Bag 03
PENGETAHUAN HUSHULI
Pengetahuan hushuli, yang juga disebut pengetahuan
hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah). Adalah konsep yang diperoleh oleh
seseorang sembari menyadari dirinya sebagai subjek semata. (Metafisika, hal.
11, Lorens Bagus, Religius Language, hal. 36-38, Hakadza Nabda’, hal. 67, hal.
70, Durus fi Ilmil-Manthiq, 21).
Betapapun pengetahuan hudhuri tidak meleset, namun
ruangnya sangat sempit dan terbatas, sehingga ia tidak dapat dijadikan sebagai
penyelesai semua problema dalam pengetahuan. Hanya dengan mengandalkan
pengetahuan hudhuri, proses transformasi, komunikasi, dan persuasi tidak akan
berjalan, yang pada akhirnya sebagian besar pengetahuan tidak dapat dilahirkan,
selain penegetahuan tentang diri dan sejenisnya.. Karena itulah pengetahuan
hushuli sangat diperlukan (Al-manhaj Al-jadid, 176).
Tiga pilar pengetahuan hushuli
Pengetahuan hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah)
terbentuk di atas tiga pilar;
- Pengetahu (Al-Mudrik)
- Yang diketahui (Al-Mudrak)
- Gambaran (Ash-Shurah) tentang sesuatu yang diketahui secara inheren.
Objek-objek pengetahuan hushuli
Objek pengetahuan hushuli bermacam dua;
1.
Objek substansial (al-ma’lum bil-zat). Yaitu konsep yang merefleksikan realitas
objektif dalam diri subjek pengetahu.
2.
Objek
aksidental (al-ma’lum
bil-aradh). Yaitu realitas objektif yang diperantarai oleh konsep.
Jika konsep yang ditangkap oleh subjek pengetahu
mengungkapkan realitasnya sebagaimana adanya, maka pengetahuan hushuli tersebut
dianggap sebagai benar. Jika tidak, maka ia adalah pengetahuan hushuli yang
meleset.
Sedangkan pengetahuan hudhuri, karena objeknya hanyalah satu, yaitu
realitas itu sendiri, maka ia segera dapat dipastikan benar. Ia tidak akan
pernah salah, karena yang hadir dalam diri subjek pengetahu hudhuri adalah
realitasnya, bukan gambar realitas. Oleh sebab itu, pengetahuan hudhuri abadi,
sakral dan terlindung dari distorsi, reduksi dan kesalahan lainnya.
Macam-macam Pengetahuan hushuli
Pengetahuan
hushuli dapat dibagi dengan beberapa versi pembagian. Karena banyaknya versi
pembagian, kita harus jeli memperhatikan asas pembagian dan alasan serta urutan
pembagiannya.
Pengetahuan
hushuli mengalami banyak pembagian dan penguraian, karena bidangnya sangat
luas. Pengetahuan hushuli dapat dibagi menjadi tashawwuri (konseptual) dan
tashdiqi, dengan bermacam pembagian yang merupakan turunannya. Pengetahuan
hushuli dapat pula dibagi menjadi badihi (ekstemporal) dan nazhari (non
ekstemporal, aposterior), dengan beragam pembagian yang bersumber darinya.
Pengetahuan hushuli reaktif dan aktif
Pengetahuan
husuli dapat dibagi dua;
1.
Pengetahuan hushuli reaktif (Al-ma’rifah al-infi’aliyah). Yaitu entitas konseptual
(pengetahuan) yang merupakan pantulan dari entitas objektif (realitas), seperti
pengetahuan tentang segala sesuatu yang berada di luar diri manusia.
2.
Pengetahuan hushuli aktif (Al-ma’rifah al-fi’liyah). Yaitu entitas konseptual yang menjadi
pemantul atau sebab bagi entitas objektif (realitas), seperti gambar sebuah
bangunan (dalam benak manusia) yang merupakan akibat dari konsepsi abstrak. (Al-falsafah
Al-ulya, 238, Al-hikmah Al-muta’aliyah, juz 3, hal. 382).
Pengetahuan hushuli potensial dan aktual
Pengetahuan
hushuli juga dapat dibagi dua;
- Pengetahuan hushuli potensial. Yaitu ...
- Pengetahuan hushuli aktual.
Pengetahuan hushuli umum dan rinci
- Pengetahuan hushuli umum (Al-ma’rifah Al-ijmaliyah).
- Pengetahuan hushuli rinci (Al-ma’rifah Al-tafshiliyah).
Pengetahuan hushuli konseptual dan assentual
Pengetahuan hushuli bermacam dua;
- Pengetahuan hushuli konseptual (Al-ma’rifah Al-hushuliyah At-tashawwuriyah). Yaitu
pengetahuan yang bebas dari klaim/penilaian/penetapan (assertion), seperti
konsep tentang Ali, keadilan,keadialan Ali, dll.
- Pengetahuan hushuli assentual (al-ma’rifah Al-hushuliyah At-tashdiqiyah). Yaitu pengetahuan
yang disertai klaim/penetapan, baik afirmatif maupun negatif, seperti Ali seorang yang adil.
PENGETAHUAN HUSHULI KONSEPTUAL ATAU KONSEP
Pengetahuan
hushuli konseptual (disingkat konsep) dapat dibagi dengan beragam versi
pembagian, demikian pula pengetahuan hushuli assentual.
Dalam diri setiap manusia terdapat
gambaran-gambaran tentang warna, suara, masam, keras, aroma, lezat, nueri dan
sebagainya. Gambar-gambar semacam ini disebut dengan “arti-arti konseptual
sederhana” (simple).
Manusia juga mempunyai gambaran-gambaran yang
merupakan rangkaian dari dua atau lebih gambaran sederhana, seperti gambaran
tentang “putihnya kertas” dan “lezatnya makanan.” Yang kedua ini disebut dengan
“arti-arti konseptual tersusun” (kompleks).
Terdapat beberapa teori dan pendapat tentang sebab
dan proses kemunculan “pengetahuan konseptual” yang sederhana maupun yang
tersusun dalam benak manusia, teori pengingatan (idealisme Plato), teori
pencerahan (teori iluminasi), teori sensasi (sensasionalisme), teori
“penyerapan”, dan sebagainya.
Empat aspek konsepsi (konsep)
Konsepi atau konsep (tashawwur) dapat
dilihat dari empat sudut pandang sebagai berikut:
1.
Konsepsi
(konsep) mutlak. Yaitu
konsepsi tanpa kondisi dan syarat apapun, yang lazim disebut la bisyarthi
maqsamii. Dengan kata lain, konsepsi mutlak ini adalah konsep memorial yang
diperoleh setiap subjek pengetahu. Konsep macam pertama inilah yang disebut
ilmu atau pengetahuan dan didefinisikan oleh Al-hilli sebagai “munculnya
gambaran sesuatu dalam mental.” Konsep macam pertama ini bukanlah padanan
assent atau assensi (tashdiq).
2.
Konsepsi
(konsep) bebas syarat. Yaitu
konsep yang dilihat dari aspek keterbebasannya dari hukum dan penilaian, yang
lazim disebut la bi syarthi qismi.
3.
Konsepsi
(konsep) dengan relasi syarat. Yaitu konsep yang dilihat dari aspek
keterikatannya pada syarat bebas
dari penilaian atau hukum, yang lazim disebut Bi syarthi la. Konsep
ketiga ini disebut juga dengan tashawwur mujarrad (konsepsi abstrak).
4.
Konsepsi
bersyarat. Yaitu konsep
yang dilihat dengan syarat mengandung nilai dan hukum, yang lazim disebut bisyarthi
syai’. (Ulum e Payeh, nadhariyeh badahat, M. Taqi fa’ali, 96-98).
Empat Pengetahuan hushuli konseptual
Pengetahuan hushuli konseptual atau konsep, dilihat dari
muatannya, terbagi dua;
1.
Konsep
tunggal, seperti konsep
‘manusia’, ‘pohon’, ‘mobil’ dan sebagainya yang masing-masing adalah gambaran
yang tak terangkai.
2. Konsep plural, seperti ‘Rumah Ali’, ‘Mobil yang
Dua macam konsep plural atau terangkai
1.
Konsep
terangkai tidak sempurna, seperti
gambaran ‘Bila ia datang, maka‘ dan sebagainya.
2.
Konsep terangkai
sempurna
Dua macam konsep plural sempurna
1.
Konsep
terangkai yang konstruktif, seperti
jumlah kata yang berkonotasi perintah, pertanyaan dan pengharapan. Bila
seseorang berkata kepada temannya, “makanlah” maka ucapannya tidak akan pernah
diverifikasi secara faktual, karena kalimat tersebut bebas nilai atau bersifat
konseptual murni.
