Bag 06
Materialisme
Menurut pendapat Harold H. Titus dan kawan-kawan
(1984, hlm. 293), pengertian ‘materialisme’ sekurang-kurangnya dapat diderkati
lewat dua definisi sebagai berikut:
- Materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang
berada sendiri dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam,
dan bahwa akal dan kesadaran (consciousness) termasuk di dalamnya segala
segala proses psikis merupakan bentuk dari materi tersebut dan dapat
disederhanakan menjadi unsur-unsur fisis.
- Materialisme merupakan suatu doktrin alam semesta yang beranggapan
bahwa dunia ini dapat ditafsirkan seluruhnya dengan ilmu kealaman.
Sebenarnya istilah ‘materialisme’ tidak hanya
menunjuk pada teori dan doktrin seperti yang dikemukakan oleh Titus tersebut
diatas. Secara luas pengertian dari ‘meterialisme’ pernah dikemukakan oleh
Morris T. Keeton (1975) yang dalam garis besarnya antara lain mencakup
signifikansi arti sebagai di bawah ini.
Prinsip-prinsip Materialisme
“Materialisme” adalah suatu proposisi mengenai
yang ada (the existent) atau yang nyata (the real) yang menyatakan:
- bahwa yang ada atau yang nyata hanyalah materi;
- bahwa materi pendukung yang utama atau fundamental dari alam
semesta;
atomisme
- bahwa yang ada atau yang nyata hanyalah entitas, proses, atau isi
yang terindera;
- bahwa alam semesta tidaklah diatur oleh intelejensi, maksud, atau
sebab-sebab yang bertujuan;
- bahwa entitas-entitas, proses-proses, ataupun kejadian-kejadian
mental disebabkan semata-mata oleh entitas-entitas, proses-proses, atau
kejadian-kejadian yang bersifat material;
Pengertian “Materialisme”
- ‘Materialisme’ merupakan suatu proposisi mengenai penjelasan tentang
yang ada atau yang nyata yang menyatakan:
- bahwa setiap hal dapat dijeaskan melalui artian-artian materi dalam
geraknya, atau materi dan energi, atau materi bersahaja;
- bahwa segala perbedaan kualitatif dapat direduksikan kepada perbedaan-perbedaan
kuantitatif;
- bahwa satu-satunya objek ilmu yang dapat diselidiki adalah yang
fisis atau yang bersifat material.
- ‘Materialisme’ merupakan suatu proposisi mengenai nilai yang
menyatakan: bahwa kesejahteraan, kepuasan-kepuasan ragawi, kenikmatan-kenikmatan
inderawi, atau semacamnya merupakan atau satu-satunya nilai atau nilai
paling tinggi yang dapat diusahakan atau dicapai oleh manusia.
- ‘Materialisme’ merupakan suatu proposisi mengenai penjelasan dari
sejarah manusia yang menyatakan: bahwa tindakan-tindakan manusia dan
perubahan kebudayaan manusia ditentukan semata-mata atau sebagian besar
oleh faktor-faktor ekonomi (determinisme ekonomi).
- ‘Materialisme’ adalah suatu sikap, postulat, hipoteisis, pembenaran,
asumsi, atau tendensi, yang menyokong salah satu dari proposisi-proposisi
yang tersebut diatas.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, istilah
‘materialisme’ dimakudkan menunjuk pada materialisme ekstrim yang pengertiannya
cenderung sesuai dengan signifikansi arti dari istilah ‘materialisme’ seperti
yang dikemukakan oleh Keeton.
Walaupun terdapat berbagai perbedaan pendapat yang
menyolok di antara penganutnya (seperti yang akan diterangkan di bawah), namun
ada sejumlah pendirian di bidang ontologi yang merupakan kesatuan pendapat dari
materialisme dewasa ini. Roy Wood Sellars mengungkapkan pendirian di bidang
ontologi dari materialisme itu sebagai berikut. (Kattsoff, 1953).
Pengertian yang jelas mengenai materi dapat
diperoleh berdasarkan sejumlah kategori yang ditetapkan secara empiris, seperti
yang dihubungkan, eksistensi, kegiatan sebab-akibat, yang dihubungkan dengan
fakta-fakta empiris yang terinci mengenai struktur, gerak-gerik dan kapasitas
keruangan tertentu. Kategori-kategori semacam ini diperoleh dengan cara
pemahaman akali terhadap cerapan indera dan kesadaran-diri.
Materialisme yang sudah dewasa tidak bersifat
reduktif (mengembalikan segala sesuatu kepada satu jenis substansi saja) dan
tidak akan bersifat mekanis atomistis.
Alam semesta, menurut materialisme, adalah abadi,
dan sebagai suatu keutuhan tidak mengarah secara lurus kepada suatu
tujuan tertentu.
Budi seperti halnya pada satuan fisis adalah
memiliki sejumlah kategori fisis dan berkenaan dengan kegiatan-kegiatan dan
kemampuan-kemampuan dari diri yang organis pada tingkat fungsi otak.
Substansi-substansi material atau kesinambungan-kesinambungan yang bersifat
material terjadi dan rusak dalam arangka kelestarian peradaan yang bersifat
material secara intrinsik.Kesadaran merupakan suatu sekat kualitatif yang di
dalamnya manusia berpartisipasi sesuai dengan fungsinya.
Secara umum materialisme adalah sebutan bagi
sekelompok doktrin mengenai sifat dasar dunia yang mengemukakan bahwa materi
menduduki posisi primer dan budi atau jiwa berkedudukan sekunder, tergantung
pada materi, atau bahkan tidak ada sama sekali. Materialisme yang ekstrim
menyatakan bahwa dunia nyata ini terdiri atas benda-benda material yang beragam
dalam keadaan saling berhubungan, dan tiada hal lainnya apapun.
Sedangkan dalil utama materialisme mencakup:
Pertama: ”Everiything that is, is material”
(Barang sesuatu apapun yang ada bersifat material).
Kedua: “Barang sesuatu apapun yang dapat ditangkap
, dapat dijelaskan dengan berlandaskan pada hukum-hukum yang hanya melibatkan
anteseden-anteseden kondisi-kondisi fisis”. (Keith Campbell, 1967).
Evolusi dalam Materialisme
Sebagaimana disebutkan diatas, materialisme telah
mengalami perubahan-perubahan substansial seiring dengan perkembangan zaman dan
bertambahnya penemuan-penemuan baru dalam dunia fisika.
Materialisme Klasik
Di Athena Epicurus (342-270 SM) mendirikan sebuah
sekolah yang mengajarkan materialisme sebagai satu-satunya landasan untuk hidup
yang baik, suatu hidup yang cerah dan tenang, bebas dari ketahyulan. Tafsir
keliru dari etika ajarannya itu mengakibatkan Epicurus tergolong sebagai tokoh
materialisme klasik yang paling terkenal.
Ia menerima landasan idea dalam “Great diakosmos”
tetapi memberikan suatu modifikasi mengenai asal mula dunia. Menurutnya,
atom-atom yang jumlahnya tak terhingga berjaTuhan melalui ruang yang tak
terbatas luasnya. Selanjutnya ada dua konstruksi dari sistem Epicurus: (Keith
Campbell, 1967).
Atom-atom yang lebih berat dan lebih cepat
kadang-kadang secara tidak langsung menghantam atom-atom yang lebih ringan dan
lebih lambat, mengakibatkannya menjadi berkecepatan yang menyimpang dan lebih
rendah. Semua atom berjaTuhan dalam kecepatan yang seragam, dan
penyimpangan-penyimpangan awal dari gerak vertikal yang sejajar terjadi secara
tanpa dapat tanpa dijelaskan.
Apun sebabnya, penyimpangan-penyimpangan posisi
tersebut mengakibatkan bertambahnya benturan dan penyimpangan dan terbentuknya
pusaran-pusaran. Dari pusaran-pusaran ini, tersusunlah atom-atom. Jumlah atom
dalam peristiwa di atas tak terbatas, sehingga penyusunan atom dapat selalu
dapat terjadi pada setiap kejadian. Dunia dengan badan-badan benda hidup
organis yang menakjubkan ini, hanyalah merupakan satu di antara susunan-susunan
tak teralakkan yang tak terbatas jumlahnya yang menjadi arah jatuh dari
atom-atom yang abadi itu.
Materialisme kuno dijabarkan oleh Epicurus dan
Louseep, murid Demokritos dan Nosivan. Epicurus mengatakan, alam pada asalnya
adalah substansi-substansi atau atom-atom yang tak dapat diinderakan, dan
karena padat atau kerasnya, ia tidak dapat dibagi. Sedangkan menurut Loseep,
keberagaman alam disebabkan oleh berhimpunnya sejumlah atom. Setiap ragam
(spesies) tersebut akan lenyap bila bagian-bagiannya lenyap. (Al-Falsafah
Al-Yunaniyah, 88, 90, 92, Muhadharat, 176-178, dll).
Kelemahan-kelemahannya:
Interpretasi keberagaman alam sebagai tarik
menarik antara sesama spesies serupa meniscayakan pengakuan akan adanya sesuatu
yang non bendawi yang menarik sesuatu serupa ke arah serupanya yang lain.
Konseuensi ini bertentangan dengan materialisme.
Asumsi bahwa atom tidak dapat dibagi karena
kepadatan dan kekerasannya, sebagaimana pendapat demokritos, secara rasional
tidak tertutup kemungkinan ia dapat disusun dari beberapa unsur yang lebih
lembut, selama ia mempunyai bentuk geometris.
Karena kelemahan-kelemahan di atas, Epicurus dan
para epicurian merevisi materialisme kuno dengan beberapa pandangan baru.
Epicurianisme beranggapan bahwa atom-atom bergerak bukan akibat dorongan
eksternal, karena, sebagai kausa prima alam, ia tidak membutuhkan apapun. (Ar-Rihlah
Al-Yunaniyah, 274-275, Al-Falsafah Al-Yunaniyah, dll).
Lalu, bagaimana ia dapat bergerak tanpa ada sebab
eksternal? Epicurus menjawab, dalam setiap ada secara pre-eternal (azali)
terdapat gerak yang merupakan bagian dari substansinya yang tak akan pernah
berpisah, karena setiap atom mengandung bobot berat yang dapat menggerakkannya
secara vertikal dari atas ke bawah dalam kehampaan yang tak berhingga, selama
tidak diselewengkan arahnya oleh suatu sebab eksternal. (Muhadharat,
178-180).
Secara ilmiah, telah terbukti bahwa kehampaan yang
diasumsikan sebagai ruang berenang atom-atom adalah kemustahilan, dan anggapan
bahwa atom-atom bersifat sederhana (homogen, tak dapat dibagi) adalah salah.
(Falsafatuna, 122-123, Ar-Rihlah Al-Madrasiyah, 274-276, Muhadharat, 181).
Dengan demikian, jelaslah kebingungan para
penganut materialisme kuno dalam menyelesaikan problema “asal usul alam”.
Materialisme Mekanik
Pada permulaan era modern, kaum materialis, dengan
berijak pada teori fifika Newton, menginterpretasikan munculnya gejala-gejala
alam berdasarkan gerak mekanik , bahwa setiap gerak adalah akibat dari suatu
kekuatan penggerak tertentu yang memasuki benda bergerak dari luar. Inilah yang
disebut dengan Materialisme Mekanik.
