah)
Ia adalah aliran filsafat yang beranggapan bahwa
eksistensi dan esensi adalah dua entitas artifisial (I’tibari) dan
keduanya tidak real. Aliran ini mesti dimasukkan dalam salah pandangan
asumstif, karena boleh jadi ada filsuf yang meyakininya.
Namun, pendapat terakhir ini meniscayakan
penolakan terhadap segala macam realitas objektif atau bernasib sama dengan
agnosisme dan skpetisisme Protagoras dan Berkeley. Pendapat ini ditolak oleh
Paripatetik, Mulla Sahdra dan para
filsuf Mazhab Qom. (Post Averoisme, Ma Ba’da Ar-Rusydiyah, 143, Al-Asfar
Al-arba’ah, juz 1, 66, Sharhul-Mandhumah, komentar Muthahhari, juz
1, 49).
Untuk memahami secara benar isu orisinalitas
eksistensi atau orisinalitas esensi ini, kita perlu mempelajari alasan kaum
esensialis dan kaum eksistensialis (dalam ontologi) ini.
Alasan-alasan Orisinalitas Esensi
Para filsuf yang meyakini orisinalitas (ashalah) eksistensi
(wujud) mengajukan sejumlah argumen. Antara lain sebagai berikut:
- Seandainya eksistensi (Al-wujud) adalah entitas (Al-Maujud), yakni
sesuatu yang “berada”, maka berarti setiap wujud mempunyai sebuah wujud,
dan wujud tersebut, karena sesuatu yang berada, pasti memiliki wujud, dan begitulah
seterusnya. Karenanya, esensi-lah yang menjadi sesuatu yang “berada” dan
real, demi menghindari paradoks suksesi karena eksistensi tidak mungkin
menyandang eksistensi, maka pastilah penyandang eksistensi adalah esensi
atau mahiyyah, sebab dalam gramatika arab, Al-mawjud berarti
sesuatu yang diadakan, maka pasti ia (al-mawjud) berarti sesuatu
yang bukan wujud namun menyandang wujud sehingga disebut “yang diadakan”.
- Seandainya wujud adalah “sesuatu yang menjadi ada” dengan
sendirinya, tanpa selainnya, yaitu esensi, maka berarti setiap yang
mempunyai wujud, termasuk entitas yang mungkin, adalah pasti ada dengan sendirinya.
Karena itulah, wujud hanya bisa menjadi “sesuatu yang berada” apabila
direalisasikan oleh esensi.
- Seandainya wujud menjadi “yang berada” secara real dengan
sendirinya, sedangkan esensi menjadi “yang berada” dengan selain esensi,
maka berarti pengertian “wujud” adalah pengertiian yang bermuatan kesamaan
kata, bukan kesamaan art, sebab, ternyata wujud bagi wujud berbeda dengan
wujud bagi esensi.
- Esensi adalah ciri pembeda antar semua yang berada atau entitas.
Sedangkan wujud atau eksistensi adalah titik temu bagi setiap yang berada.
Tanpa esensi, kita tidak akan pernah dapat membedakan setiap entitas atau
maujud. (Nihayatul-Hikmah, komentar MT. Mishbah Yazdi, hal. 35, Al-Asfar
Al-Arba’ah, juz 1, hal. 39-44, 54-63, Nihayatul-Hikmah, Ahkamul-wujud,
komentar MT. Mishbah Yazdi, hal. 34. Nihayatul-Hikmah, komentar MT.
Mishbah Yazdi, hal. 35, bab Ahkamul-Wujud).
Alasan-alasan Orisinalitas Eksistensi
Para filsuf yang meyakini orisinalitas eksistensi mengajukan
sejumlah alasan kuat. Yaitu sebagai berikut:
1.
Esensi
atau quaiditas pada dasarnya tidak menolak untuk diberi predikat “ada” juga tidak dapat
menolak negasinya, “tiada”. Seandainya quiditas adalah eksistensi itu sendiri,
maka tidak dapat “ditiadakan” atau dinegasikan, karena menegasi inti atau zat
adalah mustahil. Karena itulah benar bila kita katakan “manusia ada” dan
“manusia tidak ada”. Lagi pula, quiditas memiliki ciri-ciri khas tertentu yang
tidak dimiliki oleh eksistensi. Karena itulah, pengertian “mahiyyah” atau
quiditas berbeda dengan pengertian “wujud”, dan bahwa pengertian “wujud”
merefleksikan realitas objektif, sedangkan quditas hanyalah pengertian yang
tidak memiliki realitas objektif, karena ia hanyalah sesuatu yang artifisial
atau konstruktif (I’tibari). Sabzawari mengatakan bahwa “wujud” adalah
predikat yang, secara konseptual,
melekat pada quiditas.