2.
Konsep
terangkai yang informatif, namun
pengucap dan konseptornya tidak menyertakan hukum di dalamnya. (Ulum e
Payeh, M. T. fa’ali, 100, 101).
Konsep universal dan parsial
Pengetahuan hushuli konseptual, dilihat dari cakupannya, terbagi
dua;
1.
Pengetahuan
hushuli konseptual universal atau Universalia. Yaitu pengetahuan hushuli yang tidak akan
berubah menski objeknya mengalami perubahan. Gambar atau konsep ‘rumah’, misalnya, dalam diri dan benak aristek atau tukang
bangunan saat membangunnya, tidak akan pernah berubah meski realitas dan objek
rumahnya berubah atau bahkan hancur.
2.
Pengetahuan
hushuli konseptual parsial atau Partikularia.
Yaitu pengetahuan hushuli yang berubah karena ‘objek yang diketahui,-nya
mengalami perubahan. Pengetahuan saya melalui indera pandang tentang ‘gerak
Agus’ ketika ia sedang bergerak. Bila Agus tak lagi bergerak, maka pengetahuan
saya (tentang gerak Agus saat bergerak) akan berubah. Konsep tentang
“Socrates”, misalnya, yang hanya berlaku
atas realitas objektif tertentu yang pernah hidup di Yunai dan menjadi guru
Plato. (Al-Manhaj Al-Jadid, 186, Ususul-Falsafah, M.H. Thabathba’i dan
Muthahhari, juz, 218-220, Nihayatul-hikmah, 301, (Nihayatul-Hikmah, 304-305).
Tiga Partikularia
Pengetahuan hushuli konseptual parsial,
berdasarkan aspek sumber kemunculannya,
terbagi tiga;
1.
Perngetahuan
hushuli konseptual parsial sensual. Yaitu konsep parsial yang muncul akibat penginderaan langsung dengan
objeknya yang ada di sekelilingnya, seperti konsep atau gambar telapak tangan
kiri yang tengah anda lihat dengan kasat mata atau anda raba dengan tangan
kanan.
2.
Pengetahuan
hushuli konseptual parsial imajinatif. Yaitu konsep parsial yang muncul akibat mengingat dan membayangkan
(fantasi) suatu objek yang etalh kita indera, seperti gambar atau konsep
telapak tangan kiri tadi saat kita merogoh kocek.Parsial imajinatif dalam terminologi D. Hume disebut
dengan idea, sedangkan parsial sensual disebut impresi.
3.
Pengetahuan
hushuli konseptual parsial intuitif. Yaitu konsep parsial yang muncul dari kondisi-kondisi emosional dan
perasaaan psikologis, seperti konsep tentang cinta, benci, jengkel, malu, dll.
Sebagian ahli
mengartikan parsial intuitif sebagai perasaan psikologis itu sendiri.
Namun, akan lebih tepat jika makna-makna itu digolongkan dalam pengetahuan
hudhuri. (Al-Manhaj Al-Jadid 1/188, Kasyful murad, al hilli 150, Ma’refat Shenasi, ibrahimiyan 98, Idrak hissi, M. T.
Faali, dll)
Dua Universalia
Pengetahuan hushuli konseptual universal bermacam
dua;
- Pengetahuan hushuli universal prima. Yaitu konsep universal
yang jatuh setelah pertanyaan “apakah itu?”, dengan kata lain, ia
menjelasakan keapaan atau esensi sesuatu. oleh karena itu, universal ini
disebut juga dengan universal esensial. Ia biasa disebut dengan Al-ma’qul
Al-awwali atau Al-ma’qul Al-mahawi.
- Pengetahuan hushuli universal sekunda. Yaitu universalia yang
tidak berkaitan dengan pertanyaan ‘apakah’.
Tiga universalia prima
(esensial)
Universalia prima atau universalia esensial adalah
konsep-konsep yang menentukan batas wujud esensi dan realitas segala sesuatu,
seperti genus dan defrensia bagi esensi spesies manusia. (Al-Manhaj Al-Jadid,
202-203).
Sebagian filsuf memasukkannya dalam himpunan
universalia-universalia sekunda. Konsep-konsep universal yang dibangun untuk
ke-apa-an atau quiditas atau esensi dapat dibagi tiga;
1.
Universalia
esensial yang didahului oleh
partikularia-partikularia atau
konsep-konsep parsial, seperti konsep manusia, air, putih, kotak, cemas, dll.
2.
Universalia
esensial yang tidak didahului oleh partikularia, seperti akal, forma,
potensi,dll.
3.
Universalia
esensial yang tersebar di pelbagai bidang sain.
Dua universalia sekunda (non esensial)
‘Pengetahuan hushuli konesptual universal sekunda’
ini ini terbagi dua;
- Universalia sekunda logis atau Universalia
sekunda artifisial. Yaitu konsep-konsep universal yang
menjelaskan sifat-sidat segala konsep di mental, seperti spesis, genus,
definisi, proposisi atau universalia dan partikularia, atesenden dan
konsekuen, dan sebagainya. Objek-objek ini hanya ada di mental.
Istilah-istilah dalam logika dilahirkan dari sini. Ia juga disebut dengan Al-ma’qul
al-tsanawi al-manthiqi atau Al-Ma’qulat Al-Kulliyah
Ats-Tsanawiyah Al-manthiqiyah.
- Universalia sekunda
eksistensial atau universalia
filosofis ontologis. Yaitu konsep-konsep universal yang menjelaskan
kenyataan atau hakikat sesuatu, baik yang ada atau tiada, serta
sifat-sisat eksistensial ataupun non eksistensial, seperti konsep ada,
tiada, mustahil, mungkin, niscaya, sebab, akibat, dll. Konsep universal
ini biasanya muncul lewat pengamatan dan perbandingan yang dilakukan
mental di antara konesep-konsep
yang ada di dalammya. Istilah-istilah dalam metafisika dan ontologi adalah
produk dari konsep-konsep ini. Oleh filsuf-filsuf abad pertengahan,
universal ini populer dengan istilah Transendentalia. Ia juga disebut
dengan Al-ma’qul al-tsanawi al-falsafi atau Al-Ma’qulat
Al-Kulliyah Ats-Tsanawiyah Al-Falsafiyah. (Ma’qul e tsani, F. Esykevari, Ilm e Hudhuri, F.
Esykevari pasal 6, Al-Manhaj Al-Jadid, Mausuah Al-Falsafah, A.
Badawi, (Falsafatuna, hal. 66–67, Muhadharat, 64). (Falsafatuna, hal.
66–67, dll)
Universalia dalam filsafat Barat
Dunia filsafat Barat pernah mengalami kekacauan
luar biasa karena masing-masing filsuf menggunakan istilah-istilah khas yang
boleh jadi tidak digunakan oleh lainnya atau digunakan namun dengan pengertian
yang berbeda. Karena itulah, tidak sedikit orang yang kebingungan setiap kali
membaca karya filsuf tertentu. Puncak dari kekacauan ini adalah munculnya sejumlah filsuf modern, seperti Bertrand
Russel dalam bukunya Our Knowledge of the External (1914), Ludwig Wittgeinstein
dalam bukunya Tractatus Logico Philosophicus (1921), Alfred Ayer dan lainnya
yang berusaha “menertibkan” bahas filasafat dengan menciptakan aliran yang
dikenal dengan Atomisme Logis atau Filsafat Analitik atau Analitisme. (Kamus
Filsafat, 100-101, Filsafat Analitik, Kamus Logika, The Liang Gie, Falsafeh
ye Tahlili, Shadeq Larijani, 87).
Kekacauan ini nyaris tidak pernah terjadi dalam
dunia filsafat Timur, terutama Islam, karena mereka telah mempersiapkan
pendahuluan-pendahuluan sebelum memasuki tema-tema inti filsafat.
Kontroversi seputar universalia
Isu universailia merupakan polemik yang apling sengit
di sepanjang abad pertengahan. Ada sejumlah teori yang berkaitan dengannya;
Filsuf Muslim kontemporer, Prof. M. T. Misbah
Yazdi, menolak imbuhan “sekunder” pada universal filosofis, karena terkesan
adanya distorsi dan penyimpangan pada maknanya.
