Bag 02
WUJUD SUBJEKTIF
Para filsuf muslim membagi quiditas-quditqas (Al-mahiyat) yang telah mengenakan busana wujud dalam realitas memiliki wujud lain yang tidak menyandang pengaruh-pengaruh objetif real. Wujud yang tidak memiliki konsekuensi-konsekuensi real inilah yang disebut dengan wujud subjektif (Al-wujud Adz-Dzihni), yaitu pengetahuan dan konsep kita tentang quiditas segala sesuatu.
Sesuatu yang ada karena manusia mempersepsinya
disebut sesuatu yang ada secara konseptual. Eksistensi konseptual tak ubahnya
bayangan atau pantulan dari eksistensi real objektif. Gambar di benak kita
tentang Salim, misalnya, adalah sesuatu yang ada secara konseptual setelah
tidak lagi bertemu dan melihat sosok Salim yang ada secara real.
Eksistensi subjektif ini, dalam kamus filsafat
ontologi, disebut Ash-shurah (konsep, ide). Kata Ide (Idea) berasal dari
kata Yunani eidos yang semula berarti visi atau kontemplasi. (Kamus Filsafat,
297). Ide didefinisikan sebagai gambaran yang muncul sebagai pantulan dari
entitas real dan objektif. Sedangkan realitas didefinisikan sebagai entitas
objektif yang ada di luar subjek dengan pengaruh-pengaruhnya. Pemilik eksistensinya disebut maujud
(entitas) atau quiditas yang berwujud (Al-mahiyah Al-maujudah).
Ringkasnya, segala sesuatu mempunyai keberadaan
objektif dan keberadaan subjektif. Bedanya, keberadaan objektif menyandang
predikat-predikat material , seperti es objektif yang dingin, sedangan es yang
subjektif (yang ada dalam benak) kita tidak dingin.
Polemik seputar entitas subjektif
Isu tentang ada dan tidak adanya realitas telah
ditanggapi secara berbeda oleh para filsuf yang terpencar ke dalam berbagai
aliran filsafat ontologi epistemologi, seperti idealisme, realisme dan
dualisme.
Idealisme
Idealisme dapat dibagi ke dalam berbagai macam aliran, antara lain Idealisme Palto, Idealisme Fitche, Idealisme Berkeley, Idealisme Kant,
Idealisme Hegel, Idealisme T. Green, Idealisme Herbert Bradley, Idealisme
Schelling, Idealisme William T Harris
(1835-1909), Idealisme Borden Parken Bowne (1847-1910), Idealisme
Jonathan Edwards, Idealisme Bernad Bosan-quet yang dikenal sebagai hegelian, Idealisme Josiah Royce (1855-1916), seorag
hegelian, Idealisme James Edwin Creghton (1861-1924), Idealisme Henry
Bergson, Idealisme Hastings rashdall, Idealisme Ward, Idealisme Gentile,
Idealisme Fouilee, Idealisme
Paulsen. Ini semua tidak bertalian secara langsung dengan tema pokok buku ini.
Karenanya ia tidak perlu dibahas.
Namun, idealisme yang kami maksud di sini adalah aliran filsafat yang
menolak eksistensi realitas. Idealisme juga disebut dan disamakan dengan
mentalisme atau konseptualisme. Aliran ini beranggapan bahwa alam semesta
adalah penjelmaan pikiran. Untuk bereksistensi, realitas bergantung pada
pikiran. Hanya pikiran-lah yang ada. Aliran lain yang tidak terlalu berbeda
dengan idealisme adalah nominalisme. Ia adalah aliran yang menyatakan bahwa
universalia (konsep-konsep universal) bukanlah entitas-entitas subjektif dan
objektif. Ia hanya nama-nama dibuat. Para penganutnya antara lain adalah
William Ockham, Jean Buridan Thomas Hobbes dan David Hume. ((Kamus
Filsafat, 487, 300, , 724).
Kritik
atas idealisme
Menurut, salah satu pionir mutakhir Mazhab Qom, Ayatullah Muammad Husein
Thabathabai, bila seorang idealis marah setelah ditampar, maka jawaban yang
patut diberikan ialah ‘perbuatan menampar hanyalah konsep dan ide, sebagaimana
anda yakini. Karenanya, anda tidak pernah marah, karena ia hanyalah sebuah ide,
bukan realitas.”
Hubungan antar sesama konsep
(entitas subjektif)
Perhatikanlah hal-hal berikut; bunga, genap,
putih, manis, dan delapan. Apakah semuanya berkaitan? Tentu tidak, karena hanya
ada dua hubungan saja, antara dan delapan, dan antara bunga dengan putih. Dua
hubungan ini terpantul dalam benak kita dalam bentuk dua premis “angka delapan
(adalah) genap” dan “bunga (itu) putih”.
Karena ‘genap’ atau ‘manis’ atau ‘angka delapan’ tidak berhubungan
‘bunga’, karena ‘bunga’ atau ‘putih’ atau ‘manis’ tidak berhubungan dengan
‘angka delapan’, dan karena ‘putih’ atau ‘manis’ atau ‘genap’ tidak saling
berhubungan, maka tdak mungkin premis
yang terpantul dalam benak kita adalah, misalnya, “angka delapan (itu) putih”,
atau “genap itu manis”.
Lalu perhatikan lagi, apakah hubungan antara
‘bunga’ dan ‘putih’ menyerupai hubungan antara ‘angka delapan’ dan ‘genap’?
Tentu tidak, hubungan antara ‘angka delapan’ dan ‘genap’ adalah hubungan yang
tak dapat diputus dan dipisahkan. Sedangkan hubungan antara ‘bunga’ dan ‘putih’
dapat diputuskan dan dipisahkan, karena kita bisa mengkonsepsikan ‘bunga’ tanpa
predikat ‘putih’ dan mengkonsepsikan ‘putih’ tanpa ‘bunga’ dalam kondisi dan
situasi tertentu. Itu berarti bahwa ada dua bentuk hubungan; ‘hubungan yang
niscaya’ (bil-zharurah), dan ‘hubungan yang tidak niscaya’ (la
bil-zharurah).
