Bag 04
Batas Pengetahuan hushuli assentual
Manusia secara naluriah didorong oleh rasa ingin
tahu. Dengan bekal pengetahuan (hushuli, hushuli), sebagaimana telah
dijelaskan diatas, manusia berpeluang
untuk menyingkap realitas di luar dirinya. Bahkan sebagian besar manusia ingin
mengetahui segala sesuatu dan ingin memiliki pengetahuan yang mutlak.
Mungkinkah itu? Apakah pengetahuan manusia terbatas ataukah tidak?
Jawabannya bisa kita temukan pada sebagian isi
pembahasan tentang skeptisisme lokal
diatas, dengan berbagai versinya. Secara implikatif, mereka (kaum skeptis)
mengakui keterbatasan pengetahuan manusia. Kesimpulan serupa seringkali
diungkapkan oleh kaum urafa Islam, bahwa ada serangkaian hakikat yang tidak
dapat disentuh oleh ketajaman akal, terlebih indera manusia. Para hukama islam
menambahkan bahwa manusia tidak mampu menyingkap hakikat dan entitas wajibul wujud. (Jurnal Shadra no.
18, Tasawwur wa Tashdiq, M. T Fa’ali). Hingga kini, tidak ada seorangpun yang
berani mengklaim sebaliknya.
Alat-alat pengetahuan hushuli assentual
Setelah memastikan bahwa manusia dapat mengenal
realitas dan berpengetahuan, meski terbatas, dengan alat apakah manusia dapat
mengenal realitas dan memperoleh pengetahuan assentual? Untuk mengetahui segala
sesuatu, manusia memerlukan alat dan sarana tertentu untuk dapat melakukan dan
menjalin hubungan dengan sesuatu yang ada diluar dirinya, yaitu indera, rasio
dan emosi.
Berikut ini adalah tiga aliran besar dalam
epistemologi yang memberikan tiga jawaban berbeda.
Empirisme
Ia berasal dari Yunani empiria, empeiros, dan dalam Latin experientia
(pengalaman). Ia semula adalah sensasionalisme yang menganggap indera sebagai
alat pengukur validitas, kemudian dikembangkan oleh sejumlah filsuf seperti
Thomas Hobbes (1588-1679), John Stuart Mill, John Locke ((1632-1704), dan
August Comte (1798-1857), menjadi positivisme.
Empirisme
atau Sensasionalisme yang populer dikalangan filsuf Anglo Saxon, beranggapan bahwa mental manusia bak lembaran
putih (tabula rasa) yang bisa menerima berbagai gambar setelah indera
berhubungan dengan objek-objek di luar. Benang merah Empirisme
tergulung/terlilit di penggalan statemen latin Locke, “Nihil est in intellectu
quad non prius fuerit in sensu” (Tidak ada sesuatupun di benak/mental yang
sebelumnya tidak pernah ada pada indera) (az Bruno to Kant, Syarafuddin
Khurasani hal.121).
Aliran-aliran dalam empirisme
Empirisme terbagi kepada tiga versi:
a. Condillac (1715-1780), Positivisme
dan Neo Pesitivisme yang menganggap indera eksoterik sebagai sumber sejati
pengetahuan-pengetahuan konseptual.
b. G. Barkeley (1685-1753) membatasi
indera pada indera esoteric dan pengalaman-pengalaman batin.
c. John Locke (1632-1703) dan David Hume
memangdang indera dengan dua sisinya; esoteric dan eksoterik (Des Suorces de La
Connaissance et de I’ignorance, R. K. Poper, terj. Parsi Abbas Bagiri, hal. 7)
Ada dua penafsiran tentang proses kemunculan konsep-konsep universal;
- Bahwa konsep-konsep universal adalah konsep-konsep parsial yang
sudah berubah akibat ulah akal.
- Bahwa Kemunculan konsep-konsep itu dimediasi oleh konsep-konsep parsial. (1 &
2 Lihat falsafatuna, Al-Manhaj Al-Jadid,
nadzariyatul ma’rifah, dll.).
Implikasi perubahan konsep parsial menjadi konsep
universal adalah hilangnya keadaaan sebelumnya, yaitu konsep parsial, sementara
kita dapatkan ia (konsep parsial) tetap ada dengan kemuncualan konsep
universal. Mediasi konsep parsial
bagi kemunculan konsep universal hanya
berlaku dan bias dinikmati oleh sebagian konsep universal preimer/esensial,
sebagaimana dalam uraian berikut nanti.
Dasar-dasar Pemikiran Empirisme
Paham Empirisme dikembangkan oleh filsuf-filsuf
Inggris, John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685- 1753), dan David Hume
(1711-1776). Mereka berusaha melacak setiap proposisi sampai pada hal-hal yang
dapat dialami secara inderawi. Memang kelahiran empirisme dalam rangka
menentang pendapat rasionalisme ayang didasarkan atas pengetahuan intuitif dan
kepastian yang bersifat apriori, yaitu yang berkaitan dengan masalah bahwa
barang sesuatu sungguh-sungguh ada dalam keadaan yang sesungguhnya yang
meliputi kenyataan tertentu.
