Bag 05
PENGETAHUAN HUSHULI EKSTEMPORAL
Dua macam Pengetahuan hushuli ekstemporal
Pengetahuan hushuli ekstemporal (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah
Al-Badihiyah), baik konseptual maupun assentual, dilihat dari aspek
kualitas isinya terbagi dua;
- Pengetahuan
ekstemporal prima (Al-Badihiyah
Al-Awwaliyah).
- Pengetahuan ekstemporal sekunda (Al-badihiyah Al-tasnawiyah)
Pengetahuan hushuli ekstemporal prima
Pengetahuan ekstemporal primer adalah bahan baku
“pembuktian langsung”, atau sebuah atau beberapa pernyataan pasti benar yang
menjadi cikal bakal dan dasar bagi setiap pernyataan ekstemporal sekunder
(kedua) dan setiap pernyataan premis non-ekstemporal.
Pernyataan (premis) ekstemporal primer meliputi
dua hukum, hukum non kontadiksi dan hukum kausalitas.
Sedangkan pengetahuan hushuli ekstemporal sekunda
meliputi banyak pengetahuan yang telah dipastikan validitasnya berdasarkan
pembuktian yang didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan ekstemporal prima.
Hukum Non-kotradiksi
Yaitu pengetahuan atau pernyataan bahwa “dua hal
yang berkontradiksi tidak bertemu”,
yang lazim disebut “hukum kontradiksi” atau "hukum non kontradiksi"
(At-Tanaqudh),
Hukum ini merupakan postulat aksiomatis yang disepakati oleh
setiap manusia, secara sadar dan tidak.
Untuk memahaminya, kita perlu menyoroti pengertian
“kontradiksi” dan pengertian “bertemu” yang terkandung dalam hukum tersebut.
Setelah kita mengkaji wacana dialektika secara kritis.
Definisi
“Kontradiksi”
Ia adalah pertentangan mutual antara sesuatu yang
afirmatif dan negatif.
Marx dan para pengikutnya menolak hukum non
kontradiksi dengan beranggapan bahwa dalam setiap gejala dan entitas terjadi
kontradiksi. Namun, mereka salah memahami kontradiksi, karena ternyata yang
dianggap sebagai kontradiksi hanyalah adanya potensia dan aktus dalam setiap
entitas.
Definisi
“bertemu”
Ada sembilan kesatuan (al-wahdah, unitas)
yang seluruhnya merupakan syarat dalam paradoks kontradiksi, yaitu sebagai
berikut:
- Unitas subjek
- Unitas predikat
- Unitas tempat
- Unitas waktu
- Unitas relasi
- Unitas potensia dan aktus
- Unitas ‘seluruh’ dan ‘sebagian’
- Unitas kondisi (syarat)
- Unitas predikasi (penyandangan, Al-haml), yang merupakan tambahan dari Mulla Shadra. (Muhadharat fil-Aqidah,
120, dll).
Masalah kontradiksi atau inversi dan sarat-syaratnya akan dibahas secara rinci
dalam logika.
Hukum Sebab-akibat
Yaitu pernyataan “setiap yang mungkin pasti
membutuhkan sebab”, yang lazim disebut hukum kausalitas (Qanun Al-Illiyah).
Pengetahuan
hushuli ekstemporal sekunda
Pengetahuan ekstemporal kedua (Al-badihiyat Al-tsanawiyah) adalah
pengetahuan-pengetahuan gamblang yang lahir dari pengetahuan-pengetahuan
ekstemporal primer, seperti pengetahuan bahwa “angka 1 lebih kecil dari angka
2.
Lima
Pengetahuan hushuli ekstemporal sekunda
Pengetahuan hushuli ekstemporal sekunder terbagi
menjadi lima;
- Pengetahuan ekstemporal sekunda sensual (Al-musyahadat). Yaitu
premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan
perantara indera lahir atau batin, seperti penilaian (kesimpulan) bahwa
matahari bersinar, api panas dan sebagainya, yang dipastikan oleh akal
dengan bantuan indera lahir, pengetahuan kita tentang nyeri dan lapar yang
ditangkap oleh akal dengan perantara indera batin.
- Pengetahuan ekstemporal sekunda eksperimental (At-Tajribiyat). Yaitu
premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan
perantara indera lahir yang dilakukan berulang kali.
- Pengetahuan ekstemporal sekunda popular (Al-Mutawatirat). Yaitu
premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang bersemayam dalam benak
secara kuat sehingga tidak mungkin akan diusik oleh setitikpun keraguan
terhadap isinya karena diyakini oleh banyak orang, sehingga sulit
dipercaya bahwa mereka bersepakat untuk berdusta, seperti pengetahuan
tentang adanya sebuah kota bernama Isfahan di Iran.
- Pengetahuan ekstemporal sekunda inspiratif (Al-Hadsiyat). Yaitu
premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan
perantara insting, seperti pengetahuan kita bahwa cahaya bulan diperoleh
dari matahari.
- Pengetahuan ekstemporal sekunda intuitif (Al-Fithriyat). Yaitu
premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan
perantara premis itu sendiri, seperti pengetahuan bahwa dua adalah
seperlima dari sepuluh. (Nadhariyatul-ma’rifah 40-42, Hasyiyah
tahdzibul-Manthiq, hal. 111, Al-jauhar An-nadhith, hal. 200-202).
Disebutkan bahwa sebagian muhaqqiq tidak
memasukkan pengetahuan-pengetahuan badihi tsanawi (ekstemporal sekunder)
diatas sebagai ekstemporal. Kaum rasionalis menganggap seluruh premis empiris
bergantung pada pengetahuan-pengetahuan ekstemporal primer. Karena itulah,
pengetahuan ekstemporal sejati hanyalah yang primer atau yang biasa disebut
dengan Al-badihiyat Al-awwaliyat, Usus Al-Falsafah, Thababa’i dan
Muthahhari, 126).
Dua Penafsiran tentang “Badihi”
Para filsuf dan ahli logika memaknakan “tanpa
pembuktian” yang terdapat diakhir definisi pengetahuan badihi dengan dua
pengertian:
- ‘Tanpa pembuktian’ ialah tanpa “perlu” pembuktian (Al mantiq,
M. R. Muzhaffar, hal. 16, Nihayatul Hikmah, harhalatul aqil wal
Ma’qul, dll)
- ‘Tanpa pembuktian’ ialah “tidak mungkin” dibuktikan. Dengan demikian, jika pengetahuan assentual badihi hendak
dibuktikan (dengan pengetahuan assentual lainnya) niscaya berakhir pada
dua implikasi absurd; sirklus dan tasalsul (suksesi). Oleh karena itu,
pengetahuan badihi mustahil dibuktikan.
Dasar-dasar klaim ekstemporalitas
Teori ‘ekstemporalitas’ (Nazhariyah al-badahah)
berdiri di atas beberapa fondasi sebagai berikut:
- Teori ini membagi rangakaian pengetahuan-pengetahuan manusia menjadi
dua. Bagian pertama adalah pengetahuan badihi (ekstemporal, aprior),
sedangkan bagian kedua adalah pengetahuan nazhari (non ekstemporal, aposterior).