Dari hasil perenungan para filsuf kita telah
memperoleh warisan berupa dua tafsir yang berbeda tentang dunia. Tafsir yang
pertama adalah cara berpikir yang terungkap dalam karya-karya Pythagoras,
PLato, dan Aristoteles, yang berpandangna bahwa keteraturan dunia ini
disebabkan oleh adanya budi (mind) dan tujuan (purpose). Tafsir lainnya
berpendapat bahwa alam ini dapat dijelaskan hanya sebagai gerak. Aktivitas
kejiwaan hany merupakan gerak- atom-atom yang sangat halus dan labil. Tafsir
seperti ini terungkap dalam uraian atomisme kuantitatifnya Demokritus yang
merupakan karya sistematis pertama dari materialisme mekanis. Dan pandangan
yang sama telah dikembangkan lebih lanjut oleh Epicurus dan Lucretius.
Setelah Descartes (1596-1650), yang mengakui
adanya hal-hal yang tidak bersifat kebendaan, menggunakan konsep-konsep mekanis
dalam menafsirkan dunia fisis, Thomas Hobbes (1588-1679) telah melangkah lebih
jauh lagi dengan menyajikan suatu aliran materialisme yang mekanis sepenuhnya.
Hidup digambarkannya sebagai gerak dalam budi dan merupakan sistem syarat.
Kemudian dalam abad ini kebanyakan para fisiolog, biolog, dan psikolog,
menggunakan tafsir fisis dan mekanis dalam menjelaskan gejala hidup dan
manusia.
Menurut pandangan materialisme mekanis,
satu-satunya dunia yang dapat diketahui
adalah dunia yang tercerap oleh indera. Bagi mereka semua fenomena dapat
dijelaskan melalui cara-cara seperti yang dipakai oleh ilmu-ilmu kealaman;
dengan demikian konsep mekanisme, determinisme, dan hukum alam, mempunyai
aplikasi universal. Budi dan aktivitas-aktivitasnya merupakan behavior
(keperilakukan benda hidup). Dengan demikian psikologi merupakan penyelidikan
tentang perilaku, sehingga otak maupun kesadaran dijelaskan sebagai
tindakan-tindakan otot, syaraf, dan kelenjar-kelenjar. Dan segala proses
tersebut dapat dijelaskan dengan fisika dan ilmu kimia. Sedangkan nilai dan
hal-hal yang ideal hanya bersifat subyektif bagi situasi dan hubungan-hubungan
fisis yang tertentu.
Perubahan yang terjadi pada atom maupun pada
manusia dianggap sebagai bersifat kepastian, dan tercakup dalam rangkaian sebab
akibat yang bersifat sempurna dan tertutup. Rangkaian kausalitas ini tidak
memerlukan landasan ide dalam bentuk tujuan (purpose), tetapi semata-mata dapat
dijelaskan dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmu kealaman.
Mekanisme atau materialisme mekanis merupakan
doktrin yang menyatakan bahwa alam diatur oleh hukum alam, yang jika
data-datanya terkumpul dengan lengkap, hukum alam tersebut dapat dituangkan
dalam bentuk-bentuk matematika. Ini merupakan suatu bentuk pandangan metafisis
yang memperluas cakupan konsep mesin untuk diberlakukan terhadap segala proses
yang organis maupun bukan organis yang semuanya dianggapnya bersifat mekanis.
Banyak filsuf berpandapat bahwa sebab-sebab
mekanis dapat dipergunakan ilmu untuk menjelaskan segala sesuatunya, maka
kepercayaan terhadap Tuhan dan tujuan alam sudah tidak relevan lagi. Lebih dari
itu, hidup hanya merupakan proses fisiologis adan hanya mempunyai arti
fisiologis. Di samping itu, berhubung mekanisme percayabahwa segala aktivitas hanya
mengikuti hukum alam fisis, dan bahwa gerak stimulus dan respons dalam sistem
syaraf itu bersifat otomatis dan mekanis, maka kesadaran terpaksa harus
dianggap hanya sebagai fenomena yang menyertai proses badanlah atau emanasi
otak (ephiphenomenal), sedangkan fikiran hanya merupakan gerak otak atau
perkataan yang tak terucapkan (subvocal speech). Manusia berada dalam keadaan
terkondisi dalam melakukan reaksi terhadap obyek-obyek yang merupakan acuan
dari perkataan termaksud.
Dengan demikian jelaslah bahwa pandangan mekanisme
ini mengandung suatu determinisme serta bertentangan dengan kebebasan memilih
dan bertindak.
Materialisme mekanis menarik dan sangat
berpengaruh karena kesederhanaan pandangannya. Seperti halnya pada pnadangan
realisme yang naif, bagi pandangan ini yang nyata hanyalah hal-hal yang dapat
tercerap indera secara langsung atau melalui alat verifikasi eksperimental.
Cerapan indera merupakan ukuran kebenaran. Dan dengan menerima pendekatan yang
demikian ini, orang merasa terbatas dari banyak problema tentang kenyataan yang
telah beradab-abad membingungkan dirinya.
Usaha untuk memenuhi kebuTuhan pokok untuk hidup,
seperi makanan, pakaian dan perumahan, merupakan problema yang selalu ada dan
dihadapi oleh setiap orang. Fakta bahwa benda fisis sangat menentukan dan
mutlak bagi kelangsungan hidup manusia amat mengesankan hati seorang
materialis. Baertolak dari ini orang lalu beranggapan bahwa benda-benda
material merupakan satu-satunya yang nyata dalam kehidupan, dan bahwa hal-hal
yang immaterial bersandar pada hal-hal yang material. Dengan demikian mudahlah
difahami bahwa orang lalu mudah bergeser untuk tertarik dan terpengaruh oleh
pandangan filsafat yang menganggap bahwa hanya benda-bendalah yang nyata. (Durus fil Aqidah Al-islamiyah, 143, Muhadharat
180-182, dll).
Materialisme Dialektik
Runtuhnya materialisme
mekanik mendorong para pengikut materialisme untuk berusaha mencari sebab lain
untuk menginterpretasikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam alam ini, atau
minimal, berusaha menginterpretasikan sebagian gerak secara dinamik, agar dapat
berasumsi (baca:berfantasi) tentang adanya semacam dinamisme subjektif
(inheren) dalam benda.
Materialisme dialektik timbul
dari perjuangan sosial sebagai akibat dari revolusi industri. Pandangan ini
sangat erat kaitannya dengan Karl Marx (1820-1895), terutama dalam menuliskan
dasar-dasar pikirannya dalam buku-buku: “Die hellige familie (1845),
Communistisch Manifest (1848), National Ekonomie und Philosophie (1844), dan
Das Kapital (1867).
Dengan mengadopsi teori
idealisme Hegel yang idealis dan teori materi-nya Feurbach, dua tokoh pendiri
Materialisme dialektik Marx dan Engels, menganggap pertentangan internal dalam
setiap gejala material sebagai penyebab gerak. Di samping meyakini
prinsip-prinsip materialisme (keabadian, pre-eternitas materi) dan
ketidak-terciptaannya, serta gerak general dan interaksi antar gejala-gejala,
mereka mengetengahkan tiga prinsip untuk menginterpretasikan
(mengargumentasikan) asumsi-asumsi mereka. (Tarikhul-Falsafah, 274-278,
Dasar-dasar Filsafat Marxisme, terj. Arab, , 232-233, Das Capital
terjemahan Arab juz 1, hal. 29, Filsafat Materialisme dan Idealisme dalam
filsafat, terj. Arab, 83).
Marx dipengaruhi oleh Hegel
dan Feurbach. Ia mendapat pengaruh Hegel tentang metode dialektik dan pendapat
tentang hubungan erat antara filsafat, sejarah dan masyarakat. Sedangkan dari
Feurbach ia mendapat pengaruh mengenai kecenderungan untuk menerangkan hal-hal
yang bersifat kedanan, dan juga mengenai pengarahan minat terhadap manusia yang
hidup dalam masyarakatnya.
Hegel (1770-1831) seorang
idealis Jerman yang tulisannya mempengaruhi Marx itu beranggapan bahwa alam ini
merupakan suatu proses menggelarnya pikiran-pikiran (ide). Dari ide ini
kemudian timbullah proses alam, organisme, sejarah manusia, dan kelembagaan
masyarakat. Pikiran atau jiwa merupakan esensi alam, sehingga lebih nyata
diabanding dengan materi. Marx membalikkan filsafat idealisme Hegel dengan
menyatakan bahwa yang utama bukanlah jiwa atau ide melainkan materi.
Meski menolak idealisme
Hegel, Marx dan Engels menerima secara total metodologi filsafatnya. Menurut
Hegel, alam ini selalu dalam proses perkembangan yang bersifat dialektis.
Artinya, ia beranggapan bahwa perubahan-perubahan ini selalu berlangsung
melalui tahp-tahap afirmasi, atau tesis, negasi atau antiteisi, dan pada
akhirnya sampai kepada integrasi atau sintesis (Titus, dkk, 1984, Durus,
144, Muhadharat, 180-182, AR-Rihlah Al-Madrasiyah, 276-278, Falsafatuna,
122-123).
Materialisme dialektik adalah
suatu tipe dari materialisme. Aliran ini mempunyai banyak kesamaan dengan
materialisme mekanik atau mekanisme. Pengaruh materialisme dialektik lebih
banyak ditentukan oleh daya tarik metode dialektik yang diterapkan guna
menganalisis perubahan sosial dan perkembangan masyarakat.
Metode dialektik Marx sangat
menarik bagi kelompok sosial yang tertindas dan berusaha untuk melepaskan diri
dari kemiskinan. Hal ini terbukti dari fakta-fakta sejarah yang memicu
tercetusnya revolusi menjelang berdirinya lembaga pemerintahan atau
negara-lembaga pemerintahan atau negara blok komunis yang menjadikan komunisme
sebagai ideologi resmi, seperti di Rusia dan RRC. Pandangan Marx telah
dikembangkan dengan berbagai macam interpretasi oleh Lenin, Stalin, Mao Tse
Tung, dan terakhir oleh Marcuse, Habermas, Gramcy dan Gidens. (Harold H. Titus,
1984, Dasar-dasar Filsafat, 11.43, Muhadharat fil Aqidah, 186-188).
Klaim
pertama
Kaum materialis dialektik
beranggapan bahwa, karena realitas alam material adalah energi dengan bentuknya
yang bermacam-macam, sedangkan energi global bagi sebuah sistem yang terpencil
dapat mempertahankan dirinya secara penuh, dan bila energi tersebut sembunyi
dengan salah satu cara, maka ia akan kembali muncul dalam kuantitas tang sama
dalam bentuk yang lain. Itu artinya energi tidak akan lenyap dan tidak akan
bermula dari ketiadaan. Kaum materialis dialektik mengklaim telah berhasil
membuktikan bahwa setiap kerja mekanik dan setiap energi eletrik, magnetik dan
kimiawi mampu untuk berubah secara total menjadi sebuah panas dalam prosentase
dan ukuran yang tetap. Inilah yang disebut dengan prinsip keseimbangan
Bantahan
Materialisme dialektik juga
mengalami nasib yang sama dengan dua materialisme pendahulunya. Hukum tentang
“prinsip pertama termo-dinamisme” tidak mengantarkan kita kepada (tidak
meniscayakan) “keabadian materi”. Ia hanya membuktikan bahwa energi saat
berubah, kuantitasnya tidak berkurang.