Paham empirisme tampaknya diilhami oleh filsafat
Aristoteles (384-322 SM) yang mengemukakan pendapatnya bahwa pengetahuan
terjadi bila subjek diubah di bawah pengaruh objek, artinya bentuk-bentuk yang
berada di luar diri diserap oleh subjek yang meninggalkan bekas-bekas dalam
kehidupan bathinnya. Objek masuk dalam diri subjek melalui persepsi indera.
Pendapat yang demikian itu ditegaskan pula oleh Thomas Aquinas (1225-1274)
salah seorang penganut di abad pertengahan yang mengemukakan bahwa "…
tiada sesuatu yang dapat masuk ke dalam akal yang tidak dapat ditangkap oleh
indera". Dari kedua pendapat itulah tampak bagaimana pengaruh peran indera
dalam hubungannya dengan proses mengetahui. Pandangan yang demikian mempengaruhi
pemikiran yang menolak kemampuan akal atau rasio seperti dikemukakan oleh
Descartes. (Kamus Filsafat, 197-198)
Kritik atas Empirisme
Indera hanya menangkap realitas sebagai gambaran
yang ditransfer ke dalam benak. Indera tidak dapat memastikan apakah gambaran
itu nyata atau palsu, seperti jalan beraspal di bawah terik matahari yang
ditangkap oleh indera sebagai genanagan air yang bergerak.
Klaim kaum empiris bahwa indera adalah sumber
tunggal bagi pengetahuan assentual berarti pengakuan terhadap hukum sebab
akibat. Sedangkan hukum atau hubungan kausal tersebut tidak terinderakan.
Artinya, tanpa meyakini adanya hubungan kausal antara indera dan gambaran yang
ditangkapnya, kaum empiris tidak akan pernah memperoleh pengetahuan assentual.
Klaim kaum empiris bahwa indera adalah sumber
tunggal bagi pengetahuan assentual bersifat apriori dan tak berdasar atau
berdasar pada indera itu sendiri.
Jika klaim mereka bahwa indera tidak berdasarkan
rasio, maka sumbernya tentu indera itu sendiri atau bukan indera dan bukan
rasio. Jika sumber indera adalah indera, maka ia akan meniumbulkan konseuensi
irasional yang lazim disebut “tasalsul” atau suksesi. Jika indera tak bersumber
dan tak berdasar, maka klaim kaum empiris pantas diabaikan, karena tak
berdasar. Jika sumber indera adalah rasio, maka berarti mereka bukan lagi
penganut empirisme dan bukan penganut materialisme.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kaum empiris juga
menggunakan metode rasional, karena induksi, analogi dan silogisme merupakan
elemen-elemen dalam metode inferensi rasional.
Emosionalisme
Ia adalah sebuah aliran dalam epistemologi yang
mengutamakan hati dan perasaan sebagai alat penyingkap realitas. Para tokoh
sufi muslim seperti Al-Ghazali atau tokoh mistik Eropa seperti Henri Bergson
sangat mengandalkannya.
Emosionalisme atau moralisme atau mistikisme tidak
hanya dianut oleh para filsuf muslim, namun ia telah berkembang di barat dan
eropa khususnya. Henri Bergson (1805-1941) beranggapan bahwa pengetahuan
assentual (yang sesuai dengan kenyataan objektif) adalah pengetahuan yang
diperoleh dengan hati. Menurut filsuf perancis ini, akal bukanlah alat untuk
menembus atau mengenal realitas, namun ia hanya menciptakan kontak praktis
dengan realitas objektif. (Ususul-Falsafah, juz, 212).
Sebagian penganut emaosionalisme disebut dengan
mistisisme. Istilah ini berasal dari kata musters dalam bahasa Latin (orang
yang mencarei rahasia kenyataan). Ia berasal dari agama-agama misteri Yunani,
yang pertama kali dipakai oleh Dionisius Areopagita, yaitu metode untuk
mendekati Tuhan yang sama sekali tidak transenden. (Kamus Filsafat, 653).
Sebagian juga menyebut emosionalisme dengan trasendentalisme meyakini
keunggulan intuisi atau yang rohani atas yang empiris dan inderwi. (Kamus
Filsafat, 1123).
Salah satu teori penganut emosionalisme mengatakan
mengatakan bahwa pengetahuan mistik (Al-kasyf) hanya dapat diperoleh setelah
jiwa memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Substansinya utuh.
- Bersih dari kotoran (sumber-sumber keburukan)
- Berkonsentrasi ke alam abstrak
- Bebas dari fanatisme dan sikap ikut-ikutan
- Menyusun premis-premis yang tepat guna mencapai konklusi dengan
urutan yang telah ditentukan dan berdasarkan syarat-syarat yang tela-h
ditetapkan. (Nadhariyatul-ma’rifah, 180).