Dua hubungan niscaya
‘Hubungan niscaya’ terbagi dua;
- Hubungan niscaya eksistensial yang biasa disebut dengan (Al-wujub).
- Hubungan niscaya non eksistensial yang biasa disebut impossiblitas (Al-Imtina’). (Hasti
Shenasi, 83-86).
Dua hubungan tidak niscaya
‘Hubungan tidak niscaya’ juga dapat dibagi dua;
- ‘hubungan tidak niscaya’ eksistensial, yaitu ketidak pastian untuk
menjadi ada.
- ‘Hubungan tidak niscaya’ non eksistensial, yaitu ketidak pastian
untuk menjadi tiada.
Tiga macam entitas Subjektif
(Pengertian, konsep)
Seacara klasik, konsep (entitas subjektif atau
entitas objektif artifisial) dapat
dibagi menjadi dua;
- Pasti ada (Al-wujub). Yaitu keberadaan (ke-ada-an) sesuatu
yang tidak diakibatkan oleh sebab lain atau sesuatu yang ada secara pasti
dan niscaya. Inilah yang disebut dengan wajibul-wujud li dzatihi
Dengan kata lain, ‘kepasti-ada-an’ adalah bentuk hubungan niscaya antara
subjek dan predikat.
- Pasti tiada (Al-Imtina’). Yaitu kenir-ada-an yang tidak
diakibatkan oleh sebab selain dirinya, atau ‘sesuatu’ yang tiada secara
pasti dan niscaya. Deangan kata lain, kepasti-tiada-an adalah bentuk
hubungan niscaya antara subjek dan predikat.
- Tidak pasti (Al-Imkan). Yaitu ke-ada-an sesuatu yang
diakibatkan sebab yang mengadakannya, atau sesuatu yang ke-ada-an dan
ketiadaannya tidak pasti. inilah yang disebut dengan wajibul-wujud li
ghairihi. Dengan kata lain, ‘ketidak-pastian’ (Al-imkan) adalah
bentuk hubungan tidak niscaya
antara subjek dan predikat.
(Hasti Shenasi, 83, Ta’liqah ala Asy-syifa’, 28,
Al-Mabda’ wal- Ma’ad karya Mulla Shadra, Al-Mausu’ah Al-Falsafiyah,
427-428, Hakadza Nabda’, 223-224, Nihayatul-Hikmah, 55-56).
Sebagian
filsuf Mazhab Qom menolak definisi tentang ‘kepastian’ (azh-zharutrah)
dan ‘ketidakpastian’ (Al-imkan). Muthahhari, misalnya, mengatakan bahwa
keduanya sangat gambar, sehingga tidak memerlukan penjelasan. (Ushul e
Falsafeh va Realisme, sairi dar Adeleh e Itsbat e Wujud Khuda, 119).
Macam-macam ‘ketidakpastian’
Dalam
filsafat, terminologi ‘kemungkinan’ atau Al-imkan atau possibilitas
telah digunakan secara beragam. Untuk lebih dipahami secara jelas, berikut
penjelasannya.
1.
Kemungkinan umum (Al-imkan Al-am). Ia berarti ‘negasi terhadap kemestian (zharurah)
sisi yang berlawanan dengan premis’. Dengan kata lain, kemungkinan umum adalah
sesuatu yang bukan mustahil. Bila kita katakan; “Manusia adalah penulis” atau
“Hasan adalah orang kaya”, maka berati ‘ke-penulis-an’ dan ‘ke-kaya-an’ bagi
manusia dan hasan bukanlah sesuatu yang mustahil.
2.
Kemungkinan khusus (Al-imkan Al-khash). Ia berarti negasi kemestian dua pihak atau
sisi yang berlawanan dan yang berkesesuaian. Dengan kata lain, kemungkinan
khusus adalah gabungan dari dua macam kemungkinan umum. Bila dikatakan,
misalnya, “manusia adalah pemkir”, maka bahwa ia berpengetahuan tidaklah pasti,
dan bahwa ia tidak bodoh bukanlah sesuatu yang pasti pula. Inilah yang disebut
juga dengan ‘kemungkinan populer’.
3.
Kemungkinan lebih khusus (Al-imkan Al-akhas). Ia berarti negasi terhadap kemestian dalam
substansi, predikat dan waktu. Dengan kata lain, jika kita membandingkan sebuah
predikat (sifat) dengan zat (subjek penyandang) dan natur sebuah quditas
(mahiyah), maka kita akan menyimpulkan bahwa ‘segala bentuk afirmasi atau
keniscayaan antara natur dan prdikat
tersebut tidak ada sama sekali. Artinya, kemestian dalam substansi,
predikat dan waktu atas quiditas itu tidak ada. Inilah yang disebut dengan
‘kemungkinan lebih khusus’.
4.
Kemungkinan Mendatang (Al-imkan Al-istiqbali). Ia berarti negasi terhadap kemestian
peristiwa yang belum terjadi. Namun, sebagian besar filsuf tidak menganggap
macam keempat ini sebagai kemungkinan yang logis, karena mungkin dan tidak
mungkin harus didasarkan pada kaidah kausalitas dan rangkainnya, bukan pada
keterjadiannya.
5.
Kemungkinan potensial (Al-imkan Al-isti’dadi). Penjelasan: Tidak diragukan lagi, bahwa
setiap entitas , berdasarkan hukum transformasi dan perubahan, memiliki potensi
dan kapasitas untuk mengalami perubahan substansial. Menjadi ‘manusia’ bagi
janin dalam perut ibu adalah sebuah posibilitas potensial. Jadi kemungkinan
kelima ini bertumpu pada dua relasi; aktus dan potesi.