- Pengetahuan-pengetahuan badihi terbagi dua. Bagian pertama adalah
pengetahuan ekstemporal primer (Al-badihiyat al-awwaliyah). Bagian
kedua adalah pengetahuan ekstemporal sekunder yang terbagi lima atau enam.
Pengetahuan badihi mencakup pengetahuan subjektif dan objektif.
- Pengetahuan badihi tidak mengalami kekeliruan. Seandainya
pengetahuan badihi bisa salah, padahal ia sumber semua pengetahuan
manusia, maka kebenaran semua pengetahuan manusia tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya ialah bahwa pengetahuan-pengetahuan
manusia bermacam dua; pengetahuan yang bisa keliru, yaitu pengetahuan
aposterior (Al-kasbiyat) dan pengetahuan yang tidak bisa keliru,
yaitu pengetahuan aprior (Al-badihiyat)(Ulum e Payeh, 205).
Ciri-ciri Pengetahuan ekstemporal
Pengetahuan badihi dapat dikenali beradasarkan
ciri-ciri khasnya.
- Pengetahuan-pengetahuan badihi tidak meleset atau keliru.
- Pengetahuan-pengetahuan badihi secara kuantitatif sedikit, namun
memiliki urgensi sangat besar.
- Pengetahuan-pengetahuan badihi tidak memelukan justifikasi dan
pembenaran, bahkan ia merupakan bahan dan alat justifikasi bagi
pengetahuan-pengetahuan manusia yang aposterior.(Ulum e Payeh,
209).
PENGETAHUAN HUSHULI NON EKSTEMPORAL
Pengetahuan hushuli non ekstemporal adalah
pengetahuan yang validitasnya membutuhkan justifikasi dan pembuktian, seperti
‘kurang minum dapat mengggangu ginjal’.
Dua
pengetahuan hushuli non ekstemporal
Pengetahuan
hushuli non ekstemporal, dapat pula dibagi berdasarkan aspek bebas dan tidak
besanya dari nilai kebenaran, dapat diabagi dua;
1.
Pengetahuan
hushuli non esktemporal assentual, seperti pengetahuan seorang ahli metalurgi
bahwa "logam akan memuai jika dipanaskan".
2.
Pengetahuan hushuli
non ekstemporal konseptual, seperti premis ‘ada seseorang berkepala lima di
Nikaragua’
Dua
pengetahuan hushuli non ekstemporal konseptual
Pengetahuan hushuli non-ekstemporal konseptual
(Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah An-Nadhariyah At-Tashawwuriyah) terbagi dua;
- Terma (Al-Had) sempurna
dan tidak sempurna
- Forma (Ar-Rasm) sempurna
dan tidak sempurna.
Dua
pengetahuan hushuli non ekstemporal assentual
Pengetahuan hushuli non-ekstemporal assentual (Al-Ma’rifah
Al-Hushuliyah An-Nadhariyah At-Tashdiqiyah) terbagi tiga;
1.
Pengetahuan
hushuli non ekstemporal-assentual deduktif (At-Tashdiqiyah
Al-Qiyasiyah). Yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui inferensi dari
premis universal (general) ke premis parsial (personal), sebagaimana akan
diterangkan.
2.
Pengetahuan
non ekstemporal-assentual induktif (At-Tashdiqiyah Al-Istiqra’iyah).
Yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui inferensi dari premis parsial
(personal) ke premis universal (general).
Logika modern, sebagaimana dicetuskan oleh Stuart
Mill, juga dilengkapi dengan “lima cara” yang merupakan tata cara melakukan
induksi.
Induksi bisa menjadi dasar yang valid, terlepas
dari deduksi, sebagaimana ditegaskan oleh Muhammad Baqir Shadr.
(Mudzakkiratul-Manthiq, Al-Usus Al-Manthiqiyyah lil-Istiqra, 17-23).
- Pengetahuan non ekstemporal-assentual analogis (At-Tashdiqiyah
At-Tamtsiliyah). Yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui inferensi
dari premis parsial ke premis parsial.
2. Kontroversi seputar ekstemporal dan non ekstemporal Yaitu
Para filsuf dan ahli logika berselisih
pendapat dalam melacak kriteria atau norma aksiomatika suatu konsep dan
membedakannya dari konsep spekulatif.
Pendapat Descartes
Perceptio clara et distincta (jelas dan berbeda)
adalah upaya Descartes dalam mengakhiri pelacakan di atas. Ia memandang
pengetahuan konseptual pada tiga macam:
- Konsep rasional (innate) yang lahir dari kodrat akal, seperti konsep
Tuhan, satu, gerak, dll.
- Konsep sensual (adventitae) yang muncul dari hubungan indera dengan
entitas di luar.
- Konsep fiksial imajinatif (factitae) yang muncul berkat daya khayal
mental, seperti Centaur (makhluk fiktif dalam legenda Yunani kuno, sama
dengan buraq dalam sastra
muslimin).
Descartes menilai bahwa norma di atas ditemukan
pada konsep-konsep macam pertama, sedangkan
dua macam konsep lainnya; sensual dan fiksial, tidak jelas dan tidak
berbeda/istimewa, karena konsep fiksial tidak memiliki fakta objektif,
sementara konsep sensual tidak pasti
sesuai dengan faktanya. (Ma’rifat e Shenasyi, M. Hosein Zadeh, hal. 33, Ma’qul
e Stani, Fanai’ Esykevari, hal. 142, dll)
Kritik
atas Descartes
Norma itu sendiri tidak jelas; apakah pengertian
dan batasan jelas dan berbeda dengan
tidak jelas dan tidak berbeda. Kritik-kritik atas Rasionalisme dan konsep-konsep innate yang tesebut sebelumnya
memberangus norma ini secara prinsipal.
Pendapat Ibnu Sina
Ia mengatakan bahwa konsep-konsep seperti ada,
sesuatu dan satu tidak bisa diperjelas dan didefinisikan oleh konsep apapun.
Konsep-konsep itu jelas dengan sendirinya, karena mutlak dan melipet segala
sesuatu. Teori ini dikenal dengan Al-a’ammiyah atau holitas. (Asy-syifa’
fil- Ilahiyyat, Ibnu Sina hal. 29, Ilmu Kulli Mahdi Haeri Yazdi, hal.
18, dll).
Pendapat M.T Misbah Yazdi
Ayatullah M. T. Misbah Yazdi dan filsuf
kontemporer lainnya serta A.C. Ewing berpendapat bahwa konsep yang diperoleh
melalui persepsi langsung (hudhuri) adalah aksiomatis. Hanya saja,
mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan
‘prsepsi langsung’ itu.