Klaim
kedua
Klaim bahwa materi tidak akan
lenyap bertentangan dengan hukum “prinsip kedua tentang termo dinamisme” yang telah
dihasilkan oleh Lord Calvin. Menurutnya, “evolusi alam berjalan menuju
satu-satunya arah. Dan itu tidak lain adalah kehinggan yang possible.”
Para ahli fisika modern telah
mengajukan sejumlah bantahan terhadap maslah ini (Muhadharat, 197-199). Sedangkan
pendapat bahwa alam berbentuk siklus, mengecil kemudian membesar (memanjang)
kemudian kembali, dan mengecil lagi, dajn begitulah seterusnya, adalah pendapat
yang tidak berdasar, dan hanyalah sebuah remalan (dugaan), bukan pendapat
ilmiah.
Bantahan
Materi
dalam pengertian umum bermacam dua; materi atomik dan energi-energi. Atom-atom
terdiri atas lebih dari seratus elemen, dan mungkin berlipat ganda berkat
kemajuan sain dan ditemukannya elemen-elemen lain yang hingga sekerang terus
terjadi. Sedangkan energi-energi juga terdiri atas energi panas, energi cahaya,
energi listrik, energi suara, energi mikanik, dan energi dinamik. Dari sisi
lain, atom-atom berubah menjadi energi-energi, sebagaimana yang terjadi dalam
sebagian elemen yang memancarkan cahaya gama, yaitu gelombang berenergi tinggi
tidak bermuatan dan bermassa, seperti penghancuran uranium dengan proton atau
neotron yang melahirkan sebuah energi besar.
Elemen-elemen atomik juga
berubah menjadi elemen-elemen atomik lain, dan energi berubah dari satu macam
ke macam energi lain, seperti perubahan energi kimia dari energi dinamik ke
energi panas, dan dari energi panas ke gerak, seperti mesin mobil saat
menghabiskan minyak atau bahan bakar akibat tekanan.
Energi mekanik juga berubah
menjadi energi listrik, seperti pemanfaatan banjir atau air terjun yang diatur
sehingga menciptakan energi listrik. Demikian pula sebaliknya, energi listrik
berubah menjdi energi mekanik, seperti pemanfaat daya listrik untuk dijadikan
sebagai pembangkit. Energi listrik juga berubah menjadi energi panas, seperti
alat pemanas yang digerakkan oleh listrik. Energi listrik juga berubah menjadi
kimia, yaitu ketika aliran listrik membagi air dalam dua unsur. Energi kimia
juga bisa berubah menjadi energi listrik atau energi panas, seperti baterei
listrik dan pembakaran arang.
Dari perubahan-perubahan yang
dialami oleh materi dan energi, dan dari ketersusunan materi dari unsur-unsur
di dalamnya itulah, maka kita berkesimpulan secara tegas bahwa semua yang ada
di alam material ini merupakan entitas yang kompleks (tersusun, murakkab).
Setiap entitas (maujud) yang tersusun pasti bermula dan berakhir dengan
ketiadaan. (Allah Yatajalla fi Ashril-Ilm, 21-25, Hiwar bainal Ilahiyyin wal
Maddiyyin, 66, Muhadharat 199-203, An-Nadhariyah Al-maddiyah fil-ma’rifah, 92,
Durus fil- Aqidah Al-Islamiyah, Falsafatuna, 247, dll.)
Gerak
menurut Materialisme dan Spiritualisme
Materi itu berada dalam gerak
dan perkembangan terus menerus. Materi juga membutuhkan sebab yang
menggerakkannya. Materialisme dialektik
tidak mengakui adanya penggerak di luar gerak. Ia tidak mengakui dualitas
antara materi yang bergerak dan sebab gerak. Ia menganggap materi itu sendiri
sebagai sebab gerak, sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Sedangkan spiritualisme atau
filsafat metafisika memastikan adanya sebab garak di luar materi, karena
menurutnya, materi kosong dari tingkat-tingkat penyempurnaan yang dicapai
melalui tahap-tahap perkembangan dan gerak, dan tidak mengandung apapun selain
gerak dan kapasitas untuk tingkat-tingkat penyempurnaan ini. Itu berarti, gerak
memerlukan sebab selain dirinya, dialah Tuhan sang Pencipta. (Falsafatuna, 248).
Ini menyangkut masalah gerak dalam kosmologi. Gerak dalam ontologi telah
dibahas sebelumnya.
Klaim
ketiga
Materialisme
dialektik telah diagunakan oleh Marx dan Engels, sahabatnya, untuk menciptakan
faham komunisme atau Marxisme. Aliran ini terdiri atas dua pandangan pokok;
materialisme dialektik dan materialisme historis yang diterapkan oleh Marrx
untuk menganalisis realitas masyarakat yang terbagi ke dalam kelas proletar
yang tertindas dan kaum kapiltalis, feodalis dan borjuis yang rakus.
Bantahan
Para filsuf kontemporer
alumnus Mazhab Qom menetapkan sembilan (9) kesatuan (unitas) yang harus
dipenuhi agar kontradiksi terjadi, yaitu sebagai berikut:
1.
Kesatuan subjek (maudhu’), seperti “Ali
adalah siswa” dan “Ali bukanlah siswa”. Inversi tidak terjadi bila subjeknya
berlainan, seperti “Ali adalah siswa” dan “Ahmad bukanlah siswa”
2.
Kesatuan predikat
(Al-Mahmul), seperti “Zaki adalah siswa” dan “ Zaki bukanlah siswa”. Inversi
tidak terjadi bila predikatnya berlainan, seperti “Zaki adalah siswa” dan “Zaki
bukanlah guru”.
3.
Kesatuan waktu, seperti “matahari terbit di
siang hari” dan “matahari tidak terbit pada waktu siang”. Inversi tidak terjadi
bila waktunya berlainan , seperti “matahari terbit pada waktu malam” dan
“matahari tidak terbit saat malam”.
4.
Kesatuan tempat, seperti “matahari terbit di
timur” dan “matahari tidak terbit di timur”. Inversi tidak terjadi bila masanya
berlainan, seperti “matahari terbit di timur” dan “matahari tidak terbit di
barat”.
5.
Kesatuan aktus (aksi) dan potensi,
seperti “bayi itu adalah sarjana secara aktual” dan “bayi itu bukanlah sarjana
secara aktual”. Inversi tidak terjadi bila potensi dan aktusnya berlainan,
seperti “bayi itu sarjana secara potensial” dan “bayi itu bukanlah sarjana
secara aktual”.
6.
Kesatuan partikularia dan universalia
(bagian dan himpunan), seperti “udara seluruh Indonesia sejuk” dan “udara
seluruh Indonesia tidak sejuk”. Inversi tidak terjadi bila partikularia dan
universalianya berlainan, seperti “udara sebagian Indonesia sejuk” dan ‘udara
sebagian Indonesia tidak sejuk’.
7.
Kesatuan kondisi (syarat), seperti “siswa itu
lulus apabila rajin” dan “siswa itu tidak lulus apabila rajin”. Inversi tidak
terjadi bila kondisinya berlainan, seperti “siswa itu lulus apabila rajin” dan
“siswa itu tidak lulus apabila malas”.
8.
Kesatuan relasi, seperti “4 adalah separuh
dibanding (bagi) 8” dan “4 bukanlah separuh dibanding (bagi) 8”. Inversi tidak
terjadi apabila relasinya berlainan, seperti “4 adalah separuh bagi 8’ dan “4
bukanlah separuh bagi 10’. (Muhadharat).
9.
Kesatuan predikasi
Materialisme melakukan
kesalahan besar ketika menganggap setiap perbedaan sebagai kontradiksi arau
dialek antara positif dan negatif. (Mao Tse Thung about contradiction, 13,
Materialisme Dialektik dan Materialisme historik, hal. 17, cet. 2, terj. Bahasa
Arab, Pokok-pokok Filsafat Marxisme, 106-107). Ia mencontohkan menyerang dan
bertahan, maju dan mundur, menang dan kalah sebagai kontradiksi, padahal itu
semua bukan fenomena kontradiksi. (Mao Tse Thung abaout Contradiction, 14 –
15).
Marx dan para pengikutnya
menolak hukum non kontradiksi dengan beranggapan bahwa dalam setiap gejala dan
entitas terjadi kontradiksi. Namun, mereka salah memahami kontradiksi, karena
ternyata yang dianggap sebagai kontradiksi hanyalah adanya perpindahan dari
potensia dan aktus dalam setiap entitas. Para filsuf muslim dan Timur telah
menyebutkan sembilan syarat kesatuan dalam kontradiksi, antara lain kesatuan predikat,
kesatuan subjek, kesatuan tempat, kesatuan waktu, kesatuan relasi, kesatuan
potensi dan aksi, kesatuan predikasi, dan sebagainya (Muhadharat fil-Aqidah,
120, dll).
Akhirnya, materialisme
dialektik mengalami nasib yang sama dengan dua materialisme pendahulunya. Meski
demikian, ironisnya, banyak pemuda Islam yang merasa bangga menganut sosialisme
atau komunisme, yang merupakan bayi prematur dari materialisme dialektik.
Maujud objektif tunggal dan beragam
Dengan mempertimbangkan pluralisme Ibnu Sina dan
monisme Mulla Shadra, kita dapat membagi maujud menjadi dua;
- Maujud tunggal (Al-maujud al-wahid).
- Maujud beragam (Al-maujud Al-katsir)
Namun,
karena pandangan Mulla Shadra terasa lebih kuat dan didukung oleh para filsuf
Islam, seperti Thabathabai, Muthahhari, Jawadi Amuli dan M. T. Mishbah yazdi,
maka ontologi yang akan kita bahas selanjutnya mengacu pada monisme Mulla
Sahdra.
Dua
Maujud tunggal
Maujud tunggal (Al-maujud al-wahid) terbagi
dua;
1.
Maujud
tunggal sejati (Al-maujud al-wahid al-haqiqi). Yaitu maujud yang tidak
terbagi.
2.
Maujud
tunggal tak sejati (Al-maujud al-wahid ghair al-haqiqi). Yaitu maujud
yang dapat dibagi, seperti Agus dan Budi, yang bersatu dalam kemanusiaan, namun
terbagi dua. (Al-Falsafah Al-Ulya, 102,
Elm e Kulli, 139-141).
Dua Maujud tunggal sejati
Maujud tunggal sejati bermacam dua;
- Maujud tunggal
sejati dengan ketunggalan sejati (Al-wahid
Al-haqiqi bil-wahdah Al-haqqah). Yaitu entitas tunggal (satu) yang
merupakan kesatuan (ketunggalan) itu sendiri, seperti hakikat murni
sesuatu yang tidak ada sesuatu itu yang tidak bisa digandakan maupun
diulang.
- Maujud tunggal
sejati dengan ketunggalan tidak sejati (Al-wahid
Al-haqiqi bil-wahdah ghairil-Haqqah
(satu). Yaitu entitas tunggal (satu) yang merupakan sebuah
substansi yang menyandang sifat ‘satu’ (tunggal).
Dua Maujud tunggal tidak sejati
Entitas
tunggal tidak sejati terbagi dua;
1.