6.
Kemungkinan faktual atau aktual
(Al-imkan Al-wuqu’i). Ia berarti
sesuatu yang tidak mustahil untuk diandaikan. Kadang kala kita menkonsepsikan
sesuatu , lalu tanpa disadarkan pada sebuah bukti dan alasan, kita segera
menganggapnya mustahil, karena, misalnya, bertentangan dengan prinsip non
kontradiksi. Namun kadang kala kita mengkonsepsikan sesuatu, namun akal tidak
secara mudah memutuskannya sebagai sesuatu yang mustahil terjadi dan
sebaliknya.
7.
Kemungkinan eksistensial (Al-imkan Al-faqri).
Penjelasan: setiap entitas yang ‘tidak pasti’ dapat diurai secara
rasional menjadi dua; wujud (ke-ada-an) dan esensi (ke-apa-an, mahiyyah).
Masing-masing memiliki ciri dan hukum tersendiri. Kemungkin zati (Al-imkan
Az-zati) adalah negasi ke-ada-an dan ketiadaan dari ciri-ciri khas
ke-apa-an. Namun kemungkinan dalam entitas-entitas yang ‘tidak pasti’ berarti
ketergantungan secara zati pada prinsip pengada. Karena ia hanya memiliki
ketergantungan semata, maka hakikatnya adalah ketergantungan. Maujud-maujud
demikian pada hakikatnya tak ubahnya konsep-konsep tentang tentang harf dalam
bahasa Arab atau kata bantu dalam bahasa Indonesia, yang tidak memiliki arti
secara mandiri, kecuali bila berada di antara kalimat-kalimat yang memiliki
arti mandiri. Kata ‘di’ tidak berati sama sekali bila dibiarkan sendiri, namun
bila di diletakkan diantara kata ‘Muhammad’ dan ‘sekolah’, maka ia mempunyai
arti tertentu. Ini adalah temuan dari Pendiri mazhab Qom, Shadruddin Syirazi.
Menurutnya, ‘entitas ‘tidak pasti‘ tidaklah bergantung pada entitas ‘pasti
ada’, namun entitas tidak pasti itu sendiri adalah kebergantungan. (Al-asfar
Al-arba’ah, juz 2, hal. 286).
8.
Kemungkinan dibanding lain (Al-imkan bil-qiyas).
(Elm e
Kulli, M. Haeri Yazdi, 112-117, Nihayatul-Hikmah, 61-66).
Macam-macam Kepastian
Kepastian
(Azh-zharurah, Al-wujub) adalah kemustahilan tentang keterpisahan
antara dua hal. Sebagian filsuf mebagi tiiga sebagai berikut:
1.
Kepastian subjektif (Azh-zharurah Az-zatiyah). Yaitu kemustahilan terpisahnya
predikat dari subjek (dalam premis) selama subjek tersebut ada, seperti
kemustahilan menegasi (mencabut) ukuran dari benda yang masih ada, atau
kemustahilan mengasi (mencabut) sesuatu dari diri sesuatu itu sendiri.
2.
Kepastian eternal (Azh-zharurah Al-azaliyah). Yaitu kemustahilan terpisahnya
predikat dari subjek selamanya, seperti kemustahilan mengasi wujud dari sebuah
maujud yang azali (tak bermula), atau kemustahilan mencabut wujud dari wujud
itu sendiri.
3.
Kepastian predikatif (Azh-zharurah Al-washfiyah). Ia diartikan sebagai kemustahilan
terpisahnya predikat dari subjek (dalam premis) ketika subjek tersebut
menyandang sifat, seperti kemustahilan tidak bergeraknya jari pada saat tangan
menyandang sifat ‘menulis’. (Al-falsafah Al-ulya, 39-40).
Namun
Allamah Thabathabai menambahkan kepastian temporal (Azh-zharurah
Al-waqtiyah) sebagai macam keempat, seperti premis ‘setiap manusia pasti
bernafas sewaktu-waktu’. Namun, beliau juga mengatakan bahwa macam keempat ini
bermuara ke macam ketiga, kepastian predikatif. (Nihayatul-Hikmah, 60).
PENGETAHUAN
Epistemologi
adalah bidang filsafat yang menjadi landasan bagi semua pengetahuan manusia.
Keyakinan atau teori apapun yang penah ada dalam benak setiap manusia bersembur
dari epistemologi. Epistemologi membahas definisi pengetahuan, macam-macam
pengetahuan, alat-alat pengetahuan, batas-batas pengetahuan, dan proses terbentuknya
sebuah pengetahuan. Karena itulah, ia sangat perlu untuk dipelajari, terutama
bagi para pencari kebenaran. )Theory of Knowledge, Chiholm, P. 5).
Istilah
‘epistemologi’ dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata Yunani ‘episteme’
yang berarti ‘pengetahuan’ (kwowledge) dan ‘logos’ yang berarti ‘teori’, dan
dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan ‘teori pengetahuan’.
Istilah
‘epistemologi’ dalam bahasa Inggris digunakan kali pertama oleh J.F. Ferrier
dalam Intstitues of Metaphysics pada tahun 1854. Sedangkan yang pertama
kali menggunakannya dalam bahasa Jerman ‘Evkenntnistheorie’ adalah K. R. Reinhold. (The Dictionary of
Philosophy, ed, D.D. Runes, P. 94, Ma’refat Shenashi dini va Mo’asher, 28,
M. Taqi Fa’ali).
Sebenarnya para filsuf Mazhab Qom kurang setuju dengan pengedepanan
epistemologi atau filsafat pengetahuan atas ontologi atau filsafat keberadaan,
karena, beberapa alasan. Pertama, pengetahuan tidak akan bisa dibicarakan
sebelum ke-ada-an subjek pengetahu
dipastikan. Kedua, pengetahuan adalah salah satu dari bidang ontologi,
karena pengetahuan adalah entitas subjek yang merupakan pasangan bagi entitas
objektif atau realitas, realitas yang
terinderakan (al-waqi’ al-mahsus) dan realitas tak terinderakan (namun
ternalarkan), (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 151, Elme Huzhuri, M.
fana’ee Ashkevari, 19). Realitas ternalarkan (Al-waqi’ al-ma’qul) itu
bermacam dua; realitas tak terinderakan yang bersifat interval (alam
al-mitsal), seperti mimipi, dan realitas tak terinderakan yang bersifat
abstrak secara total.