2.
Wujud
adalah benang merah antar segala sesuatu. Sedangkan quiditas atau esensi adalah
ciri pembeda antar segala sesuatu. Sesuatu yang sama (yaitu wujud) jelas
berbeda dengan yang khusus (yaitu quiditas).
3.
Sesuatu
disebut ashil (memiliki realitas objektif) apabila ia mempunyai
eksistensi. Quiditas atau esensi dapat memiliki realitas apabila menyandang
“wujud”. Itu berarti bahwa yang real dan objeltif hanyalah eksistensi. (Nihayatul-Hikmah,
15-17).
4.
Karena
wujud adalah sumber dan prinsip kebaikan dan kesempurnaan, maka tak pelak
wujud-lah yang orisinil. Bagaimana sesuatu yang ‘buatan’ (I’tibariyat)
menjadi prinsip dan sumber pengaruh real, kebaikan dan ksempurnaan. Alasan ini,
menurut Mehdi Haeri Yazdi, sepintas terkesan lemah karena terkesan ‘mushadarah
al al-mathlub”, sebab para pendukung orisinalitas esensi akan membantah dan
mengatakan bahwa wujud bukanlah sumber kebaikan dan ksempurnaan, bahkan setiap
kesempurnaan primer (kamal awwali) dan kesempurnaan sekunder (kamal
tsanawi) berasal dari esensi (mahiyah), sedangkan yang memilki
hakikat adalah esensi atau quiditas, bukan wujud. Namun ia buru-buru memberikan
justifikasi dengan mengatakan, bahwa alasan ini bisa didiskipsikan sebagai
berikut: Prinsip kesempurnaan dan kebaikan itu, dalam kenyataan, ada, tiada,
ataukah bukan ada dan bukan pula tiada, ataukah ada sekaligus tiada? Tentu tidak
mungkin bisa dikatakan bahwa prinsip kesempuraan adalah sesuatu yang ada dan
tiada sekaligus, karena ia meniscayakan pertemuan dua hal kontradiksi. Karena
itulah yang ada hanya dua pilihan; prinsip kebaikan adalah wujud (ke-ada-an)
ataukah adam (ketiadaan)? Karena ketiadaan tidak akan bisa menjadi
prinsip kesempurnaan, maka hanya wujud-lah yang menjadi prinsip kesempurnaan.
Itu berarti prinsip orisinalitas adalah wujud, bukan selain wujud. (Ilme
Kulli, Mehdi Haeri Yazdi, 23).
5.
Perbedaan
antara wujud (maujud) objektif dan wujud (maujud) subjektif adalah bahwa maujud
objektif memberikan pengaruh-pengaruh yang diniscayakan, sedangkan maujud
subjektif tidak memberikan pengaruh-pengaruh objektif yang diniscayakan (Al-atsar
al-kharijiyah al-mutarattibah). ‘Matahari subjektif’ tidak memberikan
pengaruh pencahayaan, namun ‘matahari objektif’ dan ‘bulan objektif’ memberikan
pengaruh tersebut. Seandainya esensi (quiditas) orisinai, maka berarti ia harus
memberikan pengaruh-pengaruh objektif (Al-atsar al-kharijiyah) serta
pengaruh-pengerauh subjektif (Al-atsar Al-zihniyah). Karena berdasarkan
asumsi terbalik ini, esensi yang berada dalam subjek dan objek mesti selalu
memberikan pengaruhnya baik dalam dunia domain objek maupun dalam domain
subjek. Namun kenyataan empirik membuktikan sebaliknya.(Elm e Kulli, 24).
6.
Berkat
wujud, segala sesuatu yang semula netral antara ada dan tiada, menjadi ada.
Sedangkan esensi (mahiyah) pada dirinya adalah sesuatu yang netral, tiada ada
dan tidak tiada. Sesuatu yang semula tidak ada tidak akan pernah menjadi ada
tanpa sebab pengada, dan karenanya tidak akan menjadi prinsip pengaruh
objektif. (Elm e Kulli, 24).
7.