Satu ‘tidak sejati’ secara
khusus (Al-wahid ghairul-haqiqi
bil-khusush). Yaitu satu dalam pengertian bilangan, yang merupakan pokok
bilangan angka apabila diulang.
2.
Satu ‘tidak sejati’ secara umum (Al-wahid ghairul haqiqi bil-umum).
Dua Maujud tunggal tidak sejati ‘secara khusus’
Ada dua
macam entitas tunggal tidak sejati secara khusus;
1. ‘Entitas tunggal (tidak sejati) secara khusus’ yang dapat dibagi,
seperti ukuran.
2. Entitas tunggal (tidak sejati) secara khusus yang tidak dapat dibagi. Yaitu ketika dilihat sebagai: a) sebuah substansi
(batang) yang secara singular menyandang
sifat ‘satu’ ; b) sebuah sifat ‘satu’ yang secara singular disandang oleh sebuah substansi. Titik, misalnya.
Dua
Maujud tunggal tidak sejati ‘secara umum’
Ada dua
macam entitas tunggal tidak sejati secara khusus;
1. Sebagai sebuah konsep, seperti ‘manusia’ bila dipandang sebagai sebuah
(satu) spesies (wahid nau’i), atau ‘binatang’ bila dipandang sebagai satu genus
(wahid jinsi), atau seperti ‘yang berjalan’ bila dipandang sebagai satu
predikat (wahid aradhi).
2. Sebagai wujud yang sangat luas, seperti hakikat ‘wujud’ yang meliputi
semua alam keberadaan.
Maujud objektif aktual dan
maujud potensial
Aktus
(aktualitas, Al-fi’liyah) adalah forma sesuatu yang membuatnya (sesuatu
itu) memberikan pengaruh-pengaruh. Ia adalah wujud sesuatu itu sendiri, seperti
ke-pohon-an pohon. Aktualitas adalah sifat bagi sesuatu dalam perspektif
kekinian.
Potensia
adalah forma sesuatu yang memungkinkannya untuk menjadi sesuatu yang lain,
seperti sifat yang disandang oleh bibit yang memungkinkannya menjadi potensi
secara potensial. Ia adalah sifat bagi sesuatu dalam koneks masa depan.
Maujud
juga dapat dibagi dua;
- Maujud potensial
- Maujud aktual
Karena
eksistensi aktualitas sangatlah nyata, maka yang perlu dibuktikan adalah
eksistensi potensi yang merupakan pasangannya. Berikut alasan-alasannya:
1. Sangatlah gamblang bahwa terbentuknya sebuah sifat dalam biji yang membuatnya
menjadi pohon di kemudian hari, namun batu tidak memilikinya. Manusia juga
demikian. Ia berpotensi untuk menjadi berpengetahuan (pengetahu) dan penulis,
sedangkan besi tidak memilikinya. Ada beberapa sifat yang tidak dimiliki besi,
namun manusia memilikinya, dan sebaliknya.
Jadi, entitas potensial memang sesuatu yang real.
2. Terjadinya perubahan dan tranformasi dialami oleh setiap entitas kosmik.
Tanpa adanya potensi dan kapasitas (al-quwwah wa al-qabiliyah),
perubahan tidak akan pernah terjadi dalam alam.
3. Gerak adalah sebuah fenomena kosmik, yang berdiri di atas ketiadaan
sekaligus ke-ada-an (Al-fuqdan wa Al-wujudan), ketiadaan yang memiliki
potensia namun tidak memiliki aktus. Seandainya entitas yang bergerak (Al-mutahharik)
tidak mengandung potensi untuk bergerak, maka ia tidak akan pernah bergerak.
Kesimpulan:
Setiap
entitas kosmik menyandang dua sifat; potensialitas (Al-qabiliyah) dan
aktualitas (Al-fi’liyah).
Potensi
bermacam dua;
- Potensialitas menanjak (transenden, Al-quwwah Ash-sha’idah),
yaitu potensi yang telah menjadi aktual.
- Potensialitas menurun (immanen, Al-quwwah An-nazilah), yaitu
potensi yang belum teraktualkan. (Al-Falsafah al-Ulua, 109-111, Nihayatul-Hikmah,
250-253, ).
Maujud ‘sebab’ dan maujud ‘akibat’
Entitas
atau maujud dapat juga dibagi dua;
- Entitas yang memiliki pengaruh terhadap
eksistensi selain dirinya, yang lazim disebut kausa atau al-illah.
- Entitas yang memerlukan selain dirinya untuk
menjadi ‘berada’. (Nihayatul-Hikmah, 202, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz
2, hal. 127, Al-falsafah Al-ulya, 113).
Penolakan terhadap Kausalitas
Ada sejumlah filsuf Barat yang menyatakan
penolakan terhadap prinsip kausalitas. Mereka mengajukan sejumlah alasan.
- Penolakan David Hume
David adalah salah filsuf Barat yang melancarkan
kritik tajam atas prinsip kausalitas.menurutnya, prinisp kausalitas tidak
diketahui melalui penalaran melainkan
pengalaman. Pengetahuan orang tentang adanya hubungan kausalitas didapatkan
dari kebiasaan melihat peristiwa tertentu (peristiwa A) selalu diikuti oleh
peristiwa lain (peristiwa B). karena seorang telah mengamati berulang kali di
masa lampau suatu objek akan menghasilkan akibat tertentu, maka ia dapat
mengharapkan di masa depan objek yang sama menghasilkan akibat yang sama. Ia
menolak hukum kausalitas dengan beranggapan bahwa tidak ada hubungan
sebab-akibat antar gejala-gejala dan entitas alam, karena yang terjadi hanyalah
susul menyusul.
- Penolakan Bertrand Russell
Bertrand Russell juga menolak hukum sebab akibat
dengan beranggapan, bahwa apabila setiap entitas dan sesuatu adalah akibat dari
suatu sebab, maka berarti Tuhan juga akibat dari suatu sebab, karena ia adalah
sesuatu. Bertrand Russell mencampurkan adukkan antara “pasti ada”, “pasti
tiada”, dan “tidak pasti”. Hanya entitas atau sesuatu yang “tidak pasti ada dan
tidak pasti tiada”-lah yang merupakan akibat dari suatu sebab”. (Usus
Al-Falsaf, Thbathaba’ & Mutahhari, 210 dll.)
Kritik atas Penolakan Kausalitas
David dan para pengikutnya lupa bahwa
susul-menyusul tidak akan terjadi begitu saja tanpa adanya hubungan kausal.
Pendapat Hume meniscayakan keraguan total terhadap setiap premis. (The
Empiricist, 324, Muhadharat, 95-101, dll).
Arthur Schopenhauer (1788-1860) mengajukan sebuah
pertanyaan menarik kepada orang-orang yang menolak hukum kausalitas; “Jika menurut
anda hukum kausalitas adalah produk akal, maka dengan alasan apakah anda
memastikan keberadaan realitas objektif yang telah menjadi sebab?”
(Ususul-Falsafah, juz, 210).
Emanuel kant juga menentang David mengenai
penolakan terhadap kausalitas. Menurutnya, kausalitas memang tidak ditemukan
dalam pengalaman manusia, namun demikian, keputusan (hukum) tersebut juga bukan
sekedar hasil kebiasaan manusia melihat dua peristiwa terjadi berurutan dalam
waktu. (Matinya Metafisika Barat, Donny gahral Adian, 40-41).
Para filsuf Mazhab Qom membantah kritik David Hume
dan para penolak prinsip kausalitas. Menurut mereka, sebenarnya penolakan
terhadap prinsip kausalitas dapat diringkas dalam sebuah premis ‘pengetahuan
tentang selain arti-arti yang berurutan –tanpa saling berhubungan- adalah
mustahil’. Kalau premis tersebut kita
ubah menjadi kontra premis ‘pengetahuan tentang selain arti-arti yang berurutan
–tanpa saling berhubungan- tidaklah mustahil’, maka bagaimanakah Hume menyikapinya?
Jika ia menganggap kontra premis ini benar, maka berarti ia telah menggugurkan
pendapatnya. Jika menganggapnya salah, maka kita tanya dengan dasar apakah ia
menyalahkannya? Jika ia menyalahkannya dengan argumentasi langusng, maka
berarti ia meyakini argumen (yang digunakannya) itu sebagai sebab bagi gugurnya
kontra premis diatas. Jika ia menyalahkan kontra premis tersebut dengan
argumentasi tidak langsung, maka ia harus, sesuai dengan kaidah logika,
menjustifikasi premis pertama yang diklaimnya (bukan kontra premis) dengan
argumen. Jika ia menggunakan argumen untuk mendukung klaim premisnya, maka ia
berarti mengakui adanya hubungan kausal antara argumen dan kebenaran klaimnya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa hukum non
kontradiksi dan hukum sebab akibat adalah dasar bagi pengetahuan rasional,
empiris, dan mistik. (Metafisika, 156 dan 84, Falsafatu Hume baina asdy-syak
wal-I’tiqad, 180, Muhadharat, 100-101).
Urgensi menerima hukum kausalitas
Hukum ini
sangat penting dan fundamental, terutama dalam bidang epistemologi. Hal itu
karena beberapa alasan sebagai berikut:
- Pengakuan terhadap hukum kausalitas merupakan
landasan bagi pembuktian eksistensi realitas material, bahkan realitas itu
sendiri. Sedangkan penolakan terhadapnya meniscayakan keraguan mutlak dan
kebodohan.
- Seandainya eksistensi materi bisa dibuktikan
tanpa berlandaskan hukum kausalitas, maka pengetahuan akan materi hanyalah
pengetahuan sederhana. Hal itu karena ilmu pengetahuan, sepereti fisika,
kimia, biologi dan sebagainya, mengandalkan observasi sensual terhadap
patikal-partikal tertentu berulang kali. Dengan kata lain, sain
mengandalkan pengalaman. Generalisasi hukum empiris berdasarkan hukum
kausalitas. Tanpa dilandasai hukum kausalitas, generalisasi hukum empiris
tidak akan pernah bisa terjadi.
- Penolakan terhadap hukum kausalitas
meniscayakan penerimaan atasnya. Renungkanlah! (Muhadharat, 138-141).
Prinsip kausalitas adalah dasar tumpuan segala usaha pemaparan dalam
segala bidang pemikiran manusia. Ini karena pemaparan dengan bukti tentang
sesuatu berarti bahwa jika bukti itu benar, maka adalah sebab bagi
mengetahui sesuatu itulah yang merupakan objek pemaparan. Ketika kita
membuktikan suatu kebenaran tertentu dengan eksperimen ilmiah atau dengan
suatu hukum filsafat atau dengan persepsi inderawi sederhana, sebenarnya
kita hanya berusaha agar bukti tersebut menjadi sebab diketahuinya
kebenaran itu. Nah, kalau tidak karena prinsip kausalitas dan (hukum)
keniscayaan, tentu kita tidak dapat berbuat hal itu. Karena, kalau kita
membuang hukum-hukum kausalitas dan tidak mempercayai keniscayaan adanya
sebab-sebab tertentu bagi setiap kejadian, tentu tidak akan ada hubungan
antara bukti yang kita sandari dan kebenaran yang kita usahakan
mendapatkannya dengan bukti ini. Tetapi kemungkinan bahwa bukti itu benar
tanpa memandu ke hasil yang dikehendaki, karena hubungan kausal antara
bukti dan hasil, antara sebab dan akibat, itu telah terputus.