Para ahli irfan praktis menjelaskannya dengan cara
yang lebih mudah. Disebutkan, ada tiga sumber keburukan yang menjadi kendala
jiwa untuk memperoleh pengetahuan mistiik yang sering disebut dengan kasyf
(penyingkapan) dan syuhud (penyaksian).
Tiga sumber keburukan itu ialah Kezaliman. Secara
kebahasaan, Adh-Dhulm (kezaliman) mempunyai yang arti sama dengan Adh-Dhalm
(kegelapan). Secara etimologis, ia diartikan atau didefinisikan sebagai “tidak
meletakkan sesuatu (material atau immaterial) pada tempatnya yang lazim”.
Kezaliman berdimensi dua; intelektual (konseptual,
teoritis), dan aktual (praktis). Kezaliman konseptual (intelektual) adalah
membenarkan sesuatu yang tidak benar, mengiayakan pernyataan yang keliru, dan
sebagainya. Sedangkan kezaliman praktis adalah tidak melakukan sesuatu yang semestinya
dilakukan. Kezaliman praktis mempunyai dua dimensi; yaitu kezaliman terhadap
diri sendiri (kezaliman praktis individual), dan kezaliman terhadap orang lain
(kezaliman praktis sosial).
Sumber kedua adalah kekafiran. Secara kebahasaan,
Al-Kufr berarti “menutupi”, namun dalam khazanah Islam, ia diartikan sebagai
“menolak, menentang”.
Kekufuran, dilihat dari objek dan sasarannya, bisa
dibagi menjadi dua; kekafiran positif (terpuji) dan kekafiran negatif
(tercela).
Sumber keburukan ketiga adalah kefasikan.
Kefasikan (Al-Fisq) didefinisikan sebagai “penyimpangan dari kebenaran dan
kebaikan”. Karena itulah, para ahli irfan dan akhlaq memasukkan maksiat dalam
kategori penyimpangan psikologis atau abnormalitas. (Mabail-Ma’rifah,
Nadhariyatul-Ma’rifah 179-182).
Sebagian dari tokoh mistikisme Islam mencantumkan
tiga syarat untuk memperoleh pengetahuan assentual yang disebut dengan
Al-Haqiqah itu.
Sampai sekarang belum ditemukan kriteria-kriteria
baku tentang “hati yang jernih”, sehingga tak mengherankan bila jumlah aliran
dalam mistikisme lebih banyak dan saling bertentangan. (Al-Irfan Al-Islami,
Al-Irfan, Mabanil-Ma’rifah dll).
Kritik atas Emosionalisme
Klaim kaum mistis bahwa hati adalah alat yang
paling tapat untuk mengenal fakta dan realitas belum tentu salah. Namun, hati
di luar wilayah bahasa, sehingga ia hanya dapat dialami dan dirasakan. Ia tidak
dapat dirumuskan dan dideteksi ketepatan dan kekeliruannya.
Spritualitas atau gnostika sejati tidak akan
pernah dapat diraih tanpa menyembah dan mentaati Allah. Untuk menyembah dan
mentaaati Allah, ma’rifah atau pengetahuan akan Allah merupakan syarat mutlak.
Pengengetahuan inilah yang memerlukan rasio. (Al-Manhaj Al-Jadid, 125).
Untuk mengidentifikasi bahwa kasyf seseorang
sebagai benar, tak pelak akal dan norma agama diperlukan (Al-Manhaj Al-Jadid,
ibid).
Rasionalisme
Yaitu aliran yang dianut para filsuf kontinental.
Mereka menganggap bahwa asal usul pengetahuan konseptual, khususnya
universalia, adalah akal. Akal dalam terminologi mereka adalah suatu daya
perceptual/kognitif selain indera.
Konsep-konsep yang diperoleh sebelum kontak inderawi dan empirik (a priori) berasal dari
daya tersebut. Rene Descartes (1596-1650) menempatkan konsep-konsep seperti;
Tuhan, satu, gerak dan konsep-konsep matematik ke dalam konsep-konsaep a priori
yang bersifat kodrati (innate), yaitu produk kodrat akal (ratio)manusia.
Sementara Immanuel Kant (1724-1804) meyakini adanya serangkaian konsep-konsep
sejak awal penciptaan akal manusia, seperti dalam diagram 12 kategorinya.
Dalam pada itu, Laibniz (1646-1716) secara frontal
menolak analogi mental manusia dengan tabula rasa. Ia mengedit dan mengurut
alfabet benang merah Empirisme yang tergulung di penggalan latin locke itu,
lalu menyambungnya dengan tulisan imbuhan
“nisi intellectus ipse” (kecuali akal itu sendiri) (az Bruno to Kant, S.
Khurasani, hal.151, Al-Manhaj Al-Jadid, Falsafatuna, dll.)