Ayatullah Misbah Yazdi mengidentikannya dengan
pengetahuan hudhuri, sedangkan Ewing memandangnya lebih luas, hingga mencakup
pengetahuan hushuli sensual (sense data), sebagaimana yang dianut oleh
Persepsionisme, seperti Thomas Reid (1710-1796), octave Hamelin (1856-1907),
Victor Cousin (1792-1867), Arthur Schopenhauer (1788-1860), Herbert Spencer
(1820-1903) dan Henri Bergson (1859-1941) (Manhaj jaded, Foundamental questions
of fhilosophy, Ewing hal. 97,107 terj. parsi S. Yusuf Stani, Vicabulaire
Technique et Critique de La philaosophie, Andre Lalande, hal.564, terj. parsi
Gulam ridha Wastiq, dll).
Pendapat Mutahhari
Simplisitas (Basathah) adalah pandangan mutakhir
yang diusulkan Syahid M. Muthahhari (1338 HQ-1358HS) dalam beberapa diskursus
falsafinya. Beliau menjelaskan bahwa
pwndefinisian suatu konsep adalah penguraiannya kepada unsure kesamaan (genus)
dan unsure Keistimewaan (diferentia). Jika suatu konsep tidak memiliki unsure,
dengan kata lain; sederhana (simple) maka ia tidak bisa didefinisikan dan
berhak menyandang gelar badihi (Syarah Al-Mandhumah, M. Muthahhari, terj. Arab.
M. Wahbi 1/26).Descartes di sebagian
statemennya dalam Principia Philosophiae mendukung norma ini.
Pendapat Jawadi Amuli dan Mehdi Haeri Yazdi
Ayatullah Jawadi Amuli dan Ayatullah Mahdi Haeri
Yazdi (1923-1998) Mengembalikan seluruh konsep-konsep;badihi dan nadharinya,
kepada satu induk konsep, yaitu konsep ada (wujud). Menurut mereka, puncak
konsep-konsep badihi adalah konsep ada. M. Haeri Yazdi berargumen bahwa
definisi logis apapun menggunakan genus, dan ia (genus) pada akhirnya
didefinisikan jauhar (substansi) atau aradh (aksiden), sedangkan keduanya
didefinisikan oleh konsep ada; substansi adalah wujud esensi yang tidak pada
suatu objek, dan aksiden adalah wujud
esensi yang ada pada suatu objek.
Dengan demikian, bangunan pengetahuan konseptual
secara analogis serupa dengan hirarki realitas. Di sini, kedudukan konsep sejajar dengan entitas Wajibul Wujud. Ia
jelas dengan sendirinya, sementara Wajibul Wujud ada dengan sendirinya (Rahiq
Makhtum, Jawadi Amuli, Ilmu Kulli, M. Haeri . Yazdi, Ilmu Hudhuri edisi Parsi,
F. Esykevari, dll)
Pendapat Al-Fakhrul-Razi
Fakhrurrazi, Imamul Musyakkikin, meyakini bahwa
semua pengetahuan konseptual adalah badihi (Ganjineh Kherad, M. Hadawi Tehrani,
hal. 1/222) Sebaliknya, John Stuart Mill (1806-1873), William James (1842-1910)
dan Baldwin bersepakat bahwa seluruh
pengetahuan manusia, termasuk akan dirinya, bersifat nadhari (Vocabulaire
Technique et Critique de La Philosophie, Andre Lalande, hal. 564, terj. Parsi
G. R. Wastiqq).
Kedua klaim di atas tertolak dengan validnya aksi
definisi. Lain dari itu, dengan introspeksi mental sejenak, kita akan menemukan
serangkaian konsep yang pada mulanya samar, lalu menjadi jelas berkat definisi.
Dan segala definisi pasti berakhir sebagaiman pada poin di bawah ini.
Konsep-konsep nadhari hanya bisa didefinisikan
dengan konsep-konsep badihi. Anggapan bahwa konsep-konsep badihi masih perlu
didefinisikan adalah invalid, karena akan terjadi tasalsul (degresi/suksesi)
yang pada akhirnya kita tidak akan mendapatkan konsep yang jelas dan
definitive. Dengan kata lain, segala pendefinisian mesti berhulu pada stop
place (klimaks mata rantai) yang dikuasai konsep-konsep badihi. Descartes
pernah menyitir bahwa upaya para filsuf untuk mendefinisikan konsep-konsep
badihi hanya memupuk kekaburannya (Principia philosophia, R. Descartes, terj.
Parsi M. Shani’ie, hal. 45).
Kebadihian dan ekstempralitas suatu konsep tidak berarti tidak memerlukan
penjelasan. Meski, penjelasan yang dimaksu di sini adalah penyadaran (akan
hal-hal yang sudah jelas namun terlalaikan) (Rahiq Makhtum, Jawadi
Amuli, 1/177, Asy-syifa’, Ilahiyyat, Ibnu Sina, hal.29, dll).
Logika
Sesungguhnya logika dapat dianggap sebagai salah satu bagian dari
epistemologi. Namun, karena penting dan tema-temanya sangat luas, ia dipisahkan
dan dijadikan sebagai bidang tersendiri.
EKSISTENSI OBJEKTIF
Maujud objektif, sebagaimana telah dijelaskan,
adalah wujud itu sebagai wujud, yang merupakan realitas universal segala
sesuati.
Mazhab Qom membagi wujud objektif atau realitas
menjadi dua; entitas obhjektif sejati dan entitas objektif artifisial .
Sebenarnya, entitas objektif buatan ini bukanlah
entitas objektif sejati karena ia tidak memiliki eksistensi real objektif.
Sebenarnya ia adalah salah satu dari entitas-entitas subjektif.
ENTITAS OBJEKTIF BUATAN
Entitas objektif buatan (Al-waqi’ Al-I’tibari)
adalah maujud subjektif yang diasumsikan
(diandaikan, dianggap) sebagai realitas objektif.
Ciri-ciri ‘Maujud (objektif) buatan’
Entitas buatan (Al-maujud Al-I’tibari)
memiliki sejumlah ciri khas dan keistimewaan sebagai berikut:
- Entitas buatan bisa diletakkan dan dicabut.
- Entitas buatan mengalami perubahan dan perpindahan
- Entitas-entitas buatan tidak berbenturan dan bertentangan. Dengan
lain bermacam entitas buatan dapat berkumpul dalam satu wadah.
- Hal-hal sejati tidak mesti diterapkan atas hal-hal buatan, karena
domain ‘entitas buatan’ berbeda dengan domain ‘entitas sejati’.
- Sesuatu yang mustahil dalam hal-hal sejati menjadi mungkin dalam
hal-hal buatan.
- Entitas buatan adalah akibat dari dua sebab; material dan efesien.
- Entitas buatan dapat diciptakan dan diadakan pihak yang berkompeten
membuatnya. (Al-Falsafah Al-ulya, 100-101)
Para filsuf ontologi menyebutkan sejumlah contoh
maujud tak hakiki (entitas artifisial, al-maujud al-I’tibari), yang
masing-masing memiliki pengaruh secara khusus,sebagai berikut:
- Posesi atau kepemilikan.