Pembagian di atas kali pertama dilakukan oleh Ibnu
Sina (373-427 H) lalu dikembangkan oleh generasi filsuf berikutnya. Berkat
penggunaan yang tepat terhadap setiap konsep universal di atas pada bidangnya
masing-masing, seperti universal logis dalam
ilmu logika, nyaris tidak terjadi kekacauan dan Fallacy Thnking dalam
koridor pemikiran filsafat islam, sebagaimana yang mewabah di filasat barat;
Anglo Saxon dan Kontinentalnya. Setiap filsuf menggunakan konsep-konsep tidak
dalam konteks, fungsi dan proporsi yang mestinya, sehingga kesalah fahaman,
menurut N. A. Whitehead (1861-1942) dan George Edward Moore, terus merebak dan
menjalar. Whitehead memvonis fenomena ini dengan “dogmatic Fallacy” (Adventures
of Ideas, N.A. Whitehead, terj. Parsi A
Guwahi 2/338, Mausu’ah Al-Falsafah, A. Badawi 2/487).
Sejatinya, ia gencar menyerang teori Asosiasi Hume
dalam menerjemahkan kausalitas. (Asle illiyyat, Qaramalaki 50,179). Maka, ia
bersama muridnya, Bartrand Russell (1872-1970) menyusun Principia
Mathematica. Sedangkan murid muridnya, Ludwig Wittgeinstein berusaha
menawarkan bahasa logika dan filsafat. Ia, Gilert Ryle (1900-1970) dan
filsuf-flsuf analitik lainnya membarasi filsafat sepojok upaya menjelaskan
(klarifikasi) konsep-konsep (Ma’qul tsanie, F. Esykevari 18-19, Kamus Filsafat
100-101, Encyclopedia of Phylosophy, What is phylosophy, Parkinson Terj.)
Realisme
mereka meyakini adanya serangkaian universalia.
Aliran ini terpecah kepada beberapa versi;
1. Platonisme atau Realisme logis
Berkat gagasan Socrates, plato meyakini bahwa
universalia-universalia tidak hanya ada dalam mental, bahkan ia adalah
entitas-entitas objektif di alam transendental, namun bersifat abstrak. Plato
menyebutnya Idea (archtypes). Oleh karena itu, universalia versi ini dekenal
dengan ide Platonik. Teori ini terus bergulir di tangan Plotinus (203-269 M)
dan dipertahankan gigih oleh St. Augustine (354-430 M) dengan interpretasi
sedikit berbeda (A History of Philosophy, F. Copleston, terj. Mujtabavi 1/181).
Teori ini seringkali dibenturkan dengan sejumlah konsep universal seperti; ketiadaan, kemustahilan
dan sekutu Tuhan yang tidak ada entitasnya di luar.
2. Filsafat Skolastik
Di balik penentangan Aristoteles (383-322 SM)
terhadap ide platonik, ia sependapat dengan Plato bahwa universalia bukan sekedar
konsep di mental. Ia menambahkan bahwa di dalam entitas-entitas objektif di
luar, terselubung suatu esensi universalia natural (Kulli Thabi’i). Dengan
ke-apa-an universal ini, Arestoteles menafsirkan eksistensi universalia diluar.
Seperti ke-apa-an kemanusiaan sebagai sebuah konsep universal yang ada di
mental, juga ada di luar secara objektif, hanya saja tidak mandiri sebagaimana
keyakinan platonisme, tetapi ada di luar bersama sejumlah objek-objek
estensialnya. Di abad prtengahan, Tomas Aguinus (1225-1274) dikenal sebagai
pengikut teori ini (A Histori of Phylosophy F. Copleston 1/247,346). Juga B.
Russell, G. E. Moore, dan G. F. Staut di akhir abad dua puluh (Mausuah
Al-Falsafah, Abdurahman Badawi, 2/268).
3. Para filsuf Muslim
Mereka mengembangakan teori aristotelian dan
menambahkan bahwa universalia ada secara objektif dan bersifat banyak sebanyak
afradnya (ekstensi), juga ada secara subjektif dan bersifat satu (Nihayatul
Hikmah 73, Syenakht e Shenasi dar Qur’an, Javadi amoli 109, dll). Hanya saja,
tambah mereka, teori itu perlu penyempurnaan, karena ia hanya menyinggung
konsep-konsep universal primer/esensial, sementara dua macam universal
klainnya; logis dan filosofis, tidak tersentuh dan sejalan dengan teiro itu,
segabagaimana yang nampakdalam bahasan-bahsan berikut nanti.
4. Konseptualisme
Menurut mereka, konsep-konsep universalia, dengan
interpretasi plato maupun muridnya dan hukama islam,tidak pernah ada. Tetapi,
ia juga bukan sekedar sebutan dan kata-kata tanpa makna. Universal adalah
produk netto mental. Teori ini pertama kali digagasoleh Peter Abelard
(1079-1142) dan dikuak kembali oleh john locke (1632-1704)
5. Nominalisme
Mazhab yang didirikan oleh guru Abelard, Rosaline ( -1125)
ini menyatakan bahwa universalia tak ubahnya hembusan nafas
(Flatus Vocis). Aliran ini kian deras megalir pada abad berikitnya dengan
kehadiran William Ockham (1300-1349). Menurutnya, konsep univesal tidak lebih
dari nama dan simbol untuk menghemat proses berfikir dan dialog. Teori ini
dilestarikan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), George Barkeley (1685-1753), B.
Spinoza (1632-1676) David Hume (1711-1776) dan John Stuart Mill (1806-1873).
Secara substansial, nominalisme tidak berbeda dengan Konseptualisme.
Nominalisme terbagi dua; Nominalisme Radikal, yang
juga disebut dengan Vokalisme, dan
Nominalisme Moderat, yaitu teori Resemblence yang menafsirkan
universalia sebagai konsep yang menunjukan kemiripan di antara sekelompok
objek.
6. Teori Imitasi
Teori ini menafsirkan universalia segbagai konsep
parsial yang samar dan pudar. Karena kesamarannya, ia bisa berlaku pada lebih
dari satu objek. Para filsuf ontologi dan teologi Islam menyebut teori ini
dengan ‘Syabah” (bayangan). Dan sejauh ini, hanya Henry Harclay, filsuf sezaman
dengan William Ockham, yang tercatat sebagai penganutnya (Al-Manhaj Al-Jadid
1/189, Nihayatul Hikmah 34, 75, Mausuah Al-Falsafah, abdurahman Badawi 2/469,
Makrtifat Shenasi dini wa muashir, M. T. Faali 53-55, dll).
Dua pengetahuan hushuli konseptual
Pengetahuan hushuli konseptual, dilihat dari aspek
kualitasnya, terbagi dua;
1.
Pengetahuan
hushuli konseptual ekstemporal (apriori) (Al-Ma’rifah Al-Badihiyah). Yaitu pernyataan-pernyataan
(premis-premis) yang dapat dipastikan kebenarannya tanpa bukti apapun, seperti
pernyataan “semua lebih besar dari sebagian” dan “hitam dan bukan hitam pasti
tidak bersatu”. Hanya dengan bekal konsentrasi, indera sehat, dan akal sehat,
setiap manusia dapat memastikan kebenaran dua contoh pernyataan di atas.
Sebagian mendefinisikannya sebagai konsep yang tidak perlu didefinisikan.
2.
Pengetahuan
hushuli konseptual non-ekstemporal (aposteriori) (Al-Ma’rifah An-Nadhariyah). Yaitu pernyataan
(premis-premis) yang dipastikan kebenarannya berbadasarkan pernyataan (premis)
ekstemporal atau pernyataan non ekstemporal sebelumnya, seperti “alam bermula
dari tiada”. Kebenaran pernyataan ini dapat dipastikan karena didasarkan pada
dua pernyataan sebelumnya, “alam berubah karena ia tersusun” dan “semua yang
tersusun bermula dari tiada”. Ia juga didefinisikan sebagai konsep yang perlu didefinisikan.
Pengetahuan hushuli ada kalanya bersifat
konseptual sekaligus ekstemporal, seperti konsep kita tentang arti ‘sesuatu’
dan konsepsi kita tentang ‘wujud’. Ada kalanya pengetahuan hushuli bersifat
konseptual sekaligus non ekstemporal, seperti pengetahuan tentang konsep
"mendidihnya air bila suhunya dipanaskan hingga mencapai 100 derajat
celcius."
PENGETAHUAN HUSHULI ASSENTUAL ATAU PREMIS
Pengetahuan ini merupakan tema epistemologis
terpenting, khususnya dalam filsafat Barat. Bahkan, Epistemologi Kontemporer di
sana hanya menyoroti pengetahuan ini dan masalah-masalah yang betkaitan
dengannya, sebagaimana yang namoak dari karya-karya seperti Paul Edward dalam
The Encyclopedia of Philosophy, Jonathan Dansi dan E. Sosa dalam A Companion of
Epistemology atau bapak epistemologi kontemporer; Roderick M. Chisholm dalam
Theory of Knowledge.