Epistemologi adalah bidang filsafat yang secara
khusus membahas entitas subjektif (al-maujud al-zihni). Pengetahuan (Al-ilm)
adalah salah satu dari entitas-entitas subjektif. Bahkan bila ditelusuri
lebih jauh, pengetahuan bukan hanya sebuah entitas subjektif, namun ia adalah
sebuah entitas objektif yang tak terinderakan. Pengetahuan yang merupakan
sebuah entitas objektif tak terinderakan tidak lagi disebut pengetahuan (Al-ilm)
namun disebut dengan Al-aql, yang berarti entitas abstrak yang tidak
menyandang sifat-sifat kebendaan. (Al-falsafah Al-ulya, 270-275,
Ashlul-ushul, 8, Al-masyari’ wal-mutharahat, juz 1, hal. 45, An Introduction
to Contemporary Epistemology, P. 1, The Encyclopedia of Philosophy, P.
63).
Alasan-alasan
yang dikemukakan para filsuf ketimuran tersebut sangat tepat. Namun, karena
‘ke-ada-an’ tidak akan pernah diyakini sebelum subjek mengetahuinya lebih dulu,
maka tema-tema pembahasan dalam buku ini mengikuti sistematika urutan modern
yang dimulai dengan epistemologi. Harap dimaklumi. Jadi, epistemologi, yang
disusun oleh para filsuf Barat, sebenarnya di mata para filksuf Mazhab Qom
tidak lebih dari sekedar filsafat wujud subjektif.
Dalam benak kita, sejak lahir hingga kini, telah terkumpul ribuan atau
bahkan jutaan konsep tentang berbagai
sesuatu yang pernah kita tangkap, seperti rumah yang kita lihat, aroma segar
parfum dari Paris, rasa sedap makanan di warung langganan dan sebagainya.
Namun, sebagian dari konsep-konsep itu ada yang benar dan sesuai dengan fakta,
ada yang salah dan tidak faktual, dan ada pula tidak bisa dianggap benar maupun
salah.
Apakah ketidaktahuan itu? Apakah pengetahuan itu?
Berapa macamnya? Berapa alat pengetahuan? Bagaimana memperoleh pengetahuan yang
benar atau sesuai dengan realitas objektif? Bisakah memperoleh pengetahuan yang
benar? Dengan sarana apakah? Itulah sebagian dari pertanyaan-pertanyaan penting
yang dijawab dalam epistemologi.
Bagian dan isu pertama yang kita bahas adalah
“tindak mengetahui”, “subjek yang mengetahui”, dan “objek yang diketahui”.
Tanpa pemahaman yang jelas tentang peta dan rambu-rambu pengetahuan, maka
manusia (makhluk berakal budi) sulit bahkan mustahil dapat memasuki dan
menjelajahi dunia pengetahuan. Karenanya, tak pelak bagian ini harus menjadi
“garis start” bagi setiap pencari kebenaran dan kebijakan.
Ketidaktahuan
dan kebodohan
Ketidaktahuan adalah lawan dari ‘ketahu-an’ atau
pengetahuan. Karenanya, kita perlu membahasnya meski secara singkat. Disebutkan
bahwa salah seorang filsuf atau pemikir Islam membagi manusia menjadi empat;
- ‘Manusia berpengetahuan’ yang mengetahui atau mengaku bahwa dirinya
adalah ‘manusia berpengetahuan’.
- ‘Manusia berpengetahuan’ yang tidak mengetahui atau mengaku bahwa
dirinya adalah ‘manusia berpengetahuan’.
- Manusia tidak berpengetahuan yang mengetahui atau mengaku bahwa dirinya adalah ‘manusia tidak
berpengetahuan’.
- Manusia tidak berpengetahuan yang tidak mengetahui atau mengaku
bahwa dirinya adalah ‘manusia yang tidak berpengetahuan.
Definisi ketidaktahuan
Ketidaktahuan atau kebodohan (Al-jahl) dapat diartikan
dengan ketiadaan atau ketakhadiran konsep suatu objek (dalam pengetahuan hushuli) dan
ketidakhadiran entitas immaterial sebuah objek (dalam pengetahuan hudhuri).
Distingsi ketidaktahuan
Ketidaktahuan dapat dibagi, berdasarkan peringkat, menjadi dua;
1.
kebodohan
kompleks (Al-Jahl Al-Murakkab). Yaitu ketidaktahuan yang tidak disadari
oleh ‘subjek yang tidak mengetahui’.
2.
Kebodohan
sederhana (Al-Jahl Al-Basith). Yaitu ketidaktahuan yang disadari oleh
‘subjek yang tidak mengetahui’.
Manusia yang bodoh secara kompleks (mengalami komplikasi kebodohan),
tidak akan pernah berpeluang untuk menjadi ‘manusia berpengetahuan’. Karena
itulah, pembahasan-pembahasan dalam buku ini hanya bisa diikuti oleh manusia
tidak tahu secara sederhana dan calon ‘manusia
berpengetahuan’.
Ke-tahu-an
dan Pengetahuan
Jika kita menoleh ke belakang atau mencari titik akhir dari alam
material, maka kita akan menemukan benda pertama terkecil di dalamnya, yang
disebut dengan atom atau partikel atau energi. Yang pasti, ada sebuah entitas material yang merupakan
asal muasal dari alam yang kompleks ini. Setiap entitas material di alam ini
adalah kumpulan dari atom-atom yang jumlahnya tak terkirakan.