Andaikan
wujud tidak orisinil (bukan sumber pengaruh objektif, mansya’ al-atsar),
maka kesatuan (al-wahdahi, unitas) dan kebersatuan (al-ittihad)
tidak akan pernah bisa terjadi. Akibatnya, tidak akan terjadi predikasi atau
kategorisasi (al-haml) antara subjek (al-maudhu’) dan predikat (Al-mahmul)
dalam setiap proposisi.
8.
Setiap
entitas (maujud) selalu beranjak dari kekurangan menuju kesempurnaan. Ia akan
meniti jalan dan proses menuju kesempurnaan (Al-sair Al-takamuli) (Elm
e Kulli, 26,27, Falsafeh, M. Ali Gerami, 82-83).
Bisa dikatakan bahwa sekarang hanya pendapat
orisinalitas wujud yang diterima, meski ada kecenderungan yang mengarah pada
upaya penafsiran ulang tentang orisinalitas eksistensi sekaligus esensi,
seperti pernah dilontarkan oleh filsuf muslim muda di Iran, Gholam Reza Fayyazi
dan Sayed Kamal Haidari. Namun, kedua pemikir muda tersebut terkesan
‘malu-malu’ menggagas penafsiran ulang terhadap dualisme ontologis tersebut,
karena apabila terbukti benar, maka, sebagai konsekuensi logisnya, bangunan
filsafat metafisika yang berdiri di atas prinsip orisinalitas eksistensi sejak
Mulla Shadra akan mengalami guncangan atau bahkan keruntuhan.
Karena itu, pembahasan berikut ini dipaparkan
berdasarkan prinsip orisinalitas eksistensi (Ashalah al-wujud).
Kontroversi seputar Pluralitas dan unitas wujud
Meski sama-sama menerima orisisnalitas eksistensi,
dalam menanggapi pertanyaan apakah hakikat wujud atau eksistensi (bukan
eksistensi objektif, maujud) itu tunggal, dua atau beragam, para filsuf
eksistensialis terbagi ke dalam beberapa
aliran besar.
Pluralisme
dalam ontologis
Para filsuf pra Mazhab Qom, terutama kaum
paripatetis, menganggap wujud sebagai realitas-realitas yang beragam. Kaum
Paripatetis dan sebagian besar kaum rasionalis Timur berkeyakinan bahwa hakikat wujud (bukan maujud) beragam,
mencakup Tuhan dan setiap makhlukNya. Dengan kata lain, menurut mereka, Tuhan
memiliki hakikat wujud tersendiri yang berbeda secara total dengan hakikat
wujud setiap makhlukNya.
Monisme
dalam ontologi
Sedangkan sebagian filsuf Mazhab Qom, seperti
Mulla sahdra, Mirdamad dan Thabathabai menganggap wujud sebagai satu realitas.
Namun para penganut Monisme, yang meyakini unitas hakikat wujud,
terpecah menjadi beberapa aliran sebagai berikut;
Para
filsuf Mazhab Qum
Pendiri Mazhab Qom, Mulla Shadra, mengemukakan teori "Al-Wahdah fi
Ain Al-Katsrah", yaitu bahwa hakikat-hakikat wujud aini mempunyai
kesekutuan dan kesatuan yang berbeda-beda. Dengan kata lain, wujud hanyalah
sebuah hakikat. Namun dalam kesatuan tersebut, terdapat keragaman. Teori ini
mengacu pada pendapat Mulla sahdra tentang pembagian wujud kepada mandiri
(mustaqil) dan bergantung (rabith).
Kaum
Sufi
Mereka berpendapat bahwa hakikat
wujud sejati dan “realitas” (wujud
objektif, entitas, maujud) hanya terbatas pada Allah. Sedangkan eksistensi
entitas-entitas lain bersifat metaforis. Teori ini dikenal dengan
"Wahdatul Wujud wal Maujud". Dengan kata lain, mereka menganggap
Tuhan sebagai satu satunya hakikat “ke-ada-an” sekaligus realitas objektif dari
ke-ada-an atau “yang ada”. Sedangkan selain Allah hanyalah wujud-wujud simbolis
fiktif
Al-Muhaqqiq
Ad-Dawani
Ia berpendapat, "Wujud sejati" hanya ada pada dzat Allah.
Sedangkan "Maujud sejati" mencakup makhluk-makhluk.