Demikianlah,
menjadi jelas bahwa setiap upaya pemaparan bergantung pada diterimanya prinsip
kausalitas. Kalau tidak, tentu upaya itu hanya sia-sia. Bahkan pemaparan untuk
menolak prinsip kausalitas, yang diusahakan oleh sebagian filosof dan ilmuwan,
juga berdasarkan prinsip kausalitas. Karena, mereka yang mencoba mengingkari
prinsip tersebut dengan bersandarkan pada suatu hujjah tertentu, tidaklah melakukan
usaha itu, kalau mereka tidak mempercayai bahwa hujjah yang mereka sandari itu
adalah sebab yang memadai untuk mengetahui kepalsuan prinsip kausalitas. Tetapi
hal itu sendiri adalah suatu penerapan literal (harfiah) prinsip itu. (Falsafatuna, 211, Muhadharat, 138-141).
Hubungan sebab dan akibat
Hubungan
antara sebab dan akibatnya adalah hubungan eksistensial real (objektif).
Bila hubungan tersebut terjalin, maka
ke-ada-an akibat menjadi pasti,
ke-ada-an sebab memastikan ke-ada-an akibatnya , dan ketiadaan sebab
juga memastikan ketiadaan akibatnya.
Sedangkan
para filsuf Barat, seperti David Hume, menganggap hubungan kausalitas sebagai
hubungan konseptual subjektif, tidak objektif. (Muhadharat, 142, Falsafatu
Hume baina Al-syak wa Al-I’tiqad, Dr. M. Fathi Asy-Syunaithi, Al-falsafah
Al-ulya, 113, Nihayatul-Hikmah, 201).
Kausa sempurna dan kausa tidak sempurna
Sebab
bermacam dua;
1.
Sebab sempurna (Al-illah At-tammah). Yaitu sebab yang selamanya menjadi
penyebab keberadaan seluruh akibatnya, sehingga ia tidak ada, maka akibatnya
pun seketika tidak ada. Keberadaan kausa sempurna meniscayakan keberadaan
akibatnya. Ketiadaannya juga meniscayakan ketiadaan akibatnya.
2.
Sebab tidak sempurna (Al-illah An-naqishah). Yaitu sebab yang hanya menjadi sebab
dalam salah satu aspek keberadaan akibat. Keberadaan kausa tidak sempurna tidak
meniscayakan keberadaan akibatnya. Namun ketiadaannya meniscayakan ketiadaan
akibatnya. (Nihayatul-hikmah, 204, Al-falsafah Al-Ulya, 115).
Sebab singular dan sebab plural
Sebab juga
dapat dibagi dua;
- Sebab singular. Yaitu sebab bagi satu akibat.
- Sebab plural. Yaitu beberapa kausa bagi satu akibat,
seperti panas yang merupakan akibat dari serangkaian sebab; matahari,
panas, gerak dan sebagainya.
Sebab sederhana dan kausa kompleks
Sebab juga
dapat dibagi dua;
- Sebab sederhana (Al-illah Al-basithah). Yaitu kausa
yang tidak terangkai
- Sebab tersusun (Al-illah Al-murakkabah). Yaitu kausa
yang terangkai dari beberapa bagian.
Ada
kalanya sebab sempurna itu sederhana dan ada kalanya terrangkai. (Al-falsafah
Al-ulya, 116).
Sebab eksternal dan sebab internal
Sebab juga
terbagi dua;
1.
Sebab eksternal. Yaitu sebab yang ada di luar subjek (diri) akibat, yang disebut dengan
sebab keberadaan (Illatul-wujud).
2.
Sebab internal. Yaitu sebab yang ada dalam diri akibat, yang disebut dengan sebab
elementer. (Illatul-qiwam).(Al-falsafah Al-ulya, 117, Al-Asfar
Al-arba’ah, juz 2, hal. 126, Nihayatul-Hikmah, 205).
Sebab dekat dan sebab jauh
Sebab juga
dapat dibagi dua;
1.
Sebab dekat (Al-illah Al-qaribah). Yaitu kausa yang secara langsung
berhubungan dengan akibat.
2.
Sebab jauh (Al-illah Al-ba’idah). Yaitu kausa yang berhubungan dengan
akibat dengan perantara sebab lain.
Empat macam sebab
Ada empat macam sebab, menurut
Aristoteles dan para filksuf Mazhab Qom;
1.
Sebab
material (Al-Illah
Al-Maddiyah), seperti batu,
pasir dan semen untuk rumah.
2.
Sebab
formal (Al-Illah
Ash-Shuriyah), seperti gambar “rumah” yang akan dibangun dalam benak
arsitek atau pemilik.
3.
Sebab
efesien (Al-Illah
Al-Fa’ilah), seperti tukang dan kuli bangunan yang akan bekerja membangun
rumah.
4.
Sebab
final (Al-Illah
Al-Gha’iyah), yaitu seperti tujuan
dibangunannya rumah. (Asl e Illiyat, Dr. Qadardan M., 57-64, Kamus Filsafat, 194-195, Nihayatul-Hikmah, 201-216)
Macam-macam sebab pelaku
Kausa efersien (Al-illah Al-fa’iliyah, Al-illah
Al-fa’ilah sebab pelaku) terbagi banyak. Yaitu sebagai berikut:
- Al-Fa’il bil-thba’i (pelaku natural). Yaitu
pelaku yang menciptakan perbuatan (berbuat, bertindak), namun tidak
menyadari perbuatannya, seperti api yang ‘menghangatkan’.
- Al-fa’il bil-qasr (pelaku natural determinan). Yaitu pelaku yang
melakukan perbuatan dan tidak menyadarinya, namun bertentangan dengan
naturnya, seperti batu yang terbang ke atas, karena dilemparkan.
- Al-fa’il bil-jabri (pelaku terpaksa). Yaitu
pelaku yang mengetahui (menyadari) perbuatannya namun tidak
menghendakinya, seperti perbuatan yang dilakukan seseorang akibat
penindasan atau tekanan orang lain.
- Al-Fa’il bil-ridha (pelaku dengan sukarela). Yaitu pelaku yang mengetahui
secara detail perbuatannya serta menghendakinya. Pengetahuan detail (Alilm
At-tafshili)-nya adalah (akan perbuatan tersebut) adalah perbuatan itu
sendiri dalam kenyataannya.
- Al-fa’il bil-qashd (pelaku dengan rencana). Yaitu pelaku yang mengetahui secara
detail perbuatannya dan menghendakinya, namun pengetahuan detail-nya
mendahului perbuatannya karena faktor lain, seperti perbuatan manusia yang
bersifat ikhtiari.
- Al-fa’il bil-inayah. Yaitu pelaku yang telah mengetahui secara detail akan perbuatannya
sebelum perbuatan itu sendiri, dan pengetahuannya adalah sesuatu di luar
dirinya, dan bahwa pengetahuannya tersebut adalah penyebab bagi terjadinya
perbuatannya, seperti seseorang di atas pucuk tebing yang membayangkan
akan jatuh lalu jatuh karena membayangkannya.
- Al-fa’il bil-tajalli. Yaitu pelaku yang melakukan perbuatan dan mengetahuinya secara
detail, bahkan pengetahuan detailnya (tentang perbuatan tersebut) tidak lain adalah pengetahuan umum pelaku tentang dirinya, seperti
pengetahuan detail Allah tentang segala sesuatu yang merupakan pengetahuan
detail.
- Al-fa’il bil-taskhir. Yaitu pelaku yang mana ia (pelaku sendiri) dan perbuatannya
adalah untuk atau miliki pelaku lain, seperti daya atau potensi-potensi
natural dan hewaniyang diciptakan dan untuk jiwa manusia.
Thabatabai menganggap sebagian dari sembilan sebab
efesien di atas tidak perlu dimandirikan secara terpisah, karena, menurutnya,
ada pelaku yang bila dicermati masuk dalam kategori pelaku lainnya, seperti
Ál-fail bil-inayah, yang semestinya masuk dalam kelompok Al-fa’il bil-qashd,
demikian pula Al-fa’il bil-jabr (pelaku terpaksa), yang sejatinya tidak keluar
dari Al-fa’il bil-qashd, karena pelakunya, kendati dipaksa, melakukannya dengan
ikhtiar. (Nihayatul-hikmah, 222-224, Al-falsafah al-ulya, 119, Syarh
Al-Isyarat, juz 3, hal. 11-12, Al-asfar Al-arba’ah, juz 2, hal.
191-194, Syarhul-mushtathalahat al-falsafiyah, 261-265).
Dalam filsafat modern, sebab terbagi tiga;
1.
Sebab
imanen. Yaitu kondisi
internal yang menghasilkan perubahan, seperti kehendak dalam diri seseorang
yang menyebabkan gerakan.
2.
Sebab
instrumental. Yaitu sebab
medium yang masih membutuhkan sebab yang lebih tinggi. Ia adalah sub bagian
dari sebab efesien, seperti mobil yang merupakan alat yang menggerakkan
seseorang yang berkehendak.
3.
Sebab
transenden. Yaitu kondisis
eksternal yang menghasilkan perubahan pada sebuah benda, seperti air yang
menyebebkan tanaman menjadi subur. (Kamus Filsafat, 970-971).
Ciri-ciri dan sifat “Wujud”
Para filsuf penganut Ashalatul-Wujud
menyebutkan sejumlah ciri khas hakikat
“wujud”. Antara lain sebagai berikut:
- Hakikat “wujud” adalah
sederhana (basith), tidak kompleks, bahkan realitas adalah satu-satunya
yang sederhana dan tak tersusun.
Alasan-alasannya sebagai berikut:
·
Seandainya
hakikat “wujud” kompleks atau tersusun, maka pasti ia terdiri atas beberapa
bagian. Tentu, (setiap) bagian tersebut berupa wujud atau bukan wujud.
Seandainya bagian tersebut bukanlah wujud, maka berarti ia bukanlah bagian dari
“wujud” (yang diasumsikan tersusun dari beberapa bagian itu), karena selain
wujud atau ketiadaan, sedangkan ke-ada-an tidak dapat dikombinasikan dengan
kenir-adaan. Sebaliknya, jika bagian
tersebut adalah wujud, maka berarti ia
bukanlah bagian dari “wujud”, karena ia adalah wujud itu sendiri, bukan bagian
darinya.
·
Sesuatu
yang diasumsikan sebagai bagian dari wujud itu hanya bisa mengambil salah satu
dari tiga sifat sebagai berikut; a) menjadi titik kesamaan antara realitas
wujud dengan selainnya; b) menjadi ciri
khas bagi realitas wujud itu sendiri. Pilihan pertama tertolak, karena tidak ada
sesuatu selain realitas wujud, sehingga setiap kali ada sesuatu yang
diasumsikan sebagai bagian dari realitas wujud, maka seketika ia menjadi
realitas itu sendiri semata.
2. Pilihan kedua juga tertolak, karena sesuatu disebut sebagai bagian
apabila ia memiliki ciri khas yang membedakannnya dari yang lain. Karena
realitas wujud tidak terdiri atas bagian-bagian yang sama, maka ia juga tidak
terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing mempunyai ciri khas. Itu berarti
bahwa realitas wujud adalah sederhana dan tidak terdiri atas bagian-bagian.