- Pasangan
- Jabatan dan tugas
- Tanah Air dan negara
- Mata uang dan alat taransaksi
- Kelompok-kelompok
- Lencana dan simbol
- Tanda dan rambu-rambu
- Pakaian dan makanan
- Kemenangan dan kekalahan dalam perang
- Kebersihan dan kekotoran
- Ritus dan upacara-upacara keagamaan
- Tradisi dan kultur
- Permainan dan perlombaan
- Ucapan dan bahasa
- Tulisan dan garis
- Satir, pribahasa
- Pujian dan celaan
- Kekaguman dan cinta berlebihan
- Kontrak dan tranasaksi-transaksi
- Perjanjian dan perundingan antar negara (Ushul al-falsafah, juz
1, hal. 251, Al-falsafah Al-ulya, 99-100).
Dua Macam maujud objektif buatan
Manusia hidup dalam berbagai kelompok masyarakat.
Karena itulah mereka menggunakan bahasa sebagai media berkomunikasi dan
berinteraksi antar mereka. Karenanya Maqzhab qom membagi entitas objektif buatan (yang sebenarnya sama
dengan entutas subjektif) menjadi dua;
1.
Eksistensi (entitas subjektif) tekstual atau redakasional (Al-Wujud Al-Katbi). Yaitu
ke-ber-ada-an simbolik berupa tulisan dengan garis-garis dan titik yang
membentuk huruf tertentu sebagai sebagai pengganti wujud objektif benda yang
kita inginkn. Contohnya, ketika kita menyebut benda objektif yang selalu
digunkan sebagai tempat makan, kita memberinya eksistensi simbolik berupa bunyi
dengan sebutan “piring” ( p i r i n g) agar tidak harus menghadirkan “piring
objektif” setiap saat kita mengingat
atau memikirkannya.
2.
Eksistensi (entitas subjektif) verbal (Al-Wujud Al-Lafdhi). Yaitu ke-ber-ada-an simbolik
berupa suara sebagai pengganti benda objektif
ketika kita menginginkannya.
ENTITAS OBJEKTIF SEJATI
Entitas objektif sejati (Al-Waqi’ Al-Haqiqi). Adalah maujud
objektif yang mempunyai efek eksternal.
Wujud sejati atau entitas hakiki terbagi dua;
1. Maujud yang memiliki ke-ada-an mandiri (Al-wujud Al-mustaqil), disingkat ‘maujud mandiri’.
2.
Maujud
yang memiliki ke-ada-an yang tidak
mandiri (Al-wujud
Al-rabith), disingkat ‘maujud tidak mandiri’.
Untuk bergantung pada wujud mandiri, wujud tak
mandiri tidak memerlukan adanya penghubung beruapa wujud ketiga. Artinya, ada
suatu ikatan atau relasi di antara kedua wujud tersebut, namun tidak berupa
wujud lain yang menjadi perantara. Seandainya hubungan wujud tak mandiri dengan wujud mandiri
diperantartai oleh wujud lain, maka ia
(wujud ketiga yang diasumsikan sebagai perantara tersebut), karena berupa wujud
yang tak mandiri, memerlukan wujud keempat yang juga tidak mendiri sebagai
penghubung, dan begitulah
seterusnya. Hubungan atau rabth (bukan
wujud ketiga yang menjadi penghubung atau rabith) ada dalam dua wujud
tersebut; mandiri dan tak mandiri. (Nihayatul-Hikmah, 38, Wujud
Rabith wa Mustaqil, 234).
Mulla Sahdra membagi entitas entitas atau realitas
sejati menjadi dua sebagai berikut:
1.
Entitas
objektif hakiki mandiri. Yaitu
realitas yang menjadi substansi eksistensial.
2.
Entitas
objektif hakiki tidak mandiri. Yaitu realitas yang menjadi predikat pada substansi eksistensial.
Dua Macam ‘maujud sejati tak mandiri’
‘Maujud bergantung’ bermacam dua;
- Maujud atau entitas bergantung yang berdiri di antara dua sisi, yang
disebut dengan Al-Wujud Al-Maquli, seperti wujud relasi-relasi (Al-Idhafat
wa An-Nisab).
- Maujud Wujud bergantung yang berdiri pada satu sisi semata, yang
disebut dengan Al-wujud Al-Ma’luli, seperti wujud ‘akibat’ bila
dikaitkan dengan sebabnya.
Entitas atau realitas yang memiliki wujud mandiri
wujud mandiri hanyalah satu yaitu wujud Tuhan sebagai kausa prima, sedangkan
wujud selainNya hanyalah ‘wujud bergantung’ atau relatif.
Dua macam ‘maujud (objektif sejati) mandiri’
Ada dua maujud yang memiliki wujud mandiri terbagi dua;
1. Wujud mandiri yang ada dengan sendirinya atau untuk dirinya. Yaitu wujud yang menegasi ketiadaan
dari quiditasnya sendiri, seperti spesies-spesies substansial yang meliputi
manusia, kuda dan sebagainya.
2. Wujud mandiri yang ada untuk selain dirinya. Yaitu yang menegasi ketiadaan dari
quiditasnya juga menegasi ketiadaan dari sesuatu yang lain, atau menolak
ketiadaan yang melekat atas quiditas dirinya, seperti wujud ‘sebab’, seperti
wujud ‘ilmu’ yang menolak ketiadaan (ketiadaan ilmu) dari dirinya juga menolak
kebodohann yang merupakan ketiadaan yang melekat atas penyandangnya (substansi
yang menyandang ilmu, Budi, mislanya). (Nihayatul-Hikmah, 40, Al-Falsafah
Al-Ulya, 90).
Mujud (objektif sejati) dinamis dan statis
Entitas
objektif juga dapat dibagi dua;
- Entitas bergerak (dinamis, Al-mawjud Al-Mutaharrik).
- Entitas menetap (statis, al-mawjud As-sakin).
Sebagaimana
telah kita ketahui sebelumnya, kaum materialis
dialektik beranggapan bahwa gerak, dengan semua ragamnya, adalah akibat
dari kontradiksi internal dalam setiap benda. (An-nazhariyah al-maddiyah
fil-ma’rifah, 92). Sedangkan kaum, spiritualis membagi setiap entitas
menjadi dua; entitas bergerak (dinamis, muajud mutaharrik) dan entitas
statis (maujud tsabit).
Definisi ‘gerak’
Gerak
telah dididefinsikan dengan beberapa macam.
1. Definisi kaum spiritualis, yaitu perpindahan dari potensi ke aksi secara
bertahap. Kaitan ‘bertahap’ ditambahkan dalam definisi ini demi mengeluarkan
perpindahan secara drastis satu kali. Namun definisi ini bermasalah, karena ia
tidak mencakup gerak vertikal degradatif (Al-harakah ath-thuliyah
an-nuzuliyah).
2. Definisi kaum materialis, yaitu pertentangan internal antara
materi-materi alam. (Teori Materialisme dalam pengetahuan, Roger Garaudy, 92).
Dua macam gerak
Gerak juga
terbagi dua;
- Gerak vertikal.
- Gerak horisontal.