Aliran-aliran dalam rasionalisme
Aliran ini telah berkembang dan terpecah ke dalam
sub-sub aliran yang cukup banyak, seperti rasionalisme Descartes (1596-1650),
rasionalisme Liebniz (1646-1716), rasionalisme Spinoza (1623-1677),
rasionalisme-kritisisme Kant (724-1804), rasionalisme kritis Karl R. Popper,
(bahwa pengetahuan ilmialah manapun bersifat hipotetis dan diterima sejauh
belum dipersalahkan, rasionalisme Al-Farabi, rasionalisme Ibnu Sina yang
dikenal dengan paripatetisme, rasionalisme Ibnu Rusyd, dan rasionalisme Mulla
shadra.
Aliran yang mirip atau bahkan boleh sama dengan
rasionalisme adalah intelektualisme. Namun, menurut sebagian penulis buku
filsafat, intelektualisme menendakan keunggulan roh dan akal budi, tanpa
sekaligus membatasinya hanya pada konsep-konsep dan pemikiran diskursif yang
pantas bagi akal budi manusia.
Dalam filsafat kuno, intelektualisme diwakili oleh
Elea dan kaum Platonis. Dalam filsafat modern, intelektualisme dilawankan
dengan sensasionalisme yang timpang. Descartes dan Spinoza juga dianggap
sebagai penganutnya.
Dasar Pemikiran Rasionalisme
Aksioma dasar yang dipakai untuk membangun
rasionalisme diturunkan dari gagasan (ide) yang menurut anggapannya adalah
jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia. Akal manusia mempunyai kemampuan
untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya dan tidak
mempelajarinya lewat pengalaman. (Yuyun Sumantri, 1978, Dasar-dasar filsafat,
8.2, Kamus Filsafat, 931, ibid 358)
Berpangkal tolak pada aksioma dasar itu, sistem
berpikir yang dipakai adalah deduksi, yaitu berpikir dari hal-hal yang umum
menuju hal-hal yang bersifat khusus. (ibid).
Rasio atau akal secara kebahasaan (Arab) berasal
dari kata aqala yang berarti “mengikat” agar tidak lepas kendali. Lawannya
adalah “kebodohan” (Al-jahl), yaitu tidak melakukan perbuatan yang semestinya
dilakukan, karena tidak tahu atau karena didominasi oleh kepentingan. Ia juga
lawan dari “kegilaan” (Al-Junun). (Al-Manthiq Al-Islami, 144).
Kritik atas Rasionalisme
Sekedar merujuk de dalam mental, kita tidak
menemukan konsep-konsep semacam itu sejak awal.
Akan terbuktikan bahwa konsep-konsaep yang mereka
sebut sebagai produk kodrat akal berpangkal pada sumber tertentu. Mereka akan
menghadapi kebuntuan ketika beranjak ke dalam konteks penerapan konsep-konsaep
itu pada faktanya. Sebuah konsep inasial (produk akal) bagaimana berkonotasi
dan sesuai dengan fakta objektif?
Descartes dan Spinoza (1632-1766) berusaha lari
dari kritik di atas, dengan berteduh dibawah dinding rapuh teologi. Descartes
mengatakan bahwa Tuhan maha bijaksana. Dia bukan penipu, maka Dia tidak akan
membekali akal dan mental kita dengan konsep-konsep dusta yang tak berfakta.
Oleh karena itu, lanjut Spinoza, konsep-konsep itu pasti dan selalu benar.
Kesalahan hanya akan terjadi akibat kebebasan manusia. (Principia philosophiae,
rene Descartes hal. 60 terj. Parsi Az Bruno ta Kant, dll)
Dinding teologi ini rapuh, karena dibangun di atas
fondasi epistemologis yang tidak teraduk
matang. Sekali lagi, bagaimana konsep Tuhan, bijaksana, tipu, maha dan
selainnya berfakta atau sesuai dengan fakta? Apalagi seperti bijaksana dan tipu
bukan berupa konsep-konsep inasual.
3.Teori Rekoleksi
Plato menyatakan bahwa konsep-konsep parsial
(pistis-eikasia) diperoleh lewaat indera. Pengetaaahuan ini tidaak lebih daari
dugaan (doxa). Pengetahuann sejati (episteme) adaalah universalia yang disadari
dengan pengingatan kembali, yaitu dengan mempersepsi objek-objek di luar,
karena jiwa pada dasaarnya sudaah mengetahuinya di alam transcendental (idea)
(A History of Philosophy, F. Copleston J.1 pasal 19 terj. parsi, Mujtabawi,
Falsafatuna 52-61, dll).
4.Para filsuf muslim
Berdasarkan uraian-uraian konsep parsial daan
universal, mereka menganalisa bahwa konsep universal logis diperoleh berkat
pengamatan akal atas konsep-konsep selainnya. Sedaangkan universal esensial
muncul berkat aksi akal menyoroti perbedaaan-perbedaaan di antara konsep-konsep
parsial imajinatif, lalu mengabstaksikan dan menyisihkan perbedaaan-perbedaan
itu, hingga menemukan kesatuan yang berlaku pada setiap konsep-konsep
imajinatif tersebut.