Atom memiliki substansi dan ciri tertentu. Ada
entitas material tertentu yang memiliki ciri atom dan sekaligus menyandang
sifat-sifat substansial yang tidak ada dalam setiap entitas atomik atau materi.
Batu dapat dipandang sebagai benda, karena ia berada dalam ruang dan waktu,
dapat dipandang sebagai atom, karena benda terkecil adalah atom, dan dapat pula
dipandang sebagai benda padat, karena ciri kepadatannya yang khas, demikian
pula air yang merupakan benda atomik sekaligus benda yang menyandang sifat
cair, demikian pula gas, api atau ion.
Selain benda padat, cair dan gas, terdapat entitas
material padat, cair dan gas yang memiliki ciri-ciri khas lebih.
Tumbuh-tumbuhan dengan segala macamnya, daun, kembang, tangkai, pokok, buah,
biji dan sebagainya bukanlah sekedar benda padat, namun ia “berkembang” dan
“tumbuh”.
Di tengah tumbuh-tumbuhan, ada sekelompok entitas
yang merupakan benda bekembang sekaligus “berindera” dan “berperasaan”, yaitu
hewan atau binatang. Ia bergerak dengan kehendak dan nalurinya, makan, minum,
melakukan aktivitas seksual, menyusui anaknya dan sebagainya.
Di tengah hewan ada sekelompok hewan yang tidak
hanya berperasaan dan berindera, namun juga berakal (mempunyai akal).Dialah
manusia.
Definisi ‘Pengetahuan’
Apakah ‘tahu itu? Apakah pengetahuan itu? Apakah
subjek pengetahu itu? Apakah objek yang diketahui itu? Berapakah macam pengetahuan? Apakah alat pengetahuan
itu? Mungkinkah manusia memperoleh pengetahuan? Bagaimana membedakan antara
pengetahuan yang benar dan tidak benar? Apa hubungan antara pengetahuan yang
benar dan keyakinan? Pertanyaan-pertanyaan
ini sangat perlu untuk dijawab.
Pertama-tama kita perlu memahami bahwa istilah
“pengetahuan” yang kami gunakan disini bersifat umum, bukan hanya terbatas pada
pengetahuan yang kini lebih sering disebut dengan “ilmu pengetahuan” dan
“sains”. Pengetahuan yang kami bahas di sini adalah setiap konsep mental yang
lazim disebut “knowledge” dan “al-ma’rifah”.
Jika seseorang mengklaim “tahu” atau “berpengetahuan” dan berkata: “Saya tahu bahwa besok hujan akan
turun’, maka syarat-syarat apakah yang semestinya telah dipenuhinya, sehingga
kita dapat menganggapnya berhak mengaku dirinya berpengetahuan atau mengetahui?
Ada sekelompok filsuf muslim yang menganggap pengetahuan sebagai
sesuatu yang perlu didefinisikan meski mengakuinya sulit, sebagaimana
dikemukakan oleh Al-Juwaini dan Al-Ghazali. (Syarhul-Mawaqif, juz 1, hal. 67,
Nadhariyatul-Ma’rifah, 18, Al-Mustasfa, juz 1, hal 25). Sementara sekelompok
filsuf dan teolog lainnya, seperti Abubakr Al-baqilani (403 H) , Abul-hasan
al-asy’ari (260-324 H) Ibnu Faorak Al-Asy’ari (406) Al-Iji, Al-Fakhr Ar-Razi,
Sa’duddin At-taftazani, Ikhwan Ash-Shafa, Quthbuddin Asy-Syirazi, Abu Ali Sina
, telah memberikan beragam definisi
tentang pengetahuan. (Syarhul-Mawaqif, juz 1, hal. 69-76, Ushulud-Din, 5,
Syarhul-maqashid, hal. 185-197, Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa, juz 1,
hal. 262, An-najah, Ibnu sina, 344, Durratut-taj Quthb
Asy-Syirazi, 65, Nadhariyatul-ma’rifah, 20-33, Asy-Syifa’ Kitabun-nafs,
50, At-ta’liqat, Ibnu Sina, hal. 69, 82, Asy-Syifa’, Al-Ilahiyat, 361,
AlIsyarat, juz 2, hal. 308). ).
Berdasarkan pengamatan Nasiruddin Thusi, perdebatan tajam dan
panjang tentang definisi pengetahuan, bukan karena ketakjelasannya, namun
semata-mata karena hakikatnya sangatlah gamblang. (Syarah Al-Isyarat
wat-Tanbihat 1/313)
Oleh karena itu, ada sekelompok filsuf yang menolak untuk memberikan
definisi pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa, pengetahuan adalah sesuatu yang
sangat gamblang sehingga tidak perlu didefinisikan, sebagaimana pendapat
Al-Razi (543-606 H). Ia mengemukakan dua alasan
untuk itu. (Syarhul-Mawaqif, juz 1, hal. 62 - 66, Nadhariyatul-Ma’rifah,
18).
Lebih dari
itu, Sebagian filsuf lain beranggapan bahwa pengetahuan mustahil didefinisikan.
Mereka mengingatkan bahwa pengetahuan adalah suatu hakikat yang dihayati dan
disaksikan langsung 0oleh batin manusia secara inheren. Adapun yang
disebut-sebut sebagai definisi pengetahuan, menurut mereka, tidak lebih dari upaya-upaya untuk memahami
dan menafsirkan penyaksian batin tersebut secara filosofis dan konseptual serta
menemukan cirri-ciri khususnya, seperti definisi “Pengetahuan yaitu hadirnya
yang diketahui (objek) pada jiwa pengetahu (subjek).”