Sampai
sekarang polemik antara pendukung pluralitas dan singularitas realitas wujud
terus berkembang. Namun gagasan Mulla Shadra lebih kokoh terhadap setiap
keberatan filosofis yang pernah dilontarkan di kalangan para peminat filsafat
timur dan Islam terutama di Iran.
Alasan-alasan teori “Pluralitas realitas wujud’
Kaum
paripatetik dan para pengnut monisme beranggapan bahwa sesungguhnya
entitas-entitas objektif (al-maujudat al-ainiyah) adalah salah satu dari
beberapa asumsi sebagai berikut:
- Entitas-entitas itu semua adalah person-person
atau anggota dari satu realitas, seperti Budi, Agus, dan Salim yang
merupakan person-person bagi satu spesies ‘manusia’.
- Entitas-entitas itu semua memiliki spesies
yang yang berbeda-beda namun terhimpun dalam satu genus, seperti anjing,
sapi dan muhammad yang merupakan aneka spesies yang terhimpun dalam satu
genus; binatang.
- Bahwa entitas-entitas itu semua adalah
realitas-realitas yang yang saling berbeda secara substansial.
Pilihan pertama tertolak, menurut kaum
paripatetik, karena ia meniscayakan wujud sebagai universalia natural (al-kulli
ath-thabi’I), seperti manusia, yang tidak menjadi konkret (musyakhash)
tanpa dilekati dengan presikat-predikat yang signifikan dan mencolok. Namun,
berdasarkan asumsi klaim tentang pluralitas realitas setiap entitas, maka
prfedikat-predikat pembeda yang signifikan itu juga tidak akan efektif menjadi
pembeda selama predikat-predikat itu maujud, dan selama setiap maujud adalah
realitas atau hakikat yang berlainan.
Pilihan kedua jelas tertolak, karena ia
meniscayakan ketersusunan realitas (hakikat) wujud yang terdiri atas aspek
kesamaan (jihah al-isytirak) dan aspek kelainan (jihah imtiyaz).
Keniscayaan ini secara terang-terangan bertentangan dengan postulat
kesederhanaan atau ketidaktersusunan (basathah) hakikat wujud,
sebagaimana telah kita buktikan sebelumnya.
Kaum paripatetik dari alasan-alasan di
atas dan dari upaya pengguguran pilihan pertama dan kedua, ingin membuktikan
dukungannya atas pilihan ketiga, yaitu bahwa setiap entitas adalah realitas
yang berbeda dengan entitas-entitas lainnya. (Al-manhaj Al-jadid, M.
Taqi Mishbah Yazdi, 397-398).
Alasan-alasam teori ‘Unitas realitas
wujud’
Pendapat
yang dinisbahkan pada Mulla Shadra dan didukung oleh para filsuf Mazhab Qom ini
konon diilhami oleh keyakinan kebijakan Persia kuno, dan disempurnakannya
dengan sejumlah argumen. Pendapat ini dikenal dengan teori ‘al-wahdah fi ain
al-katsrah’ (kesatuan plural wujud). Maksudnya, Mulla Shadra berpendapat,
bahwa realitas-realitas wujud memiliki
titik kesamaan dan kesatuan sekaligus perbedaan. Dengan kata lain,
realitas-realitas wujud yang berlainan itu satu. Namun perbedaan tersebut tidak
meniscayakan ketersusunan sehingga tidak dapat diuraikan menjadi genus dan
defrentia. Perbedaan tersebut hanyalah dalam intensitas dan gradasinya,
sebagaimana lilin dan lampu 500 watt yang satu atau sama-sama lampu namun
kualitas pencahayaannya berbeda. Singkatnya, wujud yang satu dan sederhana itu
gradual dan bertingkat-tingkat. (Al-manhaj Al-jadid, 399-405).
Gradasi “Wujud”
Bertolak dari pandangannya tentang unitas wujud
dalam gradasainya, Pendiri Teosofi transenedental, Shadrud-din Shirazi,
berpendapat, bahwa hakikat “wujud’ itu
sederhana atau tunggal namun bertingkat-tingkat atau gradual, masing-masing
tingkat berbeda intensitasnya. Adalah jelas, keberadaan tumbuh-tumbuhan lebih
sempurna dan lebih tinggi dari keberadaan benda-benda padat, karena ia memliki
sifat berkembang, konsumtif dan
produktif.