Sementara konsep universal filosofis diperoleh
lewat perbandingan dan pengamatan relasi-relasi di antara konsep-konsep parsial
imajinatif. Adapun konsep imajinatif itu sendiri nmuncul dari pengingatan
mental akan konsep-konsep sensual. Dan yang terakhir ini, pada gilirannya,
muncul lewat indera eksoterik atau esoterik (pengetahuan hudhuri).
Dengan demikian, mereka mempertegas aphorisma
abadi Arestoteles, “Man faqada hissan faqad faqada ilman”.(Rasail Falsafi,
Allamah Thaba’thabai, hal. , Hikmatul
Isyraq, Syuhrawardi, hal 278, dll)
Persepsi mental melewati beberapa tahap sebagai berikut:
Pertama adalah tahap persepsi inderawi. Yaitu
hubungan langsung indera dengan suatu objek (eksternal atau internal). Kedua
adalah tahap persepsi imajinatif.
Apabila hubungan indera itu terputus,
saat kita memejamkan mata, misalnya,
maka seketika konsep itu berada dalam
daya persepsi lain, yaitu imajinasi atau intuisi jika dari indera
esoterik.
Dibandingkan dengan tahapan pertama, konsep
imajinatif daan intuitif tidak lagi perlu hadir objeknya langsung daalam skala
jangkauan indera, kendati ketiganya sama-sama berupa parsial dan tidak bebas
dari sifat-sifat khusus fisikal objeknya.
Ketiga adalah tahap persepsi rasional. Di sini mental
mengabstraksi dan menyapu bersih cirri-ciri khusus dari konsep imajinatif dan
intuitif, hingga menemukan kesatuan di antaranya. Dengan demkian, mental
mendapatkan konsep universal. Pada tahapan ini, tidak adaa lagi batang hidung
konsep parsial.
Berdasarkan tahapan ini pula, terbukti adanya daya
persepsi selain indera, imajinasi dan intuisi; daya yang berurusan dengan
universalia. Mereka menyebutnya dengan akal.
(Idrak e Hessi, M.T. Fa’ali, Ma’refat
Shenasi, M. Hosein Zadeh, Amuzesh e Aqa’id, Mohsen Gharawiyan,
bagian epistemology, falsafatuna, dll).
Mazhab Qom tidak membedakan antara persepsi
sensual dan persepsi imajinatif, karena menurutnya, ada dan tiadanya objek di
sekitar indera tidak berdampak terhadap perbedaan apapun pada dua konsep
tersebut. Oleh karena itu, beliau meringkas persepsi mental pada dua tahap;
tahap inderawi plus imajinatif dan tahapan rasional (Al-asfar juz3, hal. 362
komentar Allamah).
`
Uraian di atas dikenal dengan Teori Tajrid wa
Taqsyir (abstraksi) yang umum diterima oleh kalangan filsuf muslim sejak
Arestoteles melontarkannya. Teori ini juga nampak jelas dalam analisa John
Locke (Mausu’ah Al-Falsafah, A. Badawi 2/376) hingga lahirlah Hikmah
Muta’aliyah, inovasi Sadrul Mutaallihin dalam Enseklopedia falsafi; Al asfar Al
arba’ah. Di dalamnya beliau merumuskan
Teori Ta’ali (transendentalia, transendensi); teori yang menyelaraskan dan mengakselerasikan tahapan-tahapan persepsi
dengan strata-strata eksistensi jiwa (nafs), yaitu strata pengindera, strata
pengingat dan strata penalar. Setiap derajat jiwa menciptakan konsep
masing-masing. Oleh karena itu, relasi
antara konsep dan jiwa berupa
penciptaan/emanasi (shuduri atau faydh), berbeda dengan teori tajrid wa taqsyir
yang menekankan pengendapan (hululi/panteistik) dan jiwa bersifat pasif.
Dalam ungkapan lain, saat organ indera berhubungan
dengan suatu objek, jiwa pengindera menciptakan konsep yang sesuai denga objek
itu. Lalu jiwa pada derajat yang lebih tinggi, yaitu pengingat, menciptakan
konsep yang sesuai dengan konsep ciptaan/emanasi jiwa pengindera. Pada derajat
yang paling tinggi (jiwa penalar) menciptakan konsep yang sesuai konsep
ciptaan/emanasi derajat pengingat.
Teori ini dilandasi oleh beberapa premis
(presupposition) filosofis seperti; Ashalatul Wujud, Jasmaniyatul Huduht
Ruhaniyatul Baqa’, Nafs fi Wahdatiha Kulul Quwa, harakah Jauhari daan tiga alam
objektif. (Idrak Hissi, Fa’ali, pasal 3, Al-asfar 3, hal. 360,435, Syash hal wa
Arae Mulla Sadra, J. Asytiyani hal. 123-164, dll)
Teori At-tajrid wa At-taqsyir (abstraksi)
dan teori At-ta’ali (transensensi), kendati ada perbedaan, keduanya
sepakat bahwa tahapan-tahapan persepsi bersifat vertical, berbeda dengan
Fakhrurrazi yang menjabarkannya secara horizontal. (Idrak e Hisssi, T.Faali, pasal 3)
Proses vertikal dalam tahapan-tahapan persepsi
dimulai dari partikularia (yang parsial)
ke universalia (yang general). Sebaliknya, dalam induksi/sillogisme tahapan
berfikir bergerak dari universal ke parsial.
