SEMIOTIKA
Esai Saut
Situmorang
Diterjemahkan dari buku MH
Abrams,
A GLOSSARY OF LITERARY
TERMS, 5th Edition, 1988, Holt,
Rinehart and Winston, Inc, New York .
Di akhir abad ke sembilanbelas filsuf Amerika Charles Sanders Peirce memulai
sebuah studi yang dinamakannya “semiotic”, dan dalam bukunya COURSE IN GENERAL
LINGUISTICS (1915) linguis Swiss Ferdinand de Saussure tanpa mengetahui ide
Peirce tersebut mengusulkan sebuah ilmu ( a science) yang disebutnya
“semiology”. Sejak itu semiotika dan semiologi telah menjadi nama-nama
alternatif bagi sebuah ilmu umum tentang tanda-tanda (a general science of
signs), seperti yang terdapat dalam semua pengalaman manusia. Menurut ilmu ini
pemakaian tanda tidak terbatas pada sistem komunikasi yang eksplisit seperti bahasa,
kode Morse, dan tanda serta signal lalulintas; beragam aktivitas dan produksi
manusia lainnya – postur dan gerak badan kita, ritual sosial yang kita lakukan,
pakaian yang kita pakai, makanan yang kita sajikan, bangunan tempat kita
tinggal – mengandung “arti” yang dimengerti oleh anggota-anggota dari
kebudayaan tertentu, makanya bisa dianalisis sebagai tanda-tanda yang berfungsi
dalam berbagai jenis sistem signifikasi. Walaupun studi tentang bahasa
(pemakaian tanda-tanda verbal) dianggap hanya sebagai satu cabang semiotika,
linguistics yang merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang
menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seorang semiotikus
dalam mempelajari semua sistem-tanda sosial lainnya.
C.S. Peirce
membedakan tiga kelas tanda, yang didefinisikannya dalam konteks jenis hubungan
antara item yang menandakan dan yang ditandakan: (1) IKON, berfungsi sebagai
tanda melalui persamaan inheren, atau unsur-unsur yang dimiliki bersama, dengan
apa yang ditandakan; contoh-contohnya adalah persamaan antara sebuah potret
dengan manusia yang digambarkannya, atau persamaan antara sebuah peta dengan
wilayah geografis yang diwakilinya. (2) INDEKS adalah sebuah tanda yang
memiliki hubungan kausal dengan apa yang ditandakan; jadi, asap merupakan tanda
yang mengindikasikan api, dan sebuah alat penunjuk arah angin mengindikasikan
arah angin berhembus. (3) Dalam SIMBOL (atau dengan istilah yang kurang
ambiguitas, “tanda sebenarnya”) hubungan antara item penanda dan apa yang
ditandakan bukanlah sebuah hubungan yang alami, tapi merupakan sebuah konvensi
sosial. Gerakan berjabatan tangan, misalnya, dalam banyak kebudayaan merupakan
tanda konvensional untuk sapaan ataupun perpisahan, dan lampu lalulintas
berwarna merah secara konvensional menandakan “Berhenti!” Contoh paling utama
dan paling kompleks dari tipe tanda ketiga ini adalah kata-kata yang membentuk
sebuah bahasa.
Saussure
memperkenalkan banyak dari istilah dan konsep yang dipakai para semiotikus
sekarang ini. Yang paling penting adalah sebagai berikut: (1) Sebuah tanda
terdiri dari dua komponen atau aspek yang tidak dapat dipisahkan, yaitu
“signifier” (dalam bahasa, seperangkat bunyi ujaran, atau tanda-tanda di atas
kertas) dan “signified” (konsep, atau ide, yang merupakan arti dari tanda tersebut).
(2) Sebuah tanda verbal, dalam peristilahan Saussure, bersifat “arbitrary”.