Ke-ada-an binatang juga lebih sempurna dari
ke-ada-an tumbuh-tumbuhan, karena ia, selain memiliki sifat-sifat yang ada pada
tumbuh-tumbuhan, memiliki sejumlah sifat kesempurnaan lainnya, seperti
berperasaan, bergerak dan berkehendak.
Benda padat, tumbuh-tumbuhan dan binatang
sama-sama memiliki eksistensi, namun masing-masing berada pada tingkat-tingkat
kesempurnaan yang berbeda. Cahaya juga demikian. Ia bersifat gradual, ada yang
kuat sekali, ada yang lebih lemah dan begitu seterusnya, meski semuanya adalah
cahaya.
Banyak orang yang mengkaitkan pendapat ini
keyakinan kaum fahlavi, para filsuf Iran kuno. (Shahrul-Mandhumah,
22-23, 43-44, juz 2, hal. 105, al-Asfar Al-Arba’ah, juz, 1, hal. 432,
Al-Falsafah Al-Ulya, 90 Al-manhaj al-jadid, 403-405, Nihayatul-Hikmah,
24-26).
Tingkat tertinggi dari wujud bersifat tak
berhingga, sedangkan tingkat yang paling rendah bersifat terbatas, lemah, dan
tidak mandiri.
Sedangkan para penganut filsafat paripateik
beranggapan bahwa realitas wujud itu beragam atau prlural, masing-masing berlainan secara esensial, meski bersifat
sederhana. (Al-Asfar Al-Araba’ah, juz 1, hal. 36).
Trend pemikiran filsafat metafisika yang dianut
sekarang adalah unitas wujud yang gradual. Pendapat kaum paripatetis tentang pluralitas
wujud yang dikemukakan oleh para filsuf pra Mulla Shadra, seperti Ibnu Sina dan
Al-farabi, telah ditinggalkan dan hanya menjadi tema diskusi, karena apabila
realitas wujud itu beragam, maka niscaya ada titik temu atau aspek kesamaam
antar masing-masing wujud, padahal itu meniscayakan lenyapnya perbedaan antara
satu dan beragam.
Wujud subjektif dan wujud
objektif
Filsafat
Mazhab Qom membagi wujud secara umum menjadi dua:
1.
Eksistensi subjektif (Al-Wujud Adz-Dzihni). Yaitu keberadaan segala sesuatu
yang bergantung pada sensasi, persepsi
dan konsepsi manusia.
2.
Eksistensi objektif (Al-Wujud Al-Khariji). Yaitu keberadaan segala sesuatu
yang bukan sebagai produk konsepsi
manusia semata.
Antara entitas subjektif dan entitas objektif
Sesuatu entitas disebut
mempunyai eksistensi objektif apabila keberadaannya bukanlah produk dari
konsepsi dan sensasi manusia. Inilah eksistensi real dan sejati. Sudirman, yang
sedang berdiri di ujung jalan sana, misalnya, ada secara objektif baik kita
melihatnya maupun tidak. Eksistensi objektif Inilah yang disebut dengan
realitas, kenyataan, dan Al-waqi’. Sedangkan yang memiliki keberadaan objektif
disebut dengan maujud (entitas). Dengan kata lain, ada dua macam entitas atau
maujud, yaitu entitas sybjektif yang berupa konsep dan entitas objektif berupa
realitas.
Berdasarkan uraian diatas,
kita dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Ada kalanya eksistensi atau entitas subjektif (al-wujud
al-zihni) menjadi salah satu sebab bagi eksistensi dan entutas objektif,
seperti seseorang yang berpikir tentang suatu perbuatan lalu melakukannya. Ada
kalanya eksistensi dan entutas objektif menjadi sebab bagi eksistensi
subjektif, seperti gambar ‘rumah’ yang tercetak dalam memori seseorang yang
telah melihat realitas rumah itu.
2.
Entitas subjektif (al-maujud al-zihni)
bersumber dari subjek sebagaimana perbuatan bersumber dari pelakunya. Hal ini
berbeda dengan aksiden yang bergantung atau bersandar pada yang dilekatinya,
substansi, karena entitas subjektif bukanlah bukanlah salah kategori aktivitas
psikologis (kaif nafsani). Kategori ‘aktivitas psikologis’ yang
merupakan salah satu dari macam-macam akisden hanya akan berada dalam subjek
(substansi) yang dilekatinya. Sedangkan entutas subjektif (al-maujud
al-zihni) bukanlah sesuatu yang bersemayam dalam subjek (zihn), karena
‘kebersemayaman’ (hulul) dalam sesuatu hanya akan terjadi apabila terlah ada
terlebih dahulu hubungan khusus antara ‘yang bersemayam’(al-ha^l)
dan ‘yang disemayami’ (al-mahall).