Adanya sekumpulan konsep yang diperoleh tanpa
andil indera, sebagaimana klaim Empirisme. Namun, konsep itu juga bukan
keniscayaan kodrat akal manusia, sebagaimana klaim Rasionalisme, atau
pengingatan kembali sebagaimana teori Rekolaksi Platonian.
Tiga tahapan versi teori Tajrid wa Taqsyir
hanya berlaku pada universalia esensial.
Sedangkan universal filosofis, kendati melalui dua tahapan pertama, namun pada
tahapan ketiga; persepsi rasiaonal, akal
melakukan perbandingan terhadap konsep
imajinatif atau sensual, lalu mencermati nisbah/relasi di antara keduanya dari
aspek atau perspektif terentu, kemudian mengabstarksikan ciri-ciri khusus
keduanya. Misalnya, asumsikan “berfikir”
dan “jiwa pemikir” sebagai dua konsep intuitif yang diperoleh dari pengetahuan
hudhuri, seraya membandingkan dan mencermati nisbah atau relasi antara keduanya
dari aspek kejadiannya, maka kita akan kita mendemukan ketergantungan realitas berfikir pada wujud sang
pemikir.
Ini berarti
kita temukan tiga konsep baru; yang bergantung (berfikir), yang
digantungi/tempat bergantung (sang pemikir) dan relasi unik antar keduanya,
yaitu ketergantungan eksistensial/real.
Lalu, kita mengabstraksikan dan menyisihkan fariabel-fariabel
pembeda/ciri-ciri khusus yang ada pada tiga konsep tersebut, seperti berfikir
dan sang pemikir. Maka, yang tesisa adalah yang bergantung yang biasa kita
sebut dengan akibat, yang digantungi; yang biasa kita sebut dengan sebab, dan
ketergantungan yang dikenal dengan kasalitas. Dengan demikian, kita telah
mendapatkan tiga konsep baru, sebab, akibat dan kausalitas yang biasa
berlaku pada selain “berfikir” dan
“pemikir” yang memiliki relasi demikian.
Dari aspek dan perspektif lain, kita biasa
menemukan konsep universal filosofis lain dari berfikir dan pemikir, seperti
konsep awal, akhir, niscaya, mungkin,
dan sebagainya (Nihayatul Hikmah, Thabathabai hal. 257, Ma’qul e Tsani,
F.Esykevari hal. 226-230).
Sedangkan ‘universal logis’ tidak bisa diperoleh
hanya dengan tiga tahapan persepsi itu. Mental mesti beranjak dari tahapan
ketiga dengan mengamati konsep-konsep yang ada pada semua tahapan sebelumnya;
parsial maupun universal, lalu muncullah konsep-konsep universal yang
menjelaskan sifat-sifat konsep-konsep di tahapan-tahapan tersebut, seperti
pengamatan mental terhadap konsep
manusia (universal esensial) lalu mendapatkannya bisa berlaku atas Budi, Agus dan Luluk dan lainnya. Keberlakuan ini adalah suatu sifat untuk
konsep manusia yang disebut dengan istilah universal.(Ma’qul Tsani, F.
esykevari, hal. 204).
Kini sampailah kita pada tahap keempat; yaitu tahap produksi
konsep-konsep universal logis.
Syarat-syarat Pengetahuan hushuli Assentual
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang
yang hendak meraih pengetahuan assentual adalah sebagai berikut;
1.
Talenta
(Bakat). Yaitu sebuah potensi inheren dalam diri setiap orang agar cara yang
ditempuhnya jitu secara intelektual dan aktual. Evaluasi biasanya dapat
menyingkap dan mengukur kebaradaan potensi pada seseorang untuk melakukan
sebuah pencarian atau penelitian.
2.
Intelektualitas.
Yaitu kemampuan untuk berfikir secara ilmiah. Syarat ini dapat dipenuhi dengan
berlatih melakukan kritik ilmiah. Evaluasi juga dapat mengukur apakah seseorang
memiliki karakter dan mentalitas ilmiah.
3.
Wawasan
ilmiah. Yaitu penguasaan ilmiah terhadap subjek yang hendak dipelajari, atau,
minimal, minat dan perhatian secara memadai terhadap tema yang akan dibahas.
4.
Kejujuran
dalam Mengutip. Yaitu sikap moral yang dapat mengontrol diri agar tidak
menambah atau mengurangi, mendistorsi, dan mereduksi keterangan atau pendapat
yang akan dikemukakan berkenaan dengan tema yang akan dibahas.