Dua macam gerak vertikal
Gerak
vertikal bermacam dua;
- Gerak vertikal menanjak atau promosional atau transendental (Al-harakah
Althulliyah Al-shu’udiyah. Yaitu yaitu gerak menuju kesempurnaan,
seperti ‘keberkembangan’ dalam raga-raga yang berkembang, atau proses
kesempurnaan intelektual dan moral manusia. Dengan kata lain, gerak
promosional transendental adalah gerak eksistensial sebuah ‘entitas
bergerak’. Gerak demikian adalah semata-mata keberadaan yang ditimpali
dengan keberadaan.
- Gerak vertikal menurun (Al-harakah Al-Thuliyah Al-nuzuliyah).
Yaitu gerak menuju kekurangan atau degradasi ke belakang dan ke bawah.
Gerak
demikian adalah ketiadaan yang ditimpali dengan ketiadaan sebelumnya.
Lawan
‘gerak degradasional’ adalah
‘kebertinggalan’ atau stagnasi (as-sukun)yang berarti kelestarian dalam
kesempurnaan yang telah tercapai, karena ia ketiadaan tiada, yang berarti
keberadaan.
Gerak horizontal
Pasangan
‘gerak vertikal’ adalah ‘gerak menyamping’ atau gerak horizontal. Ia adalah
pergerakan dari suatu situasi ke situasi lain yang masing-masing sama atau
sejajar dalam kualitas kesempurnaan, sehingga pergerakan tersebut tidak
meniscayakan kekurangan maupun kesempurnaan, seperti gerak transportatif (al-harakah
al-intiqaliyah) atau gerak posisional (al-harakah al-wazh’iyah).
Gerak
semacam ini hakikatnya adalah ketiadaan yang berseiring dengan ketiadaan atau
‘pemakaian’ dan ‘pelepasan’ (lubs wa khul’).
Lawannya
adalah stagnasi (as-sukun) yang tidak mengalami ‘pemakaian’ (keberadaan)
dan sekaligus ‘pelepasan’ (ketiadaan).
Gerak
horizontal adalah gerak non eksistensial (fuqdan) dan eksistensial (wujdan).
(al-falsafah Al-ulya, 191, 193).
Gerak berantara dan gerak tak berantara
Para ahli
ontologi membagi gerak, dari aspek isinya, menjadi dua;
1.
Gerak berantara atau perperantara (Al-harakah
At-tawasuthiyah). Yaitu entitas yang berada antara awal dan akhir, sehingga
apabila diandaikan ia berada di salah satu dari batas-batas jarak yang
ditempuhnya, ia tidak berada di batas sebelumnya dan tidak juga berada di batas
setelahnya. Itu berarti ‘ke-berantara-an’ adalah sesuatu yang ada secara
objektif, karena ia adalah tetap dan tidak mengalami kebaharuan (pembaruan) dan
tidak berjenjang. Kerbaruan (At-tajaddud) dan keberjenjangan (At-tadarruj)
dilihat dari sisi relasi-relasi yang secara bersusulan berhubungan dengan
setiap batas jarak yang ditempuh. Relasi-relasi (An-nisab) di luar
‘keberantaraan’ (At-tawassuth), ia sederhana, tidak terbagi dan tidak
mempunyai bagian.
2.
Gerak tak berantara (Al-harakah Al-qath’iyah). Yaitu entitas yang yang dibayangkan
berupa garis memanjang dan bersambung sebagai akibat dari gerak berantara.
Garis tersebut kian bertambah setiap saat. Ia adalah ukuran yang mengalir dan
tidak stabil (sayyal ghairu qar), seperti garis yang memajang (memuai)
dari turunnya tetesan hujan yang turun dari langit. (Al-falsafah Al-ulya, 193).
Elemen-elemen gerak
Gerak
terdiri atas enam elemen yang tak terpisahkan. Yaitu sebagai berikut:
- Penggerak. Karena gerak adalah hakikat yang relatif
(berkaitan dengan sesuatu di luar dirinya), maka berarti gerak berada di
antara dua pihak; pihak pemberi gerak (penggerak, al-muharrik), dan
pihak penerima gerak (yang bergerak, al-mutaharrik). Karena gerak
adalah sebuah fenomena kosmologis, maka ia tidak akan ada tanpa sebab
efesien (sebab pelaku, al-illah al-fa’ilah). Penggerak adalah kausa
efesien bagi gerak, meski bukan kausa sempurna (al-illah at-tammah).
- Yang bergerak. Ia juga disebut sebagai ‘subjek gerak’.
Karena gerak adalah predikat yang melekat pada sesuatu, dan karena sifat
adalah hakikat yang tidak bisa berdiri sendiri, maka gerak tidak akan ada
tanpa pelaku gerak (al-mutaharrik).
- Titik awal atau titik mula (al-mabda’).
Karena gerak, sebagaimana disebutkan di atas, adalah sebuah predikat bagi
sesuatu, maka ia pasti didahului dengan ketiadaan. Ketiadaannya terjadi
dalam salah satu dari dua proses; Pertama, dirinya (gerak) tiada ketika
subjeknya (subjek gerak) ada. Kedua, gerak tiada ketika subjeknya tiada. Itu berarti gerak bermula.
Ketika gerak akan ada atau bermula, maka berarti gerak berprinsip.
- Titik akhir. Yaitu menjadi titik pemberhentian gerak.
Begitu gerak berakhir, maka seketika terjadi atau bermula-lah stagnasi (as-sukun).
Ada kalanya titik awal (al-mabda’) dan titik akhir (al-muntaha)
bertemu dalam sebagian gerak, sebagaimana dalam gerak-gerak siklus.
- Pola gerak (ath-thariq). Cara gerak terdiri atas
kategori-ketegori, yang apabila ia beragam maka beragam pula geraknya.
Apabila kategorinya kualitatif, maka gerak terjadi secara kualitatif.
Apabila kategorinya kuantitatif, maka gerak terjadi secara kuantitatif.
- Waktu gerak. Karena gerak adalah entitas kosmik yang
tidak tetap, dan karena kontak terus menerus harus selalu ada dalam
entitas-entitas kosmik tersebut, maka gerak termasuk salah satu dari
macam-macam ukuran, dan karena ukuran bisa dibagi, maka ia memelukan
pengukur. Pengukur gerak adalah waktu. Karenanya, setiap gerak bermasa
selalu.
Kausa efesien gerak
Kausa
efesien (sebab pelaku) gerak bermacam tiga;
- Sebab pelaku natural (al-illah al-fa’ilah ath-thabi’iyah).
Yaitu penggerak yang merupakan karakteristik ‘sesuatu yang bergerak’ yang
tak berperasaan.
- Sebab pelaku instingtif (al-illah al-fa’ilah al-iradiyah).
Yaitu kehendak yang menjadi penyebab gerak.
- Sebab pelaku determinan (al-illah al-fa’ilah al-qasriyah). Yaitu
sesuatu di luar subjek yang menjadi penyebab gerak. (al-falsafah Al-ulya,
191, 193)
Gerak dan kategori-kategori
Sebagaimana
kita ketahui bahwa kategori secara umum dapat dibagi dua; aksiden-aksiden yang
berjumlah sembilan dan sebuah substansi. Berdasarkan kaitannya dengan gerak,
seluruh kategori (Al-maqulat) dapat dibagi tiga bagian.