Selama hubungan khusus tersebut tidak ada, maka ‘kebersemayaman’ tidak akan
pernah terjadi. Sementara kebergantungan entitas subjektif pada subjek tidak
bergantung pada hubungan tersebut.
3.
‘Substansi’ dalam ‘entitas subjektif’ adalah
substansi secara eksistensial, dan tidak berubah menjadi akisden. Hal itu
karena substansi adalah sesuatu yang hanya akan ‘mengada’ sebagai subjek
(penyandang) itu sendiri, bukan sebagai sesuatu yang melekat pada sebuah subjek
(sandangan). Aksiden juga demikian. Ia akan tetap sebagai aksiden, disandang
atau menjadi sandangan, meski berada
dalam entitas subjektif. Sedangkan ‘entitas subjektif’ –sebagai entitas
subjektif- (al-maujud al-zuhni) bukanlah ‘substansi’ (al-jauhar) dan
bukan pula ‘aksiden’ (al-arazh), karena pokok pembagian substansi dan aksiden
adalah quiditas (esensi, al-mahiyah) dengan memperhatikan relasi wujud
quiditas, yang merupakan sumber pengaruh-pengaruh (mansya’ al-atsar),
yaitu wujud objektif quiditas tersebut.
4.
Subjek (mental, al-zihn) adalah domain
pengertian-pengertian (al-mafahim). Sedangkan domain ekstensi-ekstensi (mashadiq,
manifestasi) adalah realitas objektif (fakta). Masing-masing mengikuti
hukum dan aturan-aturan yang khusus dan otonom sehingga tidak bisa
dicampur-adukkan. Pengertian atau konsep ‘mustahil’, misalnya, bukanlah
‘mustahil ada’, namun ekstensi (mishdaq) ‘mustahil’ adalah ‘mustahil ada’.
Anggapan bahwa entitas subjektif dan entitas objektif memiliki hukum dan
konsekuensi yang sama bahkan satu adalah salah. Bahkan tidak ada pertentangan
(tazhad) dan pergesekan (tazahum) antar entitas-entitas material. Mereka tidak
berbentuk (al-hajm), tidak berbobot (tsiqal), tidak bermasa, tidak bertempat
dan tidak menyandang sifat-sifat yang lazim disandang oleh setiap entitas
objektif.
5.
Penilaian bahwa entitas subjektif tidak ada dalam
subjek meniscayakan ke-ada-annya dalam subjek, sedangkan penilaian bahwa
entitas objektif tidak ada dalam realitas (objek) tidak meniscayakan
ke-ada-annya dalam realitas. Karena itulah, pertemuan ‘dua kontradiktif’
mustahil (pasti tiada) dalam realitas objektif, sedangkan penafiannya (dua
kontradikstif tersebut) dalam subjek (benak) meniscayakan ke-ada-annya dalam
subjek.
6.
Entitas subjektif hanya memerlukan satu sebab,
yaitu subjek (zihn) semata, yang merupakan sebab efesien (al-illah
al-fa’ilah)-nya. Sedangkan entitas objektif (al-maujud al-khariji)
kadang kala memerlukan sejumlah sebab.
- Untuk menjadi ada, entitas subjektif tidak ‘memrlukan’ atau tidak
didahului dengan kapasitas (al-qabiliyah). Sedangkan entitas
objektif, terlebih dahulu, mesti berupa potensi atau memiliki potensi,
sebelum meng-ada. Kalau tidak, maka ke-ada-annya mustahil.
- Entitas objektif tidak akan pernah bisa bersemayam (hulul) dalam subjek (mental), karena inti atau hakikatnya (hakikat eksistensi objektif) adalah realitas objektif dan sumber pengaruh-pengaruh objektif. Karenanya, ia mustahil menjadi sebuah entitas objektif dan kehilangan ‘status’-nya sebagai sumber pengaruh-pengaruh objektif. Andaikan entitas objektif diasumsikan dapat (berubah) menjadi entitas subjektif, maka itu berarti ia adalah entitas objektif dan bukan entitas objektif. Inilah yang disebut dengan inqilab. Renungkanlah! (Al-falsafah Al-ulya, 94).
0 komentar:
Posting Komentar