Definisi
pengetahuan telah mendapat banyak kritik. Salah satu kritik tajam dilontarkan oleh Edmund Gettier yang dikutip
oleh Alvin Plantigna. (Elm e Hudhuri, Eshkevari 21, Ma’refat Shesnasyi, Ibrahimiyan 49, Al-Asfar Al-arba’ah, 3/278, dll)
Kontroversi seputar pengetahuan
Bagaimanakah pengetahuan itu? Para filsuf terpecah menjadi aliran besar
dalam epistemologi. Yaitu sebagai berikut:
Representasionisme
Sebagian besar filsuf, termasuk kaum idealis
seperti Josiah Royce (1855-1916) berpendapat bahwa mental manusia dalam konteks
persepsi, tidak cukup dengan sendirinya berhubungan dengan suatu objek. Ia
hanya akan bisa mengetahuinya lewat perantara, yaitu gambar yang ada pada
mental dari objek tersebut. John Stuart Mill (1806-1873), W. James (1842-1910)
dan Baldwin secara radikal mengatakan bahwa pengetahuan kita akan diri kita
sendiripun hushuli (hushuli) dan tidak aksiomatis (Vocabulaire Technique ef
Critique de la Wastiq.) Philosophie, Andre Lalande, hal. 564, terj. Parsi Gulam
ridha
Presentasionisme
Pendangan ini didukung oleh Perseptionisme dan neo
realisme yang dibidani oleh William Pepperell Montaque (1873-1955), sebagai
reaksi atas kritik-kritik Royce atas seperjuangannya; Empirisme Nominalistik
yang meyakini independensi setiap entitas, dan segala relasi yang kita cermati
di antara entitas mesti dipandang sebagai entitas mandiri pula.
Menurut mereka, mental manusia dengan sendirinya bisa
mengetahui langsung objek-objek pengetahuannya, tanpa perlu perantara gambar
apapun. Klaim ini dibubuhi dengan kritik balik Montaque atas Royce yang
dipandang oleh sebagian filsuf, seperti A.O. Lovejoy (1873-1962), G. Santayana
(1863-1952), C.A. Strong (1862-1940) sebagai sikap penyepelean terhadap royce.
Dengan cara ini, mereka menggalang barisan baru di dalam tubuh realisme yang
dikenal dengan Critical Realism of America.(The History of Philosophy, F.
Copleston 8/301,425-426, Farhang o. Stally brass-bullack 830-831)
Perbincangan di atas tidak tebatas pada sastra
filsafat barat anglo saxon, tetapi dua pandangan itu dapat kita saksikan di
dunia islam. Sadrul Mutaallihin yang dikenal juga dengan Mulla Shadra ( -1050
H)dengan penafsiran tipikal meyakini bahwa seluruh pengetahuan manusia pada
dasarnya diperoleh secara langsung dan hudhuri, kendati pada prima facie
(tinjauan awal) penegetahuan berperantara atau hushuli berikut pembagian
pengetahuan di atas tadi dianggap valid, sebagaimana yang diyakini oleh
filsuf-filsuf sebelumnya. (Al-Syawahid Ar-Rububiyah, Mulla Shadra).
Yang terpilih
Pendapat yang benar adalah bahwa pengetahuan (entitas ternalarkan) bermacam
dua; hushuli dan hudhuri, sebagaimana akan kita buktikan dalam satu satu bagian
dari pembahasan ini.
Pengetahuan hudhuri dan rehudhuri
Secara umum, semua pengetahuan pada mulanya
bermacam dua, dilihat dari proses kemunculannya dalam diri ‘manusia
berpengetahuan’.
- Pengetahuan hudhuri (Al-Ma’rifah Al-Hudhuriyah). Ia dalah
sesuatu yang hadir dalam diri atau
diketahui secara kehadiran tanpa perantara apapun. (Nadhariyatul-Ma’rifah,
2I- 22).
- Pengetahuan hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah). Ia adalah gambaran tentang sesuatu yang ditangkap
oleh jiwa dengan salah satu dari panca indera eksoterik (fisik).
Pengetahuan kedua ini akan dibahas secara lebih rinci pada bagian
berikutnya.
Pembagian ini bersifat deduktif rasional, sehingga
tidak akan pernah muncul lagi jenis ilmu ketiga selain ilmu hushuli dan
hudhuri. Penegasan ini didasarkan pada dua alasan sebagai berikut:
- Jika ada perantara antara subjek pengetahu (alim) dan objek
yang diketahui (ma’lum), maka ia adalah pengetahuan hushuli. Jika
tidak maka ia disebut pengetahuan hudhuri. (Amuzesye falsafeh, juz1,
hal. 153, Ulume Payeh, 72)
- Kehadiran objek yang diketahui dalam diri subjek pengetahu hanya
bisa dimengerti dalam salah satu dari dua asumsi. Asumsi pertama ialah
bahwa yang memasuki diri subjek pengetahu adalah ‘objek yang diketahui’
dengan quiditasnya semata. Dengan
kata lain, yang ditangkap oleh subjek pengetahu adalah quiditas (ke-pa-an)
objek semata. Asumsi kedua ialah bahwa yang memasuki diri ‘subjek
pengetahu’ adalah ‘objek diketahui’ dengan eksistensinya (ke-ada-an)-nya.
Dengan kata lain, yang hadir dalam diri alim adalah wujud objek
tersebut.(Nehayatul-Hikmah, 237).
Pengetahuan yang bermuatan quiditas objek yang
diketahui adalah pengetahuan hushuli. Sedangkan pengetahuan yang berisikan
eksistensi objek yang diketahui adalah pengetahuan hudhuri.
Dengan demikian, karena selain quiditas (ke-apa-an)
dan selain eksistensi (ke-ada-an, wujud) hanyalah ketiadaan, maka pembagian dan
pembatasan pengetahuan pada hudhuri dan hushuli bersifat rasional dan deduktif,
bukan induktif. (Ulume Payeh, 72).