Sedangkan para filsuf muslim beranggapan bahwa pengetahuan assentual tidak lebih besar
signifikansinya dengan pengetahuan konseptual, karena walau bagaimanapun, pengetahuan
assentual terbentuk dari pengetahuan konseptual.
George Edward Moore (1873-1958) pernah berpendapat
bahwa keruwetan terbesar dalam kajian-kajian falsafi berkaitan dengan
ketakjelasan dan ketakcermatan dalam menyusun kalim-klaim serta pencampuradukan
beberapa klaim menjadi satu (Contemporary philosophy, F. Copleston, hal. 18,
terj. Parsi A.A. Halabi)
Fenomena di atas, menurut M. Muthahhari, menyembul
dari chaos di antara konsep-konsep yang membentuk klaim-klaim tersebut. Beliau
menyimpulkan bahwa titik sentral kerumitan dalam perbincangan falsafi adalah
pengetahuan konseptualnya, bukan pada konteks pembuktian dan pengetahuan
assentual.
Ibnu Sina dalam Manthiq Al-Isyarat (hal.
215) membuktikan pengulangan analisa-analisa di atas lewat aphorisma “Idha
Iltabasat Tasawwur Iltabasat Tashdiiq” (Konsep yang kabur meniscayakan
kekaburan pengetahuan assentual)
Kontroversi seputar Pengetahuan Hushuli Assentual
Bisakah manusia memperoleh pengetahuan yang sesuai
dengan realitas? Ada tiga pilihan jawaban atas pertanyaan di atas.
Masing-masing jawaban memberikan konsekuensi fundamental dalam proses
permikiran manusia.
Sofisme (Agnosisme)
Jawaban pertama, diberikan oleh para penganut
Sophisme, seperti Protagoras of Abdera, Gorgias of Leontini, Prodicus od Ceos, Hippias
of Elis, Antiphon of Athens, Thrasymacus of Chalcedon, yang kelak disebut
sebagai penganut Agnosisme. Kelompok ini beranggapan bahwa manusia, karena
keterbatasannya, tidak mampu mengenal realitas, tidak bisa memperoleh
pengetahuan yang assentual, dan hanya menduga-duganya. (Filsafat Yunani, 102,
Alam Pikiran Yunani, Muhadharat, Al-Mawsu’ah Al-Falsafiyah,Dasar-dasar
Filsafat, 4.4, Usus Al-Falsafah wal-Madzhab Al-Waqi’iy, 161, dll).
Kendati pada awalnya aliran ini lebih merupakan
gerakan kritis social yang lambat laun mengkristal sebagai siakap ilmiah yang
menghimpun sejumlah pandangan, mulai dari moderat seperti relativisme Protagoras hingga radikal seperti Georgias
(483-375 SM) yang menyatakan bahwa sesuatu (apapun) tidak ada. Jika ada
sesuatu, ia tidak bisa diketahui. Dan jika bisa diketahui, pengetahuan itu
tidak bisa disampaikan kepada orang lain. History of Philosophy, Federick
Copleston 1/112 terj. J. Mujtabavi)
Kritik atas Sophisme
Klaim sophis radikal seperti georgias,
menggugurkan klaim itu sendiri (self contradicte), berikit bembuktiannya.
Segala bentuk penolakan mutlak terhadap mungkinya pengetahuam meryupakan
bukti-bukti yang mempertegas, bukan sekedar kemungkinannya, bahkan keniscayaan
realitas pengetahuan itu, paling tidak pengetahuan sophis akan klaimnya
sendiri. Jika ia mengaku tidak pernah tahu akan klaimnya, maka tidak ada klaim
dan sikap penolakan. Disiani, jika ia memilih siakap ragu,maka ia memungkiri
dirinya sebagai sophis, sembari mengakui skeptitisisme.
H. Gomperz menuturkan bahwa sebagian menganggap
klaim georgias sebagai representasi nihilisme falsafi serius, dan pada saat
yang sama, sebagian menduga klaim itu sekedar jokinya.(tarekh falsafafah F.
Copleston 1/113)
Skeptisisme
Jawaban kedua diberikan oleh sejumlah filsuf Yunani
kuno, seperti Pyrrhon, Arsezilash, Cratylus, Carneades yang kelak dikenal
sebagai para pengikut Skpetisisme. Mereka beranggapan bahwa meragukan kemampuan
manusia untuk mengenal realitas adalah satu-satu sikap yang tepat. Mereka
beranggapan bahwa meragukan kemampuan manusia untuk mengenal realitas adalah
siakap yang tepat. (Filsafat Yunani 228, alam pikiran Yunani Muhadarat fil
aqidah, Falsafatuna, Usus-Al falsafah 1/161, dll).
Secara etimologis, ia berasal dari bahasa Yunani
skepsis, pertimbangan atau
keraguan.(Kamus Filsafat 1017). Skeptisisme bisa dibagi, berdasarkan
tokoh-tokoh, ke dalam beberapa aliran,
seperti skeptisisme Karneades, skeptisisme Cratilus, skeptisisme Georgias,
skeptisisme Descartes, skeptisisme Hume, skeptisisme Kant, skeptisisme Lock.
Secara historis,
skeptisisme bisa dibagi, berdasarkan konsep-konsepnya, ke dalam beberapa
aliran sebagai berikut:
- Skeptisisme klasik. Ia terpecah kepada dua periade. Skeptisisme Akademika yang
dipelopori oleh fisuf jebolan akademi Plato bernama Arselious (315-240
SM). Ia menafikan segala macam kriteria dan standar untuk memilah
pengetahuan valid dari invalid. Porsi maksimal yang bisa diraih setiap
orang hanya keyakianan-keyakianan yang tidak jelas kebenarannya.
- Skeptisisme Phyrronian. Adalah skeptisisme yang berpijak diatas pandangan-pandangan
Pyrrhon (360-270SM). Menurut mereka , setiap orang memilliki pandangan
masing-masing, dan kita tidak akan bisa tahu mana yang benar, karena
masing-masing memiliki argumen yang sama validnya.
- Skeptisisme
modern. Ia dirintis sejak munculnya karya-karya
Sectus Empiricus dan cicero pada
abad 16 dan permulaan abad 17 ,
hingga descartes (15 95-1650) mendeklarasikan evil spirit hypothesis atau
Mauvais Genie (setan jahat) dan menyatakan bahwa keberadaan adalah diriku,
keyakinanku dan setan yang mengajarkan keyakinan itu kepadaku. Skeptisisme
modern semakin kokoh dengan The argument from experience yang dirumuskan
Hume(1711-1776) dalam karyanya An Inqquiry Concerning Human Undertanding.
Sebagian gagasan skeptis Hume, menurut pengakuan filsuf jerman Immanuel
Kant, telah mengusik tidur lelapnya bersama Dogmatisme. Segera setelah itu
iapun dikenal dengan Skeptisisme Kant.
- Skeptisisme kontemporer.
Yaitu skeptisisme yang nampak jelas dari ide Googol dalam premis-premis
skeptis Lehler, sebagai reinkarnasi evil spirit hypothesis Descartes.
Dua Skeptisisme
Skeptisisme, berdasarkan aspek motivasinya,
terbagi dua:
- Skeptisisme normatif/Metodis. Seperti skeptisisme descartes, Ahli-ahli fisika di jamannya identik
dengan peramal, sedangkan dokter-dokter dipandang sebagai penyihir. Dari
sini descartes berusaha memilah pengetahuan yang benar dari yang salah. Ia
memuai dari sikap skeptis, yaitu
Nihil esse certi (tidak ada keyakinan/kepastian), untukmenemukan suatu
norma solid, sebagaimana yang terbingkai dalam Cogito Ergo Sum. Paul
Foulquie menggolongkan Claude Bernard (1816-1878) ke dalam macam skeptis
ini.
- Skeptisisme problematik atau skeptisisme deskriptif. Ia bermacam
dua;
- Skeptisisme Global. Skeptisisime inil menyerang setiap kantong-kantong
keyakinan dan segala bidang pengetahuan, tanpa ampun. Ia berhadapan dengan
setiap manusia yang mengklaim tahu dan yakin.
- Skeptisisme Lokal, yaitu skeptisisme
yang memperkarakan bidang-bidang pengetahuan tertentu, Antara lain
§
pengetahuan tentang nilai dan etika. Nietzsche (1844-) dalam “The Death of God”, misalnya, menolak nilai mutlak dan norma objektif moral
dan berbuntu pada nihilisme Pengetahuan tentang
hal-hal yang akan terjadi (future), seprti D. Hume.