Apabila realitas wujud tidak memiliki bagian yang sama, maka ia tidak mempunyai
genus dan materia (potensi). Apabila
hakikat wujud tidak mempunyai bagian
yang khusus, maka ia tidak mempunyai deferentia (fashl) dan forma. Jadi,
realitas wujud bersifat sangat sederhana (basith).
Apabila realitas
wujud tidak mempunyai genus dan
defrensia, maka ia bukanlah quiditas (mahiyah), karena quiditas
adalah gabungan dari genus dan deferensia. Apabila realitas wujud tidak beresensi
atau mempunyai quiditas, maka hakikat “wujud” itu adalah dirinya sendiri
semata. Karena realitas wujud bukanlah quiditas, maka ia tidak menyandang
sifat-sifat quiditas, seperti universal, partikulari, genus, deferensia,
substansi, dan aksiden.
- Hakikat “wujud” tidak
mempunyai lawan (dhidd), karena lawan bagi sesuatu adalah sesuatu
yang lain atau yang kedua, yang berbeda secara esensial atau berdasarkan
quiditasnya, padahal tidak ada sesuatu selain realitas wujud, bahkan
setiap sesuatu yang diasumsikan sebagai selain dari realitas wujud adalah
wujud itu sendiri. Karena realitas wujud tidak mempunyai quiditas atau
esensi, maka ia tidak mempunyai lawan atau rival, sebab perbedaan dan keberlainan antar
dua hal disebab oleh quiditas atau esensi (mahiyah).
- Hakikat “wujud” tidak mempunyai kembaran atau padanan, sebab sesuatu
disebut sebagai padanan atau kembaran itu bukanlah sesuatu yang
dikembarinya itu sendiri. Dengan kata lain, dua sesuatu yang mirip atau
sama harus berlainan. Kalau tidak, keduanya bukanlah dua, namun satu.
- Hakikat “wujud’ bukanlah akibat dari suatu sebab. Artinya, ia ada
dengan sendirinya yang secara otomatis menolak kenir-ada-an dari dirinya.
- Sifat-sifat kesempurnaan seperti “hidup” dan lainnya adalah berasal
dari hakikat “wujud”, bukan dari selain dirinya. Seandainya sifat-sifat
kesempurnaan tersebut tidak berasal dari realitas wujud, maka berarti
sifat-sifat tersebut nir-ada. (Al-falsafah Al-Ulya, 86, Nihayatul-Hikmah)
Realisme atau Dualisme
Aliran, yang oleh sebagian kalangan diidentikkan
dengan monisme atau materialisme radikal, ini meyakini adanya realitas
saja, dan menolak eksistensi konsep.
Realisme Islam mestinya lebih tepat jika disebut
dengan Dualisme, karena ia meyakini
adanya dua maujud; objektif (real) dan
subjektif (ideal). (Hakadza Nabda’, 2227-231, )
Tiga
macam maujud objektif
Entitas
objektif bermacam dua;
- Substansi (Al-Jauhar).
- Aksiden (Al-Arazh).
- Daya (Al-thaqah). (Al-falsafah
Al-Ulya, Reza Shadr, 159, Sharh Al-Manzhumah, Sabzawari,
juz 2, hal. 462-463).
Tiga macam maujud batangan (substansial)
Substansi
terbagi tiga;
- Entitas ragawi atau raga (Al-Jism). Yaitu
- Entitas potensial atau entitas material atau potensia (Al-Maddah).
Yaitu
- Entitas formal atau entitas aktual atau forma (Al-shurah).
Yaitu
Ciri-ciri khas maujud ragawi
(‘raga’)
Para filsuf Mazhab Qom menyebutkan sejumlah ciri khas yang
diasandang oleh materi atau ‘raga’ (al-jism) sebagai berikut disertai
dengan alasan-alasannya.
- Raga dapat dibagi.
- Raga dapat melebur dengan raga lainnya
- Raga terbatas.
- Rateri dan raga berbobot.
- Raga bertempat
- Raga bermasa.
- Raga berarah.(Al-Falsafah Al-Ulya, 160-168).
Dua macam maujud aksidental (sandangan)
1.
Aksiden-aksiden relatif. Yaitu aksiden yang bergantung pada relasi. (Al-a’razh Al-nisbiyah),
seperti
2.
Aksiden-aksiden non relatif. Yaitu aksiden yang tidak bergantung pada relasi, seperti kategori
kuantitas (Al-kam) dan kulaitas (Al-kaif). (Al-Falsafah
Al-Ulya, 178, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 4, hal. 10).
Maujud objektif ‘bermula’ dan ‘tak bermula’
Maujud
juga terbagi dua;
- Entitas bermula (hadits)
- Entitas tak bermula (qadim, azali).
Tiga ‘Maujud (objektif) bermula’
Maujud hadits
terbagi tiga;
- Entitas bermula dengan kebermulaan eaktu (hadits
zamani).
- Entitas bermula dengan kebermulaan diri (hadits
ztati).
- Entitas bermula dengan kebermulaan
eksistensial (hadits bil-haq).
Dua macam ‘maujud (objektif) bermula’
Entitas
non eternal atau maujud hadits dapat pula dibagi dua;
1. Maujud bermula secara relatif (al-hadits al-idhafi). Yaitu
kebermulaan yang didahului oleh sesuatu yang lain.
2. Maujud bermula secara hakiki (al-hadits al-haqiqi). Yaitu
kebermulaan tidak didahului oleh sesuatu yang lain, karena ia bermula dari
ketiadaan.
ENTITAS OBJEKTIF TAK TERINDERAKAN
Pengertian “non materi” (spirit)
Realitas abstrak atau non-materi (Al-mujarrad) adalah setiap sesuatu yang
sama sekali tidak menyandang ciri-ciri benda. (Al-Manhaj Al-Jadid, juz 2, 139).
Pendahuluan
Objek atau
sasaran pengetahuan, sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, adalah
realitas objektif. Realitas objektif dalam ontologi Islam, sebagaimana
disebutkan oleh Thabatabai, bermacam tiga sebagai berikut:
- Realitas material. Yaitu realitas yang merupakan gabungan dari materi dan
potensi, yang lazim disebut dengan alam al-maddah wal-quwwah).
- Realitas immaterial.
Dua maujud non bendawi
Realitas
immaterial, dalam ontologi Timur dan islam, bermacam dua;
- Realitas interval atau realitas ideal. Yaitu realitas
immaterial yang memberikan pengaruh-pengaruh material, seperti bentuk, ukuran, posisi dan sebagainya,
yang lazim disebut alam al-barzarkh dan
alam al-mitsal.
- Realitas abstrak. Yaitu realitas immaterial yang tidak
memberikan pengaruh-pengaruh material sama sekali, yang lazim disebut
dengan alam at-tajarrud, alam al-aql atau alam al-uqul
al-mujarradah.
Relasi antar realitas-realitas
Tiga
realitas atau tiga alam (al-awalim al-tsalatsah) tersebut diatas
berkaitan secara vertikal. Realitas yang lebih dulu ada dan hadir dan paling
dekat dengan kausa prima atau prinsip pertama (al-mabda’ al-awwal)
adalah realitas abstrak. Peringkat kedua diduduki oleh realitas interval atau
realitas ideal. Sedangkan peringkat yang paling rendah adalah realitas
material, yang merupakan domain kekuarangan, keburukan dan ketidakpastian. (Nihayatul-Hikmah,
302-304).
Dengan
demikian, kita dapat membagi spirit atau immateri menjadi dua; immateri
interval dan immateri abstrak. Sebagian filsuf cenderung menyebut realitas
immaterial interval dengan entitas (realitas) immanen dan menyebut realitas
immaterial abstrak dengan transenden.
Ciri-ciri istimewa entitas abstrak
Realitas
immaterial, sebagai entitas yang berada pada peringkat pertama dalam urutan
kemuliaan dan kesempurnaan, memiliki sejumlah ciri khas sebagai berikut:
- Setiap entitas abstrak pasti adalah pengetahuan (al-Aql).
- Setiap entitas abstrak pasti adalah subjek pengetahu (al-aqil).
- Setiap entitas abstrak pasti adalah objek yang diketahui (al-ma’qul).
Dengan ungkapan lain, maujud abstrak adalah maujud
yang dapat dikenali, mengenali dan menjadi pengenalan itu sendiri.
Kebersatuan (Unitas) Aqil dan Ma’qul
Mulla shadra mengajukan sebuah pandangan baru
dalam epistemologi sekaligus ontologi, yaitu ‘kebersatuan aqil (subjek
pengetahuan) dan ma’qul (objek pengetahuan). Pandangannya dalam
diringkas dalam item-item sebagai berikut:
- Objek penalaran (al-ma’qul) itu adalah objek yang diketahui
secara langsung (al-ma’lum bil-zat). Sedangkan aql atau
pengetahuan adalah gambar intelektual (ash-shurah al-ilmiah) yang
berada dalam benak. Karena gambar tersebut diketahui (atau menjadi objek
pengetahuan), maka ia adalah sesuatu yang bersifat aktual, bukan
potensial, karena ‘keterketahuan’ atau posisinya sebagai objek pengetahuan
(al-ma’lumiyah) merupakan predikat bagi sesuatu dalam konteks
afirmasi atau penetapa (maqam al-itsbat). Realitas objektif adalah
objek pengetahuan tidak langsung (al-ma’lum bil-arazh). Sedangkan
objek pengetahuan langsung (al-ma’lum biz-zat), yaitu konsep,
adalah entitas yang abstrak dan kosong dari sifat-sifat material dan bebas
dari potensi.
Seandainya konsep tidak bebas dari materia murni(al-hayula)
dan kosong dari potensia, maka ia tidak akan menjadi arti secara aktual. Dan
seandainya pengetahuan atau konsep itu bertempat dalam anggota raga, maka
niscaya konsep terdiri atas potensia dan materia.
Konsep, sebagai entitas immaterial, tidak
mengalami perubahan, karenma perubahan hanya dialami oleh entitas yang
mengandung potensia. Karena konsep atau pengetahuan tidak mengandung potensia,
maka ia adalah aktus murni. Maka pengetahuan adalah proses mengabstraksi atau
mengentas sesuatu yang abstrak dari realitas objektif yang kongkret. (Nihayatul-Hikmah,
317-318, Al-asfar Al-arba’ah, juz 3, hal. 323-324, Al-falsafah
Al-ulya, 242-243).
- ‘Ke-berpengetahuan’ (Al-aqiliyah) adalah predikat aktual
(bukan potensial) dan entitas yang tidak mengandung potensi sama sekali.
Pengetahuan tidak lain hanyalah kehadiran entitas aktual dalam entitas
aktual lainnya.
- Yang dimaksud dengan ‘unitas’ (al-ittihad) antara subjek
pengetahuan (al-aqil)dan objek pengetahuan (al-ma’qul) ialah
bahwa satu entitas menjadi ekstensi (manifestasi) dari dua pengertian.
‘Subjek pengetahuan’ (yang mengetahui) dan ‘objek pengetahuan’ (yang
diketahui) adalah dua pengertian atau quiditas (al-mahiyyah) yang
terpantul dari satu realitas, demikian pula quiditas ketiga ‘pengetahuan’
(al-aql).