Manusia berpotensi untuk memperoleh dua macam
pengetahuan;
- pengetahuan hudhuri, yang bisa disebut “pengetahuan hudhuri”
(Al-Ma’rifah Al-Hudhuriyah).
- pengetahuan hushuli, yang disebut pengetahuan hushuli (Al-Ma’rifah
Al-Hushuliyah).
Antara Pengetahuan hudhuri dan pengetahuan hushuli
Ada tiga
ciri perbedaan antara ilmu hudhuri (presentatif, persentif) dan ilmu hushuli
(hushuli, hushuli).
Ciri perbedaan pertama adalah ‘perantara’. Pengetahuan hudhuri adalah
pengetahuan yang hadir dalam diri subjek pengetahu tanpa perantara. Sedangkan
pengetahuan hushuli adalah pengetahuan yang didapat oleh subjek pengetahu
dengan perantara. (Syarh Mandhumah, hikmah, 137, Ulume Payeh, 66,
67, Elm e Huzhuri, fana’I Ashkevari).
Ciri perbedaan kedua adalah ‘konsep’ atau gambaran yang merefleksikan
realitas objektif di luar subjek pengetahu. (Shenakht Shenasi dar Qur’an, Javadi
Amuli, 67, Sharh Manzhumah, 76, Hikmatul-Isyraq, 38, Al-Asfar
Al-arba’ah, juz 1, hal. 263, Nehayatul-Hikmah, 210, Amuzesh
Falasafeh, M. T. Mishbah Yazdi, 153, Nadhariyatul-Ma’rifah, Ja’far
Subhani, 48). Ciri kedua ini bisa dianggap sebagai pelengkap dan
penjelas ciri pertama, karena perantara pengetahuan hushuli adalah konsep yang
terpantul dalam benak subjek pengetahu dari realitas objektif.
Ciri ketiga adalah alat. Pengetahuan hudhuri tidak
memerlukan alat atau perangkat psikologis tertentu. Sedangkan pengetahuan
hushuli bergantung pada alat dan
perangkat tertentu, sebagaimana dikatakan Mutahhari. (Ushule Falsafeh va
Raveshe Realisme, juz 2, hal. 29-28).
PENGETAHUAN HUDHURI
Pengetahuan hudhuri, yang bisa disebut
“pengetahuan hudhuri” (Al-Ma’rifah Al-Hudhuriyah) adalah entitas immaterial
yang hadir dalam diri subjek yang immaterial pula, atau pengetahuan tanpa perantara. (Metafisika,
hal. 11, Lorens Bagus, Religius Language, hal. 36-38, Hakadza Nabda’, hal. 67,
hal. 70, Durus fi Ilmil-Manthiq, 21).
Dua pilar Pengetahuan hudhuri
- (Objek) Yang diketahui tanpa perantara.
- (Subjek) yang mengetahui tanpa perantara.
Dengan dua pilar diatas, pengetahuan hudhuri tidak
bisa meleset. Karena kesalahan akan terjadi bilamana ada pemisah berupa konsep
antara pengetahu dan objek yang diketahui (Al-Manhaj Al-Jadid 1/175-176).
Bidang-bidang Pengetahuan hudhuri
Objek-objek pengetahuan hudhuri sangatlah sedikit,
namun ia merupakan cikal bakal dan sumber bagi pengetahuan-pengetahuan hushuli.
Ia terbagi menjadi dua, yaitu pengetahuan konseptual, dan pengetahuan
assentual.
Para filsuf menemukan beberapa ekstensi
pengetahuan hudhuri yang berbeda tingkat kualitas dan kejelasan satu sama
lainnya. Secara umum, pengetahuan hudhuri dapat dibagi menjadi dua:
1.
Pengetahuan
hudhuri sederhana. Yaitu
pengetahuan hudhuri pengetahu akan dirinya sendiri.
2.
Pengetahuan
hudhuri kompleks. Yaitu
pengetahuan manusia akan entitas dan objek selain dirinya.
Dua Pengetahuan hudhuri sederhana
Para ahli epistemologi Mereka menyebutkan dua macam pengetahuan
hudhuri yang subjek dan objeknya satu, yaitu;
- Pengetahuan Tuhan akan dzatnya
- Pengetahuan subjek atau diri (manusia hudhuri) akan dirinya
Macam-macam Pengetahuan hudhuri kompleks
Para ahli
epistemologi menyebutkan macam-macam pengetahuan hudhuri yang terdiri atas
subjek dan objek yang berlainan. Antara lain sebagai berikut:
- Pengetahuan
sebab akan akibatnya.
- Pengetahuan
akibat akan sebabnya
- Pengetahuan
subjek akan gambar-gambar
konseptual
- Pengetahuan
subjek akan perbuatan-perbuatan dirinya
- Pengetahuan
subjek kondisi psikologis emosionalnya.
- Pengetahuan
subjek akan potensi-potensi dirinya.
(Ulume payeh, 82, M. Taqi Fa’ali, Nihayatul-Hikmah, Thabathabi,
299, Ilm-e-Huzuri, Fana’i esykevari 5-6, 29).
Gradasi Pengetahuan hudhuri
Perbedaan tingkat kejelasan diantara pengetahuan hudhuri bermuara pada
dua hal;
1.
Intensitas.
Semakin tinggi intensitas pengetahu tearhadap suatu objek, semakin jelas
pengetahuan hudhurinya.
2.
Eksistensi
pengetahu. Apabila kualitas dan tingkat eksistensinya tinggi, maka pengetahuan
hudhurinya kian sempurna. Sebaliknya, jiwa yang lemah akan diikuti oleh
kelemahan ilmu hudhurinya. Sedemikian lemahnya jiwa itu,terkadang ia
memungnkiri objek pengetahuan hudhurinya sendiri. Namun ia akan pulh kembali
dengan dibantu oleh meningkatnya intensitas terhadap objek tersebut .(Al-Manhaj
Al-Jadid, 1/177-179, Ma’refat e
Shenasi , ibrahimiyan 83-84, dll).