Bagian
pertama terdiri atas kategori-kategori yang mengalami gerak. Yaitu kuantitas (al-kam) seperti pertumbuhan,
kategori kualitas (Al-kaif) seperti gerah dari merah muda ke merah tua,
kategori posisi (Al-wazh’) seperti gerak dari posisi berdiri ke posisi
duduk, kategori tempat (Al-ain) seperti pergi dan kembali.
Bagian
kedua terdiri atas kategori-kategori yang tidak mengalami gerak. Yaitu aksi (Al-fi’l), kategori reaksi (Al-infi’al),
kategori waktu (Mata), kategori relasi (Al-izhafah), dan kategori
pemilikan (Al-jidah).
Bagian
ketiga adalah ketegori yang diperselisihkan, yaitu substansi.
Para
filsuf kuno beranggapan bahwa substansi tergolong kategori yang tidak mengalami
gerak, sebab substansi meniscayakan
lenyapnya subjek gerak, yaitu ‘yang bergerak’, karena ‘yang bergerak’ dalam
semua kategori yang mengalami gerak adalah substansi. Seandainya substansi
menjadi rute gerak, maka niscaya gerak terjadi atau menjadi ada tanpa ada ‘yang
bergerak’ sebagai subjeknya, pahal itu mustahil, karena rute gerak substansial
adalah substansi sendiri, bukan lainnya. (Al-falsafah Al-ulya, 201-203).
Sedangkan
Mulla Shadra beranggapan bahwa substansi mengalami gerak. Itulah sebabnya, ia
dikenal karena panadangannya yang spektakuler tentang ‘gerak substansial’ (Al-harakah
Al-jawhariyahi). Gerak substansial sangat perlu untuk diketahui.
Gerak Substansial
Gerak
substansial, yang dimaksud Mulla shadra, adalah adalah perjalanan (perpindahan)
dari sebuah substansi ke substansi lainnya, sehingga substansi menjadi rute
bagi diri substansi sekaligus menjadi rute perpindahan bagi substansi tersebut.
Jadi, yang bergerak (Al-mutahharik) dalam semua macam gerak adalah
substansi, bukan selainnya. Contohnya adalah gerak yang dialami makanan.
Asumsikan bahwa substansi yang dikonsukmsi manusia itu adalah substansi padat,
ia bergerak menuju kesempurnaan ketika dimakan, lalu menjadi tanaman dan
substansi berkembang. Ia melanjutkan prosesnya dan menanjak dalam
peringkat-peringkat tumbuh-tumbuhan hingga mencapai peringkat tertinggi. Tahap
berikutnya adalah peringkat paling rendah kebinatangan, yang merupakan gerak
dalam kategori substansi, lalu memasuki peringkat kemanusiaan dan menjadi
substansi insani. Dengan kata lain, perpindahan dari makanan ke sperma, dari
sperma ke binatang adalah gerak substansial. (Al-falsafah Al-ulya, 202-206).
Subjek ‘Gerak’
Subjek
gerak substansial adalah subjek yang mengalami segala macam gerak lainnya,
yaitu substansi (Al-jauhar). Hanya saja, subjek yang mengalami
gerak-gerak lainnya adalah substansi berupa spesies yang tertentu (juahar
nau’i mutasyakhkhish), sedangkan subjek gerak substansial adalah substansi
berupa genus yang telah dibatasi oleh spesies dan person (speisies dan person
dalam terminologi filsafat, bukan biologi dan ilmu alam. Substansi genusual
tersebut bergerak dalam spesies-spesies yang berada dalam himpunannya (himpunan
genus tersebut). Jadi, subjek yang bergerak adalah substansi (Al-mutaharrik),
dan rute geraknya juga substansi.
Maujud
objektif ‘bermula’ dan ‘tak bermula’
Maujud
objektif juga terbagi dua;
1. Entitas bermula (hadits). Yaitu maujud yang didahului oleh
ketiadaan atau ke-ada-an sesuatu lain.
2. Entitas tak bermula (qadim, azali). Yaitu maujud yang tidak
bermula dari ketiadaan dan tidak didahului oleh wujud selain dirinya.
Tiga
‘Maujud (objektif) bermula’
Maujud
objektif hadits terbagi tiga;
- Entitas bermula dengan kebermulaan waktu (hadits
zamani).
- Entitas bermula dengan kebermulaan diri (hadits
ztati).
- Entitas bermula dengan kebermulaan
eksistensial (hadits bil-haq).
(Al-falsafah
Al-ulya, 215-223, Nihayatul-hikmah, 276-2790).
Dua
macam ‘maujud (objektif) bermula’
Entitas
non eternal atau maujud hadits dapat pula dibagi dua;
1. Maujud bermula secara relatif (al-hadits al-idhafi). Yaitu
kebermulaan yang didahului oleh sesuatu yang lain.
2. Maujud bermula secara hakiki (al-hadits al-haqiqi). Yaitu
kebermulaan tidak didahului oleh sesuatu yang lain, karena ia bermula dari
ketiadaan.
Maujud objektif
‘Mendahului’, ‘Didahului’, dan ‘Beriringan’
Mazhab Qom membagi enntitas objektif sejati
menjadi tiga;
- Entitas mendahului (Al-maujud Ak-mutaqaddim).
- Entitas didahului (Al-maujud
Al-mutaakhkhir).
- Entitas beringinan (Al-maujud
Al-muqarin). (Al-falsafah Al-ulya, 211-214, Nihayatul-hikmah,
279-281).
Keterdahuluan
Arena ‘keterdahuluan’ sebenarnya cukup sehingga
meliputi wujud objektif sejati dan objektif buatan. Karena itulah ia bermacam-macam. Antara lain sebagai berikut:
1.
Keterdahuluan
berdasarkan aspek ‘keunggulan’ (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur bisy-syaraf),
seperti keterdahuluan ‘yang kuat’ atas ‘yang lemah’.
2.
Keterdahuluan
berdasarkan aspek kewajaran (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur bil-thab’i),
seperti kausa tidak sempurna atas akibat.
3.
Keterdahuluan
berdasarkan aspek kesebaban (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur bil-illiyah),
seperti keterdahuluan kausa sempurna atas akibatnya.
4.
Keterdahuluan
substansial (A-taqaddum wa At-ta’akhkkhur Al-jauhari), seperti keterdahuluan
genus dan defernsia (kategori pembeda) atas spesies (An-naw’).
5.
Keterdahuluan
berdasarkan aspek kesejatian (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur bil-haqiqah), seperti
keterdahuluan wujud (ke-ada-an) atas quiditas (ke-apa-an atau mahiyah).
6.
Keterdahuluan
berdasarkan urutan momentum (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur Ad-dahri),
seperti keterdahuluan penciptaaan atas alam. (Elm e Kulli, 130-131,
Entitas ‘hidup’ dan entitas ‘tidak hidup’
Entitas atau setiap sesuatu yang memiliki
ke-ada-aan objektif bermacam dua;
- Entitas hidup.