§
Pengetahuan
tentang jiea dan mental orang alain (other mind),seperti Solipsisme.
§
Pengetahuan
inderawi (Skeptisisme perseptual), seperti descartes dan kant.
§
Pengetahuan
tentang doktrin dan ajaran agama, teologis dan metafifisis.(religius skeptis),
seperti positivisme, neo positivisme atau logical positivism, sebagaimana yang
dianut oleh anggota circle Viena (Wiener Kreis)
Skeptisisme
merupakan arus besar yang terpecah ke beberapa aliran seperti Agnotisisme,
Fallibilisme, Probabilisme Carneides (219-125), Pluralisme Falsafi,
Perspektivisme (Nietzsche, Ortega Y. Gasset (1883-1955), K. Ajdukiewicz)
Fideisme (Montaigne (1533-1592), B. Pascal (1623-1662) dll. (Metaphysique, P.
Foulquie, terj. Parsi, Y. Mahdawi, hal. 67-69, The Fontana Dictionary of Modern
Thought, Oliver Stally Brass-Allaen Ballock 208,terj parsi ..., Ma’rifat
Shenasi dini, Mausuah Al-falsafah, Abdurahman badawi, M.T. Fa’ali 330-332, A
History of Philosophy, F. Copleston 7/400, terj. Parsi Daryush Ashuri, Filsafat
Yunani, hal. 228, Alam Pikiran Yunani, Muhadaharat fil-Aqidah, Falsafatuna,
Ususul-Falsafah, juz, 161, Jurnal Qabasat Malcolm Norman, Ma’rifat Shenasi dini
wa muashir, M. T. Fa’ali, 117-118, Kamus Filasafat, 1017-1027, The History of
Philosophy, F. Copleston 7/395, Metaphysique, P. Fuolquie, terj. Parsi Yahya
Mahdawi, hal. 71).
Skeptisisme lokal selalu membawakan argumen atas
klaimnya yang acapkali berdampak luas, hingga berhulu pada justifikasi
skeptisisme global.
Kritik atas Skeptisisme
Para penganut filsafat skolastik dan Epicurian
telah membungkam para penganut Agnosisme dan skeptisisme dengan argumen-argumen
sangat kuat, karena secara real, manusia berpeluang untuk mengenal realitas,
memperoleh pengetahuan assentual, dan meraih kebenaran. (Muhadharat fil-Aqidah,
hal. 43) Berikut ini sejumlah kritik atas skpetisisme.
- Skeptsisime berargumentasi atas klaimnya. Argumentasi terdiri dari
sejumlalah premis yang sudah mereka terima,seperti realitas kesalahan
persepsi pada indera dan akal, realitas korelasi antara setiap entitas dan
pengetahuan, realitas ikhtilaf di antara ilmu atau pemikir, tealitas
fallacy dalam sillogisme (burhan), realitas prinsip Universalizability
rumusan H. M. Hare, realitas evolusi dan dinamika, realitas ketergantungan
setiap pengeatahuan kepada hukum universal (nomos), realitas mustahilnya
menemukan hukum universal. Pendek kata, setiap skeptis hanya menghadapi
sebuaah close question; ia menerima dan mengakui premis-premis argumentasi
dan konklusinya, dengan demikian iamengetahui sejiumlah pengetahuan,
ataukah menolak semua itu, maka tidak ada klaim skeptis disini.
- Sebagian skeptis berusaha untuk terikat dengan konsekuensi pertama,
yaitu adanya pengetahuan tentang
ptemis-premis dan konklusinya yang merupakan klaimya. Meski demikian,
menurut mereka, a. adanya dua tiga pengetahuan tidak akan memberanguskan
skeptisisme, bahkan sebaliknya, jumlah pengetahuan itu jusrtu menegaskan
siakap skeptis terhadap hal-hal lainnya. Oleh karena itu, pengecualian
pengetahuan-pengenguatahuan diatas merupakan penegakan skeptisisme. b.
Jumlah kecil pengetahuan diatastidak akan bisa menuntaskan permasalahan
epistimologis. C. Dengan kritik/jawaban itu, genderang skeptisisme masih
bisa ditabuh, kendati setelah membetot konklusi. Dengan kata lain, jika
saya tahu dan terima premis pertama dan kedua, niscaya saya skeptis dan tidak akan tahu
apa-apa.inilah yang disebut dengan Doxastic paradox (paradox pengetahuan).
Jawab:
- Dengan mengakui paling tidak dua tiga pengeatahuan tersebut,
pertanyaan tidak berhenti disini. Akar-akar pengetahuan itu akan merambat
ke beberapa prinsip, seperti prinsip realitas,prinsip non kontradiksi
prinsip kausalitas, prinsip identitas, dll. Maka jika diamati argumentasi
beserta premis-premis mereka, akan kita temukan sejumlah prinsip tersebut.
- Masalahnya terfokus pada prinsip pengetahuan atau kemunkingkinan
mengetahuai, bukan pada jumlahnya. Dengan demikian, format permaslahannya
adalah berikut ini, “Kita mendapatkan pengetahuan dalam beberapa
hal-sedikit taukah banyak-, dan dalam hal-hal lain kita ragu datau tidak
tahu.”
Ada sejumlah aliran yang hampir sama secara
substansial dengan skeptisisme yaitu relativisme dan nihilisme. Menurut aliran
ini tidak hal-hal yang absolut. Sebagian orang menganggap relativisme adalah
nama lain dari skeptisisme atau subjektivisme. (Kamus Filsafat, 949). Aliran
ini dilawankan dengan Absolutisme dalam epistemologi, yang memastikan adanya
pengetahuan objektif dan absolut. (Kamus Teori, 1). Aliran ini secara
substansial tidak berbeda dengan dogmatisme atau truisme. Nihilisme adalah
istilah yang pertama kali diciptakan oleh Turgeneiv dalam politik dan teologi.
Salah satu prinsipnya dalam epistemologi adalah menolak setiap dasar kebenaran
yang objektif dan real. Albert Camus dan Nitzche disebut-sebut sebagai penganut
aliran ini (Kamus Filsafat, 712).
Dogmatisme, Truisme, Obyektivisme, Absolutisme
- Jawaban ketiga diberikan oleh para filsuf skolastik, yang dikenal
sebagai penganut Dogmatisme. Dogmatisme sebagai aliran dalam filsafat
bertentangan skeptisisme. Mereka memastikan bahwa manusia berpeluang untuk
mengenal realitas dan memperoleh pengetahuan assentual dengan bukti-bukti
tertentu. (Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 3, hal. 498-499, Filsafat Yunani, hal.
231, Muhadharat fil-Aqidah, Durus fil-Aqidah, Falasafatuna, (Nihayatul
Hikmah, Thabathabai’ 254, Ma’refat
Shenasi dini, M.T. Fa’ali, Ma’refat
Shenasi, Hosein Zadeh, Kamus
Filsafat, 173 dll).
Menurut Dogmatisme, pengetahuan yang benar
mengandung tiga unsur yang tak dapat dikurangi.
Tripartite pengetahuan hushuli assentual
Pengetahuan telah didefinisikan oleh para epistemolog dan kaum truis sebagai
kepercayaan yang benar dan terjustifikasi. Karenanya, kita dapat menyimpulkan
bahwa pengetahuan terdiri atas tiga unsur; kepercayaan, kebenaran, dan
justifikasi, dan menganggapnya cukup sehingga tidak perlu ditambah. Namun
sebagian epistemolog memasukkan ‘hubungan antara subjek dan objek’ sebagai
salah satu elemen dan menggeser elemen ‘kepercayaan’. Kepercayaan adalah
keniscayaan sikap dari terjalinnya
hubungan antara subjek pengetahuan dengan konsep yang ada dalam
benaknya.
Elemen
kesatu
Elemen pertama dan faktor penentu dalam pengetahuan adalah kepercayaan.
(The Theory of Knowledge, ed: L.P. Pojman PP, 499-555 and Hospers).
Pengetahuan, realitas dan justifikasi
berada dalam poros kepercayaan. Pengetahuan tanpa kepercayaan (keyakinan) tidaklah
mungkin. Kepercayaan, yang merupakan faktor penentu dan tolok ukur justifikasi,
adalah faktor penentu dan poros pengetahuan partikular. Kepercayaan, yang
disebut pula dengan subjective component of knowlegde, ini meniscayakan penangkalan terhadap ketidaktahuan
kompleks (al-jahl al-murakkab). (Ma’refat Shenasi dini va Mu’aser,
81-86, The Theory of Knowlegde, ed: L.P. Pojman, P. 130, Commitment to
Truth, 21).