Mental (dzihn) manusia, sebagaimana mampu menangkap gambar atau konsep
dari objek-objek diluar (dirinya), ia juga dapat mencerap gambar atau konsep
dari objek-objek di dalam (dirinya) yang diketahui secara hudhuri dan hudhuri,
lalu menganalisa dan menafsdirkannya secara konseptual dan hushuli. Oleh karena
itu, pengetahuan hudhuri selalu disertai pengetahuan husuli (hushuli).
Kendati pengetahuan hudhuri tidak mungkin meleset, namun karena terjadi
kerancuan dan pencampur-adukan antara pengetahuan hudhuri dan pemafsiran
konseptual/hushulinya yang bisa saja keliru, sehingga seringkali penafsiran
salah itu yang dianggap sebagai pengetahuan hudhurinya.
Ciri-ciri Pengetahuan hudhuri
Setelah mengikuti secara seksama pembahasan
seputar pengetahuan hudhuri, kita dapat menyimpulkan lima ciri khasnya sebagai
berikut:
1. Pengetahuan hudhuri tidak berperantara. Dengan
demikian jelaslah, bahwa objek yang diketahui secara hudruri adalah objek itu
sendiri dengan eksistensinya yang berdimensi intelektual immaterial.(al-ma’lum
al-ilmi), meski tidak memilki pengaruh, karena ia bukan objek (al-ma’lum
al-aini) yang memilki pengaruh. Dengan kata lain, seseorang yang menangkap
sesuatu di luar dirinya secara huduri akan merasakan kehadiran sesuatu itu
sebagaimana adanya, meski tidak memiliki pengaruh objektif. (Amuzesye
Falsafeh, M.T. Misbah yazdi, juz 2, pel. 49, Nadhariyeh Badahat, 76).
2.
Pengetahuan
hudhuri Bebas dari konsepsi (korespondensi, tashawwur,) dan bebas dari
assensi (verifikasi, tashdiq). Pengetahuan yang dibagi menjadi
konseptual dan assentual hanyalah jenis pengetahuan hushuli (hushuli, hushuli).
Karena, konsepsi dan assensi bergantung pada konsep atau gambaran yang muncul
di layar mental subjek pengetahu, maka pengetahuan yang sejak semula tidak
diperantarai oleh sesuatu apapun, termasuk konsep, tidak dapat dibagi menjadi
konseptual dan assentual. (Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 6, hal. 257, Hasyieh
Sabzawari).
3.
Pengetahuan hudhuri tidak dapat
dideskripsikan dipindahkan ke orang lain. Dengan kata lain, pengetahuan hudhuri
adalah pengetahuan yang personal dan spesial. Hanya dengan mukasyafah dan
dengan memasuki domain irfan (teosofi), seseorang akan mendapatkan
keburuntungan berupa pengetahuan hudhuri.
4.
Pengetahuan
hudhuri tidak mengalami kesalahan dan kekeliruan, karena objek pengetahuannya
hanyalah satu, yaitu realitas itu sendiri. Sedangkan pengetahuan bisa salah dan
bisa meleset, karena objeknya bermacam dua; objek yang berhubungan dengan
subjek, berupa konsep (bil- dzat) dan objek yang diperoleh melalui
konsep (bil-aradh). Objek yang diperantarai konsep dapat meleset akibat
distorsi dan faltor-faktor konstekstual lainnya.
5.
Kondisi teosofis,
biasanya, tidak bertahan lama. Seseorang yang, berkat latihan spiritual
panjang, menikmati anugerah pengetahuan hudhuri, biasanya, mengalami degradasi,
fluktuasi dan kehilangan anugerahnya
apabila tidak konsisten dalam latihan tersebut. (Ulume Payeh, 80).
Sumber pengetahuan hudhuri
Sebenarnya pengetahuan hushuli dengan objek
substansial dan primer, yaitu konsep, dapat dianggap sebagai salah satu macam
pengetahuan hudhuri, karena konsep tersebut ‘hadir’ dalam diri subjek pengetahu
tanpa perantara konsep lain. Seandainya konsep dalam pengetahuan hushuli
memerlukan perantara konsep lain, maka pengetahuan hushuli tidak akan pernah
diperoleh selamanya, karena konsep kedua yang menjadi perantara akan memerlukan
perantara konsep yang ketiga dan begitulah seterusnya.
Perlu diketahui pula, bahwa ontologi dan realisme sejati, sebagaimana
ditegaskan oleh Thabathabai, meyakini bahwa setiap entitas memiliki dua
eksistensi; eksistensi material, eksistensi immaterial, yaanmg terbagi dua;
ideal (mitsali) dan abstrak (mujarrad).
Realitas batu, misalnya, saat diketahui akan menampilkan eksistensi idealnya
berupa gambar gambar batu. Gambar ‘batu’ ini bukanlah sesuatu yang berbeda
dengan realitas batu di luar subjek pengetahu. Batu dan segala entitas memiliki
eksistensi material dengan berat, ukuran, warna, kedalaman dan atribut-atribut
kebendaannya. Batu juga memiliki eksistensi ideal dengan atribut-atribut
immaterial dan idealnya. ‘batu ideal’ dan ‘batu immaterial’ itulah yang hadir
dalam diri subjek pengetahu. Seandainya objek yang diketahui itu adalah
realitas dengan eksistensi materialnya, maka dirinya akan segera terbakar atau
kepanasan saat menangkap objek api material, Namun, karena yang kita tankap
adalah ‘api ideal’ atau ‘api immaterial’ misalnya, yang kita tangkap, maka diri
kita, sebagai subjek tidak ikut kebakaran, sebab ‘api immaterial’ tidak
memiliki pengaruh material, namun ia memiliki pengaruh immaterial.(Nihayatul-Hikmah,
294).
0 komentar:
Posting Komentar