Maksudnya, dengan onomatopoeia (kata-kata yang kita anggap sama dengan
bunyi-bunyi yang ditandakan) sebagai pengecualian kecil, tidak ada hubungan
inheren atau alami antara sebuah “signifier” verbal dengan apa yang ditandakan
(signified). (3) Identitas dari semua elemen sebuah bahasa, termasuk
kata-katanya, bunyi-bunyi ujaran komponennya, dan konsep-konsep yang ditandakan
kata-kata, tidak ditentukan oleh “kualitas positif”, atau unsur-unsur objektif
dalam elemen-elemen itu sendiri tapi oleh perbedaan (differences), atau sebuah
jaringan hubungan, yang terdiri dari perbedaan dan oposisi dengan bunyi-bunyi
ujaran lainnya, kata-kata lainnya, dan “signified” lainnya yang terdapat hanya
dalam sebuah sistem linguistik tertentu. (4) Tujuan dari linguistics, atau
usaha semiotika lainnya, adalah untuk memahami “parole” (sebuah ujaran verbal,
atau sebuah pemakaian khusus tanda atau seperangkat tanda) hanya sebagai sebuah
manifestasi dari “langue” (yaitu sistem umum dari perbedaan-perbedaan implisit
dan aturan-aturan kombinasi yang mendasari dan memungkinkan sebuah pemakaian
khusus tanda). Fokus perhatian semiotika lebih banyak terletak pada sistem yang
mendasari “langue” daripada pada sebuah “parole” tertentu.
Semiotika
modern berkembang di Perancis di bawah pengaruh Saussure hingga banyak
semiotikus juga merupakan strukturalis. Mereka membahas setiap fenomena atau
produksi sosial sebagai “teks”, yakni seperti yang terbentuk oleh struktur-struktur
yang berdiri sendiri, mandiri dan hierarkis dari tanda-tanda, “kode-kode”
fungsional yang ditentukan secara berbeda-beda, dan aturan-aturan kombinasi dan
transformasi yang membuatnya “berarti” bagi anggota-anggota sebuah masyarakat.
Claude Levi-Strauss, di tahun 1960an dan sesudahnya, memulai penerapan
semiotika atas antropologi budaya dan pendirian strukturalisme Perancis dengan
memakai linguistics Saussure sebagai model untuk menganalisis berbagai fenomena
dan praktek-praktek dalam masyarakat primitif, yang diperlakukannya sebagai
setengah-bahasa, atau struktur-struktur penanda yang independen. Ini termasuk
sistem kekerabatan, sistem totem, cara menyiapkan makanan, mitos, dan mode
pra-logis dalam penginterpretasian dunia. Jacques Lacan menerapkan semiotika
atas psikoanalisis Freud, dengan menginterpretasikan ketaksadaran sebagai
sebuah struktur tanda, seperti bahasa; dan Michel Foucault melakukan pendekatan
analisis yang serupa untuk mendiskusikan, dalam berbagai periode sejarah,
interpretasi medis atas symptom penyakit, perubahan dalam identifikasi,
klasifikasi dan perawatan orang gila, dan konsep-konsep seksualitas manusia.
Roland Barthes, yang secara eksplisit menerapkan prinsip-prinsip dan metode
Saussure, menulis analisis semiotik atas konstituen dan kode sistem-tanda dalam
iklan fashion perempuan, dan juga dalam banyak “ mitos borjuis ” tentang dunia
ini yang menurutnya dicontohkan dalam sistem-tanda sosial seperti pertandingan
gulat profesional, mainan anak-anak, “ornamental cookery”, dan tarian telanjang
striptease. Barthes juga dalam tulisan-tulisan awalnya merupakan seorang
eksponen utama dari kritik strukturalis yang membahas teks sastra sebagai
“sebuah sistem semiotik lapisan kedua”; maksudnya, teks sastra dipandang
sebagai memakai sistem bahasa yang merupakan lapisan pertama untuk membentuk
struktur yang lebih tinggi tingkatannya, sesuai dengan sistem elemen-elemen,
konvensi dan kode berbeda sastra.
(Diterjemahkan oleh Saut
Situmorang)
0 komentar:
Posting Komentar