Esensi
‘kepercayaan’
Manusia, di hadapan setiap premis atau pernyataan, adalah manusia
sebagai berikut:
1. Menerima dan menjadi ‘manusia berkeyakinan’. Sikap ini
disebut dengan acceptance atau belief.
2. Menolak atau menentang dan menjadi ‘manusia penolak’ atau
‘manusia penentang’. Sikap ini disebut dengan disacceptance.
3. Tidak menerima sekaligus tidak menolak atau abstein. Sikap
ini disebut dengan withold.
4. Setiap premis mempunyai dua macam hubungan dan relasi;
relasi dengan subjek dan relasi dengan objek. Premis “bunga ini berwarna
merah’, misalnya, mempunyai hubungan dengan realitas objektif karena ia benar
atau salah. Ia juga berhubungan subjek atau pengetahu sedemikian rupa sehingga
bila hubungan subjektif ini tidak diperhatikan dan dilibatkan, maka pengetahuan
tidak akan pernah muncul. (Ma’refat Shenasi Dini va Moasher, M.T. Fa’ali, 160,
An Introduction to Philosophical Analysis, PP, 10 – 18 and Chisholm, R.M.
Theory of Knowledge, P. 6 A Companion to
Epistemology, PP. 35, 48, 70).
‘Pecaya
bahwa’ dan ‘percaya kepada’
Samakah arti “saya percaya padamu” dengan “saya percaya bahwa
perkataanmu benar dan sesuai dengan kenyataan” sehingga bisa diubah dan
dipindah sesuka hati?
Reduksionisme, sebagaimana Thomas Aquinas, memperbolehkan reduksi
dan pemindahan. John Hick menolak reduksi. Sedangkan Pires menganmbil jalan
ketiga dengan berpendapat bahwa sebagaian dari macam-macam kepercayaan
proposisional dapat direduksi dan diganti menjadi ‘kepercayaan psikologis’.
‘Percaya bahwa’ adalah sikap percaya yang secara orisinal (semula,
bil-ashalah) mengacu pada premis dan secara tidak orisinal (bil-taba’)
mengacu pada sesuatu yang diungkapkan oleh premis, bukan premis itu sendiri.
Premis “saya percaya bahwa Tuhan ada” mengacu secara orisinal dan primer pada
premis “Tuhan ada” dan secara sekunder mengacu pada “ke-ada-an Tuhan”. Namun
kepercayaan tidak selalu berkonotasi arti demikian. Bila suatu saat kita
ucapkan “saya percaya pada anda’, maka ‘kepercayaan’ dalam premis terakhir ini
bebrarti “saya mempercayai anda’ atau ‘saya mengandalkan anda’ atau ‘saya
mantap dengan anda’ yang bukanlah bagian dari pengetahuan. Yang menjadi bagian
dari pengetahuan adalah ‘kepercayaan proposisional’ bukan ‘kepercayaan
psikologis’. (Ma’rifat Shenashi Dini va Muashe, 160).
Premis
dan kata rangkai
Telah kita ketahui bahwa ‘kepercayaan’ epistemologis hanya
berkaitan dan mengacu pada proposisi. Kepercayaan dapat diungkapkan dengan tiga
terminologi pernyataan (statement), proposisi (keputusan) dan kata rangkai
(sentence).
Proposisi atau
pernyataan, berdasarkan muatannya, terbagi dua;
1.
Proposisi
minor (Al-Qadhiyyah
Ash-Shugra). Yaitu attesendens yang memuat partikularia yang hendak
diketahui nilainya (nilai validitasnya) melalui inferensi (penalaran,
Al-Istidlal)., seperti “besi adalah tambang’.
2.
Proposisi
mayor (Al-Qadhiyyah
Al-Kubra). Yaitu attesendens yang menjadi dasar universal yang diterapkan
atas partikularia untuk diketahui nilai (validitas)-nya melalui inferensi
silogisme (deduksi), seperti “semua besi adalah tambang unsur homogen”.
Proposisi,
ditinjau dari sisi bentuk, terbagi menjadi dua;
- Proposisi Predikatif (Al-Qadhiyah Al-Hamliyah). Yaitu proposisi yang terdiri atas
subjek dan predikat. Dalam proposisi predikatif, predikat mengafirmasi
atau menegasi subjek.
Proposisi predikatif juga didefinisikan sebagai premis yang
mengafirmasikan atau mengasikan berlakunya sesuatu (predikat) atas sesuatu yang
lain.
Contoh: “Budiman
adalah sopir” dan “Agus bukanlah jenderal”.
“Plato adalah
seorang filsuf”, “Bambang bukanlah filsuf”.
- Proposisi hipotetik (Al-Qadhiyah Asy-Syarthiyyah). Yaitu proposisi yang muatannya
menjadi syarat bagi muatan proposisi lainnya.
Contoh: “Bila
matahari terbit, siang akan tiba”.
Proposisi dan
seluk beluknya akan dibahas secara lebih terinci dalam bagian lain dari buku
ini.
Elemen kedua
Elemen
kedua adalah kebenaran. Pengetahuan yang benar juga memiliki dimensi hubungan
antara subjek dengan objek yang di’wakili’ oleh konsep yang tertayang dalam
benak subjek. Adanya kebenaran atau realitas faktual meniscayakan penangkalan
terhadap ‘ketidatahuan sederhana’. Inilah yang dimaksud dengan ‘hubungan
objektif’ atau objective component of
knowledge,
Sebelum bertanya manakah yang real atau keyakinan
manakah yang benar, kita harus lebih dahulu bertanya, apakah kebenaran itu?
Apakah kebenaran itu? Bagaimana memilah pengetahuan yang benar dari yang salah?
Dua pertanyaan ini secara substansial berbeda.
Pertanyaan pertama bertalian dengan kebenaran, sementara kedua berkaitan dengan
norma (criterion) kebenaran.
Secara umum, para filsuf terbagi dalam dua aliran
besar;
1.
Subjektivisme.
Yaitu aliran sekelompok filsuf yang menjadikan subjek sebagai penentu
kebenaran. Aliran ini membatasi pengetahuan pada kesadaran pikiran akan
keadaannya sendiri. (Kamus Filsafat, 1046).
2.
Objektivisme.
Yaitu aliran sekelompok filsuf lain yang menjadikan objek sebagai penentu
kebenaran suatu pengetahuan. Ia meyakini bahwa nilai pengetahuan diukur oleh
objek yang tidak tergantung pada subjek. (kamus Filsafat, 734)
Aliran-aliran dalam objektivisme
Para penganut objektivisme terbagi dalam berbagai
aliran dan teori;
- Pragmatisme dan utilitarianisme
Para filsuf Eropa seperti Charles sanders Pierce,
William James, dan John Dewey menjadikan keuntungan dan manfaat sebagai standar
kebenaran atau pengetahuan assentual.
Pragmatisme (Pragmatic Thoery of truth) adalah
gagasan yang diprakarsai oleh filosof-filosof beken pragmatisme: Charles S.
Pierce (1839-1914), William James (1872-1970), John Dewey (1859-1952) dan Scott
Schiller (1864-1937). Menurut mereka, pengetahuan yang sesuai dengan fakta
belum bisa dianggap benar, sebagaimana klaim teori korespondensi, karena masih
tersisa satu pertanyaan; apakah kesesuaian dengan fakta berdampak pada
kehidupan praktis seseorang? Mereka menegaskan bahwa pengetahuan dinyatakan
benar ketika menguntungkan dalam konteks pengamalan.
Oleh karena itu, kebenaran identik dengan
aktualisasi praktis yang menguntungkan. Bahkan nada ekstrim sebagian pragmatis
menyatakan bahwa apabila suatu pengetahuan dapat memenuhi/ memuaskan hasrat dan
kebutuhan hidup seseorang, maka ia adalah benar.
Kendati demikian, W. James dalam beberapa
statemennya cenderung mendukung teori koherensi
yang digandrungi oleh generasi mutakhir. (Ma’rifat Shenasi – Ibrahimian,
Ma’rifat Shenasi – M. Hosein Zadeh, Jurnal hauzah va danesygahno: 4 – Muhsin
Javadi, Mairifat Shenasi Dini va Mu’ashir – M.T. Fa’alli, La Philosophis
Contempripaine en Europe- I.M. Bochenshi hal: 198 terjemah Arab Izzat Qarni)
- Korespondensionisme
atau Teori Korespondensi
Aliran ini menyatakan bahwa kebenaran adalah
pengetahuan (assentual) yang sesuai dengan fakta. Dan sebaliknya, pengetahuan
assentual dianggap salah ketika tidak sesuai dengan fakta. Menurut teori
korenspondensi, esensi kebenaran berpijak di atas tiga pilar:
- Gambar
subjektif berupa pengetahuan asentual
- Fakta, yaitu
objek (mahki) dari gambar subjektif
- Relasi (Nisbah) antara gambar subjektif dan fakta, yaitu kesesuaian.