Dengan demikian, jelaslah bahwa semua pengetahuan,
pada hakikatnya, adalah kehadiran, termasuk pengetahuan-pengetahuan hushuli (al-ma’rifah
al-husuliya) atau paling tidak, bersumber dari pengetahuan hudhuri (al-ma’rifah
al-husuliyah).(Nihayatul-Hikmah, 318-319, Al-falsafah al-ulya, 344-345).
Macam-macam entitas immaterial
Para filsuf menyebutkan sejumlah entitas abstrak
atau ‘objek pengetahuan’ (al-ma’qul), seperti kefahaman (al-fahm),
Al-hifzh (kehafalan), pengenalan
(al-aql).
Antara Al-ilm dan al-aql
Khusus mengenai al-aql, perlu diketahui
bahwa kata ‘aql’ berbeda dengan pengetahuan atau al-ilm, karena al-ilm
adalah entitas subjektif (al-mawjud az-zihni), sedangkan al-aql
adalah entitas objektif (al-mawjud al-khariji).
Empat tahap ‘entitas abstrak’
Entitas
objektif abstrak, lazim disebut dengan
Ál-aql, yang merupakan wadah pengetahuan, melewati empat tahap sebagai berikut;
1.
Al-aql Al-huyulani. Yaitu tahap
ketika jiwa bebas dari semua entitas-entitas ‘ternalarkan’ atau entitas tak
terinderakan, baik yang ekstemporal maupun yang non ekstemporal. Tahap ini
adalah tahap persiapan untuk meraih pengetahuan badihi dan non badihi.
2.
Al-Aql bil-malakah. Yaitu tahap ketika jiwa telah meraih pengetahuan-pengetahuan
(entitas-entitas tak terinderakan) badihi, baik yang masih konseptual maupun
yang telah menjadi assentual.
3.
Al-aql bil-fi’l. Yaitu
tahap ketika jiwa telah memproduksi pengetahuan-pengetahuan non ekstemporal
(aposterior) dari pengetahuan-pengetahuan ekstemporal yang telah ia peroleh
sebelumnya. Pada tahap ini entitas immaterial abstrak mulai menyingkap sesuatu
yang sebelum tidak ia ketahui.
4.
Al-aql Al-mustafad. Yaitu tahap tertinggi ketika entitas abstrak (Al-aql) telah
melakukan penyimpulan (Al-istintaj) dari sejumlah
pengetahuan-pengetahuan badihi dan non badihi yang ada dalam dirinya. (Al-Falsafah Al-ulya, 241, Syarhul-Mawaqif, juz 6, hal. 43).
‘Abstrak’ filosofis dan ‘abstrak’ populis
Perlu diketahui pula, bahwa kata ‘abstrak’ telah
dikonsumsi secara liar oleh kalangan di luar filsafat sehingga mengalami
distrosi dan reduksi substansial dalam pengertiannya. Kini ‘abstrak’ telah
dipahami secara populer dan secara non akademik sebagai sesuatu yang tidak
jelas, tak bermakna dan kabur. Tentu fenomena ini tidak terlepas dari pengaruh
pemikiran materialisme yang menolak eksistensi realitas non material,
sebagaimana perkatan “it s doesn’t matter” (itu bukanlah benda yang diartikan
“tidak ada’ atau ‘sepele’) dalam percakapan Inggris populer, demikian juga kata
‘fakta’ dan ‘realitas’ atau ‘kenyataan’ yang telah diadopsi secara tidak fair
untuk arti yang menyimpang dari pengertian substansialnya dan artikan sebagai
‘fakta empiris’, realitas material‘ dan ‘kenyataan yang terinderakan’.
Tuhan
Sebab
perdana entitas-entitas material dan immaterial adalah entitas immaterial
transendental yang merupakan sumber keberadaan. Umat manusia sejak hadir di
atas pentas sejarah hingga kini telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai
dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan
itu. Orang Persia menyebutnya Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord
atau God. Dialah Tuhan Maha Sempurna.
Manusia dan Tuhan
Eksistensi
Tuhan adalah salah satu masalah paling fundamental manusia, karena penerimaan
maupun penolakan terhadapnya memberikan konsekuensi yang fundamental. Alam luas
yang diasumsikan sebagai produk entitas yang maha seempurna dan maha bijaksana
deengan tujuan yang sempurna berbeda dengan alam yang diasumsikan sebagai
akibat dari kebetulan atau insiden. Manusia yang memandang alam sebagai hasil
penciptaan Tuhan Maha Bijaksana adalah manusia yang optimis dan bertujuan.
Sedangkan manusia yang memandang alam sebagai akibat dari serangkaian peristiwa
acak atau chaos adalah manusia yang pesimis, gamang dan diliputi kerisauan akan kemungkinan-kemungkinan
yang tak dapat diprediksi.
Masalah
ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia
dan mnejadi bahan pemikirannya. Muthahhari berkata: “Jika kita keberatan untuk
mengakui bahwa keyakinan akan keberadaan Tuhan merupakan bagian dari fitrah
atau naluri, maka paling tidak kita harus mengakui bahwa kekhawatiran akan
keberadaan Tuhan dan pertanyaan tentang hal itu adalah masalah yang bersifat
fitri.(Maqalat e Falsafai, intisharat Hikmat, juz 2, hal. 231, Khoda Shenasi falsafi, 19, ).
Argumen kausal
dan argumen efektual
Dalam filsafat
Mazhab Qom, ada dua macam pola pembuktian keberadaan tuhan yang bertumpu pada
prinsip kausalitas:
1.
Al-burhan
Al-Limmi (argumen kausal).
Yaitu pola pembuktian dari sebab ke
akibat-akibatnya.
2.
Al-burhan
Al-inni (argumen
efektual). Yaitu pola pembuktian dari akibat ke sebabnya.
Dua argumen
efektual
Burhan inni bermacam dua. Para filsuf berselisih pendapat
tentang manakah yang meniscayakan keyakinan;
burhan limmi ataukah burhan
inni. Polemik seputar dua metode pembuktian ini cukup panjang dan hangat
hingga sekarang. (Sairi dar adelleh e isbat e wujud e, 32).
Para filsuf membagi argumen-argumen menjadi
beberapa bagian. Bagian pertama adalah arguemn-argumen yang terdiri atas
rangkaian padu elemen subjek pembukti, elemen cara pembuktian dan elemen tujuan
pembuktian menjadi satu. Bagian kedua adalah pembuktian yang hanya terdiri atas
rangkaian padu dua elemen; pelaku pembuktian dan cara pembuktian, sedangkan
elemen tujuan pembuktian terpisah. Bagian ketiga adalah pembuktian yang terdiri
atas rangkaian padu elemen cara pembuktian dan tujuan pembuktian.
Argumen ‘ketidakpastian’ (burhan al-imkan),
argumen ‘kebermulaan’ (burhan al-huduts), argumen ‘gerak’ (burhan
al-harakah), dan argumen ‘keteraturan’ (burhan al-nadhm, annizham)
termasuk dalam kategori pembuktian bagian pertama, karena di dalam empat
argumen tersebut, tiga elemen pembuktian bersatu.
Salah cara pembuktian atas keberadaan Tuhan adalah
‘pengetahuan akan jiwa’. Yaitu bahwa manusia dengan pengembaran subjektif dan
perenungan dalam diri, melalui pengetahuan hushuli, akan dapat membuktikan
keberadaan Tuhan. Dalam pembuktian demikian, cara pembuktian dan pelaku
pembuktian menjadi satu, sedangkan tujuan pembuktian terpisah. Mulla Shadra menganggap
argumen ‘ash-shiqqin’ sebagai argumen bagian ketiga. Menurutnya, inilah argumen
yang paling mulia dan kokoh. (Al-asfar Al-arba’ah, juz, 6, hal. 13, Sayri
dar adelleh e isbat e wujud e Khoda, 34).
Sejumlah filsuf, seperti Ibnu Sina dalam At-ta’liqat, menolak pembuktian keberadaan Tuhan, karena,
menurutnya, ke-ada-an Tuhan hanya bisa dibuktikan dari diriNya sendiri. Dengan
kata lain, menurut Ibnu Sina, keberadaan Tuhan tidak dapat diketahui secara
hushuli atau dengan mengandalkan pengetahuan hushuli).(Amuzesy e Falsafeh, M.
T. Yazdi, juz 2, hal. 329).
Namun pendapat ini dibantah oleh banyak filsuf
dengan sejumlah argumen dan justifikasi. Salah satu justifikasi menyimpulkan
bahwa, boleh jadi, yang dimaksud tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan dengan
data husuli adalah bahwa zat Tuhan (wujud aini) Tuhan tidak dapat
dibuktikan secara husuli. (Amuzesy e Falsafeh, juz 2, hal. 332, Sayri
dar adelleh, 37).
Para filksuf Mazhab Qom menyebutkan sejumlah
argumen dan bukti. Antara sebagai berikut:
- Argumen “fitrah’;
- Argumen ‘keteraturan’;
- Argumen ‘kepemanduan’.
Muthahhari menganggap argumen ini sebagai argumen yang terpisah dari
argumen ‘keteraturan’. (Usul e falsafeh va Ravesy e Realisme, juz
5, hal. 48,49).
- Argumen ‘kebermulaan raga. Argumen ini digunakan oleh para teolog (mutakkalimun)
(Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 44-47)
- Argumen ‘gerak’.
- Argumen ‘kebermulaan spirit (jiwa). Argumen ini dikemukakan oleh
para filsuf kosmologi. (ibid).
- Argumen ‘ketidakpastian dan kepastian’. Ibnu Sina dan Suhruwardi masing-masing
memberikan pola penjelasan yang berbeda. (Al-asfar Al-arba’ah, juz
6, hal. 26-37, Usul e Falsafeh va Ravesy e realisme, juz 5, hal.
61, 80, 81, Al-isyarat, juz 3, butir 4, Sayri dar adelleh e
isbat e wujud e Khoda, 41).
- Argumen ‘sebab dan akibat’;
- Argumen ash-shiddiqin’.
Tapi dalam lembaran ini kita hanya akan
menyebutkan ima bukti dan inferensi.
Bukti ‘Fitrah’
Sepantasnyalah
‘bukti fitrah’ didahulukan atas bukti-bukti lainnya karena, ia bertumpu pada
kedalaman jiwa manusia dan dasar pijakannya bersifat presentatif (hudhuri).
Namun sebagian filsuf dan teolog mengutamakan bukti ‘shiddiqin’.
Terminologi ‘Fitrah’
Kata
‘fitrah’ (al-fithrarh) secara gramatis mengikuti pola (wazan) fi’lah
yang dalam b ahasa Arab mengandung konotasi perbuatan yang mengikuti perbuatan
tertentu lainnya, seperti ia duduk seperti duduknya (jilsah) seorang pangeran.
Ia berasal dari kata kerja ‘fathara’ yang semula berarti ‘menciptakan’ dan
‘membuat’ seseuatu yang sebelum tidak ada. Dalam surah Ar-Rum (ayat30), kata ini telah digunakan untuk arti
menciptakan.