5.
Transparansi
dan Keterusterangan. Yaitu bersikap terbuka dalam mengutara-kan pendapat,
karena peneliti adalah pencari kebenaran.
6.
Objektivitas.
Yaitu tidak menyisipkan kepentingan atau pertimbangan individual dan subjektif
dalam mengutarakan pendapat, namun semata-mata karena substansi realnya.
7.
Kejelasan.
Yaitu bahwa peneliti dan pencari kebenaran harus mempunyai tujuan yang jelas,
langkah-langkah yang jelas, dan kesimpulan-kesimpulan yang signifikan.
8.
Metodologi
(Sistematika). Yaitu, bahwa pencari kebenaran atau peneliti hendaknya berpegang
pada sebuah metode ilmiah dalam melakukan penelitian atau pencarian.
9.
Moralitas.
Yaitu, bahwa setiap peneliti dan pencari kebenaran hendaknya menyandang
kesabaran, ketekunan atau ketelatenan, penghormatan terhadap pendapat orang
lain, baik benar maupun salah, sederhana maupun berbobot, rendah hati dan tidak
pongah atau sok pintar. (Ushulul-Bahts, 341-343, Kasyfudh-Dhunun,
1/35-36).
Peringkat-peringkat pengetahuan hushuli assentual
Pengetahuan husuli dapat dibagi, berdasarkan
entensitas kulaitasnya, menjadi tiga:
- Pengetahuan hushuli assentual yang diragukan.
- Pengetahuan hushuli assentual yang diduga.
- Pengetahuan hushuli assentual yang dipastikan atau diyakini.
Sifat-sifat pengetahuan hushuli assentual
Ada beberapa pertanyaan penting berkenaan dengan
pengetahuan asentual atau realitas secara umum, yaitu sebagai berikut:
- Pengetahaun assentual
permanen atau temporal?
Pertanyaan yang sangat penting ini telah mengundang bermacam jawaban.
Para filsuf modern melancarkan kritik tajam terhadap penganut logika klasik
karena alasan ini. Para filsuf modern yang telah bersepakat untuk meyakini
adanya perubahan dalam realitas objektif dan material, menganggap realitas
sebagai sesuatu yang dinamis dan temporal, seperti realitas historis yang telah
berlalu, realitas matematik yang sejak semula tidak memiliki realitas objektif,
rallitas psikis yang senantiasa berubah-ubah.
Sebenarnya realitas itu bersifat permanen sekaligus temporal. Bahwa
Socrates adalah murid Plato pada abad keempat SM adalah realitas historis yang
telah berlalu, namun ke-muridan- Aristo bagi Plato adalah fakta yang permanen.
- Pengetahuan assentual
absolut atau relatif?
Sejumlah pemikir dan filsuf modern menolak realitas absolut dan meyakini
adanya realitas yang relatif. Mereka adalah penganut relativisme.
Penadapat dan aliran ini didasarkan pada anggapan bahwa esensi segala
sesuatu tidak dapat diungkap secara mutlak, karena dipengaruhi oleh
faktor-faktor tertentu, seperti alat pengetahuan dan konteks tempat dan waktu
yang turut mempengaruhi kemunculan pengetahuan dalam diri seseorang sehingga
boleh jadi dua orang memahami suatu objek yang sama dengan dua cara yang
berlainan. Karenanya, kebenaran atau realitas segala sesuatu, menurut mereka,
bersifat relatif.
Klaim bahwa kebanaran dan realitas hanyalah
bersifat relatif tidak dapat diterima, karena bila ada sebuah objek tertentu
yang ditangkap dengan cara yang berlainan oleh tiga orang, mislanya, maka pasti
ditangkap dan difahami oleh salah satu dari tiga orang tersebutlah yang faktual
dan benar, sedangkan yang lainnya pasti salah. Adapun manakah yang sesuai dengan
realitas dan benar secara mutlak, maka itu tidak bersangkutan dengan masalah
relativitas. (Ususul-Falsafah, juz, 189-191).
- Pengetahuan assentual
dinamis atau statis?
Bila sebuah proposisi atau konsep telah dipastikan benar atau valid atau
sesuai dengan realitas objektif, maka ia
(realitas yang telah diketahui tersebut) tidak akan bisa berubah dan
berevolusi sehingga menjadi lebih benar atau validitasnya menanjak?
Ambillah sebuah contoh berupa proposisi historis “Aristoteles adalah
murid Plato” atau propisisi natural “Logam akan memuai karena panas” atau
propisisi matematik “segitiga sama dengan dua sudut tegak” atau proposisi
filsofis “siklus dan suskesi adalah invalid”, lalu pertanyakan: “adakah salah
satu dari proposisi-proposisi tersebut yang berkembang atau terbukti makin
benar”.