Sebagaian besar filsuf, sejak Plato dan Farabi
hingga J. Haspers dan G. R. Fayyadhi, menganut teori di atas. Kendati demikian,
mereka berselisih dalam spesifikasi penjabarannya, seiring dengan pendangan dan
bangunan filsafat (Noutic Structure) masing-masing. Dari sini, muncullah
Korespondensi ala Locke, Russell, Wittgeinstein, R. K. Popper, A.
Tarski hingga S. Kripke (Ma’refat Shenasi Dini wa Mu’ashir, Fa’ali, Jurnal
Hauzah wa Doneyghah, NO. 6, Nadharieh Shidq, Asfar 1/20, Tahshil, Bahmaniyar,
hal.262, dll). August Comte, pendiri Positivisme beranggapan bahwa pengetahuan
dianggap sebagai sesuai dengan kenyataan apabila terjadi keserasian pikiran
dalam mental. Pandangan ini dikenal dengan ‘teori korespodensi’ atau Al-intiza’.
(Al-Mawsu’ah Al-Falsafiyah, Muhadharat Fil-Aqidah, hal. 39-42, Ususul-Falsafah,
juz, 164-165, Commitment to Truth, M. Fanaei Eshkevari, 15, dll.)
3. Koherensionisme atau Teori Koherensi
Coheren dalam bahasa Inggris dan cohaerre dalam latin berarti melekat, tetap
menyatu, bersatu. (Kamus Filsafat, 470).
Teori koherensi merupakan sebuah teori tentang
kebenaran yang bersifat neo-positivis, bahwa kebenaran didasarkan pada harmoni
internal proposisi-proposisi dalam suatu sistem tertentu. Pada dasarnya, teori
ini dan selainnya merupakan reaksi-reaksi dari sejumlah filsuf yang tidak mampu
menjawab kritik-kritik atas teori Korespondensi. Teori koherensi banyak
direkrut oleh kaum Idealis serta sebagian Rasionalis seperti; G. Leibniz dan B.
Spinoza (Az Bruno to Kant, S. Khurasani, hal.104, Commitment to Truth, M. F.
Eshkevari, 16).
Di dunia filsafat kontemporer, para penganut kaum
Positivisme logis seperti; Otto Neurath, Carnap
dan C. Hampel gigih mengembangkannya, kendati pelopor mereka Moritz
Schlick (1882-1936) mempertahankan teoti Korespondensi. (Paul Edwaard, D.W.
Hamlin hal. 120, Kamus Filsafat, 470). Ketimbang mengamati suatu pengetahuan
dengan faktanya, mereka membandingkan pengetahuan tersebut dengan seluruh
pengetahuan lainnya.
Di sini, pengetahuan dinyatakan benar selama tidak
berbenturan dengan keuTuhan sistem pemikiran (notic structure) yang terbentuk
dari serangkaian pengetahuan-pengetahuan yang sudah diterimanya sebagai
kebenaran. Dengan kata lain, kebenaran suatu pengetahuan adalah keserasiannya
dsengan serangkaian pengetahuan yang telah dinyatakan benar. Misalkan jika kita
perhatikan sepotong kayu dalam air begelombang dengan kasat mata, kita
melihatnya zigzag. Namun jika kita pegang kayu itu pada saat yang sama kita
mendapatkannya lurus.
Disini kita mengklaim kebenaran indera raba dan
menilai indera pandang sebagai salah.
Mengapa? Karena pengetahuan( sence data)
yang bersumber dari indera raba
serasi dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya,
yang berbeda dengan pengetahuan dari indera pandang yang bertabrakan
dengan pengetahuan-pengetahuan yang kita miliki.
Teori koherensi secara logis berujung pada gradasi
kebenaran (degrees theory of truth) yaitu teori yang menyatakan bahwa kebenaran
suatu pengetahuan berderajat, seiring dengan tingkat relevansinya dengan
pengetahuan-pengetahuan lain. Dampaknya, logika matematik kehilangan
determinasi dan keniscayaannya.
Pada dasarnya teori koherensi menempatkan
kebenaran atau kesalahan sebagai predikat untuk sejumlah pengetahuan yang
membentuk suatu sistem pemikiran, tidak untuk setiap unitnya. Dengan demikian,
teori berpijak pada premis holisme yang dirumuskan oleh Willard Van Orman Quine
(1908- ).
Singkatnya, kebenaran menurut teori koherensi adalah harmoni pengetahuan
assentual dengan sistem pemikiran seseorang. (Sejarah Epistemologi, 93, edisi
Parsi, D. W. Hamlyn, editor Paul Edward, The Enclopedia of Philosophi,
Epistemologi Agama dan Modern, 194, M. Taqi Fa’ali).
4. Relativisme
Ia adalah teori atau aliran yang muncul seiring
dengn kemunculan kaum shophis. Tokoh populer mereka, Protoguras (481-411 SM),
mengatakan bahwa manusia adalah totalitas kebenaran. Ia menguraikan bahwa
kebenaran adalah apa saja yang menurut anda atau saya benar(A Histori of
philosophy – F. Copleston 1 hal: 106 terjemah Farsi Mujtabav, Commitment to
Truth, 24)
“Man – the Measure” protogorian ini dapat kita
saksikan pada sebagian pengikut pragmatisme seperti F.C. Scott Schiller dalam
alirannya yang dapat disebut Humanistic Voluntarism (Mausu’ah Falsafah –
Abdurrahman Badawi 2 hal: 24, La. Philosophie Contemropaine en Europe – I.M.
Bochenshi hal: 198 terj Arab Izzat Qarni)
Hal serupa disampaikan oleh sebagian dan
mengatakan bahwa pengetahuan adalah akibat dari interaksi organ perseptor
dengan alam luar (obje di luar). (Lihat Falsafatuna, Muhammad Baqir Shadr hal.
142-143, Nihayatul Hikmah, hal.
255, Nadhariyatul Ma’rifah, hal.227-228).
Teori ini sendiri mesti dianggap salah karena
mengkritik teori sebelumnya, Korespondensi. Sebagaimana dilontarkan Bertrand
Russell, bahwa semua kisah-kisah fiktif dari mulai Spielberg dan novel-novel
Shakespeare sampai telenovela dan srimulat dikatakan benar oleh teori ini.
(Jurnal Kalam Islami no: 34 Arzesy-e Syenakht, Khusru Panah, Ma’rifat Shenasi-e
Dini wa Mu’ashir, Muhammad Taqi Fa’alli, Ma’rifat Shenasi Muhammad Taqi Zadeh).
Empat aliran di atas akan kita bahas secara kritis lalu kita tentukan
salah satu sebagai pendapat terpilih.
Kritik
atas Pragmatisme
teori ini problematis (Self Contradiction) karena
klaimnya “kebenaran adalah keuntungan praktis” merupakan pengetahuan teoritikal
murni. Teori ini meniscayakan relativisme subyektif atau waktu, karena bisa
saja suatu pengetahuan bermanfaat untuk seseorang pada waktu tertentu, pada
saat yang sama ia membahayakan orang lain.
Implikasi yang paling dahsyat dari teori pragmatis
adalah bahwa keputusan final dalam setiap pertikaian ada di tangan penguasa
(Power), kendati tanpa keadilan. Teori ini berpengaruh besar dalam kebangkitan
filsafat evolusi dan struggle of survival Nietzche
Teori ini kabur, karena tidak menjelaskan secara devinitif dan tuntas
makna untung dan manfaat, apakah sebatas jasmani atau juga rohani, duniawi atau
juga ukhrawi.
Kritik atas Korespondensionisme
Teori ini mendapat banyak kritik. Antara lain dua
keritik sebagai berikut:
Kritik
pertama:
Kekaburan
makna kesesuaian (muthabaqah). Jika kesesuaian identik dengan kesamaan ketat
dan sempurna (corresponden to) sebagaimana tafsiran Wiitgeinstein, maka
pengetahuan assentual kita tentang “Kotak di sebelah kanan lingkaran” tidak
benar, karena ia tidak sesuai dengan fakta yang tidak lebih dari dua fariabel,
yaitu o . Pada fakta ini tidak ada
fariabel “di sebelah kanan”.