Yang
dimaksud dengan ‘fitrah Allah’ dalam ayat tersebut ialah bahwa keberagamaan dan kecenderungan pada
agama adalah sesuatu yang natural dan wajar. Artinya, Tuhan telah menciptakan
manusia sedemikian rupa sehingga ia senantiasa cenderung untuk beragama.
Istilah-istilah ‘Fitrah’
Kata
‘fitrah’ dan derifasinya telah digunakan untuk arti yang berlainan. Antara lain
sebagai berikut:
1.
‘Proposisi-proposisi fitriah’
dalam logika. Ia didefinisikan sebagai premis
Antara Fitrah, natur (thabi’ah), dan insting (gharizah)
Bukti ‘Keteraturan’ (argumen teleologis).
Definisi keteraturan
Melalui bukti keteraturan, kita dapat membuktikan dua hal; ke-ada-an
Tuhan dan pengetahuan Tuhan.
Sistem alam
Ada keharmonisan antar setiap bagian mengantarkan kepada kesimpulan
tentang adanya tujuan tertentu, seperti keharmonisan antar bagian-bagian pohon,
atau keseimbangan antara kehidupan pohon dan hewan. Bukti ketursunan terdiri
atas proposisi sensual (inderawi) dan proposisi rasional (akali).
Proposisi pertama:
Ada sebuah sistem yang mengatur fenomena-fenomena natural yang dikenal
oleh manusia melalui penginderaan eksoteris (lahiriah) atau dengan bantuan
alat-alat dan metode-metode ilmiah.
Proposisi kedua:
Akal menemukan suatu keharmonisan dan sistem yang mengatur alam itulah,
akal secara ekstemporal memastikan tentang ada suatu kekuatan yang pandai
secara sempurna yang mengendalikannya. Akal juga memastikan bahwa keteraturan
ini mustahil terjadi secara kebetulan tanpa sebab di baliknya.
Proposisi baru:
Alam ini tersusun dengan baik. Jika ia tidak
tertata rapi, maka mustahil kita menganggapnya sebagai sesuatu yang indah.
Jadi, ada susunan atau rangkaian-rangkaian yang kita anggap sebagai suatu
keindahan, keteraturan, dan lain sebagainya. Sesuatu mustahil sekonyong-konyong
menjadi teratur tanpa ada yang mengaturnya.
Konklusi:
Karena itulah, pasti ada yang mengatur, dan yang
mengatur itu pasti tidak memiliki sifat-sifat sebagaimana yang diatur. Dari
situ kita simak adanya sesuatu yang dahsyat, yang tak bermula dan tak berakhir,
yang pasti, dan yang memiliki kemampuan sedemikian dahsyatnya sehingga dapat
mengatur alam yang begitu indah dan menakjubkan. Maka dapat kita simpulkan akan
adanya Tuhan, Allah, God, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu berkesimpulan
tentang adanya sesuatu yang memiliki kekuatan yang tidak ada keterbatasan.
Bukti ‘gerak’
Segala sesuatu yang ada dalam alam ini bergerak,
dari atom ke benda padat, dari benda padat ke benda hidup, dan ke bumi
seluruhnya, kemudian ke angkasa, dan akhirnya ke seluruh galaksi. Sain modern
menegaskan bahwa di dalam alam ini tidak sesuatu yang disebut dengan “diam”,
bahwa alam selalu dalam gerak. Berdasarkan prinsip kausalitas, tidak mungkin
sesuatu bergerak dengan sendirinya tanpa digerakkan oleh suatu penggerak atau
penyebab gerak, karena sesuatu yang tidak mempunyai tidak dapat memberikan
gerak.
Atas dasar itulah, bila materi dengan aneka
macamnya bergerak, maka septutnya kita menanyakan siapakah penggeraknya.
Pertanyaan tentang penggerak ini akan terus berkumandang selama segala sesuatu
yang ada di alam materi ini bergerak.
Kaum materialis menghubungkan evolusi dalam materi
dengan gerak subjektif dalam materi dan dengan pertentangan internal di
dalamnya, sebagimana telah dijelaskan dan dibantah pada bagian sebelumnya. Kaum
materialis harus menjawab dua pertanyaan besar berikut ini (yang sudah pasti
tidak dapat dijawabnya dengan teori materialisme):
Siapakah yang memberikan gerak kepada materi pertama?
Siapakah yang memberikan gerak kepada massa material?
Bukti ‘Evolusi’. Bukti dan argumen ini dikemukakan oleh Mohammad Baqir
Ash-Shadr, filsuf terbesar muslim di penghujung abad 20. Bukti ini terdiri atas
tiga proposisi sebagai berikut:
Proposisi pertama:
“Setiap peristiwa pasti mempunyai sebab yang menjadi sumber
keberadaannya. “
Proposisi ini bersifat aksiomatis atau apriori (sangat gamblang). Setiap
orang yang berakal sehat dan sadar pasti membenarkan isinya.
Proposisi kedua:
“Setiap ditemukan selisih tingkat kekuatan antara
sesuatu dan lainnya, maka tidak mungkin sesuatu berada pada tingkat
kesempurnaan dan isi yang lebih rendah menjadi sebab bagi keberadaan sesuatu
yang berada pada tingkat yang lebih tinggi.
Proposisi ini juga bersifat aksiomatif (badihi)
yang bisa segera dipastikan kebenaran isinya oleh setiap orang yang berakal
sehat dan sadar.
Proposisi ketiga:
“Materi dalam evolusi atau perkembangannya yang
berkelanjutan mengambil bermacam bentuk dalam tingkat evolusinya.”
Salah satu unsur dari air tidak mempunyai
kehidupan merupakan salah satu bentuk keberadaan materi. Amipa dianggap sebagai
hewan micro yang hanya mempunyai sal sel merupakan salah satu bentuk keberadaan
materi yang lebih banyak perkembangannya. Sedangkan manusia , sebagai benda
hidup berindera dan berakal, dianggap sebagai bentuk tertinggi dari entitas
dalam alam ini.
Konklusi:
“Adanya tingkat-tingkat kesempurnaan dalam keberadaan materi di alam ini
menunjukkan adanya sebab atau kausa yang sempurna di baliknya.”(Allah
yatajalla, 41, Mujaz fi Ushuliddin, 42-45, Allah Yatajalla, 54, Kubra
Al-yaqiniyat Al-kauniyah, 105, Jurnal Paramadina, vol. 1, no. 2, 1999, Adeleh e
itsbat wujud e Khoda, Mohsen Gharavian, 19-20, Khoda Shenasi Falsafi, Mohsen
javadi, 18-21, dll).
Teori ‘kebetulan’
Bukti Kebermulaan
Kebermulaan
atau Al-huduts, secara etimologis, adalah sifat yang disandang oleh sesuatu
yang bermula dari ketiadaan atau bermula dari sesuatu yang lain. Contoh sesuatu
yang bermula dari ketaiadaan adalah “asal muasal alam” -atom atau energi-,
sebagaimana telah terukti. Contoh sesuatu yang bermula dari sesuatu yang lain
adalah perubahan-perubahan yang dialami oleh entitas-entitas (maujud-maujud)
material. Manusia, misalnya, ada dari sesuatu yang bukan manusia berupa
sel-sel.
Lawan dari
kebermulaan atau Al-huduts adalah ketidakbermulaan atau Al-azaliyah, yaitu
sifat yang disandang oleh sesuatu yang tidak bermula dari ketiadaan, dan tidak
berasal (bermula) dari sesuatu yang lain.
Ciri-ciri
azali dan hadits adalah sebagai berikut:Azali adalah sesuatu yang sederhana
(basith, simple, homogen), sedangkan hadits adalah sesuatu yang tersusun
(murakkb, kompleks, heterogen, himpunan).
Karena
setiap “yang tersusun” terdiri atas beberapa bagian yang merupakan sebab bagi
terbentuk “sesuatu yang tersusun”, maka keberadaan setiap “yang tersusun”
bermula dari sesuatu yang lain, yaitu bagian-bagiannya. Kesimpulannya, ialah
bahwa setiap “yang tersusun” pastilah sesuatu yang hadits. (Metafisika, Lorens
Bagus, i36-145, Ontologi, Anton Bekker, Muhadharat, 162-163, Bidayatul-Hikmah,
Allah bainal Azaliyah wal Huduts, Al-ilahiyat, dll.).
Sedangkan
“sesuatu yang bermula” ada kalanya bersifat basith dan ada kalanya bersifat
murakkab (Muhadharat fil Aqidah, 164).
Setiap yang “tak bermula” (Azali) tidak memerlukan kepada selain dirinya
untuk menjadi ada. Seandainya ia bermula, maka berart ia bukanlah azli. Karena
ia tidak bermula, maka ia tidak pernah tiada. Karena tidak pernah tiada, maka
ia tidak memerlukan selain dirinya untuk menjadi ada. (Muhadharat, 164 dll).
Sedangkan hadits, karena keberadaannya bermula dari ketiadaan, memerlukan
kepada selian dirinya untuk menjadi ada.
Setiap yang azali pastilah abadi (tidak berakhir), sedangkan hadits
berpotensi untuk musnah.
Karena setiap yang azali tidak memelukan selain dirinya untuk menjadi
ada, maka ia bukanlah sesuatu yang “mungkin”. Karena azali bukanlah sesuatu
yang “mungkin”, maka ia pastilah sesuatu yang wajib ada. Karena ia “wajib ada”,
maka ia tidak akan pernah musnah (abadi).
Sedangkan hadits, karena memerlukan selain dirinya untuk menjadi ada, adalah
sesuatu yang “mungkin”. Karena ia bersifat “mungkin”, maka ia bisa musnah
seketika apabila hubungannya dengan sebab pengadanya terputus.
Setiap yang azali tidak berubah, sedangkan sesuatu yang hadits berpotensi
untuk berubah.
Perubahan terjadi dalam tiga kondisi sebagai berikut:
- Perubahan yang terjadi
karena salah satu bagian atau salah satu sifatnya mengalami perubahan,
dengan diganti ataupun tidak.
- Perubahan yang terjadi
karena bertambahnya salah satu bagian atau salah satu sifat yang
disandannya. Perubahan pertama dan kedua di atas tidak akan pernah dialami
oleh sesuatu yang azali, karena ia meniscayakan ketersusunan yang
merupakan salah satu ciri khas sesuatu yang hadits.
- Perubahan yang terjadi
karena realitas sesuatu yang basith berganti menjadi realitas basith yang
lain. Perubahan demikian juga meniscayakan
ketiadaan sebuah realitas yang disusul oleh keberadaan baru realitas lain.
Perubahan ketiga ini juga tidak akan pernah dialami oleh sesuatu yang
azali karena ketidakbermulaannya dari ketiadaan atau dari sesuatu yang
lain.
Inilah penjelasan singkat tentang bukti kebermulaan yang lazim diseebut
argumen a novitate mundi. Kesimpulan, pasti ada sesuatu yang tak bermula
dan tak berakhir. Para ahli menyebutnya “Kausa Prima”, yaitu suatu kekuatan
yang sempurna, tidak bermula dan tidak berakhir, yang kita identifikasi dengan
nama Tuhan, Sang yang, God, dan lain sebagainya. (Al-ilahiyat, hal. 39 – 42,
Muhadharat fil-Aqidah, hal. 221, Allah bainAl-iman wAl-ilhad, hal. 133, Durus
fil-Aqidah dll.)
0 komentar:
Posting Komentar