- Entitas ‘tidak hidup’
(Al-falsafah Al-ulya, 225-227, Al-asfar
Al-arba’ah, juz 6, hal. 416, Nihayatul-hikmah, ).
Entitas (objektif sejati) sensual dan entitas non sensual
Dalam pembagian terakhir, Mazhab Qum mebagi setiap
entitas objektif menjadi dua;
- Entitas terinderakan (Al-maujud Al-mahsus), yang lazim disebut Al-maujud
Al-maujud Al-maddi. Ia disebut juga dengan materi, lebih tepatnya
adalah raga. Sebagian orang menyebutnya alam.
- Entitas ternalarkan atau entitas tak terinderakan, yang lazim disebut Al-maujud
Al-ma’qul atau Al-maujud Al-mujarrad. Ia disebut juga dengan non materi. (Al-falsafah
Al-ulya, 229-230).
Salah satu
dari entitas tak terinderakan adalah pengetahuan. Para filsuf ontologi Islam
menganggap pengetahuan sebagai sebuah maujud yang abstrak, dan karenanya ia tak
terpisahkan dari ontologi. Inilah salah satu dari ciri pembeda antara filsafat
Islam, terutama filsafat Mazhab Qom, dan filsafat Barat.
ENTITAS OBJEKTIF TERINDERAKAN
Apabila
ke-ada-an telah dibedakan dari ketiadaan, dan
ke-apa-an telah dibedakan dari ke-ada-an, maka tibalah saatnya kita
mempertanyakan apakah ‘yang ada’ itu hanyalah ‘yang berbenda’ (terinderakan)
ataukah ‘yang ada’ bermacam dua; ‘berbenda’ (terinderakan) dan tidak berbenda
(ternalarkan)?
Antara Ontologi,
Kosmologi, dan Epistemologi
Kini kita meninggalkan wacana ontologi atau metafisika murni dan
memesuki wacana kosmologi. Pada
hakikatnya, kosmologi merupakan salah satu bagian atau turunan dari
ontologi. Namun karena sangat luas, dan demi mengikuti sistematika yang telah
dibakukan oleh dunia Barat, maka kita memisahkannya dari ontologi.
Secara tradisional, kosmologi dianggap sebagai cabang metafisika yang
bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai asal dan susunan alam raya,
penciptaan dan kekekalannya, vitalisme atau mekanisme, kodrat hukum, waktu,
ruang, dan kausalitas. Tugas kosmologi mungkin dapat dibedakan dari tugas
ontologi oleh suatu perbedaan tingkat. Analisis kosmologi mencoba mencari apa
yang berlaku bagi dunia ini, dan analisis ontologis berusaha mencari
hubungan-hubungan dan pembedaan-pembedaan yang kiranya berlaku dalam dunia mana
pun juga. Barat memisahkan filsafat tentang materi dan alam semesta dari
ontologi.
Dalam filasafat Mazhab Qom, epistemologi juga
bukan bagian yang terpisahkan dari ontologi atau ‘filsafat pertama’, karena
bidang ontologi meliputi entitas tak terinderakan. Salah satunya adalah al-aql
(intelek). Itulah sebabnya, kosmologi dan epistemologi tidak dipelajari
sebagai bidang filsafat tersendiri, meski dewasa ini ada sejumlah filsuf Mazhab
Qom mulai ikut-ikutan memisahkannya dari ontologi.
Materi Metafisika dan Logika
Mazhab Qom
Perlu
diketahui bahwa materia dalam ontologi tidaklah sama dengan materi atau benda
dalam kosmologi. Materia dalam ontologi tidak berbentuk benda, karena ia
sebenarnya tidak akan ada tanpa forma. Sedangkan materi dalam kosmologi,
terutama dalam filsafat Barat adalah raga, yang merupakan gabungan dari forma
(yang memberikan aktualitas) dan potensia atau materia (yang hanya menerima
aktualitas). Oleh sebab itu kita menyebutnya ‘materia’ dalam ontologi dan
‘materi’ dalam kosmologi. Al-Falsafah Al-Ulya, 159).
Materi dalam Fisika modern lebih cocok dengan Al-jism atau raga
dalam ontologi dan kosmologi Mazhab Qom. Yaitu substansi yang merupakan
gabungan dari Al-maddah (materi)
dan Ash-shurah (forma). Sedangkan Al-maddah (yang juga
diterjemahkan matter oleh para penjerjemah yang kurang mendalami
filsafat Islam), dalam filsafat Islam, adalah
sesuatu (ma’na) yang menyandang forma (shurah). Ia tidak berbentuk,
karena ia hanyalah potensi semata. Ia tidak akan pernah ada (sebagai maddah)
sebelum memperoleh foma (ash-shurah) yang memberinya aktualitas (Al-fi’liyah).
(At-Thashil, 587). Hal inilah yang kerap menimbulkan kerancuan.
Materi (Mawad
Al-qadhiyah) dalam epistemologi, atau dalam filsafat eksistensi subjektif
Islam, juga tidak sama dengan pengertian materi dalam ontologi (filsafat
eksistensi objektif) dan kosmologi. Materi dalam epistemologi dan logika Islam
adalah bahan-bahan yang mengisi proposisi atau pernyataan, sebagai pasangan
dari forma.
Raga dalam
Ontologi Mazhab Qom
Raga adalah substansi yang memiliki tiga dimensi.
(Syarhul-Mawaqif, 351). Raga (Al-jim) adalah sesuatu yang
dikenali dengan indera. (Tafsir Ma ba’da ath-thabi’ah, 1476).
Agar dapat membedakan raga dan non raga, kita
perlu mengenali ciri-ciri khas materi sebagai berikut:
- Ia berada dalam tiga dimensi dan terdiri atas tiga garis bersiku.
- Ia terinderakan.
- Ia mengisi ruang.
- Ia memanjang dalam tiga arah.
- Ia berakhir dan terbatas.
- Ia berbobot.
- Ia bertempat.
- Ia bermasa.
- Ia berada dalam posisi tertentu.
- Ia dapat dibagi secara natural maupun rasional. (Al-Manhaj
Al-Jadid, juz 2, hal. 139-140, Al-falsafah Al-ulya, 170-177).
Materi dan raga adalah sebuah substansi yang merupakan
gabungan dari dua partikal substansial, yaitu materi
’Materi’ dalam Fisika
Pengertian ‘materi’ ini sekurang-kurangnya dapat
dipisahkan menjadi dua kelompok pengertian yang mencakup pengertian ‘materi’
yang dikemukakan sebelum berkembangnya ilmu fisika modern dan pengertian yang
dikemukakan setelah berkembangnya ilmu fisika modern.
Materi adalah setiap entitas padat, cair dan gas
atau ion yang dapat diinderakan. Sebenarnya, definisi ini tidaklah sempurna,
karena ia hanya menunjukkan ciri-ciri khas benda. (Fisika Modern, 7, Kamus
Filsafat, 586-587).
Sebelum berkembangnya ilmu fisika modern, istilah
materi (matter) ini menjadi populer terutama pada masa skolastik, setelah
Thomas Aquinas (1225-1274 M) memperkembangkan ajaran Aristoteles. Beliau
mengemukakan adanya dua macam materi, yaitu materi prima dan materi sekunda.