Jika kesesuian atau keharmonisan (al-muthabaqah) berarti kemiripan
(corresponden with), sebagaimana klaim Alston, maka pada dasarnya tidak ada
kesamaan di sini (serupa tapi tak sama). Lagi pula, sulit mengukur kemiripan
antara pengetahuan dan faktanya (Problems & theories of Philosophy, K.
Ajdukiewicz, hal. 36, terj parsi. M. Buzurgmehr).
Bantahan
Kritik pertama ini dibantah oleh para pendukunganya. Mereka mengatakan
bahwa pengetahuan adalah wujud abstrak/inmaterial. Karenanya, ia dan
kesesuiannya dengan faktanya tidak bisa dipandang dengan perspektif empiris
yang konotasinya one to one, atau dengan ukuran seperti; agak, hampir dll.
Karenanya, adalah salah jika kita
memandang “sebelah kanan” sebagai fariabel faktual dan objektif yang mandiri, atau mengukur tingkat kemiripan
suatu pengetauahn dengan faktanya. Kesesuaian adalah penampakan dan
penyingkapan sempurna pengetahuan akan fakta. Dengan kata, lain setiap entitas
memiliki dua dimensi atau hakikat; wujud yang objektif dengan semua
pengaruh-pengaruh objektifnya, seperti panas bagi api dan dingin bagi es, dan
wujud subjektif yang tidak memiliki pengaruh-pengaruh real, selain pemahaman.
Nah wujud kedua atau dimensi kedua dari wujud entitas api itulah, misalnya,
yang hadir dalam layar beak kita, tanpa pengaruh objetifnya, yaitu panas,
sehingga dirinya tidak ikut menjadi panas saat mengkonsepsikannya.
Kritik kedua
Teori Korespondensi mentah dalam mengklarifikasi kebenaran
pengetahuan assentual matematik (methematic proposition), subjektif dan
pengetahuan assentual tentang ketiadaan, sepeti ‘hantu itu tiada’, yang semuanya tidak memiliki fakta
real.
Dengan kata lain, pilar kedua dari teori ini tidak
ada dalam proposisi-proposisi semacam itu (Philosophy Scientifique, Filician
Challaye, hal. 161, terj. Parsi. Y. Mahdawi)
Bantahan
Fakta di sini mencakup segala yang ada di luar,
seperti proposisi empirik, maupun di mental seperti; proposisi matematik dan
subjektif. Fakta haruslah sesuai dengan konteks suatu pengetahuan. Meski
Socrates tidak ada di luar, namun ia dalam kontekspengetahuan “Socrates meneguk
cawan racun” ada dan berfakta. Makna fakta di atas dikenal oleh para filsuf muslim
dengan istilah Nafsul Amr (Nihayatul Hikmah, hal. 15, Syarah Mandhumah, Mulla
Hadi Sabzawari)
Kritik atas Koherensionisme
Teori ini, “nampaknya”, berhasil mendefinisikan kebenaran pengetahuan
untuk sebuah sistem pemikiran, namun jika ada beberapa sistem pemikiran yang
masing-masing memiliki keserasian di antara unit-unit pengetahuannya, seperti
teori-teori geometrik Oglides, teori Lobatschewesky ( 1793-1856) dan teori
Riemann (1826-1866) maka teoti ini gagal dalam menjelaskan apalagi
menentukannya.
berdasarkan teori Koherensi, setiap pengetahuan kritis yang
menjungkirbalikkan sebuah sistem seperti yang dialami oleh Immanuel Kant yang
terjaga dari tidur lelapnya bersama mimpi dogmatisme akibat kritik skeptis
Humem, mesti dianggap salah. Dampaknya, tidak ada alasan untuk berdiskusi
Kritik atas Relativisme
Apakah pengetahuan assentual (faktual) bersifat relatif ataukah absolut?
Pertanyan yang juga sangat penting ini sering
dilontarkan dalam epistemologi. Sejumlah pemikir dan filsuf modern menolak
realitas absolut dan meyakini adanya realitas yang relatif. Mereka adalah
penganut relativisme. Penadapat dan aliran ini didasarkan pada anggapan bahwa
esensi segala sesuatu tidak dapat diungkap secara mutlak, karena dipengaruhi
oleh faktor-faktor tertentu, seperti alat pengetahuan dan konteks tempat dan
waktu yang turut mempengaruhi kemunculan pengetahuan dalam diri seseorang
sehingga boleh jadi dua orang memahami suatu objek yang sama dengan dua cara
yang berlainan. Karenanya, kebenaran atau realitas segala sesuatu, menurut
mereka, bersifat relatif.
Klaim bahwa kebanaran dan realitas hanyalah
bersifat relatif tidak dapat diterima, karena bila ada sebuah objek tertentu
yang ditangkap dengan cara yang berlainan oleh tiga orang, mislanya, maka pasti
ditangkap dan difahami oleh salah satu dari tiga orang tersebutlah yang faktual
dan benar, sedangkan yang lainnya pasti salah. Adapun manakah yang sesuai
dengan realitas dan benar secara mutlak, maka itu tidak bersangkutan dengan
masalah relativitas. (Ususul-Falsafah, juz, 189-191, Commmitment to
Truth, 25).
Apakah realitas mengalami proses evolusi dan dinamika? Bila sebuah
proposisi atau konsep telah dipastikan benar atau valid atau sesuai dengan
realitas objektif, maka ia (realitas
yang telah diketahui tersebut) tidak akan bisa berubah dan berevolusi sehingga
menjadi lebih benar atau validitasnya menanjak?
Ambillah sebuah contoh berupa proposisi historis “Aristoteles adalah
murid Plato” atau propisisi natural “Logam akan memuai karena panas” atau
propisisi matematik “segitiga sama dengan dua sudut tegak” atau proposisi
filsofis “siklus dan suskesi adalah invalid”, lalu pertanyakan: “adakah salah
satu dari proposisi-proposisi tersebut yang berkembang atau terbukti makin
benar”.
Asumsi “keberkembangan” dan “evolusi” yang
dikaitkan dengan pengeteahuan semata-mata akibat dari pandangan dunia
materialisme para filsuf yang melontarkan pertanyaan di atas. Pengetahuan
adalah ide. Ia bukan benda yang dapat berubah, berkembang dan bergerak.
Selain empat teori di atas, ada sejumlah upaya
dari kalangan filosof kontemporer dalam menawarkan alternatif lain seperti
teori Quine, teori Assertifve Redondancy; karya F.P. Ramsey (1852-1916) teori
reformasi garapan P.F. Stawson, teori Semantik rumusan Alfred Tarski
(1902-1983) dll.
Ada pula upaya mutakhir untuk mengkompromikan tiga teori pertama
seperti yang dicoba oleh Brian Carr dalam An Encyclopedia of philosophy edisi
G.H.R. Parkinson 1989. Ia beranggapan bahwa toeri Koherensi dapat diterapkan
dalam bidang-bidang logika dan metematika sementara teori korespondensi berlaku
dalam kajian-kajian empiris dan sains.
Sebagian orang menolak Relativisme karena, menurut mereka,
merelatifkan semua pengetahuan meniscayakan penolakan terhahap setiap realitas,
termasuk pengetahuan tentang kerelatifan semua pengetahuan, yang dilontarkan
dan diyakini para pendukung relativisme.
Ada juga yang menolak Relativisme epistemologis ini karena,
melatifkan pengetahuan berarti meyakini, paling tidak, sebuah pengetahuan, yaitu bahwa hukum tentang relativitas itu
mutlak.
Elemen ketiga
Elemen ketiga dalam pengetahuan assentual adalah
‘justifikasi’ (At-Tawjih). Justifikasi,
menangkal tebakan atau ramalan yang mujur (lucky guess). Jadi, andaikan
saya meramal atau menebak bahwa “Ali ada di balik dinding”, dan memang ternyata
demikian, maka berarti ucapan ini memenuhi dua syarat; kepercayaan dan
kebenaran, namun ia tidak memenuhi syarat ketiga. Karenanya, ia tidak bisa
dianggap sebagai pengetahuan. Tiga elemen, kepercayaan, kebenaran dan
justifikasi inilah yang dijadikan
sebagai definsi tradisional pengetahuan
assentual atau pengetahuan yang benar, bahkan pengetahuan secara umum, oleh Plato. tradisional. (Ma’refat Shenasi
dini va Mu’aser, 81-86, The Theory of Knowlegde, ed: L.P. Pojman, P. 130).
0 komentar:
Posting Komentar