Asumsi “keberkembangan” dan “evolusi” yang
dikaitkan dengan pengeteahuan semata-mata akibat dari pandangan dunia
materialisme para filsuf yang melontarkan pertanyaan di atas. Pengetahuan
adalah ide. Ia bukan benda yang dapat berubah, berkembang dan bergerak.
Cara Memperoleh Pengetahuan hushuli assentual
Bagaimana cara membedakan antara pengetahuan
assentual (faktual, Al-Ma’rifah Al-Yaqiniyah, At-Tashdiqiyah) dan pengetahuan
non assentual (tidak faktual, Al-Ma’rifah Al-Kadzibah)?
Rasionalisme telah menawarkan kiat menghindari
kesalahan berfikir dan pengetahuan invalid,
yaitu logika. Aristoteles telah berjasa bagi umat manusia dengan membuat
sistematika berfikir, yang lazim disebut dengan logika klasik atau logika
aristotelian. Pada masa-masa selanjutnya, sejumlah filsuf mengkritik logika
klasik dan memperkenalkan logika modern, seperti logika modern Descates
(Cartesian), logika Hegelian (Dilalektika), dan logika Kantian (Kritisisme).
Namun, bila dikaji lebih dalam, mereka sebenarnya tidak membuat sistematika
yang baru. (Ususul-Falsafah, juz, 171).
Manfaat Pengetahuan hushuli assentual
Dengan bekal pengetahuan rehudhuri assentual, akal
dapat memainkan lima peran sebagai berikut:
- Menghadapi problema (yang belum diketahui).
- Mengenali jenis (macam) problema tersebut
- Berpindah dari problema tersebut ke sebagian data pengetahuan yang
telah tersimpan dalam memorinya.
- Bergerak di antara data pengetahuan tersebut untuk diperiksa, dan
memadukan antara data tersebut dengan problema yang sesuai dengannya guna
menyelesaikannya.
- Berpindah dari data yang telah dipadukannya dengan kesimpulan yang
diharapkan. (Ushulul-Bahts)
Elemen-elemen Pengetahuan hushuli Assentual
Pengetahuan assentual terdiri dari empat pilar:
- Subjek
- Predikat
- Nisbah (kopula) antara subjek dan predikat, seperti adalah, yaitu,
ialah, dll.
- Ketetapan (Penetapan).
Pada dasarnya, substansi assentual terletak pada
pilar ke empat. Tanpa itu, ia kembali berupa konseptual, seperti pada contoh
keadilan Ali (Ma’rifat Shenasi, H. Ibrahimiyyan, hal. 95, Ma’rifat Syenassyi,
M. Hosein Zadeh, hal. , Al-Manhaj Al-Jadid, hal 1/186).
Dua pengetahuan hushuli assentual
Sebagaimana pengetahuan (hushuli) konseptual,
pengetahuan (hushuli) assentual, berdasarkan muatan proposisinya, terbagi dua:
- Pengetahuan assentual ekstemporal (badihi, aksiomatis), yaitu pengetahuan assentual yang diperoleh
tanpa pembuktian
- Pengetahuan assentual non ekstemporal (nazhari), yaitu
pengetahuan assentual yang diperoleh dengan pembuktian/pengetahuan
asentual lainnya.
Selain
dapat dibagi menjadi konseptual (tashawwuri) dan assentual (tashdiqi),
pengetahuan hushuli juga dapat
dibagi menjadi badihi dan nadhari. Masing-masing bagian juga terbagi ke dalam
beberapa bagian, berdasarkan asas pembagian yang berbeda-beda.
Pengetahuan
hushuli dapat dibagi berdasarkan butuh dan tidaknya pada bukti, terbagi
dua;
1.
Pengetahuan
hushuli ekstemporal konseptual
atau apriori konseptual (Al-Ma’rifah
Al-Badihiyah Al-tashawwuriyah). Yaitu pernyataan-pernyataan (premis-premis)
yang dapat dipastikan kebenarannya tanpa bukti apapun, seperti pernyataan
“semua lebih besar dari sebagian” dan “hitam dan bukan hitam pasti tidak
bersatu”. Hanya dengan bekal konsentrasi, indera sehat, dan akal sehat, setiap
manusia dapat memastikan kebenaran dua contoh pernyataan di atas. Sebagian
mendefinisikannya sebagai konsep yang tidak perlu didefinisikan.
2.
Pengetahuan
hushuli non-ekstemporal atau aposteriori
konseptual (Al-Ma’rifah An-Nadhariyah At-tashawwuriyah). Yaitu
pernyataan (premis-premis) yang dipastikan kebenarannya berbadasarkan
pernyataan (premis) ekstemporal atau pernyataan non ekstemporal sebelumnya,
seperti “alam bermula dari tiada”. Kebenaran pernyataan ini dapat dipastikan
karena didasarkan pada dua pernyataan sebelumnya, “alam berubah karena ia
tersusun” dan “semua yang tersusun bermula dari tiada”. Ia juga didefinisikan
sebagai konsep yang perlu didefinisikan.
0 komentar:
Posting Komentar