Yang dimaksudkan dengan materi prima (prime matter) atau hyle adalah
potensialitas murni yang tidak mempunyai pencirian positif apapun. Hyle atau
materia prima ini akan merupakan barang sesuatu tertentu yang bereksistensi
dengan cara bersatu dengan bentuk atau morph. Gabungan antara hyle dan morph
inilah yang kemudian dapat diidentifikasi sebagai mislanya saja emas, preak,
atau yang lainnya. Dan gabungan antara hyle dan morph sebagai bentuk
substansial (bentuk yang menyebabkan barang sesuatu menjadi barang sesuatu
tertentu) yang demikian ini digolongkannya sebagai materia sekunda. (Rudolf
Allers, 1975).
Dewasa ini pengertian materi pada umumnya
diartikan semakna seperti yang dimakudkan Thomas Aquinas sebagai materia
sekunda tersebut. Herndaknya dimaklumi bahwa selama ini para filsuf belum
mempunyai pendapat yang sama mengenai signifikansi dari materi atau benda
material ini. Oleh karena itu, dalil utama dari materialisme yang berbunyi “every
thing that is, is material.” (Setiap sesuatu apapun yang ada itu bersifat
material) selama ini masih mempunyai cakupan arti yang bermakna ganda.
Untuk menjembatani perbedaan pendapat ini, maka
kemudian materi atau benda material tersebut didefinisikan sebagai peradaan
yang terdiri dari bagian-bagian proses yang mencakup berbagi kualitas fisis.
Kualitas-kualitas fisis ini antara lain posisi ruang dan waktu, ukuran, bentuk,
kealaman, massa, kecepatan, soliditas, inersia, kandungan listrik, gerak
(spin), kekakuan (rigiditas), suhu, dan kekerasan (hardness).
Daftar kualitas fisis tersebut masih bersifat
terbuka bagi penambahan, namun yang sudah dapat dipastikan adalah bahwa
semuanya itu terdiri atas berbagai ciri yang merupakan objek ilmu fisika.
(Keith Campell, 1967).
Secara singkat, sifat-sifat fisis tersebut dapat
diungkapkan sebagai: sifat publik, sifat dapat dikontrol, non mental, alami,
atau tercerap indera.
Pernyataan-pertanyaan seperti “apa yang terhitung
sebagai suatu peradaan fisis?” dan “apa yang terhitung sebagai milik dari
kebanyakan peradaan fisis tersebut?” tidaklah dikemukakan jawabannya yang
pasti. Konsekuensi dari kenyataan tersebut, jawaban-jawaban terhadap
pertanyaan: “apakah suatu benda material tersebut?” dan “apakah yang
dimaksudkan oleh materialisme dengan ‘materi’ tersebut?” juga tidak mendapatkan
jawaban-jawaban yang pasti pula. Yang jelas, dapatlah dikemukakan bahwa
kesadaran, ketertujuan, aspirasi, dan kecakapan mencerap atu mengindera
tidaklah tergolong kualitas materi tersebut.
Agar dapat diperoleh gambaran yang lebih luas,
uraian Louis Kattsoff (1953) yang mengkaitkan pengertian materi dengan
pengertian evolusi yang akan dikutip berikut ini perlu dimengerti dengan baik.
“Istilah pokok yang melandasi ajaran materialisme
adalah ‘materi’. Isitilah pokok yang melukiskan perkembangan ialah ‘evolusi’.
Materialisme modern menolak pengertian mengenai atom-atom yang bersifat keras.
Sebagai penggantinya digunakan istilah-istilah seperti ‘relasi’, ‘pola’,
‘proses’, dan ‘tingkatan’.
Jika orang mempertanyakan apakah yang dimaksud
dengan istilah ‘materi’, jawabannya mungkin berupa pengertian-pengertian
kelestarian, sebab akibat, keadaan sebagai benda mati, dan suatu kerangka ruang
dan waktu. Dikatakan bahwa istilah ‘materi’ hendaknya dipakai untuk hal-hal
yang bersifat material, baik yang bersifat makroskopis maupun yang bersifat
mikroskopis. Dan inilah hal-hal yang bersifat lestari dalam kerangka ruang dan
waktu.
Dikatakan pula bahwa pelbagai tingkatan kenyataan
perkembangan melalui proses yang rumit yang berasal dari materi dalam
tingkatannya yang lebih rendah. Meski demikian, pada hakekatnya evolusi
merupakan pemolaan kembali, suatu penyusunan yang baru dan yang lebih
berliku-liku dari materi. Dalam hal ini tidak ada hal-hal lain yang terrsangkut.”
Berdasarkan penelitian sain, telah diketahui bahwa
materi dan energi adalah dua forma bagi satu kuantitas fisik, yang apabila
muncul sejumlah energi, maka kemunculannya sama dengan perubahan materi dalam
jumlah yang sama, demikian sebaliknya. Atas dasar penemuan ini, maka
sifat-sifat padat, cair dan gas, mengisi ruang dan sebagainya hanyalah aksieden-aksiden yang baru melekat
benda.
Materialisme, Spiritualisme dan Dualisme
Klaim bahwa indera adalah alat satu-satunya bagi
pengetahuan assentual memberikan konsekuensi fundamental, yaitu materialisme.
Sedangkan klaim bahwa hati adalah adalah alat yang paling tepat untuk menangkap
realitas memberikan konsekuensi spiritualisme atau dualisme.
Menanggapi ada dan tidak adanya entitas dan
realitas di balik materi, para penganut realisme terbagi dalam tiga aliran
besar;
1.
Materialisme.
Yaitu aliran yang mengklaim bahwa materi tidak bermula dan tidak berakhir.
Semula pandangan ini dicetuskan oleh Heraklitos (480-576 SM) yang berkata:
“alam hanya satu, tidak diciptakan Tuhan atau manusia manapun. Ia telah, sedang
dan akan ada serta hidup selamanya. Ia akan menyala dan padam selalau sesuai
dengan norma-norma pasti”.
2.
Spiritualisme.
Yaitu aliran yang menolak keberadaan
materi dan hanya meyakini keberadaan spirit absolut, dan bahwa manusia dan
roh-roh terbatas lainnya adalah produkNya. Aliran ini berpandangan bahwa
realitas terakhir, yang mendasari realitas adalah roh. (Kamus Filsafat, 1035,
Kamus Teori, 106, Al-Mausu’ah Al-Falsafiyah).
Dalam perkembangan sejarahnya, immaterialisme atau
idealisme mengalami perubahan dan berpencar-pencar, seperti immaterialisme
Berkeley (Kamus teori, 108, Kamus Logika The Liang Gie).
Dualisme.
Yaitu aliran yang meyakini adanya dua macam realitas; realitas material dan
realitas spiritual, dan menganggap keberadaan realitas spiritual lebih utama
dan mulia dari realitas material. (Kamus Filsafat, 173-174, Pengantar Filsafat,
73-74).
0 komentar:
Posting Komentar